Warisan

0
0
Deskripsi

Setelah kepergian ibunya karena kecelakaan, Asmi dan Ningrum menemukan kejanggalan di kamar kerja ibunya. Ternyata, ruangan itu menyimpan teror dari makhluk yang dipelihara oleh ibunya. Teror mengerikan itu membuat hidup Asmi dan Ningrum tidak tenang. 

Sejak kepergian Bapak, kehidupan Asmi dan Ningrum berubah drastis. Mereka semakin sering menyaksikan Ibu mereka bekerja keras, nyaris tanpa jeda. Tak jarang, Ibu mereka tak pulang selama berhari-hari, hilang dalam rutinitas yang semakin menyesakkan. Ibu bekerja di kantor pajak, namun bagi Asmi dan Ningrum, pekerjaan itu bagai misteri. Apa yang dikerjakan Ibu hingga sering pulang malam? Mereka tak sepenuhnya paham. Yang mereka tahu pasti, Ibu juga mengambil pekerjaan sampingan—sebuah langkah yang dipaksakan oleh kenyataan hidup yang tak lagi bersahabat. Mereka memang butuh banyak uang.

Tumpukan masalah datang bertubi-tubi sejak kepergian Bapak. Pertama, cicilan rumah yang masih dua tahun lagi harus dilunasi. Lalu, kabar buruk lainnya menyusul seperti petir di siang bolong: aset atas nama Bapak mereka, yang selama ini dianggap aman, ternyata tidak terdaftar secara hukum. Kebun dan sawah peninggalan Bapak, yang adalah warisan dari kakek mereka, masih terdaftar atas nama kakek, belum dipindah ke nama Bapak. Saat Bapak meninggal, perebutan pun terjadi. Paman dan bibi, yang tadinya terlihat tenang, kini berubah buas. Mereka berebut aset itu seperti sekumpulan monyet kelaparan yang mendadak ditumpahi makanan. Keserakahan mewarnai setiap gerakan mereka.

“Danil itu cuma dititipkan kebun dan sawah oleh orang tua kami, jadi kami masih punya hak atas kebun dan tanah ini!” ujar salah satu paman mereka pada keluarga Asmi dan Ningrum. Padahal ketika kakek nenek mereka meninggal, semua warisan sudah dibagi rata. Bahkan yang membaginya adalah Kyai yang terkenal di daerah mereka yaitu Abah Mulyono, yang sangat dihormati karena kepemahamannya akan ilmu agama. Meski sudah mendapat bagian mereka masing-masing, paman dan bibi Asmi dan Ningrum, selalu mencari lebih dengan mengusik warisan bapak Asmi dan Ningrum. 

Ibu, meski dalam kegetiran, menuntun Asmi dan Ningrum agar tak terlibat dalam perebutan itu. "Biar saja," ujar Ibu, suaranya serak, "walau itu hak kita, tak usah ikut dalam kegilaan mereka." Kata-kata Ibu menenangkan, tapi sekaligus terasa pedih. Mereka mengalah, meski tahu betul harta itu adalah milik mereka.

Namun, badai belum berakhir. Tiba-tiba, surat dari bank muncul, membawa kabar yang lebih menghancurkan. Hutang Bapak pada bank, jumlahnya tak sedikit, dan kini jatuh di pundak mereka. Marah, kesal, dan frustrasi membaur jadi satu. Asmi dan Ningrum, yang usianya sudah cukup untuk memahami arti kesengsaraan, tahu betul bahwa hutang sebesar itu adalah mimpi buruk. Itu adalah awal dari kehancuran bagi keluarga yang ekonominya pas-pasan. Kini, bayang-bayang kelam semakin mendekat. Mereka bahkan terancam harus berhenti kuliah di tengah jalan—sesuatu yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

“Asmi dan Ningrum tidak perlu berhenti kuliah. Ibu akan mengusahakannya,” begitu kata ibu mereka setiap kali kecemasan tentang masa depan menyeruak ke dalam percakapan mereka. Kata-kata Ibu itu menjadi penenang, meski mereka semua tahu betapa beratnya beban yang kini ada di pundak sang ibu. Di tengah badai masalah, mereka bertiga saling menjaga, saling menopang. Tak ada ruang untuk pertikaian, meski saudara-saudara ayah mereka terus mengintai seperti bayang-bayang kelam. Ibu selalu mengingatkan untuk tak terlibat dalam konflik warisan itu—ada hal yang lebih mendesak: hutang yang diwariskan oleh Bapak.

Ibu pun banting tulang. Setiap hari, ia bekerja dari pagi hingga sore, tanpa mengenal lelah. Tapi malam menjadi misteri tersendiri. Ketika matahari tenggelam, Ibu akan mengurung diri di ruang kerjanya. Ia melarang siapa pun untuk masuk. Pintu ruang itu selalu tertutup rapat, seakan menyimpan rahasia yang tak boleh diketahui oleh siapa pun. Ningrum, yang penasaran dan khawatir, pernah mencoba mengetuk pintu, bahkan berniat nekat menerobos masuk. Namun pintu itu terkunci. Saat Ibu akhirnya membukakan pintu, ia melakukannya dengan cepat, tak membiarkan Ningrum mengintip barang sedikitpun ke dalam ruangan. Di wajahnya terlukis ketegangan. Ada garis tipis ketidaksenangan yang muncul setiap kali mereka menyebut-nyebut ruang kerja itu, seolah di balik pintu tersebut ada beban lain yang tak ingin dibagi.

Meski begitu, apapun yang terjadi di balik pintu itu, Asmi dan Ningrum tetap bersyukur. Mereka memiliki seorang ibu yang kuat, sosok yang tak pernah menyerah walau kenyataan terus menuntut lebih. Kehidupan mereka mungkin tidak sempurna, tapi masih stabil. Hutang dan cicilan mungkin menghantui setiap tidur mereka, mengintai di setiap sudut kehidupan sehari-hari, tapi ibu mereka selalu berhasil menutupi kebutuhan mereka. Bahkan, meski dengan segala keterbatasan, mereka masih bisa hidup dengan cukup—tak berlebihan, tapi juga tak kekurangan.

Asmi dan Ningrum sadar, dalam dunia yang penuh ketidakpastian ini, setidaknya mereka masih saling memiliki. Hubungan mereka menjadi tumpuan, pelindung dari kerasnya dunia luar. Dan ibu mereka, bagai batu karang yang tak tergoyahkan, terus bekerja keras demi mempertahankan segalanya, meskipun di balik pintu ruang kerjanya mungkin tersembunyi rahasia yang mereka belum siap untuk mengetahuinya.

Namun, roda kehidupan tak pernah berputar dengan mulus. Seolah baru saja menemukan titik stabil, roda itu berputar terlalu cepat, mengguncang hingga tak ada yang tersisa dari ketenangan mereka. Sebuah tragedi menghancurkan segalanya. Ibu mereka ditemukan tewas dalam perjalanan pulang dari kantor pajak, tempat ibu mereka bekerja. Kabar itu datang seperti petir di siang bolong, merenggut kehangatan terakhir yang mereka miliki. Asmi dan Ningrum tak kuasa menahan kesedihan yang datang seketika itu. Tangisan mereka tak hanya berlangsung satu atau dua hari, tapi bertahan selama berhari-hari. Setiap kali bayangan ibu melintas di benak mereka, air mata tak bisa dibendung. Seolah luka itu terus-menerus menganga, tak pernah benar-benar sembuh, bahkan hingga hari ketujuh tiba.

"Kita udah gak bisa kuliah, Teh," suara Ningrum terdengar serak, menggantung di udara penuh duka. Ia mengusap pelan air mata yang menggenang di sudut matanya, mata yang kini terlihat merah karena terlalu sering menangis. "Kita juga masih harus nutupin cicilan rumah sama hutang Bapak," lanjutnya, suaranya patah-patah.

Asmi, yang duduk di sampingnya di meja makan, hanya bisa mengangguk pelan. Ia merasakan hal yang sama. Dunia mereka kini penuh ketidakpastian. Di jam segini, biasanya ibu mereka sudah pulang, datang melalui pintu depan, terkadang membawa pizza atau mi pedas yang jadi kesukaan mereka. Sekarang, pintu itu terasa kosong. Suara langkah kaki ibu yang dulu akrab di telinga mereka, kini hanya tinggal kenangan. Asmi melirik foto-foto ibu mereka yang masih tergantung di dinding. Wajah ibu, yang dulu selalu memberi kekuatan, kini terasa seperti pengingat akan kehilangan yang tak tertanggungkan.

"Foto ibu dimasukkin ke gudang aja, Rum?" ujar Asmi pelan, seolah berharap dengan menyingkirkan foto-foto itu, rasa sakit akan sedikit mereda.

Ningrum terdiam sejenak, air mata kembali menetes. "Jangan, Teh. Mendingan dipindahin ke ruang kerja ibu saja."

Asmi tertegun mendengar saran itu. Ruang kerja ibu—sebuah ruangan yang selama ini selalu tertutup rapat, tak pernah mereka masuki selama ibu masih hidup. Ibu selalu melarang mereka masuk ke dalam, seolah ada sesuatu yang dirahasiakan di sana. Mereka terlalu tenggelam dalam kesedihan hingga ruangan itu seakan terlupakan, seperti bagian dari kehidupan ibu yang masih menyimpan misteri.

Dengan perasaan yang bercampur antara kesedihan dan rasa penasaran, keduanya kini mengarahkan pandangan ke ruangan yang selama ini menjadi wilayah terlarang. Ruang kerja ibu, tempat yang dulu menjadi tanda tanya, kini seakan memanggil mereka, menyimpan jawaban atas misteri yang mungkin bisa mengubah kehidupan mereka selamanya.

Mereka mulai mengumpulkan foto-foto ibu dengan perasaan yang berat. Setiap gambar seolah memunculkan kembali kenangan yang seharusnya membuat hati hangat, namun kini malah terasa menyakitkan. Wajah ibu di foto-foto itu terasa terlalu berat untuk dilihat, terlalu nyata untuk dihadapi dalam masa duka yang masih segar. 

Saat mereka mencoba membuka pintu, mereka mendapati pintu itu sulit dibuka, seolah terkunci dari dalam. Asmi mendorongnya dengan tenaga penuh, tetapi pintu itu tak kunjung bergeming. Ningrum, yang tak kalah penasaran, segera mengambil alat dari dapur untuk membantu. Setelah beberapa kali percobaan dan dorongan keras, pintu akhirnya terbuka dengan bunyi berderit, mengungkapkan ruangan yang gelap gulita di baliknya. Tapi begitu pintu itu terbuka, sesuatu yang tak mereka duga terjadi.

Asmi dan Ningrum terdiam sejenak, tertegun oleh pemandangan yang tampak di hadapan mereka. Sekilas, sebuah kepulan asap hitam menyeruak dari balik pintu, terbang tanpa arah seperti makhluk yang baru saja meraih kebebasan. Asmi mengerutkan dahi, berusaha memahami apa yang baru saja ia lihat, tetapi sebelum sempat berkata apa-apa, Ningrum sudah meraih saklar lampu, tangannya meraba-raba dinding dalam kegelapan.

"Mana saklarnya, Teh?" Ningrum bergumam cemas. Tangannya terus mencari, menjalar di sepanjang dinding yang dingin, hingga tiba-tiba... sentuhan asing dan dingin menyentuh tangan Ningrum. Ia tersentak, hampir menjerit, "Teh!" Ningrum langsung menarik tangannya, wajahnya pucat.

"Apaan sih, Rum? Bikin kaget aja!" Asmi hampir melompat karena teriakan adiknya, jantungnya berdegup kencang. "Nyalain lampu aja dulu!"

"Tadi ada... ada..." Ningrum menelan kata-katanya, merasa ada sesuatu yang menyentuh tangannya. Ia urungkan untuk memberi tahu kakaknya. Dengan cepat ia menekan saklar lampu, dan ruangan itu tiba-tiba terpapar cahaya. Tapi apa yang tampak di hadapan mereka membuat mereka sama-sama terdiam, nyaris tak bisa bernapas.

Ruangan kerja ibu mereka tidak seperti yang mereka bayangkan. Bukan meja kerja dengan tumpukan kertas atau komputer yang mereka harapkan. Sebaliknya, ruangan itu lebih mirip sebuah altar. Di sudut-sudut ruangan terdapat lilin-lilin yang sudah lama padam, dengan sisa-sisa lilin yang meleleh mengering di lantai. Taburan bunga tujuh rupa yang sudah layu dan mengering tersebar di atas meja. Di tengah ruangan, tampak benda-benda kuno—sebuah keris kecil, sesajen yang sudah lama mengering, dan yang paling mencolok: sebuah tengkorak manusia yang diletakkan dengan hati-hati di atas sebuah altar kayu kecil. Bau lembap bercampur dengan aroma yang menusuk hidung mereka, seakan-akan ruangan itu telah lama ditinggalkan dalam gelap.

Asmi terdiam, matanya membelalak menatap semua benda-benda itu. "Ini... jadi, ini pekerjaan ibu?" suaranya hampir tak terdengar. Ningrum menutup mulutnya dengan tangan, gemetar melihat pemandangan yang tak pernah ia bayangkan.

Ibu mereka, yang selalu mendorong mereka untuk rajin shalat di masjid, yang mengajarkan mereka mengaji sejak kecil, bahkan bapak dan ibu mereka adalah cerminan dari pasangan yang taat pada agama. Kini, ibu seolah menjadi sosok yang berbeda di mata mereka. Ruangan ini menyimpan rahasia kelam yang tak pernah terlintas dalam benak mereka. Kalau bapak masih hidup, mungkin ibu mereka tidak akan melakukan hal seperti ini.

Ningrum terduduk lemas di lantai, matanya masih terpaku pada altar tersebut, sementara pikirannya berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Apa yang ibu mereka sembunyikan? Bagaimana bisa wanita yang selalu menekankan pentingnya agama, ternyata terlibat dalam sesuatu yang begitu gelap dan asing bagi mereka?

Saat Ningrum melirik ke arah Asmi, ia melihat kakaknya duduk dengan lesu. Rambut panjang Asmi menjuntai menutupi wajahnya, menciptakan bayangan aneh di wajah yang biasanya tenang. Ningrum memiringkan kepalanya, bingung dengan perubahan sikap kakaknya. “Teh?” Ningrum bertanya dengan suara pelan, berharap mendapat jawaban. Namun, alih-alih merespon dengan kata-kata, Asmi justru terkekeh pelan—tertawa tanpa alasan yang jelas.

"Teh, kenapa?" Ningrum mencoba mendekat, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran. Namun sebelum ia bisa mendekat, Asmi tiba-tiba berlari meninggalkan ruangan, tawanya semakin keras, bergema di seluruh rumah.

"Teteh?!" Ningrum memanggilnya, terkejut dengan sikap ganjil kakaknya. Ia bangkit dari duduknya, mengejar Asmi yang sudah hilang dari pandangan. Kakinya melangkah cepat ke dapur, lalu ke kamar Asmi, dan bahkan ke kamar mandi. Tetapi tak ada tanda-tanda kakaknya di sana. Hatinya mulai dipenuhi kecemasan. "Teteh!?" Suara Ningrum memecah keheningan rumah yang tiba-tiba terasa begitu mencekam.

Lalu, terdengarlah lagi suara itu—suara tawa Asmi, tidak jauh dari belakangnya. Ningrum berbalik, dan apa yang ia lihat membuat darahnya membeku. Asmi, kakaknya, ada di sana—tapi tidak berdiri di lantai seperti biasanya. Ia berada di sudut ruangan, dua meter dari lantai, menempel di dinding seperti cicak. Tangan dan kakinya mencengkeram tembok dengan kekuatan yang tidak wajar, wajahnya tersenyum lebar dengan tatapan yang kosong dan aneh.

"Astagfirullah, Teteh?!" Ningrum terbelalak, ngeri melihat posisi kakaknya yang tidak masuk akal. Asmi hanya terkekeh sebagai jawaban, tertawanya semakin nyaring, menciptakan aura kegilaan yang tak tertahankan. Sesuatu dalam diri Ningrum segera memahami bahwa ini bukan Asmi yang ia kenal. Ini bukan kakaknya yang selalu menenangkannya ketika mereka sedang kesusahan.

Ningrum mundur perlahan, tubuhnya gemetar, namun ingatan akan doa dan ayat-ayat suci segera merasuki pikirannya. Dengan suara yang bergetar, ia mulai melafalkan ayat-ayat Al-Qur'an yang ia ingat, berharap bisa mengusir kegelapan yang merasuki tubuh kakaknya. Namun, mendengar lantunan doa itu, Asmi justru merespons dengan kemarahan yang luar biasa. Wajahnya berubah bengis, tawanya berubah menjadi teriakan marah.

"Berhenti!" teriak Asmi dengan suara yang penuh kebencian, sebelum tiba-tiba ia melompat ke arah Ningrum. Tubuh Asmi yang beringas menabrak tubuh Ningrum, menjatuhkan mereka berdua ke lantai dengan keras. Ningrum terhantam dan menjerit saat tubuh kakaknya menindihnya. Matanya terbuka lebar, melihat wajah Asmi yang sekarang dipenuhi oleh kebencian dan kegilaan.

"Sadar, Teh! Ini aku, Ningrum!" teriak Ningrum dengan napas tersengal, mencoba membangunkan kakaknya dari cengkraman kekuatan jahat yang menguasainya. Tapi Asmi tak menghiraukan teriakannya, malah tertawa terbahak-bahak, seolah-olah kekacauan ini memberinya kenikmatan.

Dan kemudian, hal yang paling mengerikan terjadi. Di depan mata Ningrum yang membeku dalam ketakutan, Asmi mulai merobek perutnya sendiri dengan kukunya yang kini tampak tajam seperti pisau bedah. "Teh, jangan!" teriak Ningrum, suaranya pecah oleh horor yang tak terbayangkan. Namun, Asmi tak berhenti. Dengan tangan-tangan berlumuran darah, ia merobek lebih dalam, membuka kulit dan daging perutnya hingga darah segar menyembur, membasahi wajah mereka berdua.

Ningrum berteriak histeris, tercekik oleh bau besi dari darah yang tumpah dan pemandangan organ-organ Asmi yang mulai keluar dari tempatnya. Paru-paru, usus, dan hati tumpah ke lantai, dan di tengah tawa gilanya, Asmi seolah-olah menikmati penyiksaan itu. Tawanya semakin keras, semakin lebar, hingga suaranya berubah menjadi sesuatu yang tak manusiawi.

Ningrum, yang tak lagi sanggup menahan teror itu, berteriak sekali lagi sebelum akhirnya jatuh pingsan. Pandangannya kabur, suara tawa Asmi yang mengerikan menjadi hal terakhir yang ia dengar sebelum segalanya berubah gelap.

 

 

"Rum? Ningrum?" Suara Asmi terdengar pelan, seraya menampar lembut pipi adiknya. Tangan Asmi terasa sedikit lengket, mungkin karena darah yang mengering. Ningrum tersentak sadar, membuka matanya dengan napas yang terengah-engah. Di hadapannya, Asmi terlihat sehat dan bugar, tanpa ada tanda-tanda robekan atau luka di perutnya. Namun, darah masih menodai tubuh dan bajunya. Lantai di sekitar mereka dipenuhi sisa-sisa darah, usus, dan organ-organ yang sebelumnya terlempar dari tubuh Asmi.

Ningrum tidak bisa berpikir jernih. Baginya, semua hal yang terjadi di malam itu sudah terlalu aneh, terlalu mengerikan untuk dipahami. Tanpa berkata sepatah kata pun, Ningrum dengan histeris meraih tubuh kakaknya, memeluknya erat seolah-olah takut kehilangan.

Sejak kejadian itu, semuanya berubah. Asmi sering kali kesurupan di hadapan Ningrum, dan setiap kali itu terjadi, selalu berakhir dengan adegan yang sama—Asmi merobek perutnya sendiri hingga darah mengucur deras, meninggalkan tubuhnya dalam keadaan berantakan. Tak terhitung sudah berapa kali Ningrum menyaksikan kakaknya itu melakukan hal yang tak masuk akal, dan setiap kali itu pula, Ningrum merasa lebih terjebak dalam kengerian yang tak berkesudahan.

"Teteh harus segera mencari pertolongan," Ningrum memohon dengan suara yang bergetar. Sudah berkali-kali ia menyarankan kakaknya untuk menemui seorang ustaz atau kyai, seseorang yang bisa membantu mengusir entitas jahat yang mengganggu Asmi. Sejak mereka membuka ruang kerja ibu mereka, semuanya terasa semakin kacau. Ada sesuatu yang keluar dari sana, sesuatu yang Ningrum yakini telah merasuki kakaknya.

"Memangnya kita mau ke mana?" Asmi menjawab dengan nada skeptis, suaranya terdengar sinis dan dingin. "Teteh kan baik-baik saja. Kamu yang terlalu lebay, Rum."

"Baik-baik saja bagaimana? Teteh sendiri lihat perut Teteh berlubang! Usus Teteh keluar semua!" Ningrum hampir berteriak, frustrasi dengan penyangkalan Asmi. Di lain waktu, saat kesurupan itu berakhir dan kesadaran Asmi kembali, mereka berdua sama-sama melihat pemandangan yang mengerikan—perut Asmi yang berlubang, usus dan jeroan yang terurai di lantai. Hanya setelah itu, mereka berdua pingsan, terperangkap dalam trauma.

Asmi terdiam sejenak, menatap wajah adiknya yang sudah terlalu sering memohon. Rasa lelah terlihat jelas di wajah Ningrum—matanya merah, bibirnya gemetar, tubuhnya ringkih karena malam-malam tanpa tidur. Ada bagian dari diri Asmi yang ingin percaya bahwa semuanya baik-baik saja, bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang bisa diabaikan. Tapi, ia sendiri sudah merasakan luka yang tak masuk akal itu, merasakan ususnya keluar dan darah yang tumpah ke mana-mana. Bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan semua itu?

Ningrum menatap kakaknya dengan mata penuh harap. "Tolong, Teh... kita harus mencari pertolongan. Sebelum semuanya menjadi lebih buruk."

Akhirnya, setelah beberapa saat lamanya, Asmi mengangguk pelan. Ada kelelahan dan kebingungan dalam wajahnya. "Baiklah, Rum... Kita akan cari bantuan. Tapi janji, jangan bilang siapa-siapa tentang ini."

Ningrum menghela napas lega, meski hatinya masih penuh ketakutan. Mereka mungkin belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi setidaknya kini ada harapan kecil untuk menemukan jawaban atas segala kengerian yang mereka hadapi.

Setelah berbagai pencarian yang melelahkan, pergi dari satu ustaz ke ustaz yang lain tanpa hasil, mereka bahkan mencoba ke dukun yang katanya ustaz, atau ustaz yang katanya dukun, Ningrum dan Asmi tidak peduli asal semuanya bisa selesai dengan baik. Bahkan dalam pencariannya itu, beberapa kali mereka tertipu oleh dukun gadungan yang hanya mengincar uang. Namun, Ningrum dan Asmi akhirnya sampai di tempat yang menjadi harapan terakhir mereka. Di sebuah pesantren di pinggiran kota, mereka mendengar nama Kyai yang amat dihormati oleh masyarakat setempat—Abah Mulyono. Sosoknya dikenal bukan hanya karena ilmunya yang mendalam, tetapi juga kedermawanannya, kesabaran, dan kemampuannya dalam mengayomi para santri.

Rumah Abah Mulyono terletak di pinggiran pesantren yang ia urus sendiri. Rumahnya sederhana, dengan pagar bambu yang sudah berumur namun tetap kokoh, dikelilingi oleh kebun yang penuh dengan pepohonan hijau. Udara di sana terasa tenang, berbeda jauh dengan hiruk-pikuk yang Ningrum dan Asmi alami belakangan ini. Begitu mereka tiba, seorang pemuda menyambut mereka di beranda. Pemuda itu mungkin lebih tua dari mereka. Wajahnya bersih, sarungnya terlipat rapi, terlihat seperti seseorang yang selalu memperhatikan setiap detail.

"Tunggu dulu ya, Abah Mulyono nanti akan datang," ujar pemuda itu dengan senyum sopan. “Oh iya, saya Ahmad, asistennya Abah Mulyono,” tambahnya, memperkenalkan diri. Suaranya tenang, namun ada kesan hati-hati dalam caranya berbicara. "Ayo, silakan dijamu," lanjutnya dengan basa-basi, mengarahkan mereka ke ruang tamu yang sederhana tapi nyaman. Asmi dan Ningrum saling berpandangan canggung, lalu duduk di kursi bambu yang berderet rapi.

Setelah beberapa saat, Ahmad, yang tampaknya sangat menjaga etika sebagai seorang santri, berkata lagi dengan senyum ramah, "Mohon maaf, Teteh sekalian, di sini, jika tuan rumah sudah mempersilakan menjamu, biasanya tamu harus langsung mencicipi. Sudah menjadi tradisi di pesantren ini." Ia terlihat sedikit canggung, seperti berusaha keras agar tidak terlalu lama menatap dua perempuan muda yang duduk di depannya.

“Aduh!!! Panas! Panas!” teriak Asmi, tiba-tiba melepaskan cangkir teh yang dipegangnya. Bukan panas biasa seperti saat seseorang menyesap minuman yang terlalu hangat, tapi Asmi bereaksi seolah menelan cairan lava yang membara. Bibirnya tampak memerah, bahkan berasap, dan mulai melepuh seolah terbakar dari dalam. Ningrum yang duduk di sebelahnya, terkejut bukan main.

"Astagfirullah, tiup dulu atuh, Teh!" seru Ningrum panik, meraih beberapa lembar tisu dari meja untuk menyeka tumpahan teh di tubuh Asmi. Teh itu telah membasahi sebagian baju Asmi, namun tidak ada tanda-tanda luka bakar di kulitnya. Asmi hanya kepanasan. Hanya bibir Asmi yang tampak seperti habis terbakar, merah, melepuh, dan menggigil akibat rasa panas yang menyengat.

Dengan cepat, Ningrum mengambil cangkir teh yang tadi diminum oleh Asmi, berharap menemukan sesuatu yang ganjil. Tangannya gemetar saat menyentuh cangkir itu. Anehnya, teh di dalam cangkir itu sama sekali tidak panas. Cangkirnya pun terasa biasa saja, tidak ada rasa hangat, apalagi panas. Ningrum memandang Ahmad yang duduk di seberang meja, tatapannya penuh kebingungan dan ketakutan, seolah memohon penjelasan dari pemuda yang menjaga pandangannya itu.

Ahmad hanya menghela napas panjang. Wajahnya tampak tenang, tapi jelas terlihat ada beban yang disimpannya. Seakan tahu apa yang ada di pikiran Ningrum, Ahmad berkata dengan lembut, “Nanti biar Abah Mulyono saja yang menjelaskan.” 

 

 

Setelah beberapa saat mereka menunggu Abah Mulyono, Ahmad merasa ada satu hal yang lebih dulu harus ia sampaikan, “Oh iya, kalian masih sering ke makam Kang Danil, kan?” wajah Asmi dan Ningrum nampak bingung. Kenapa pemuda ini bisa mengetahui tentang bapak mereka? Ahmad yang melihat wajah kebingungan Asmi dan Ningrum terkekeh sesaat. “Kang Danil itu senior saya di pondok ini. Dia itu dulu tangan kanannya Abah Mulyono, deket banget sampai-sampai sudah dianggap anak sendiri. Kang Danil itu orangnya baik, saya ga pernah lepas hormat sama beliau,” Ahmad tersenyum mengenang seniornya. “Punten Teh, kalau bisa mah, sering-sering ke makam Kang Danil. Cabutin rumputnya yang meninggi, elap batu nisannya dari debu,” Ahmad hanya tersenyum ramah, berusaha untuk tidak menggurui. 

Beberapa saat kemudian, saat Asmi mulai merasa bibirnya membaik—meskipun rasa panas yang luar biasa tadi masih tersisa—suara langkah kaki terdengar dari luar. Ahmad segera berlari kecil menuju pintu, meninggalkan Ningrum dan Asmi dalam keheningan yang penuh ketegangan. Ketika pintu terbuka, terdengarlah percakapan singkat antara Ahmad dan Abah Mulyono, yang diikuti oleh langkah-langkah pelan memasuki ruangan. Suasana mendadak menjadi hening ketika sosok Abah Mulyono muncul, menebarkan aura kebijaksanaan yang kuat.

“Assalamu'alaikum,” suara Abah Mulyono terdengar lembut namun penuh wibawa. Ningrum dan Asmi segera menjawab salamnya dengan serempak, “Wa’alaikumsalam.”

Abah Mulyono adalah pria berusia sekitar enam puluh tahun, tetapi tubuhnya masih terlihat tegap dan kuat. Jambang putih yang rapi menghiasi wajahnya, dengan beberapa helai rambut hitam yang masih tersisa di kumisnya. Peci putih yang ia kenakan menutupi sebagian rambutnya yang mulai menipis. Wajahnya memancarkan keteduhan yang luar biasa—sebuah kedamaian yang membuat siapa pun di hadapannya merasa aman dan dilindungi. Ada sesuatu tentang kehadirannya yang membuat Ningrum dan Asmi merasa seolah semua masalah yang mereka bawa ke sini akan segera menemukan jawabannya.

Saat Abah Mulyono mendekat, Ningrum dan Asmi segera hendak bangkit untuk menyalami beliau, namun Abah Mulyono lebih dulu mengulurkan tangannya dari jauh, seolah memberi isyarat bahwa tidak perlu formalitas berlebihan. “Tidak usah repot-repot, duduk saja,” ujarnya sambil tersenyum ramah. Ningrum dan Asmi pun mengangguk dan kembali duduk, meskipun hati mereka masih penuh tanda tanya yang belum terjawab.

“Si Kakak, yaitu Teh Asmi, bibirnya terbakar setelah minum teh,” ujar Ahmad sambil sedikit gelisah. Nada bicaranya terdengar was-was. Abah Mulyono yang duduk di hadapan mereka segera menghentikan kegiatannya dan menatap Asmi dengan mata yang penuh perhitungan.

“Astagfirullah,” gumam Abah Mulyono pelan, tetapi wajahnya tak bisa menyembunyikan ketidaknyamanan yang mendalam. Tatapannya menyelidik, penuh rasa prihatin, membuat Asmi merasa kecil dan gelisah di hadapan pria tua yang bijaksana ini. Asmi mengalihkan pandangannya, merasa seperti ada sesuatu yang salah dengan dirinya.

Dengan tarikan napas yang berat, Abah Mulyono mengusap wajahnya, seolah sudah terbiasa menangani kasus-kasus serupa. Teh yang diminum Asmi bukanlah sembarang teh. Di pesantren, teh itu dibuat khusus dan telah didoakan oleh para santri dan ustaz. Bukan hanya sebagai jamuan biasa, teh tersebut berfungsi sebagai semacam "penguji" bagi siapa saja yang masuk ke dalam lingkup pesantren. Jika seseorang yang meminumnya ditempeli makhluk halus, disantet, atau berada dalam pengaruh hal-hal gaib yang sifatnya negatif, mereka akan merasakan panas luar biasa di bibirnya, bahkan sampai melepuh seperti yang dialami Asmi.

“Tapi Teh Ningrum mah enggak,” sahut Ahmad lagi, suaranya pelan namun jelas. Matanya berpindah antara Abah Mulyono dan Ningrum, berharap penjelasan lebih lanjut. Abah Mulyono mengangguk pelan, matanya tak lepas dari Asmi, kini dengan tatapan yang lebih dalam dan penuh rasa iba. Dia tahu, apa yang terjadi pada Asmi bukan kesalahan mereka, tapi ada sesuatu yang lebih besar dan gelap yang sedang mengikutinya.

“Kakakmu ini,” Abah Mulyono berbicara dengan nada yang lebih serius, sambil menatap Ningrum lekat-lekat, “sudah ditunjuk untuk menjadi pengurus peliharaan ibumu.”

Kata-kata itu menghantam Ningrum seperti badai. Ia menatap Abah Mulyono dengan mata yang membulat, tidak percaya. Asmi, yang dari tadi sudah merasa tak nyaman, semakin merasa tubuhnya lemas. Seolah sosok tak kasat mata yang selama ini mengikutinya, tiba-tiba terasa begitu nyata di hadapan mereka. Abah Mulyono menggerakkan tangannya perlahan, memijat pelipisnya, tanda kelelahan dan ketegangan yang tersimpan.

Sosok itu, yang bahkan sejak tadi menunggu di luar wilayah pesantren, tetap berada di dekat mereka. Abah Mulyono bisa merasakannya. Meskipun ia tahu sosok itu tidak akan berani masuk ke area pesantren yang suci, namun kehadirannya tetap jelas terasa—sebuah bayangan gelap yang bersembunyi di balik dunia gaib, menunggu untuk dipanggil kembali.

“Peliharaan apa, Bah?” Ningrum akhirnya bertanya, suaranya bergetar. Meskipun ia sudah menduga ada sesuatu yang tidak beres, mendengar kata ‘peliharaan’ dari mulut seorang Kyai besar seperti Abah Mulyono membuatnya merasa ngeri.

Abah Mulyono menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Ibumu memelihara makhluk di rumah kalian. Dia selalu memberinya makan dengan cara tertentu, melalui ritual-ritual yang tidak seharusnya dilakukan."

Raut wajah Abah Mulyono yang biasanya tenang, kini menunjukkan kegeraman. Jelas bahwa dia tidak menyukai hal semacam ini, hal-hal yang membuat manusia terjerumus ke dalam keserakahan dan kegelapan. Ahmad, yang berdiri di sampingnya, menghela napas pelan. Dia sudah sering mendengar kemarahan Abah Mulyono terhadap praktik-praktik semacam ini—praktik yang hanya menimbulkan kesengsaraan bagi pelakunya dan orang-orang di sekitarnya.

“Maksudnya pesugihan? Tapi kami miskin, Bah. Kami punya banyak hutang,” kata Ningrum terbata-bata, matanya dipenuhi rasa tak percaya. Bagaimana mungkin ibu mereka, yang selama ini mereka pikir hanya seorang perempuan sederhana, terlibat dalam sesuatu yang kelam seperti itu? Dan jika benar ibu mereka melakukan pesugihan, mengapa mereka tetap hidup dalam kemiskinan?

“Bukan, ini bukan sekadar pesugihan biasa,” ujar Abah Mulyono dengan nada lebih rendah, namun penuh penekanan. “Ibu kalian memelihara makhluk yang sudah ada sejak lama, entah berapa ratus tahun umurnya.” Abah menghela napas dalam, menatap Ningrum dan Asmi dengan sorot mata penuh perhatian.

“Ibumu mungkin memeliharanya sebagai pegangan hidup. Biasanya, untuk keselamatan dan perlindungan diri. Bisa juga untuk membantu melancarkan usaha atau mencari uang. Ini mirip pesugihan, tapi dengan perbedaan yang cukup mengerikan. Mereka tidak terikat pada transaksi tumbal seperti pesugihan kebanyakan. Lebih berbahaya, mereka akan setia tanpa syarat khusus. Mereka hanya ingin dipelihara, diberi tempat. Tapi tetap saja, hal seperti ini jelas musyrik. Bergantung pada kekuatan selain Allah adalah tindakan yang mengingkari-Nya, kalian tentu tahu itu.”

Abah Mulyono menggenggam tangannya kuat-kuat, menahan amarah yang tersimpan di dalam. Matanya menyiratkan keteguhan, namun wajahnya tetap terjaga tenang, penuh wibawa. Ketika ia berbicara soal kemusyrikan, suaranya bergetar sedikit, seolah kata-kata itu berat untuk diucapkan. Ia selalu benci melihat manusia yang tergelincir dalam kegelapan dengan memilih bersekutu dengan setan demi dunia yang fana.

Asmi yang sejak tadi terdiam, akhirnya memberanikan diri bertanya meski suaranya terdengar pelan, “Bagaimana Abah bisa tahu tentang ini?”

Ningrum menyikut pelan lengan kakaknya, merasa pertanyaan itu mungkin kurang sopan. Tapi Abah Mulyono justru terkekeh ringan, mengusir sejenak ketegangan di udara.

“Yah, karena sedari tadi makhluk itu menunggu di luar,” jawab Abah dengan nada ringan, seolah yang ia bicarakan hanyalah hal biasa. Namun kata-kata itu membawa hawa dingin yang langsung menusuk ke tulang Asmi dan Ningrum. Seolah bayangan hitam yang tak terlihat di luar sana, kini terasa begitu nyata dan mengerikan.

Ningrum, yang dari tadi sudah berusaha menahan tangis, akhirnya tak bisa lagi menahan perasaannya. Suaranya bergetar ketika ia bertanya, “Kalau ibu kami punya peliharaan yang menjaganya... kenapa ibu harus mati dalam kecelakaan itu, Bah?” Pertanyaan itu terucap seperti jeritan hati yang menyakitkan, dan seketika air mata membasahi pipinya. Bagaimana mungkin makhluk yang seharusnya menjaga justru membiarkan ibunya mati dengan cara tragis seperti itu?

Abah Mulyono mengangkat alis sesaat, lalu menghela napas panjang. Wajahnya menunduk sejenak, mempertimbangkan kata-kata yang tepat. "Sebenarnya, daripada menjaga, makhluk itu lebih menyerap energi kehidupan. Saat ia sudah merasa mengambil semua energi kehidupan, ia akan membuangnya. Begitu juga seperti kamu yang bosan dengan handphone keluaran lama, mereka pun bisa merasa butuh ‘barang baru.’” Jawabannya terdengar getir dan menyedihkan, namun penuh dengan kenyataan yang dingin.

Rasa kehilangan dan duka itu semakin dalam, bercampur dengan kebingungan dan ketakutan yang menghantui Ningrum. Bagaimana mungkin sesuatu yang telah dipercayakan untuk melindungi, akhirnya berkhianat tanpa belas kasihan?

“Kalau begitu... tolong usir dia, Bah!” suara Ningrum memecah kesunyian ruangan. Kini, nada suaranya tak lagi tertahan. Ada sedikit rasa depresi dalam setiap kata-katanya. "Saya sudah tidak tahan! Dia sering mengganggu Teh Asmi! Setiap malam, Teh Asmi merasa seperti diawasi. Kadang ada suara-suara aneh di kamarnya, pintu terbuka sendiri, bahkan badan Teh Asmi terasa berat setiap kali tidur. Kami sudah tidak tahan."

“Kamu datang ke sini karena diganggu oleh dia. Dan dia mengganggumu karena sudah lama tidak ada yang mengurusnya. Dia ingin diurus oleh kamu, Asmi. Dia ingin kembali mendapatkan perhatian, ingin diberi makan, ingin dirawat seperti dulu. Kamu harus melakukan ritual untuk menenangkannya, dan bukan hanya sekali, tapi terus-menerus. Ini bukan urusan sementara. Kamu harus siap mewariskannya ke anak cucumu, karena mereka yang akan melanjutkan beban ini. Sama seperti memelihara binatang, peliharaan seperti ini juga perlu dirawat,” Abah Mulyono berbicara dengan tenang, seolah apa yang ia sampaikan adalah bagian dari rutinitas yang biasa.

“Ritual?” Ningrum memutar otaknya, mencoba mencerna kata-kata itu. Hatinya berontak. Ia tahu bahwa jalan yang diusulkan Abah itu penuh dengan kegelapan. Dengan suara penuh kemarahan, Ningrum berseru, “Tapi itu kan musyrik, Bah!” Nadanya naik, rasa ngeri menyelimuti setiap katanya.

Abah Mulyono tersenyum tipis, matanya beralih ke Ningrum yang menatapnya penuh kebingungan dan kengerian. “Tepat sekali! Itu memang musyrik. Bergantung pada makhluk lain selain Allah adalah sebuah pengkhianatan terhadap iman kalian. Tapi pilihan ada di tangan kalian, terutama Asmi. Kalian bisa mengusirnya—dan saya bisa bantu. Atau kalian bisa memilih untuk tetap mengurusnya, tapi jangan pernah libatkan saya lagi dalam urusan ini. Jika pilihan kedua yang kalian ambil, anggap saja malam ini tidak pernah terjadi, dan kita tidak pernah bertemu.”

Abah Mulyono menatap mereka berdua dengan tenang, seolah memberikan waktu bagi mereka untuk berpikir. Mata Ningrum beralih dari wajah bijak sang kyai ke kakaknya, Asmi, yang terlihat gamang. Di wajah kakaknya ada kilatan yang Ningrum kenal baik—keragu-raguan yang tidak berani dia ucapkan. Asmi menggigit bibirnya, pandangannya menerawang, memikirkan segala kemungkinan yang tiba-tiba menjelma dalam benaknya.

 

“M⸻memangnya apa yang akan terjadi jika saya mengurus dia?” tanya Asmi akhirnya, suaranya pelan namun penuh ketakutan. Pertanyaan itu menggema dalam ruangan, mengubah atmosfir menjadi semakin berat. Ahmad, yang sedari tadi diam, melirik sekilas ke arah Asmi. Ia dan Abah Mulyono tidak terkejut mendengar pertanyaan itu. Mereka sudah sering berhadapan dengan manusia yang tergoda oleh janji-janji manis makhluk gaib, meskipun dengan risiko besar yang mengikutinya. Mereka telah berkali-kali melihat manusia terjebak oleh keserakahan, bahkan rela bersekutu dengan setan demi keinginan yang sulit tercapai dengan cara-cara biasa.

Mata Ningrum terbelalak, hatinya terasa semakin sakit melihat kakaknya tampak goyah. Ia menolak kenyataan ini. Tangan Ningrum gemetar, ia tak mampu menahan dirinya lagi. “Teh, apa-apaan sih, teh?! Teteh mau mengurus makhluk itu seperti ibu? Teteh tahu itu musyrik, kan? Teteh mau mengikuti jejak ibu yang sudah jelas salah?”

Tetesan air mata menggenang di sudut mata Ningrum. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya bisa mempertimbangkan hal seperti itu. Kenapa Asmi tidak langsung menolak, tidak seperti dirinya yang tegas menentang?

“Jangan dengarkan Teteh, Bah!” seru Ningrum, nadanya memohon. “Usir saja dia secepatnya! Kami tidak mau hidup seperti ini lagi!”

Namun Asmi tidak segera menjawab. Hatinya berperang hebat, di satu sisi ia tahu apa yang benar. Tapi di sisi lain, godaan itu terasa begitu kuat. Makhluk itu mungkin bisa membantunya. Hidup mereka begitu sulit, hutang menumpuk, dan kehidupan yang mereka jalani serasa penuh dengan penderitaan sejak ibunya meninggal. Sementara, bayangan hidup yang lebih mudah dan lebih terjamin mulai bermain-main di benaknya. Andai saja ia menerima tawaran makhluk itu, mungkin banyak hal akan berubah.

Abah Mulyono memperhatikan Asmi dengan tatapan dalam. “Asmi, apa yang kamu pikirkan itu adalah pilihan yang bisa mengubah seluruh hidupmu. Kamu harus paham betul risikonya. Ya, makhluk itu mungkin akan membantumu dalam banyak hal. Kamu bisa mendapatkan kemudahan, tapi ada harga yang lebih besar yang harus dibayar. Jangan mengira kamu bisa bebas dari konsekuensi hanya karena mereka tidak meminta tumbal. Makhluk seperti itu tidak pernah memberi cuma-cuma.” Asmi tergagap ketika mendengar seolah Abah membaca pikirannya.

Ahmad ikut menundukkan kepala, berat dengan pikiran tentang apa yang mungkin terjadi jika Asmi memilih jalan itu. “Sekali kamu memutuskan untuk tetap memeliharanya, Asmi,” Ahmad berkata pelan namun tegas, “kamu sudah terikat seumur hidup. Dan bukan hanya kamu, tetapi juga anak-anakmu nanti. Mereka harus ikut menanggung akibatnya.”

Asmi terdiam, hatinya semakin bergelut dalam keputusan besar yang harus ia ambil. Namun Ningrum, yang tidak bisa lagi menahan emosinya, menggenggam tangan kakaknya kuat-kuat. “Teh, tolong... tolong jangan lakukan ini. Kita bisa menghadapinya tanpa bantuan dari makhluk itu. Kita sudah bertahan selama ini, kenapa sekarang mau menyerah?”

“Usir saja dia, Bah!” Ningrum berteriak parau kala kakaknya hanya diam. 

“Itu semua tergantung pada yang bersangkutan. Saya, kamu, ataupun Ahmad tidak bisa memaksa, tidak bisa ikut campur dalam keputusan mereka. Mau berapa kali pun makhluk itu diusir, kalau orang yang berurusan dengannya masih menyimpan keinginan untuk memiliki, dia akan terus kembali. Bahkan jika kita memanggil seluruh kyai di tanah Jawa dan mengurungnya di penjara gaib yang paling dalam, dia akan tetap bisa lepas, entah bagaimana caranya. Mereka menyebutnya sebagai bentuk kesetiaan pada majikannya. Seperti kucing yang selalu ingat jalan pulang, seberapa jauh pun dia pergi."

Kata-kata Abah Mulyono menggantung di udara, menciptakan jeda yang mencekam di antara mereka. Ningrum menatap Abah dengan tatapan penuh permohonan, berharap sang kyai bisa memberikan jawaban yang lebih pasti, yang bisa membebaskan keluarganya dari kegelapan ini. Tapi Abah Mulyono hanya menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Jika Asmi ingin memeliharanya, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Menceramahi seseorang yang sudah yakin dengan pilihannya adalah sia-sia, percuma. Saya selalu meyakini itu. Tapi izinkan saya mengingatkan kalian satu hal: tidak ada yang baik dari tawaran mereka. Seberapapun menggiurkannya, sebesar apapun janjinya, apa yang mereka tawarkan tidak pernah membawa kebaikan. Semoga itu bisa menjadi bahan pertimbangan kalian."

Setelah memberi salam, Abah Mulyono melangkah pergi dengan tenang, meninggalkan mereka berdua di ruang tamunya yang dingin. Suara kakinya yang masih kokoh dan tegap beradu dengan lantai, seakan menggema di ruangan itu seiring kepergiannya. Hanya Ningrum dan Ahmad yang menjawab salamnya dengan suara lirih, sedangkan Asmi tetap diam, terjebak dalam pikirannya yang bergolak.

 

 

Ningrum menoleh ke kakaknya dengan air mata yang mulai menggenang. "Teh?!"

Asmi menatap adiknya dengan tatapan yang suram, tatapan yang tak lagi menunjukkan keraguan, melainkan kemarahan dan kepedihan yang telah lama terkubur. “Kamu tahu kan, Rum? Kita sedang kesulitan uang. Bapak pergi meninggalkan kita dengan hutang yang menumpuk, dan ibu... ibu pergi dengan meninggalkan solusi ini untuk kita. Inilah alasan kenapa ibu melakukannya! Dulu kita punya banyak sawah, banyak kebun. Tapi karena keserakahan kakak dan adik Bapak, mereka mengambil semua begitu Bapak meninggal! Dan ternyata, Bapak juga meninggalkan hutang di bank!”

Kata-kata Asmi menusuk hati Ningrum seperti belati tajam, menghantamnya dengan kenyataan yang tak ingin diakuinya. Ningrum hanya bisa menggeleng pelan, air matanya mulai mengalir tanpa henti. "Tapi, itu tidak berarti kita harus bersekutu dengan setan, Teh!" suaranya terdengar pecah, hampir tak tertahankan lagi. Tangisnya membuncah, menggema di dalam ruangan itu, menciptakan suara kesedihan yang dalam.

Asmi memalingkan wajahnya, menatap kosong ke arah lantai. "Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kita lakukan, Rum," katanya, suaranya kini lebih tenang namun penuh dengan keputusasaan yang tak terselubung. "Tapi aku akan masuk ke ruang kerja Ibu. Aku akan mencari catatan, petunjuk, atau apapun yang Ibu tinggalkan. Apapun yang bisa kita gunakan untuk mengurus dia, agar hidup kita bisa jadi lebih baik. Seperti dulu, saat ibu masih hidup. Meski Bapak meninggalkan kita dengan hutang dan cicilan rumah, kita masih bisa hidup nyaman! Kita masih bisa bertahan! Itu semua karena Ibu! Dan kini aku akan mengikuti jejak Ibu!”

 

 

Tiap malam Jumat, dengan Ningrum yang dipaksa oleh Asmi, mereka menjalankan ritual layaknya sebuah perjamuan. Awalnya, ritual ini tampak biasa saja, namun perlahan kekayaan dan kesejahteraan mulai menyelimuti kehidupan mereka. Harta benda, kemewahan, dan kenyamanan datang bertubi-tubi, seolah-olah menjadi hadiah dari sesuatu yang tak kasat mata. Ningrum, yang pada awalnya masih merasa canggung dan ragu, perlahan mulai menerima kenyataan tersebut. Ia mulai menikmati kemewahan yang ada di sekitarnya.

Hari demi hari, kekayaan terus menghampiri Ningrum dan Asmi. Mereka berhasil membeli villa yang dulu hanya menjadi impian, merayakan keberhasilan mereka dengan kemegahan yang semakin tak terbendung. Namun, di balik gemerlapnya pesta dan kemewahan, ada harga yang harus dibayar. Mereka semakin menjauh dari iman dan agama, terjebak dalam jeratan nafsu duniawi yang perlahan menggerogoti nurani. Pesta-pesta di villa mewah itu adalah simbol nyata dari kejatuhan moral mereka. Kehidupan mereka tak lagi dibimbing oleh ajaran yang benar, melainkan oleh hasrat untuk terus memelihara persekutuan dengan iblis yang mereka pelihara.

Meskipun begitu, tak satu pun dari mereka yang menunjukkan kesadaran akan dosa. Kekayaan telah membutakan mereka, membuat mereka lupa akan makna sejati kehidupan. Apa yang dulunya terasa salah, kini seolah menjadi biasa. Nilai-nilai agama dan moral kian terkikis, sementara dunia gemerlap terus memikat mereka lebih dalam ke kegelapan yang semakin pekat.

Suatu hari, mereka mengadakan pesta di sebuah villa mewah yang terletak di dekat pegunungan, dihadiri oleh banyak teman dan kerabat. Gelak tawa dan keriangan menghiasi malam itu, seakan tiada beban yang menghantui. Wajah Asmi dan Ningrum tampak ceria tanpa sedikit pun tersirat penyesalan atau rasa bersalah. Tidak ada yang menunjukkan tanda-tanda dosa, meski di dalam hati mereka mungkin menyadari bahwa kesejahteraan yang kini mereka nikmati berasal dari sumber yang kelam, sesuatu yang dilarang oleh Allah.

 

 

Dari kejauhan, Abah sudah mengamati Asmi dan Ningrum selama bertahun-tahun. Tidak dengan terang-terangan, melainkan dalam diam, dari balik bayang-bayang, seolah mencoba memahami arah kehidupan yang telah mereka pilih. Dengan tatapan tajam, Abah melihat mereka semakin larut dalam kenikmatan duniawi. Kehidupan mereka penuh pesta, kemewahan, dan kesenangan—semua berlimpah, namun tak sejati.

"Sudahlah, Abah," suara itu berbisik, menginterupsi lamunannya. "Tidak perlu lagi mengawasi mereka. Mereka tampak bahagia dengan hidup mereka sekarang." Abah Mulyono dan Ahmad tengah berdiri di puncak bukit, memandang langsung pada villa tempat Ningrum dan Asmi tengah berpesta. Sedari tadi mulut mereka tak hentinya mengucap astagfirullah. 

Abah mendesah dalam-dalam. “Sudah saya tunggu bertahun-tahun, berharap ada secercah kesadaran di hati mereka. Tapi saya lupa, mereka hanya manusia biasa, mudah tergoda oleh materi. Mereka jatuh ke dalam kenikmatan semu secepat kilat, seolah berlayar dengan kapal kebahagiaan menuju jurang kehancuran. Ironisnya, mereka tidak menyadari itu."

Suara itu menghela napas pelan, lalu berkata, “Kenapa Abah tidak langsung mengusir makhluk itu saja? Sejak pertemuan pertama Abah dengan mereka, jika saja tidak ada campur tangan makhluk itu, mungkin hidup mereka akan berbeda. Mungkin mereka bisa terlepas dari pengaruh iblis.”

Abah menggelengkan kepala perlahan, matanya tetap tertuju pada villa di kejauhan. “Cepat atau lambat, makhluk itu akan menampakkan diri kepada Asmi. Itulah tipu daya mereka—tak perlu diberitahu, mereka akan menemukan jalannya sendiri untuk menjebak manusia. Hati yang lemah mudah tergoda. Mengusir makhluk itu takkan ada gunanya, seperti mengusir lalat tanpa menutupi makanan. Jika makanan itu tetap dibiarkan terbuka, lalat akan kembali. Begitu juga dengan jiwa yang terbuka pada godaan.”

Kata-kata Abah meresap dalam keheningan, membuat udara di sekitarnya terasa semakin berat. Ahmad berpikir sejenak sebelum bertanya dengan nada penuh kebingungan, “Mengapa manusia bisa serapuh itu terhadap kenikmatan dunia, Abah? Padahal, kita sudah sering diperingatkan tentang akhirat dan neraka. Mengapa kita tetap jatuh ke dalam jebakan yang sama?"

Abah menatap langit yang mulai gelap, menandakan datangnya malam. “Entahlah,” jawabnya pelan, suaranya terdengar seperti berbisik kepada angin. “Mungkin karena kita memang manusia yang mudah lupa. Lupa sekarang hari apa, lupa besok hari apa, dan lupa akan hari pembalasan.”

Dari bukit tempat Abah berdiri, matanya kini beralih menatap ke villa tempat Asmi dan Ningrum tinggal. Di sana, samar-samar, ia bisa merasakan kehadiran makhluk yang selama ini mendampingi mereka. Makhluk itu tak kasat mata bagi orang awam, tapi Abah dapat melihatnya dengan jelas. Wajahnya pucat, rambutnya panjang dan menjuntai liar. Organ tubuhnya tampak tak utuh, berceceran di sana-sini, memberikan kesan mengerikan yang menancap di hati siapa saja yang berani menatapnya.

Makhluk itu balik menatap Abah, tatapannya penuh dendam dan kebencian, seolah mengetahui bahwa Abah menjadi penghalang terakhir yang masih tersisa antara dirinya dan kehancuran total Asmi serta Ningrum. Sementara itu, Asmi dan Ningrum tetap tak sadar, terus menikmati kemewahan tanpa menyadari bahwa setiap langkah mereka kian mendekatkan diri ke jurang kehancuran.

 

 

 

post-image-66ecef0ac8df5.png

support gue dengan baca cerita gue yang berbayar

cek ig gue buat baca cerpen horor!!!

post-image-66ecee508b6d6.png
post-image-66ecee57ea842.png

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 8 Bulan
0
0
Irman menumbalkan anaknya yang masih di dalam kandungan demi mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Di usia kandungan istrinya mencapai delapan bulan, dokter menyatakan anaknya tidak bernyawa dan istrinya dipaksa untuk melahirkan anak yang sudah mati di dalam kandungan itu. Namun, yang tak terduga adalah bahwa anak itu berhasil lahir dengan selamat, ia hidup. Saat Irman bertanya pada dukun, katanya anak itu ada yang merasuki sehingga dia bisa bertahan hidup dan akan membalaskan dendamnya pada Irman dan keluarganya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan