
Jeonghan yang akhirnya bertemu dengan seluruh keluarga Choi pada jamuan Omakase.
"Sayang."
"Iyaaa."
Seungcheol menghela nafas saat mendengar suara lucu itu, ia melepaskan sepatu yang dipakainya seharian ini, dan menyimpannya dirak sepatu. Demi menghindari amukan sang tunangan terhadap dirinya.
"Kamu lagi apa?" Tanya Seungheol, ia sudah masuk kedalam rumahnya dan melihat Jeonghan yang tengah berdiri di depan microwave dengan sedikit menunduk, wajahnya sejajar dengan kaca menutup microwave.
"Lagi bikin popcorn." Jawabnya.
"Udah makan siang tadi?"
"Umhm!" Jeonghan mengangguk, ia terfokus pada isi yang berada di microwave itu tidak mengindahkan kehadiran Seungcheol yang kini sudah berada disampingnya dan ikut-ikutan menunduk juga mengintip yang berada di dalam sana.
"Kenapa abang ikut ngeliatian?" Jeonghan menengok dan menatap Seungcheol.
"Kenapa kamu liatin? Kalau udah mateng kan nanti dia bunyi." Seungcheol sedikit heran pada Jeonghan, wajah keduanya kini saling bertatapan.
"Iya juga siihh, cuman penasaran aja pengen liat kantung popcornya jadi besar." Jawab Jeonghan lagi, dan Seungcheol tersenyum kecil. Ia memajukan wajahnya dan mengecup bibir Jeonghan sekilas, lalu ia berdiri dan membuka kulkas mencari minuman dingin.
"OH!" Jeonghan bertepuk tangan kecil ketika mendengar suara 'Pop!' dari dalam sana, ia tersenyum lebar dan akhirnya dalam beberapa detik suara 'Pop!' lainnya mulai terdengar dan kantung yang tadinya tipis kini secara perlahan mulai menggembung dan mengembang dengan biji jagung yang berhasil berubah menjadi camilan rasa caramel.
Seungcheol menonton wajah Jeonghan yang tersenyum-senyum kecil setiap satu jagung yang mulai mengembang, dengan gelas berisi susu kedelai di tangannya. Dan saat suara 'Pip pip pip.' terdengar beberapa kali, tanda bahwa popcorn sudah matang sempurna terdengar. Jeonghan tersenyum lebar dan bertepuk tangan dengan bangganya.
"Abang liat! Popcorn aku jadi!" Ujar Jeonghan menunjuk microwave yang sudah mati dan pintunya dibuka oleh Jeonghan.
"Hebatnya sayangku, pinter banget udah bisa bikin popcorn." Seungcheol mendekat dan mengusap pipi Jeonghan, mengecup pipi kirinya dan mendusalkan hidungnya pada kulit halus itu. Jeonghan yang diperlakukan seperti itu, rasanya ingin meleleh ditempat.
Hilang sudah wibawanya sebagai ketua geng motor yang menyeramkan.
Ya sudah, lagipula sisi ini hanya bisa dilihat oleh Seungcheol seorang. Dan tanpa sadar ternyata kini Jeonghan sangat menikmati segala perlakuan pria yang lebih tua darinya itu. Entah sihir apa yang diberikan Seungcheol padanya, hingga Jeonghan kini menurut dan berhenti melakukan kekerasan pada sang pria.
Yaa, biasanya kan Jeonghan selalu menolak segala hal yang diberikan oleh Seungcheol, entah itu perhatian, sifat mengayomi ataupun segala hal yang Seungcheol berikan pada Jeonghan.
"Tumben bikin popcorn." Seungcheol memeluk pinggul Jeonghan dan dengan mudahnya tubuh itu ia gendong untuk didudukan diatas meja dapur yang terbuat dari bahan batu marmer.
"Iya lagi kepengen, abang tumbenan jam segini udah pulang?" Tanya Jeonghan, ia melirik jam dinding yang masih menunjukan pukul empat sore.
"Iya, saya sakit kepala dari siang. Jadinya pulang cepet aja." Jawab Seungcheol, ia menonton Jeonghan yang tengah membuka kantung popcorn yang menggembung itu.
"Udah minum obat?"
"Udah, tadi sebelum pulang."
"Ko aku ngga denger suara mobil abang?" Tanya Jeonghan, ia sedang mengunyah popcornya sambil menatap Seungcheol.
"Saya pulang dianter supir tadi, jadinya ngga pake mobil berisik." Jawab Seungcheol, matanya menatap bibir Jeonghan yang bergerak-gerak karena mengunyah popcorn manis itu, kepalanya mengangguk lucu. Rasanya Seungcheol ingin memakan Jeonghan saking gemasnya.
"Kenapa ngga minta jemput aku?"
"Terus kamu jemput saya pake motor balap kamu itu?"
"Iyalaah, emangnya pake motor abang? Ngga enak, ngga berisik." Jeonghan menggelengkan kepalanya.
"Ngga deh, nanti saya dikira ikut geng motor. Nanti saya dilaporin ke mamih." Seungcheol mengecup bibir Jeonghan lagi, lidahnya kini menjilat bibir atas dan bawah si cantik, merasakan rasa manis dari popcorn caramel itu.
"Saya ganti baju dulu deh." Seungcheol melepaskan pelukannya pada Jeonghan, takut kebablasan karena sekarang Jeonghan benar-benar terlihat cantik sekali dengan rambut yang sudah mulai panjang dan pipinya yang terlihat lebih tembam.
Seungcheol menggendong Jeonghan turun dari atas meja dan membiarkan sang pria berdiri dengan kedua kakinya. Lalu Seungcheol ditinggalkan begitu saja didapur sedangkan Jeonghan kembali duduk disofa dan melanjutkan menonton one peace yang tadi sempat terhenti.
Lengan kemeja abu-abu ia lipat hingga siku, ia menyalakan air dan membasuh piring-piring yang kotor.
"Sayang, hari ini ngga kerja?" Tanya Seungcheol, ia sedang mencuci piring.
"Kerjaaa, tapi jam tiga udah pulang." Jawab Jeonghan, matanya fokus pada tv. Padahal sudah beberapa kali ia menonton ini, tapi tetap saja ia ulang lagi dan lagi.
"Emang hari ini sepi?"
"Ngga sepii sihh, jadi yang booking nailart satu geng itu akhirnya dateng, yang buat bridesmaid itu loh, yang aku cerita sama abang pesenan mereka macem-macem terus aku tolak karena ngga bisa pesen yang terlalu banyak macem. Tapi akhirnya mereka pada dateng buat nailart satu geng, ada delapan orang jadinya tokonya tutup ngga nerima tamu lagi, jadinya aku pulang aja deh." Jawab Jeonghan, toh sebenarnya ada tamu atau tidak ada tamu tidak terlalu berpengaruh terhadapan pendapatan keluarga Choi.
"Oh, jadi semuanya dateng. Kamu sempet ketemu mereka?" Seungcheol menyimpan piring-piring yang sudah dicuci ke tempat pengering.
"Ketemuu sama yang punya acaranya, siapa ya namanya aku lupa. Terus dia minta maaf karena udah bikin ribet, terusss aku dipanggil cantiik deh."
"Siapa yang manggil kamu cantik?"
"Yang mau nikahnya itu, padahal dia juga lebih cantik tau! Cantik bangeet rambutnya panjang sampai bahu gitu, terus kulitnya putih."
"Cantik banget?"
"Iya! Cantik banget-banget." Jeonghan mengangguk, menjawabnya dengan santai sambil senyum-senyum sedangkan Seungcheol yang mendengarnya sudah meremas spons cuci piring dengan sangat amat kencang, hingga urat-urat lengannya dapat terlihat.
Entah ia cemburu karena Jeonghan dipanggil cantik oleh orang lain atau karena Jeonghan memuji orang lain.
Jadi, Seungcheol tidak melanjutkan obrolan mereka. Karena takutnya nanti piring malah pecah ditangannya. Setelah selesai mencuci piring dan membersihkan sekitar dapur dan kompor, Seungcheol langsung masuk kedalam kamarnya untuk mengganti pakaian. Membiarkan Jeonghan menonton tv di ruang tengah.
Kaus berwarna hitam ia tarik keluar dari dalam lemari, bersama dengan celana tidur panjang. Niatnya mau minum obat dan langsung tidur, karena sakit kepalanya sudah tidak main-main. Tapi baru saja Seungcheol naik ke atas kasur, ponselnya yang berada di atas meja berdering cukup nyaring. Hingga membuat kedua matanya yang tadi terpejam kini terbuka lebar, dengan kerutan didahi.
Dia merasa kesal, padahal ia ingin istirahat.
Tangannya terulur dan menatap layar ponsel itu. Memperlihatkan nama sang mamih.
"Halo."
"Abang, udah di rumah?"
"Udah, kenapa mih?"
"Besok kamu ada acara ngga?"
"Ngga."
"Bagus, besok malem ada acara keluarga. Di omakase yang biasa dulu kakek datengin itu loh."
Seungcheol mengerutkan dahinya. "Mih, kakek aja udah meninggal lima tahun lalu. Abang mana inget tempatnya, lagian itu bukannya di Jepang? Masa abang harus terbang ke Jepang besok?"
"Iya bener, omakase yang di Jepang itu loh. Tapi dia buka cabang baru beberapa bulan itu, terus tante kamu nemuin cabangnya disini, terus tante kamu nyobain makan disitu ternyata rasanya sama."
"Iya, terus?"
"Iya jadinya tante kamu booking itu omakase deh buat acara keluarga besok malem."
"Tempatnya dimana?"
"Nanti mamih shareloct deh, kamu dateng ya? Ajak Jeonghan juga, soalnya keluarga kita baru beberapa aja yang ketemu Jeonghan."
"Emang ini semuanya dateng?"
"Iya lah dateng, om kamu aja pulang dari belanda buat dateng. Jadi kamu harus ajak Jeonghan ya! Mamih mau ngenalin menantu mamih yang cantik itu."
"Calon menantu."
"Calon?!! Abang! Dia tuh menantu mamih! Bukan calon! Awas ya kalau kamu berani-berani kaya kemaren lagi, mamih jual kamu ke om-om gigolo kenalan mamih!"
"Iya menantu."
"Ya udah gitu aja, eh tadi katanya abang pulang cepet ya?"
"Iya sakit kepala."
"Tumben banget sakit kepala? Kenapa sakit kepala? Kurang kerja ya? Ya udah istirahat sama minum obat."
"Iya ini abang mau istirahat tapi mamih ngoceh terus, udah ya abang tutup."
"Dikasih perhatian bukannya makasih."
"Makasih ya mamih, dadah."
Telfon itu diputus oleh Seungcheol, mendengar suara sang mamih membuat kepalanya semakin berdenyut. Ia memijat-mijat kepalanya, matanya melihat ke arah pintu. Dan Seungcheol tersenyum kecil, melihat sosok Jeonghan yang sepertinya menguping pembicaraan.
"Sayaang." Panggil Seungcheol dan sepertinya Jeonghan sedikit panik ketika dipanggil.
"Iya?" Pintu yang tadinya tertutup sedikit kini terbuka, memperlihatkan Jeonghan dengan celana pendek kesayangannya dan baju kaus yang berwarna biru langit itu.
"Sini." Seungcheol menepuk pinggir kasur, tempat Jeonghan biasa tidur. Dan tentu saja Jeonghan dengan senang hati langsung berlari kecil menuju kasurnya, melompat ke atas kasur dan membuat Seungcheol menggelengkan kepalanya.
"Anak kecil darimana ini?" Seungcheol merubah posisinya untuk memeluk Jeonghan yang berbaring disampingnya, dan Jeonghan yang berbaring memunggunginya langsung menari kedua pahanya untuk mendekat ke arah perutnya.
"Siapa tadii yang telfon?" Jeonghan menengok ke belakang dan menatap wajah Seungcheol.
"Mamih, besok ada acara keluarga. Sayangku ikut ya."
Jeonghan tadinya mau menolak, karena besok diajak Mingyu dan Hyungwon untuk mancing. Karena Mingyu katanya lagi stress kuliah dan pdkt-nya terhadap sodaranya Joshua yaitu Wonwoo tidak berjalan lancar, jadinya mereka mau mancing.
Tapi mendengar ucapan terakhir Seungcheol yang merupakan ucapan harus dan bukan pertanyaan, membuat Jeonghan tidak bisa mengelak. Dan kalaupun mengelak sebenarnya ya tidak apa-apa juga, tapi... aduh terakhir Jeonghan mengelak ia malah merasa bersalah sendiri. Jadinya, kepalanya mengangguk.
"Jam berapa?" Tanya Jeonghan, tubuhnya semakin menempel pada Seungcheol. Karena ditarik semakin mendekat.
"Jam 7 malam, ada keluarga saya semua. Pake baju yang cantik ya, biar saya pamerin ke semua sepupu dan sodara-sodara."
"Minta uang buat ke salon."
"Nanti saya transfer." Seungcheol mengecup bibi Jeonghan, ia bisa merasakan bekas odol disana. Mungkin Jeonghan habis makan popcorn langsung sikat gigi.
Seungcheol menempatkan kembali kepalanya di atas kasur, lengannya digunakan Jeonghan sebagai bantal dan satunya lagi menggenggam lengan Jeonghan, sesekali mengusap perut yang beberapa hari ini dikeluhkan terasa ngilu, setelah insiden balapan minggu lalu.
"Masih sakit perutnya?" Tanya Seungcheol, ia sedikit mengantuk akibat obat yang dikonsumsinya tadi.
"Udah ngga ko, maksudnya mungkin kemaren ngilu.. soalnya.. abang.. masuknya terlalu dalem." Gumam Jeonghan, ia jadi malu sendiri. Tapi menurutnya alasan paling masuk akal adalah karena penis Seungcheol masuk terlalu dalam, sehingga membuat perutnya terasa ngilu.
"Maaf ya." Gumam Seungcheol, tangannya menyelinap masuk kedalam kaus Jeonghan dan mengusap-ngusap perutnya beberapa kali. Usapan itu entah mengapa juga malah membuat Jeonghan mengantuk, hingga akhirnya keduanya tertidur sore itu.
Seungcheol yang sakit kepala, tapi Jeonghan yang tidurnya paling lelap.
"Abang.."
"Hm?"
"Abangg, aku laperr."
Seungcheol membuka kedua matanya, ruangan itu gelap, langit diluar pun sudah gelap. Kamarnya memang selalu gelap kalau tidur.
"Jam berapa sekarang?" Tanya Seungcheol, ia merubah posisi tidurnya dengan berbaring.
"Jam 8 malem." Jawab Jeonghan.
"Sayang tidurnya nyenyak?" Tanya Seungcheol, ia kembali merubah posisinya menyamping dan memeluk Jeonghan erat hingga tubuh kecil itu seperti tenggelam dalam peluknya. Jeonghan sedikit merinding mendengar suara sang berat yang berbisik ditelinganya, sebanyakan apapun ia terbangun disamping tunangannya, hingga saat ini Jeonghan belum terbiasa mendengar suara berat dan serak milik Seungcheol setiap bangun tidur.
"Iya, tapi laperr." Rengek Jeonghan, ia melonggarkan sedikit tangan Seungcheol dari tubuhnya hingga ia bisa bergerak dan kini memutar tubuhnya, memeluk Seungcheol. Kondisi kamar yang gelap, membuatnya sedikit parno. Apalagi beberapa hari lalu ia melihat kecoa di pintu kamar mandi. Tapi tentu saja Seungcheol langsung memanggil petugas hama untuk memeriksa seluruh rumah dan memasangkan anti serangga.
"Kayanya baru makan tadi jam tiga deh? Sekarang udah laper lagi?" Tanya Seungcheol, sebelum ia pulang kan tadi Jeonghan laporan habis makan udon.
"Ituuu udaah lima jam lalu."
"Sekarang mau makan apa?"
"Apa yaaaaa, yakiniku enak." Jawab Jeonghan, ia ingat ada daging slice sisa.
"Boleh, tapi sebentar dulu." Seungcheol memeluk tubuh Jeonghan erat, kakinya naik ke atas pinggul kecil itu, dan membuat Jeonghan berteriak bahkan mengigit lengan Seungcheol karena pelukannya terlalu kencang, membuat dirinya bahkan sedikit sesak.
Ditambah lagi, sekarang Seungcheol sudah rajin kembali ke gym dan membuat otot-otot lengannya bahkan tubuhnya kembali mengembang dengan otot-otot yang terbentuk.
Padahal waktu taruhan bertelanjang itu, Jeonghan masih bisa melihat beberapa lemak ditubuh sang pria, kini lemak itu sudah terhempas.
"Abang aaaaaaa!" Gigitan tidak mempan, kini Jeonghan sedikit bertiak walaupun teriakannya melengking, membuat Seungcheol semakin gemas.
Keinginan memakan Jeonghan hidup-hidup semakin tinggi, jadi ia gigit saja pipi Jeonghan dengan gemas.
Membuat Jeonghan berteriak semakin kencang, dan kakinya menendang-nendang Seungcheol.
Yang ditendang tentu saja tidak marah, Seungcheol malah tertawa-tawa kecil. Di kegelapan kamar tidur, dengan isengnya Seungcheol mengapit kedua pipi Jeonghan hingga bibirnya manyun dan ia cium bibir itu agar berhenti berteriak. Tentu saja, Jeonghan berhenti teriak dan malah membiarkan bibirnya dicium walaupun ya sedikit dengan paksaan.
Pelukan erat Seungcheol terlepas, kini pria yang lebih tua malah berpindah posisi dan berada di atas tubuh Jeonghan, memerangkap tubuh itu dengan kedua tangannya dan terus menciumi bibir yang beberapa menit lalu itu berteriak kata-kata makian dan mendorong tubuh Seungcheol untuk menjauh, tapi dorongan menjauh itu berubah menjadi tarikan agar tubuh keduanya semakin menempel, dan ciuman keduanya semakin dalam.
Seungcheol melepaskan ciumannya, tentu saja Jeonghan protes.
"Katanya laper?"
"Tummy can wait, kisses first." Jeonghan berujar, suaranya merengek. Membuat Seungcheol tertawa kecil.
"Kisses can wait, your tummy can't wait, darling." Seungcheol mengecup bibir Jeonghan, ia bangkit dari posisinya dan turun dari kasur, menyalakan lampu kamar mereka. Ia berbalik dan menatap Jeonghan yang masih manyun kini dengan kedua tangan yang terlipat di atas dada, Jeonghan merajuk.
"Hahahaaha ayo sayang, kita makan dulu. Katanya laper."
Seungcheol berjalan keluar kamar, meninggalkan Jeonghan yang kesal diatas kasur dengan kedua kaki yang menendang-nendang kasur. Ia menyalakan tv pada saluran berita, berjalan menuju dapur dan memakai apron berwarna biru tua. Membuka kulkas dan melihat sisa daging yang mereka beli minggu lalu, saus yakiniku dan beberapa sayuran.
Memastikan bahwa tunangannya makan dengan baik, ya untuk jaga-jaga saja siapa tau ada nyawa lain yang ikut juga makan di dalam tubuh Jeonghan.
Sudah beberapa minggu ini, Seungcheol menghentikan makan sushi mentah dan segala makanan yang hanya setengah matang, lagi-lagi untuk berjaga-jaga saja.
"Sayang."
"Apah." Jawab Jeonghan dengan ketus, ia masih sebal karena ciumannya berhenti tadi.
"Perutnya beneran udah ngga sakit? Kalau masih sakit kita ke dokter aja besok sebelum ke omakase itu." Seungcheol memasukan daging kedalam mangkuk beserta dengan bumbu yakiniku.
"Ngga, beneran udah ngga sakit ko." Jeonghan mengambil dua mangkuk dan mengisinya dengan salad dingin yang sudah disiapkan oleh Seungcheol sebagai persediaan. Menyimpan dua piring di meja makan dan gelas.
"Atau periksa aja ya? Takutnya kenapa-kenapa." Kini daging yang sudah dilumuri bumbu itu, masuk kedalam pan bersama bawang bombay.
"Ngga perluu, beneran udah ngga sakit. Nanti kalau sakit lagi aku bilang." Jeonghan sudah berdiri disamping Seungcheol, melihat daging yang sedang dimasak.
"Setengah mateng ya? Biar masiihh kenyel-kenyel." Mendengarnya tentu saja Seungcheol langsung menggelengkan kepalanya.
"Mateng, besok makan omakase juga kamu ngga boleh makan yang mentah."
"Loh? Kalau omakase kan banyaknya makan mentah! Sushi! Sashimi! Masa aku ngga makann?" Jeonghan mengerutkan dahinya, sejak kapan dirinya tidak boleh makan makanan mentah?
"Ngga, nanti saya minta yang perfectly cooked for you. Ngga usah protes, nurut." Seungcheol mengecup bibir Jeonghan yang manyun dan sudah siap protes, tapi ditelan lagi ucapan protesnya karena Seungcheol terlihat serius dengan ucapannya.
"Alesannya kenapaa aku ngga boleh makan raw food?" Tanya Jeonghan, masih sedikit tidak terima.
"The only raw thing that you can take is my cock, selain itu ngga boleh." Mendengarnya tentu saja wajah Jeonghan langsung memerah, dikepalanya langsung terbayang penis sang tunangan yang tanpa menggunakan pengaman itu, dan entah mengapa malah membuatnya berliur tidak jelas membayangkannya.
Makan malam keduanya seperti biasa, Seungcheol tidak makan nasi tetapi hanya makan protein saja dan sayuran, sedangkan Jeonghan dengan senangnya menghabiskan semua makanan yang berada di atas meja, tanpa protes sama sekali. Seungcheol tanpa sadar ternyata sejak tadi malah asik menonton Jeonghan yang makan dengan lahap, berbeda sekali dengan Jeonghan waktu awal-awal tinggal bersamanya.
Jeonghan tidak pernah mau makan masakannya, dengan alasan takut diracun. Memang sulit mendapatkan keperacayaan Jeonghan.
"Abang besok aku ke salon jangan?"
"Boleh, tapi rambutnya jangan dipotong ya."
"Rambutnya udah panjang gini, ngga perlu dipotong?"
"Ngga, bagus ko segitu." Ujar Seungcheol.
"Rapihin aja ya?"
"Boleh, selama ngga ada yang dipotong ya."
"Iyaa, aduh aku kekenyangan banget." Jeonghan menepuk-nepuk perutnya, bagaimana tidak kenyang? Satu mangkuk nasi, satu mangkuk daging dan sedikit salad. Tentu saja ia kenyang, apalagi sebelumnya ia makan popcorn juga sendiri.
Senyuman di bibir Seungcheol tentu tidak bisa disembunyikan, ia senang melihat Jeonghan makan dengan lahap sekali. Seungcheol yang tidak pernah betah melihat rumahnya berantakan, langsung menumpuk piring bekas pakai dan membawanya menuju dapur kembali.
"Abangg."
"Hm?"
"Jangan cuci piring duluu atau masukin dishwasher aja, ayo main game!" Jeonghan menarik-narik lengan baju Seungcheol.
"Cuci piring dulu sebentar." Pinta Seungcheol, sudah kepalang pakai apron dan sarung tangan. Jeonghan langsung menggelengkan kepala dan cemberut, jadi daripada Jeonghan merajuk semalaman jadi Seungcheol lepaskan segala atribut tempurnya. Memilih mengikutin Jeonghan menuju ruang tengah dan bermain PS5 yang dicuri dari tempat Ian beberapa minggu lalu.
Malam itu, keduanya tertidur di ruang tengah setelah main game dan menonton film.
Nikmatnya tinggal di rumah sendiri, Jeonghan bisa bangun siang. Sedangkan Seungcheol yang sehari-harinya memang selalu bangun pagi akan tetap terbangun, jam berapapun ia tidur pukul tujuh pagi ia akan bangun.
Pertama tentu memindahkan Jeonghan ke kamar, karena tidur disofa sudah pasti tidak nyaman. Lalu cuci piring bekas semalam, lalu vacumcleaner ruangan sambil membaca dan membalas beberapa pesan, termasuk pesan dari Ian yang mengomel karena baru sadar bahwa PS5 nya hilang dibawa oleh sang adik, lalu mamihnya, beberapa teman kerja dan seketarisnya yang memberitahukan bahwa senin ada kunjungan mendadak dari salah satu stakeholder.
Intinya saat akhir minggu, Seungcheol lah yang bertanggung jawab untuk pekerjaan rumah. Walaupun sebenarnya setiap hari juga, tapi Jeonghan cukup membantu dengan mencuci piring, mencuci baju dan menjemur baju.
"Sayang, ayo bangun." Seungcheol kembali ke kamar, membuka jendela agar udara hangat masuk kedalam kamar mereka yang dingin, ia menuju kasur dan mengecup kening Jeonghan.
"Ngantuukk." Jeonghan mengusal pada bantal.
"Makan dulu, udah jam 10."
"Masih kenyanggg, lima menit lagii aja."
"Ya udah, lima menit ya." Seungcheol mengecup pipi Jeonghan.
Tentu saja lima menit berubah menjadi tiga puluh menit, sampai akhirnya Seungcheol menarik paksa Jeonghan untuk bangun. Karena mereka melewatkan sarapan jadi, brunch adalah pilihan terakhir.
Jeonghan makan dua potong roti bakar dengan malas-malasan, ia masih mengantuk. Setelah susu dan rotinya habis, Seungcheol membiarkan sang tunangan untuk kembali tidur. Lalu Seungcheol yang tidak ada kerjaan, akhirnya ikut Jeonghan juga untuk tidur.
Pria yang lebih tua bangun lebih dahulu karena mamihnya yang menelfon dan mengingatkan agar tidak terlambat, mamihnya bahkan bilang kalau restauran omakase itu sangat sulit untuk dipesan, jadi memastikan kalau keduanya tidak terlambat adalah sebuah keharusan.
Pukul 4 sore, Seungcheol mengantar Jeonghan menuju salon, seperti janjinya.
"Aku jemput lagi jam 5 ya."
Jeonghan mengangguk, mereka melewatkan makan siang. Jadi Jeonghan harus puas dengan sepotong roti coklat yang mereka beli tadi dijalan. Salon yang Jeonghan pilih adalah langganan mamih, dan Seungcheol pun hanya percaya pada salon yang sudah mamihnya biasa datangi itu.
Waktu satu jam, Seungcheol gunakan untuk mandi dan bersiap-siap. Mencukur kumis dan jenggotnya hingga rapih, memastikan tubuhnya bersih. Ngomong-ngomong soal Jeonghan, tadi Seungcheol memesankan satu paket body spa juga disamping merapihkan rambut dan make up. Jadi sudah pasti waktu satu jam tidak akan cukup, Seungcheol memakai waktunya juga untuk membersihkan dan menyiapkan diri, tidak mau berdiri disamping Jeonghan yang sudah cantik dalam keadaan tidak rapih.
Pukul lima sore, sesuai janjinya Seungcheol menjemput Jeonghan. Ia tersenyum lebar ketika sang tunangan berjalan secara cepat untuk masuk kedalam mobil.
"Ko jaketnya masih dipake?" Tanya Seungcheol, ketika Jeonghan masuk kedalam mobil.
"Tadi dipakein hairspray takutnya nempel ke baju." Jawab Jeonghan, ia masih memakai jaket birunya tadi. Karena udara semakin sore, semakin dingin. Dan didalam salon tentu saja dingin.
“Ko abang pake kaos doang?”
“Di belakang ada jaket kan, lagian ini ngga formal banget.” Seungcheol tersenyum, ia menjalankan mobilnya setelah Jeonghan memakai sabuk pengaman, perjalannya tidak lama sekitar 45 menit.
“Cantik banget sayangku.” Seungcheol tidak bisa menyembunyikan rasa jatuh cintanya pada sang tunangan yang duduk disampingnya, Jeonghan tentu saja salah tingkah ketika dipuji seperti itu.
“Ngga ah, biasa aja.” Jeonghan mengelak, ia meremas jaket yang dipakainya sebagai pengalihan bahwa ia sedang salah tingkah.
“Cantik, rambutnya bagus dirapihin gitu pake poni.” Dasarnya Seungcheol yang tidak peka, kalau kali ini Jeonghan malu. Malah lanjut memuji sang pria.
“Abang stoppp! Aku udah pake lipgloss takuut nanti aku minta ciuman terus lipgloss nya rusakk.” Jeonghan merengek, dan Seungcheol tertawa gemas. Inginnya mengusak rambut Jeonghan, tetapi ia urungkan karena takut Jeonghan marah.
Selama perjalanan, Jeonghan bercerita tentang semua treatment yang ia dapatkan tadi. Ia dipijit, lalu kakinya dibersihkan, lalu rambutnya di creambath, kepalanya dipijit, rambutnya dipotong dan dirapihkan, yang terakhir dipakaikan make up.
Jeonghan cerita dengan bangganya, bahwa dia adalah mantu dari keluarga Choi dan tentu saja ia mendaptkan perawatan ekstra.
“Di sana ada siapa aja?” Jeonghan bertanya, ia baru ingat kalau ini pertama kalinya ia dibawa bertemu dengan keluarga besar Choi.
“Kaka sama adeknya mamih, keponakan, sepupu, kayanya ada nenek juga tapi ngga tau.”
“Banyak ya? Aku baru ketemu sama tante siapa tuh? Yang waktu kita tunangan dia dateng.”
“Tante Jinha.”
“Iya ituu, tapi udah dua tahun lalu. Dia udah lupa sama aku ngga ya?”
“Ngga, masa dia lupa sama yang cantik kaya kamu.”
“IH! Berhenti panggil aku cantik!” Jeonghan cemberut, ia memukul lengan Seungcheol perlahan.
“Hahahaha iya gimana… kan cantik beneran.”
Benar sih, sejak tadi Jeonghan tidak bisa memalingkan wajahnya dari kaca di salon.
Mobil yang Seungcheol kendarai, akhirnya sampai didepan omakase yang disebutkan, jaketnya ia lepas tentu saja dan memakai cardigan berwarna hitam dengan vneck sedangkan Seungcheol sedang memakai jaket hitamnya, warna baju keduanya senada. Sejak Jeonghan melepaskan jaket biru itu, Seungcheol tidak selesa-selesai menatap leher putih yang seperti mengundangnya, jadi sebelum mereka turun dari mobil, Seungcheol sempatkan menciumi leher yang harum karena parfum tipis.
Jeonghan degdegan sendiri takut keluarga Seungcheol tidak suka dengannya, atau tidak bertemu dengan ekspektasi keluarga Choi. Ia mengenggam tangan sang tunangan erat saat masuk kedalam omakase itu, Jeonghan jadi pusing sendiri saat tadi diparkiran ia melihat mobil mewah berjejeran. Seharusnya ia biasa saja, karena keluarganya lebih kaya daripada keluarga Choi.
Tetapi! Tetap saja Jeonghan degdegan!
“Kak Seungcheeooollll!” Seorang gadis mungkin berumur 25 tahun berada didekapan Seungcheol begitu keduanya melangkah masuk. Jeonghan tentu saja terkejut melihatnya.
“Heejin.” Seungcheol mengusap kepala perempuan yang memeluknya, tetapi tangan Seungcheol satunya masih menggenggam tangan Jeonghan.
“Eeehh kak Jeonghan lebih cantik aslinya daripada difoto.” Perempuan yang dipanggil Heejin menengok pada Jeonghan, lalu melepaskan pelukannya pada Seungcheol dan berpindah memeluk Jeonghan. Tetapi tubuh Jeonghan tentu saja dilepaskan dari Heejin.
“Pelit, mentang-mentang cantik jadinya gaboleh dipeluk! Eh kenalin nama aku Heejin!” Tangannya terulur dan Jeonghan menjabat tangan kecil itu.
“Jeonghan.”
“Udah tau! Kak Jeonghan ayo duduk sama..”
“Ngga, anak kecil duduknya sama anak kecil lagi. Sana-sana.” Seungcheol mengusir Heejin dengan sopan tentunya, lalu membawa Jeonghan untuk duduk di meja utama omakase yang berisi sekitar lima belas kursi saja.
“Abang!” Panggil mamihnya, ia menepuk-nepuk dua kursi yang berada disampingnya. Dan Jeonghan Kembali ditarik untuk duduk disana.
“Abang.. aku kayanya duduk sama keponakan kamu aja deh.” Gumam Jeonghan, ia malu karena yang duduk dimeja omakase itu adalah keluarga inti.
“Ngga.”
Jeonghan duduk diantara Seungcheol dan mamih.
“Aduuuhhh menantu mamiihh cantik bangeeetttt.” Tubuh Jeonghan dipeluk oleh mamih.
“Eh mamih ada kado!” Sang Wanita melepaskan pelukannya dan merogoh tas yang dibawa, mengeluarkan satu kotak perhiasan yang berisi gelang berwarna emas dari brand terkenal.
“Tadi mamih pas belanja liat gelang ini, terus inget Jeonghan. Jadinya mamih beliin deh, coba minta Seungcheol pasangin.” Kotak perhiasan itu diberikan pada Jeonghan yang terlihat terkejut, pasalnya ia bisa menaksir harga gelang itu.
“Mamih.. makasih ya, maaf ngerepotin. Aku ngga bawa apa-apa buat mamih.” Jawab Jeonghan, ia menerima kotak itu.
“Gapapa loh, mamih udah seneng Jeonghan mau dateng.” Sang Wanita tersenyum lebar dan memeluk Jeonghan, lalu mencium pipi itu dengan senang hati.
“Abang..” Panggil Jeonghan dengan suara pelan, yang biasanya ia berteriak-teriak kini suaranya terbilang seperti mencicit.
“Hm?”
“Tolong.. Pakein.” Pinta Jeonghan, ia menyodorkan kotak perhiasannya pada Seungcheol dan dengan senang hati Seungcheol memakaikannya pada pergelangan tangan Jeonghan, sebenarnya ia sudah pakai gelang pemberian Seungcheol, tetapi melihat kedua gelang itu disana. Membuat pipi Jeonghan bersemu.
Entah Jeonghan yang beruntung atau keluarga Choi yang beruntung mendapatkan Jeonghan.
Jamuan omakase itu dimulai pukul 19:30 ketika restaurant itu kini sudah terisi oleh seluruh keluarga Choi. Yang paling tua dikeluarga ini namanya Choi Ji Wok seorang pria yang sudah pasti umurnya diatas mamih, karena itu kakanya. Ia mengucapkan terima kasih kepada seluruh keluarga yang datang dan menyempatkan diri untuk hadir, lalu mamih yang duduk disampingnya berdiri setelah dipersilahkan oleh sang kaka.
“Selamat malam semuanya.” Sapa mamih dengan senyuman lebar sekali, Wanita diumur 40 tahun lebih itu terlihat cantik dengan gaun berwarna biru muda.
“Ngga perlu basa-basi, aku mau memperkenalkan menantu akuuu hahahaha.” Ketika mamih menyebutkan kata menantu, tentu saja seluruh ruangan bersorai.
“Tenang-tenangg, ini menantu aku namanya Jeonghan. Udah tunangan sama si abang mau dua tahun. Namanya udah pasti tau sih, tapi ini nihh namanya Jeonghan.” Ujar mamih, ketika namanya disebut tentu saja Jeonghan langsung bangkit dari duduknya, ia tersenyum canggung tapi memastikan senyumnya terlihat cantik. Jeonghan tersenyum pada seluruh keluarga Choi yang bersorai-sorai.
“Udah gitu aja, aku mau pamerr menantu aja.” Ujar mamih, dan Jeonghan duduk dengan canggung dan malu setelah diperkenalkan. Seungcheol tentu hanya tepuk tangan saja.
“Ih malu!” Bisik Jeonghan pada Seungcheol.
“Ko malu? Kan pake baju, kalau ngga pake baju baru malu.” Jawab Seungcheol, sambutan dari para tetua terus berlanjut selama makan malam mereka disiapkan, seorang chef tentu saja memasak dihadapan mereka. Ada empat chef yang memasak untuk para keluarga inti.
“Saya minta makanan yang matang aja ya.” Ujar Seungcheol kepada sang chef.
“Ngga makan sushi?”
“Buat Jeonghan.” Jawab Seungcheol.
“Ih kenapa Jeonghan ngga boleh makan yang mentah? Lagi ngisi?” Tanya seorang wanita yang duduk disamping Seungcheol.
“Belum, tapi jaga-jaga aja sih tant.” Seungcheol menjawab, tante yang duduk disebelahnya itu yang paling dekat dengannya.
“Dikirain udah ngisi, terus kapan mau nikahnya ini? Udah mau dua tahu tunangan.” Pertanyaan itu benar-benar hanya sebuah pertanyaan penasaran, tanpa ada rasa mencemooh.
“Nanti juga kalau nikah dikasih undangannya.” Seungcheol mengulurkan tangannya dan mengambil makanan pertama mereka yang berupa sup ikan, lalu Jeonghan pun mengikuti. Perutnya sudah berbunyi karena seharian ini belum makan apapun.
“Tahun ini?”
“Rencananya sih iya.”
Keduanya berbincang sembari mendengarkan penjelasan para chef tentang hidangan yang berada dihadapan mereka, berbicara tentang bisnis travel yang juga Seungcheol mulai beberapa bulan lalu.
Sedangkan Jeonghan harus puas dengan menonton Seungcheol makan beberapa olahan daging ikan dan telur ikan yang tidak bisa ia makan, tentu saja ia cemberut.
“Enak engga?” Tanya Jeonghan, ketika Seungcheol memakan satu potong ikan mentah yang katanya sangat jarang sekali ada.
“Enak.” Jawab Seungcheol.
“Boleh engga sediikiiitt aja?”
“Ngga.”
Jeonghan cemberut lagi, total ada sekitar dua belas makanan dalam porsi kecil yang mereka makan, sedangkan Jeonghan hanya memakan sekitar tujuh saja, karena sisanya makanan mentah semua dan jatahnya dimakan oleh Seungcheol semua.
Setelah makanan utama habis, kini Seungcheol mengajak Jeonghan berkeliling. Mengenalkannya pada keponakan dan sepupu-sepupunya. Lalu Jeonghan duduk disofa bersama Seungcheol, karena makan utama sudah selesai jadinya acara setelahnya bebas.
“Jeonghan, udah hamil ya?” Tanya seorang Wanita yang Jeonghan tahu tadi duduk disebelah Seungcheol saat makan utama.
“Eeehh? Belum..” Jeonghan tersenyum kecil, sedikit canggung.
“Hus! Nanyanya ya tuh!” Seorang Wanita yang lebih tua menghentikan.
“Soalnya kak ini Jeonghan tadi masa ngga dibolehin Seungcheol makan mentah. Apalagi coba kalau bukan hamil?”
“Iyaa hamil atau ngga tuh ya bukan urusan kita.”
Jeonghan langsung mengangguk setuju.
“Tapi Jeonghan nih lebih cantik aslinya daripada difoto yang suka Seungcheol kirim ke group ya.”
“Iya bener, daripada mantan-mantan sebelumnya tuh, Jeonghan paling cakep.”
“Emang abang.. maksudnya Seungcheol pernah bawa mantannya ke acara keluarga?” Tanya Jeonghan, waktu yang tepat untuk bertanya.
“Pernah, beberapa kali. Terakhir tuh kapan ya? Kayanya dua bulan sebelum kalian tunangan deh.”
“Hah? Kapan?” Tanya Wanita lainnya.
“Itu yang waktu acara ulang tahun Heejin, pernah kan dia bawa cewe.”
“Ah itu bukan pacarnya.”
“Pacarnya itu, aku loh tanya sama perempuannya katanya pacarnya.”
“Ah masa sih? Pacar tapi ditinggal-tinggal gitu.”
Jeonghan yang berada diantara kedua Wanita yang seungcheol panggil tante, hanya menyimak saja, menggali informasi tentang sang tunangan.
“Tapi tuh ya tant, abang ngakunya terakhir pacaran waktu kuliah.” Jeonghan jadinya ingat ucapan Seungcheol saat dimobil sebelum mereka balapan minggu lalu.
“Tuhkan! Itu perempuannya yang ngaku-ngaku.”
“Kalau terakhir pacaran waktu kuliah berarti si Doyoon itu ya? Itukan yang terkahir dia bawa ke acara keluarga.”
Dahi Jeonghan berkerut mendengarnya.
“Ah tapi dibanding mantan-mantannya yang lain, Jeonghan nih paling cantik.”
“Tant, ada ngga cowo yang pernah abang bawa ke acara keluarga?”
“Iya itu Han, si Doyoon aja. Dia mantannya waktu Seungcheol kuliah tuh, kayanya dia yang paling lama pacaran sama Seungcheol.”
“Oohh gituu.” Jeonghan mengangguk-ngangguk, akhirnya ia tahu siapa nama mantan terakhir Seungcheol.
Jeonghan terkejut karena ia diterima baik oleh keluarga Choi, bahkan ia dan beberapa tantenya Seungcheol mengobrol sampai akrab, sampai ia tahu bisnis apa saja yang dijalankan oleh masing-masing keluarga.
Pukul Sembilan malam, ternyata diadakan pembagian hadiah. Seungcheol dan Jeonghan duduk disofa sambil menonton orang-orang yang bersorai ketika nomor undiannya keluar sebagai pemenang.
“Abang nomer undiannya berapa?” Tanya Jeonghan.
“Tujuh belas, sayangku?”
“Dua. Tadi masa aku liat ada hadiahnya helm.”
“Kamu kalau mau helm ya ngga usah nunggu hadiah, tinggal beli.” Seungcheol berujar, ia berbisik karena keluarganya memang sangat heboh dan rebut sekali.
“Abang, mau foto buat ibu.”
“ayo, laporan sama ibu. Anaknya hari ini cantik banget.” Seungcheol mendekatkan diri pada Jeonghan, dan keduanya berfoto bersama.
Total ada sepuluh hadiah, mulai dari barang branded, sabun mandi, sabun cuci piring, voucher belanja dan voucher hotel bintang lima.
“Aku ngga butuh nih, siapa yang mau voucher hotelnya?” Ujar salah sepupu Seungcheol.
“Kasih abang aja, biarin tuh abang tidur dihotel sama Jeonghan.” Mamih berujar.
“Ya udah nih buat abang Seungcheol aja.” Anak laki-laki yang mungkin berumur belasan tahun menghampiri meja keduanya, memberikan amplop berisi voucher menginap di president suit room untuk dua malam.
“Makasih loh.”
“Kalau aku nikah, abang Seungcheol harus kadoin aku voucher hotel juga.”
“Iyaaa.”
“Sama tiket pesawat.”
“Ngelunjak ya kamu.” Seungcheol mencubit pipi anak lelaki itu.
“Bikin dedek ya!” Teriak anak itu yang tentu saja disauti oleh seluruh keluarga dengan siulan, dan Jeonghan yang malu sampai pipinya memerah.
Makan malam itu benar-benar selesai pada pukul 10 malam, setelah berpamitan pulang pada semua orang, Jeonghan dan Seungcheol masuk kedalam mobil.
“Abang kita..” Belum selesai Jeonghan berujar, lehernya sudah ditarik oleh Seungcheol hingga bibir keduanya bertemu. Ciuman itu awalnya hanya kecupan, tetapi berubah menjadi hisapan dan kini menjadi sebuah tuntutan agar terbalas.
Jeonghan membuka sedikit bibirnya dan membiarkan Seungcheol menjilati lidahnya yang kini sedikit terjulur, lidah Jeonghan dihisap, bibirnya jilat dan lidah keduanya saling terbelit satu sama lain, bahkan kini suara decap terdengar didalam mobil.
Ciuman keduanya terlepas saat nafas menjadi sebuah kebutuhan. Seungcheol menatap wajah Jeonghan yang kini kedua pipinya bersemu merah.
“Joli petit bébé.” Ucap Seungcheol, sambil mengusap pipi Jeonghan dan mengecup bibir manis itu lagi.
“Kita pulang ke hotel.” Ujar Seungcheol, ia mencium bibir itu sekali lagi. Sejak tadi Seungcheol menahan dirinya, dan kini ia tidak bisa lagi menahan segala hal yang berputar dikepalanya.
Mobilnya ia pacu menuju hotel dimana voucher gratis tadi ia dapatkan, dan Jeonghan mengangguk saja.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰