LOVE DELAYED

0
0
Terkunci
Deskripsi

Radith Mahesa Putra adalah gambaran sempurna anak muda manja yang terlalu dimanja oleh hidup. Sebagai cucu pewaris keluarga kaya, Radith menikmati segala kemewahan tanpa memikirkan konsekuensinya. Namun, Eyang Kemala, satu-satunya keluarga yang tersisa, merasa waktunya telah tiba untuk mengajarinya tanggung jawab. Eyang Kemala memberikan ultimatum: Radith harus menikah atau kehilangan semua hak atas warisan, termasuk fasilitas hidupnya.

Di sisi lain, Adisty Ekaputri, seorang gadis yatim piatu berusia...

55,075 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
150
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya BAB 1 Rebutan kursi. Rebutan harga diri.
0
0
Apartemen Southpoint Residences, Tower B. Pukul 06.29 PagiPagi yang terlihat biasa—tapi tidak untuk dua orang penghuni di lantai yang berbeda. Unit 1640 - Qiara …Pagi di Jakarta tidak pernah benar-benar tenang. Bahkan dari lantai 16 Tower B Southpoint Residences, suara klakson samar dan hiruk-pikuk jalan raya sudah menyelinap masuk lewat celah jendela kamar Qiara. Lampu kamarnya masih menyala. Tirai belum terbuka. Dan di tengah kamar yang lebih mirip kapal pecah itu, seorang perempuan sedang panik luar biasa.“Setengah tujuh?” Qiara melirik jam digital yang berkedip galak di nakas tempat tidur. “Gue tidur cuma lima belas menit?”Ponselnya berbunyi—alarm terakhir yang dipasang jam lima empat puluh lima. Alarm itu disetel sebagai “kode merah”. Tapi tetap saja, berhasil dia tekan dalam keadaan setengah sadar dan setengah hidup. Sekarang dia benar-benar telat. Kantor jam delapan. MRT Cipete bisa sepuluh menit dari sini kalau naik ojol. Tapi siap-siapnya?“Qi, lu bisa. Lu pasti bisa,” gumamnya sambil berjingkat ke kamar mandi, rambut awut-awutan dan mata masih separuh terbuka. “Lu cewek tangguh. Bangun telat tuh biasa. Yang penting dandan cepet.”Kamar Qiara tidak pernah steril. Bukan karena jorok—lebih ke karena hidupnya yang selalu serba buru-buru. Lemari pakaian terbuka separuh, isi dalamnya seperti habis diterjang angin puting beliung. Ada tumpukan baju kerja, kemeja putih favorit yang belum disetrika, dan sepatu sneakers yang belum dilap sejak seminggu lalu.“Gue cuma butuh satu baju rapi. Satu. Ayo dong, jangan drama pagi-pagi,” keluhnya sambil menarik kemeja bergaris dan celana bahan warna hitam. Blazer dilempar ke ranjang. Sneakers putih langsung dijambret dari kolong lemari.Satu-satunya yang dia sempatkan adalah menyemprotkan parfum lokal andalannya—dupe dari parfum mewah favoritnya. Wangi yang menurutnya mencerminkan dirinya: tangguh, segar, tapi tetap punya sisi elegan kalau orang mau mencium lebih dekat.“Berangkat,” gumamnya mantap, meski perut belum terisi dan alis belum 100% simetris. Rambut dikuncir seadanya, tas kerja dijinjing asal, dan dia keluar unit dengan langkah setengah berlari menuju lift. Unit 3031 – PenthouseRaihan….Raihan Pratama Park berdiri di depan cermin yang panjangnya hampir dari lantai ke langit-langit. Dindingnya kaca buram dengan pencahayaan hangat. Kamarnya bersih, minimalis, dan elegan—ciri khas seseorang yang tahu persis bagaimana cara mengatur hidup… dan penampilan.Kemeja putih sudah licin disetrika. Blazer abu-abu gelap tergantung di sandaran kursi. Di meja kerjanya, ada tiga pilihan jam tangan, tapi dia hanya mengambil satu—warna hitam, simpel, tidak mencolok, tapi mahal jika dilihat oleh mata yang jeli.Dia menyemprotkan parfum—parfum khas yang jadi ciri dirinya. Tidak terlalu kuat, tapi cukup untuk membuat siapapun di dekatnya sadar: orang ini bukan kaleng-kaleng. Rambut disisir rapi dengan sentuhan gel, dan dia tersenyum tipis pada pantulan dirinya.“Handsome as usual,” ucapnya pelan, dalam Bahasa Inggris yang dibalut logat Korea, lalu mengambil ransel kulitnya yang sudah tertata di sofa.Raihan tidak suka terlambat. Tapi pagi ini sedikit kacau. Mobil pribadinya belum sampai dari Korea, dan dia harus menggunakan taxi online untuk sampai ke stasiun kereta. Pagi ini dimulai dengan hal yang tak biasa bagi Raihan.  Dia keluar dari unit, memasuki lift dengan langkah tenang dan ekspresi netral. Pagi yang harusnya elegan, semoga tetap berjalan sesuai ekspektasi. Lift Tower B, Southpoint Residences – Pukul 06:44 WIBLift berdenting pelan di lantai 16. Qiara melangkah masuk, segera menyesuaikan diri di antara kerumunan. Di dalam, orang-orang sudah memenuhi hampir semua sisi. Seorang ibu dengan dua anak kecil, pegawai kantoran dengan laptop bag tergantung di pundak, seorang satpam yang memegang termos, serta beberapa anak sekolah yang berseragam lengkap.Aroma tubuh manusia pagi hari langsung menyeruak—perpaduan parfum lokal, bekal sarapan, dan sisa keringat yang menempel di jaket. Qiara berdiri diam, merapat ke dinding lift, memeluk tas ranselnya.Dari sudut lift yang lain, Raihan berdiri tenang. Blazer navy-nya rapi, rambut tersisir dengan gel, sepatu sneakers putih bersih, dan ransel kulit tergantung santai di satu pundak. Wajahnya datar, matanya menatap ke depan tanpa ekspresi. Ponsel dalam genggamannya hanya sekadar pegangan, tidak ia buka sama sekali. Tak ada sapaan. Tak ada senyum. Tak ada ketertarikan.Hanya dua orang asing yang kebetulan berdiri dalam kotak logam yang sama, dikelilingi belasan manusia yang juga sedang berjuang melawan waktu.            Lift terus turun, berhenti di beberapa lantai. Semakin lama, semakin sesak. Bau sabun, parfum, dan keringat berpadu dalam ruang sempit itu. Beberapa orang mulai resah, menoleh ke atas untuk memastikan lantai dasar semakin dekat.Begitu lift mencapai lantai lobi, pling!—pintu terbuka, dan seperti gelas tumpah, orang-orang dari berbagai lantai tumpah ruah keluar. Beberapa buru-buru, sebagian masih sibuk merapikan tas kerja atau mengecek notifikasi.       Qiara menyelip cepat ke arah kanan. Sneakers-nya menyentuh lantai lobby marmer yang dingin, langkahnya lincah seperti sudah tahu arah angin. Ia melewati anak sekolah yang berlarian kecil sambil membawa ransel besar, seorang ibu muda dengan stroller, dan dua pegawai kantoran yang sedang berdiskusi soal jadwal meeting pagi ini.Di sisi lain, Raihan melangkah ke arah sebaliknya—ke arah kiri—dengan gaya yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Blazer birunya rapi, rambutnya licin sempurna berkat gel yang mengunci tiap helai pada tempatnya, dan ransel kulit mahalnya menempel di bahu tanpa cela. Langkahnya tenang, teratur, dan sama sekali tidak terburu-buru. Wajahnya datar, tapi kalau diperhatikan lebih dekat, ada garis kesal samar di sudut bibirnya. Mungkin efek dari pagi yang tidak berjalan sesuai rencana.Mereka tidak menoleh. Tidak saling mengenal. Tidak tertarik tahu. Namun langkah mereka ternyata diarahkan oleh satu hal yang sama: waktu. Dan waktu memaksa mereka menuju satu tempat yang sama—Stasiun MRT Lebak Bulus.Di luar lobby, udara Jakarta sudah mulai lengket. Matahari belum tinggi, tapi jalanan sudah penuh. Asap kendaraan, suara klakson, dan aroma pagi kota yang khas menyambut dengan kasar.Qiara buru-buru menghampiri ojek online-nya yang sudah menunggu di tepi jalan. Helm merah disodorkan padanya. Ia memasangnya sambil setengah lari. Jaketnya belum tertutup rapat, dan rambutnya masih acak sedikit karena terburu-buru, tapi dia tidak peduli.“Ke MRT Lebak Bulus ya, Bang. Ngebut dikit boleh.” “Siap, Mbak. Pegangan ya.” Jawab Driver ojol. Dan dalam satu gerakan halus, motor itu melesat masuk ke arus jalan.Beberapa meter dari situ, sebuah mobil online eksklusif berhenti pelan di depan lobby. Tanpa supir berjas. Tanpa basa-basi. Interiornya bersih, beraroma netral. Raihan membuka pintu sendiri, masuk, dan menutupnya dengan elegan. Ia menegakkan duduknya, mengatur ranselnya, lalu membuka notifikasi ponsel dengan ekspresi malas.“Stasiun MRT Lebak Bulus, ya?” tanya sang sopir. Raihan mengangguk. “Iya. Jalan biasa aja. Tapi jangan lambat.”Mobil itu meluncur tenang, melewati trotoar, bergabung ke jalan utama yang padat. Dan di tengah ribuan kendaraan yang berjejal menuju berbagai arah, satu motor dan satu mobil melaju sejajar—menuju stasiun yang sama, di pagi yang sama, di kota yang sama. Belum saling tahu. Belum saling sadar. Tapi takdir sudah menyalakan jamnya. Di tengah keramaian yang mereka anggap biasa, ada satu garis halus yang mulai ditarik pelan oleh semesta. Seolah dunia sedang menyiapkan panggung—penuh hiruk-pikuk, klakson bersahut-sahutan, dan matahari yang belum hangat sepenuhnya—untuk dua orang yang berjalan di jalan masing-masing.Di kota yang terlalu sibuk untuk memperhatikan detail kecil, ada dua orang yang tanpa sadar sedang berjalan dalam ritme yang perlahan menyatu. Pagi masih muda, jalanan belum terlalu padat, tapi semesta sudah lebih dulu bekerja.Tidak ada denting lonceng atau langit berubah warna. Tidak ada sorotan cahaya dramatis. Yang ada hanya dua orang asing—berbagi udara yang sama, langkah kaki yang nyaris berirama, dan arah tujuan yang kebetulan serupa.----Stasiun MRT Lebak Bulus pagi itu seperti pusat semesta kecil yang sibuk—tempat ratusan orang mengawali hari, mengejar waktu, dan berharap hidup tak terlalu telat memberi keberuntungan.Langit Jakarta masih dibungkus biru pucat, tapi panas sudah mulai terasa dari sela-sela bangunan beton. Deretan ojek online parkir rapi di luar gerbang masuk. Suara klakson dan obrolan driver bercampur dengan langkah kaki yang terburu-buru.            Qiara turun dari motor, menyelipkan masker dan menarik napas pendek. Wajahnya masih memerah karena angin, rambutnya sempat berantakan meski sudah dirapikan buru-buru di cermin kecil. Ia menyelipkan ponsel ke dalam tote bag, lalu menepuk-nepuk celana chino krem yang sedikit kusut akibat duduk terlalu lama di jok motor.Sepatu sneakers putihnya sedikit tergores di bagian sisi, tapi tetap nyaman untuk lari-lari kecil kalau diperlukan. Ia merapikan kemeja putih yang masuk ke dalam celana, lalu berjalan cepat ke arah pintu masuk stasiun.Di sisi lain, sebuah mobil hitam berhenti elegan tepat di titik drop-off. Raihan turun dengan langkah ringan tapi mantap. Blazer hitam, sneakers putih bersih, ransel kulit hitam disampirkan di bahu, dan jam tangan mengintip dari balik lengan bajunya yang digulung setengah.Dia tampak tak terganggu keramaian. Tatapannya lurus ke depan, tak tergesa, tapi juga tak sempat memperhatikan siapa pun. Seolah dia sudah menghitung setiap detik yang ia perlukan untuk sampai ke dalam gerbong tepat waktu—dan sialnya, detik itu terlalu mepet.Keduanya masuk lewat pintu yang berbeda. Keduanya tap kartu di gate otomatis tanpa saling tahu. Keduanya melewati eskalator panjang, menyatu bersama puluhan orang lain, tersedot arus manusia yang seragam tapi asing.Di peron bawah tanah, suara kereta mendekat menggema dari kejauhan. Qiara berdiri di sisi kanan, melirik ke arah sisa bangku yang sering jadi rebutan. Raihan berdiri di sisi seberangnya, wajahnya serius, matanya memantau posisi pintu gerbong pertama.Mereka berdiri dalam jarak belasan meter. Tapi dunia mereka belum saling menyapa. Kereta datang. Pintu terbuka. Satu kursi kosong. Dua pasang kaki melangkah hampir bersamaan. Begitu pintu kereta terbuka, gelombang manusia mengalir masuk, membawa serta aroma pagi Jakarta yang belum sepenuhnya bangun. Qiara melangkah cepat, matanya menyapu interior gerbong—dan berhenti pada satu titik: kursi kosong. Sendirian. Tak tersentuh. Seakan sedang menunggu seseorang yang cukup sigap untuk mengklaimnya. Tapi Qiara bukan satu-satunya yang melihatnya. Dari sisi berlawanan, seorang pria juga bergerak menuju kursi yang sama. Langkah mereka hampir bersamaan. Tak sengaja, pandangan mereka bertemu dalam satu detik pendek yang cukup untuk menyadari hal ini: mereka sama-sama ingin menang.Qiara mempercepat langkah. Sepatunya menghantam lantai kereta dengan ritme penuh tekad. Pria itu—dengan setelan kasual rapi dan blazer abu muda yang tampak terlalu bersih untuk pagi sepadat ini—melangkah dengan percaya diri.Mereka tiba hampir bersamaan. Hanya beberapa helai rambut dan satu helaan napas yang membedakan siapa yang lebih dulu.Dan pria itu duduk dengan santainya. Seakan menyatakan kemenangan tanpa kata. Qiara berhenti. Tubuhnya masih menghadap kursi. Tangannya masih menggantung setengah gerakan. Tatapannya datar, tapi nadanya tegas saat ia berkata, “Serius?”Pria itu mendongak. Tatapannya santai. Suaranya tenang. “Apa?”“Gue udah nyampe duluan,” ujar Qiara menunjukan ekspresinya. Penuh kesal, karena sukses paginya dirusak pria sialan di hadapannya. Raihan mengangkat bahu ringan. “Tapi saya yang duduk duluan.” Jawab Raihan santai. Qiara menghela napas, mundur setengah langkah. Tapi alih-alih menyerah, Qiara justru mengayunkan kakinya ke arah kaki pria itu. Bukan tendangan mematikan, tapi cukup keras untuk bikin pria itu tersentak dan mengangkat satu kakinya reflek sambil mengumpat pelan.“Eh, gila—”Tanpa nunggu aba-aba, Qiara langsung duduk. Tegap. Tegas. Penuh kemenangan. Wajahnya datar, tapi sorot matanya jelas-jelas bilang, “Gue menang.”Raihan berdiri, matanya melebar. Bingung, kesal, dan sangat tidak terima. Turun. Itu kursi saya, katanya, suara berat dan nyaris mencakar.Qiara cuma menoleh sedikit. Lalu—dengan senyum paling menyebalkan yang pernah ada—menjulurkan lidah sekilas. Seolah dia baru saja memenangkan kontes nasional ‘Ngeselin Orang Dalam Tiga Detik’.Turun, kata saya, ulangnya, lebih tegas, lebih dingin.Tapi Qiara malah memasang headset. Santai. Menyandarkan punggung. Matanya menatap ke luar jendela dengan wajah seakan dunia sedang mengalir sesuai keinginannya.Raihan mendengus pelan. Wajahnya ditarik ke belakang, lalu dia menghela napas panjang. dalam“Pagi saya rusak,” batinnya. “Pagi saya yang harusnya elegan, efisien, dan penuh kendali. Sekarang? Rusak. Gara-gara gadis barbar yang tiba-tiba muncul kayak glitch di hidup saya.”Di sisi lain, Qiara—meskipun masih memasang wajah biasa—dalam hatinya sedang bersorak.“Siapa suruh gaya-gayaan? Di peron ini, gue ratu. Jangan ngusik.”---Langkah kaki berlarian menuruni tangga stasiun, sebagian berebut eskalator, sebagian lain memilih jalan cepat ke pintu keluar. Udara pagi Jakarta masih terasa lengket, bahkan di dalam gedung berpendingin. Qiara melangkah sigap ke pintu keluar, mengirim pesan cepat ke aplikasinya. Ojol-nya sudah tiba. Motor dengan jaket hijau terang berdiri tak jauh dari pagar pembatas.Dia menarik napas. “Ayo, Qiara. Masih bisa waras.” Sambil menaikkan satu kaki ke footstep motor, dia menoleh sekilas ke seberang jalan.Raihan baru saja keluar dari pintu yang berbeda. Tubuh tinggi itu disambut sopir kantor berpakaian rapi, membuka pintu mobil hitam elegan seperti biasa. Bukan sedan super mewah, tapi cukup untuk menunjukkan kelasnya. Raihan masuk tanpa ekspresi, hanya satu kalimat keluar dari bibirnya:“Skyloft Tower. Cepat.” Mereka berangkat ke arah yang sama. Menuju kantor yang sama. Hanya beda kendaraan.Lobi gedung sudah sibuk. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa karyawan startup dengan hoodie dan sneakers, sebagian lain staf kantor rapi dengan ID card menggantung di leher. Lift kanan untuk staf lantai 1–15. Lift kiri untuk eksekutif dan ruang meeting lantai 16 ke atas.Qiara turun duluan. Ojol-nya berhenti di bahu jalan dekat pintu masuk lobi. Dia membayar cepat, lalu berjalan melewati pintu kaca otomatis. Card akses sudah digenggam di tangan.Raihan turun di sisi jalan yang lain. Sopir kantor menunduk sopan sebelum kembali ke belakang kemudi. Raihan berjalan tanpa terburu-buru, blazer dikancingkan separuh, card akses sudah ia tarik dari dalam dompet kulit.Mereka tiba di lobi yang sama. Langkah mereka hampir bersamaan. Di antara puluhan orang yang keluar-masuk gedung pagi itu, mata mereka kembali bertemu. Hanya satu detik. Tapi cukup untuk memicu emosi yang belum sempat reda sejak gerbong MRT.Saling lirik. Saling nilai. Saling... ah, sialan, ini lagi.Qiara langsung menunduk, pura-pura membuka pesan di ponselnya. Tapi dalam hati, dia mengumpat.Semoga nggak ketemu lagi deh sama tuh manusia. Jakarta gede, orang aneh kayak dia pasti sibuk nyebar aura nyebelin di tempat lain. Jangan di dunia gue, please.Raihan yang baru saja melewati pintu putar otomatis, juga menghela napas tajam. Matanya sempat melirik sekilas ke arah perempuan yang berjalan cepat di sisi kanannya. Ekspresinya kaku, rahangnya mengencang.Jangan. Jangan pernah sampai ketemu lagi sama gadis gila itu. Rutinitas pagi saya sudah cukup rusak hari ini. Dunia ini terlalu sempit kalau harus ketemu dia lagiMereka jalan terus. Berlawanan arah. Tapi tetap dalam gedung yang sama. Qiara menuju lift sisi kanan—yang akan membawanya ke lantai staf di atas. Raihan ke lift eksekutif, sisi kiri, tanpa perlu antre. Dua dunia yang seolah tak bersinggungan… tapi hanya seolah. Belum saling tahu. Belum saling sadar. Tapi takdir sudah menyalakan jamnya. Detiknya berdetik. Pelan-pelan. Pasti. Dan tak ada yang bisa mematikannya lagi ---Lantai sepuluh Skyloft Tower lebih hidup, lebih ramai, dan tentu saja lebih riuh dibanding lantai dua puluh yang penuh eksekutif berdasi. Di divisi kreatif—zona yang dihuni para desainer, editor, dan tim konten digital—Qiara duduk di meja kerjanya dengan segelas kopi sachet yang sudah tiga kali diaduk dan belum juga diteguk. Warna putih dan abu muda mendominasi ruangan, dengan pajangan poster kampanye visual terbaru tergantung di dinding kaca.“Aku bilang juga apa, kamu tuh magnet ribut!” Tina, teman satu tim Qiara, mengangkat alis sambil menyeruput kopi sachet dari mug merahnya.Qiara baru duduk setengah pantat di kursinya, napasnya masih setengah tersengal karena buru-buru dari lobi. Belum sempat menyalakan laptop, dia langsung buka cerita. Dan seperti biasa, Tina adalah pendengar setia—dengan komentar yang sering kali tidak membantu, tapi selalu tepat sasaran.“Bukan salah gue dong,” elak Qiara sambil melepaskan totebagnya ke lantai. “Itu cowok nyebelin banget! Nganggep kursi itu kayak warisan keluarga. Masa iya cuma karena gue lebih cepat dia langsung ngerasa dirampok haknya?”Tina menyipitkan mata. “Coba ulang, lebih cepat? Bukannya lo tendang duluan?”Qiara memutar bola matanya. “Bukan ditendang. Disenggol dikit. Kan nggak fatal. Lagian, dia berdiri, gue duduk. Hukum gravitasi sosialnya jelas.”Tina mengerang pelan. “Lo tuh drama. Tapi jujur, gue penasaran. Cowoknya ganteng nggak?”Qiara memutar bola matanya. “Please. Dari cara dia berdiri aja udah sok merasa paling penting. Wajahnya tenang, gayanya rapi, tapi sorot matanya tuh… nyebelin banget. Kayak orang yang ngerasa dunia harus ngalah cuma karena dia lewat.”Tina mengangkat alis tinggi. “Wah, dalam banget pengamatan lo. Kesel atau kagum, sih?”Qiara mendengus. “Kesel lah. Kesel maksimal. Untung gue menang.” hening sejenak. Tapi di dalam hatinya, Qiara belum selesai.Kalau dipikir-pikir, cowok itu... ngeselin banget. Satu detik tatap mata, satu detik adu ego, dan satu kemenangan yang rasanya terlalu manis untuk tidak diulang.Wajah datar, gaya sok elegan, tapi gagal di detik pertama melawan sepatu cewek pekerja keras. Qiara tersenyum miring, lalu memandang kosong ke layar komputer. Dalam hati, ia pun mendeklarasikan sesuatu: Ini perang.Kalau semesta pengin bercanda, silakan. Tapi kalau sampai ketemu lagi, gue siap. Wajah tengil itu... resmi masuk daftar waspada. Jangan harap bisa menang dua kali. Karena kalau ini soal harga diri, Qiara bukan tipe yang bakal mundur. mungkin saja semesta memang sedang menjalankan rencananya. Karena takdir, entah kenapa, selalu menyukai jalan yang paling rumit.---Lantai dua puluh Skyloft Tower tak pernah sepi dari ketukan sepatu mahal dan aroma kopi hasil seduhan mesin otomatis yang harganya setara satu unit motor. Di ruangan paling ujung, kaca lebar menyuguhkan pemandangan kota Jakarta yang pelan-pelan beranjak siang. Tapi Raihan tidak sedang menikmati pemandangan itu. Sama sekali tidak.Dia duduk di balik meja kerjanya yang minimalis dan teratur, memelototi layar tablet yang menampilkan jadwal rapat hari ini. Tapi matanya kosong. Tangannya justru sibuk men-scroll aplikasi tracking, menunggu notifikasi tentang keberadaan mobil barunya yang masih tertahan di showroom. Delay satu minggu.Sempurna, desisnya, pelan tapi penuh tekanan.Dia menyandarkan punggung ke kursi, menyilangkan kaki, lalu mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke lantai. Rutinitas pagi saya sudah cukup rusak hari ini.  Semua gara-gara satu orang: gadis dengan celana chino, ekspresi sok menang, dan lidah yang dijulurkan seperti anak kecil. Rutuknya dalam hati.Wajah itu... masih terbayang. Bukan karena cantik. Bukan karena menarik. Tapi karena menyebalkan. Anehnya, semakin dia coba lupakan, justru semakin jelas dalam ingatan.Raihan mengerutkan kening.“Awas aja kalau ketemu lagi,” gumamnya sambil menghentakkan kakinya pelan-pelan.Setiap hentakan disertai umpatan dalam hati. Setiap umpatan, diiringi ingatan akan wajah tengil itu. Senyum puasnya. Tatapan mengejeknya. Gerakan kecil kakinya yang sukses mencuri kursi—dan harga diri Raihan—pagi tadi.Gadis sialan. Raihan mengepalkan tangan. Gadis itu, entah siapa namanya, entah dari mana asalnya, hari ini resmi dinobatkan sebagai Musuh besarnyaTapi sayangnya, hidup punya selera humor yang aneh. Kadang, orang yang paling ingin kamu hindari... justru adalah orang yang akan terus kamu temui.  Takdir, seperti biasa, sudah mulai menjalankan gilirannya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan