Right person Wrong time bab 1 ᶠʳᵉᵉ

6
0
Deskripsi

ᴬᵏʰⁱʳ ᵈᵃⁿ ᴬʷᵃˡ

Klik.

Pintu kondominium terbuka pelan, disambut desis engsel yang nyaris tenggelam dalam suara kota malam.

Ia menutupnya hati-hati, seolah dunia sedang tertidur dan ia tak ingin membangunkannya. Angin dingin dari luar masih menempel di punggungnya.

Sepasang sepatu kerja—hitam mengilap, elegan seperti dirinya—dilepas setengah hati, menyisakan jejak bisu di atas lantai marmer. Tumitnya menyentuh anak tangga tanpa suara, satu per satu.

Faye Peraya Malisorn. Tiga puluh tahun. Wajahnya membawa kecantikan dan ketampanan dalam keseimbangan yang nyaris tak masuk akal. Rambut lurusnya selalu disisir rapi ke belakang, menegaskan alis yang tegas dan rahang yang tajam. Hidungnya mancung, bibirnya seksi, kulitnya putih bersih. Tubuhnya tinggi semampai, dan setelan kerja yang masih melekat tampak terlalu rapi untuk malam yang sudah terlalu larut.

Namun, bukan kesunyian yang menyambutnya di lantai atas. Bukan ruang temaram yang menenangkan, seperti seharusnya. Dari sela pintu kamar kecil, terdengar suara batuk kecil—rapuh, berat.

“Lili?” panggilnya pelan.

Tubuh kecil itu menggeliat. Lili, anak perempuan berusia lima tahun, terbaring di atas tempat tidur, selimut terlipat rapi hingga dada. Pipi anak itu tampak lebih merah dari biasanya. Matanya yang biasanya bersinar kini keruh oleh panas dan kantuk yang belum reda.

Di sampingnya, seorang wanita paruh baya duduk di kursi. Di tangannya tergenggam kompres hangat yang perlahan ditekan ke dahi Lili.

Begitu melihat Faye, Lili langsung merentangkan tangan. “Mama...”

Faye duduk di tepi ranjang, memeluk anak itu dengan hati yang remuk namun tak terlihat. “Mommy belum pulang?” tanyanya pelan.

Lili menggeleng lemah. “Belum... Bibi Nam bilang Mommy pergi dari sore.”

Bibi Nam menunduk sopan, masih menjaga kompres di dahi anak itu. “Maaf, Non. Nyonya sudah saya hubungi, tapi ponselnya tidak aktif.”

Faye mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, Bi. Terima kasih sudah jaga Lili.”

Ia mencium kening anaknya. “Mama di sini sekarang, oke?”

Lili tersenyum tipis, masih memegangi tangannya. “Mommy marah ya?”

Faye menarik napas, seolah mencoba menahan sesuatu yang hendak pecah dari dadanya. Lalu menggenggam tangan kecil itu erat. “Lili Sayang... Kamu ke rumah sakit sekarang ya?! Nanti Mama dan Mommy nyusul.”

Ia menatap Bibi Nam. Sorot matanya tegas, tapi tetap menyimpan kelembutan.

“Bi, tolong antar Lili ke rumah sakit keluarga kami. Pak Mai yang nyetir. Aku harus cari istriku.”

Bibi Nam mengangguk, masih menempelkan kompres hangat di dahi Lili.

“Baik, Non. Tapi hati-hati. Cuaca di luar tidak bersahabat akhir-akhir ini.”

Faye menunduk, mengusap rambut anaknya yang lepek karena keringat. “Lili, dengar Mama, ya? Mama pergi sebentar.”

“Iya, Mama...” Lili mengangguk lemah. Napasnya berat.

Faye memaksakan senyum lalu bangkit. Langkahnya tegap, meski hatinya nyaris ambruk. Ia keluar kamar, tergesa menuju parkiran.

Hujan baru saja reda, menyisakan aroma aspal basah dan udara dingin. Untung saja Pak Mai masih berjaga di bawah.

“Pak!” serunya. “Lili demam. Antar dia ke rumah sakit sekarang.”

Pak Mai sedikit membungkuk hormat. “Baik, Non. Tapi... Non Mali sendiri? Tidak apa-apa pergi sendirian?”

“Tidak masalah. Antar anakku dulu.”

Pak Mai mengangguk, tapi masih ragu. “Tapi... Non.”

“Apa lagi?”

“Kunci mobilnya?”

Faye memejamkan mata sejenak. “Ah, iya. Mobil buat antar Lili belum diambil dari bengkel, ya? Nu belum sempat?”

“Belum, Non.”

“Ya sudah. Aku pakai yang itu saja.” Faye menunjuk ke arah mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Sebuah Toyota Corona EXiV, sedan tua berwarna hitam mengilap.

Faye masuk ke mobil dan langsung menginjak pedal gas.

Sejak beberapa minggu lalu, ia tahu ke mana istrinya pergi saat malam terlalu sunyi dan rumah terlalu dingin.

Malam ini, ia kembali menjemput kenyataan—yang selalu pahit.

Faye menyetir sendiri. Jalanan kota setengah mati oleh cahaya lampu jalan dan toko-toko yang hampir tutup. Ia berhenti di depan sebuah apartemen di pusat kota, naik lift menuju lantai dua puluh. Tak perlu mengetuk. Ia hafal kode pintu itu, juga letak setiap helai bantal dan lipatan seprai.

Pintu terbuka.

Tawa lembut bercampur desahan menyambutnya. Suara yang dulu memanggilnya “Sayang.”

Faye berdiri di ambang pintu. Matanya tak menyala oleh amarah, hanya dingin. Luka yang terlalu sering disentuh tak lagi berdarah.

Istrinya menoleh, buru-buru menarik selimut putih tebal lalu berjalan tergesa ke arahnya. “Sayang, aku bisa jelaskan.”

Faye tak menjawab. Tak ada air mata—ia sudah terlalu sering kehabisan itu. Suaranya keluar perlahan, gemetar namun tegas. “Berapa kali kamu bilang itu? Berapa kali aku dengarkan?”

Pandangan Faye beralih sekilas ke wanita itu—jalang sialan, penghancur rumah tangganya.

Wajah istrinya memucat. “Sayang... aku... aku khilaf. Aku hanya... aku merasa kamu sudah jauh. Kamu selalu sibuk. Dan aku kesepian.”

Faye tertawa kecil—tawa lelah yang tak tahu lagi harus ke mana. Ia menatap istrinya dalam diam, sebelum akhirnya berkata, pelan—nyaris tanpa nyawa, “Kesepian bukan alasan untuk mengkhianati. Kita pernah berjanji, ingat?”

Istrinya menggigit bibir. “Aku minta maaf. Aku janji ini terakhir kalinya.” Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tapi matanya masih melirik ke arah wanita sialan di ranjang.

Faye menghela napas. “Kalimat itu... sudah berapa kali kamu pakai?”

Istrinya tak menjawab.

“Kalau saja aku tak berutang budi pada ayahmu... mungkin aku sudah—” Ia berhenti. Bahkan pikirannya pun menolak menyelesaikan kalimat itu.

“Aku ke sini bukan untuk berdebat. Lili sakit. Dia baru saja dibawa ke rumah sakit kita.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan pintu terbuka, membiarkan udara dingin masuk ke ruangan yang sejak awal sudah kehilangan kehangatannya.

Faye berjalan cepat menuju mobil, menahan pahit dan berat yang menggantung di kerongkongannya.

Kenapa semuanya terasa sepi, bahkan saat aku berteriak? Siapa yang benar-benar menyayangiku, tanpa syarat—selain Lili?

Andai waktu bisa diulang... mungkin aku memilih untuk tidak pernah lahir.

Duar!!! Petir meledak di langit malam, membelah udara seperti jeritan Tuhan. Air matanya pecah bersamaan, jatuh tanpa suara di tengah gemuruh hujan—seolah semesta tak ingin menghiburnya, hanya menemaninya tenggelam.

Ia menggenggam ponsel, siap menekan tombol—namun ponsel itu terpeleset, jatuh ke sela bangku. Ia meraihnya, tanpa pikir panjang.

Tiiit... Klakson melengking nyaring. Faye mendongak—terlambat.

Kilatan cahaya menghantam matanya. Logam bertabrakan. Benturan keras mengguncang tubuhnya. Rasa sakit menjalar dari tengkuk, hingga punggung, seperti ribuan jarum yang menusuk sarafnya sekaligus.

Rambutnya tergerai kusut. Setelan jas putihnya, yang tadi bersih tak bercela, kini berlumur darah. Ia mencoba menggerakkan jarinya, tapi tubuhnya tak merespons. Samar-samar, ia mendengar suara riuh orang-orang.

Langkah-langkah tergesa. Suara panik bersahut-sahutan. Sirene meraung menembus malam.

Lalu, segalanya memudar—seperti Faye… yang perlahan menghilang.

***

Kesadaran datang perlahan, seperti berenang di permukaan air yang keruh. Udara di sekitarnya terasa dingin, menusuk kulitnya yang perih. Dengan susah payah, ia memaksa matanya terbuka. Pandangannya kabur sesaat sebelum menangkap langit-langit putih dan sosok perawat berseragam yang tengah sibuk dengan infus di lengannya.

“Anda sudah sadar?”

Suara itu terdengar jauh, namun cukup jelas untuk membuat Faye menoleh. Perawat itu tersenyum tipis, tapi ada sesuatu di sorot matanya yang membuat Faye tidak tenang.

"Di mana aku?" Suaranya serak, tenggorokannya terasa kering seperti dilapisi pasir.

"Anda di rumah sakit. Anda mengalami kecelakaan," jawab sang perawat.

Faye mengerutkan kening. “Kecelakaan?”

Ia mencoba mengingat.

Terakhir kali…

Ia berdiri di ambang pintu apartemen itu—melihat orang yang dulu ia cintai berselingkuh di ranjang yang bahkan belum sempat dingin. Kata-kata istrinya masih menggema di telinganya: “Aku kesepian…”

Ia tak sanggup menjawab. Yang terpikir hanya satu: Lili.

Ia tinggalkan Lili bersama Bibi Nam, dengan janji akan menyusul ke rumah sakit. Wajah kecil itu... pucat, lemah, memanggilnya Mama dengan suara serak.

Lalu hujan turun. Deras. Jalanan licin. Pandangan kabur oleh air mata dan hujan yang berlomba-lomba membasahi kaca mobil.

Petir menyambar langit.

Klakson meraung.

Kilatan cahaya menyilaukan. Benturan keras menghantam tubuhnya.

Setelah itu, kosong.

Faye terisak pelan. Apakah Lili baik-baik saja?

“Apa ada yang mencariku?” tanyanya.

Perawat terdiam sesaat sebelum menggeleng. “Tidak ada.”

Bulu kuduk Faye meremang. “Tidak mungkin...”

Ia mencoba bangkit, namun pusing mendadak menghantam kepalanya. Napasnya memburu saat ia memaksa duduk.

“Aku harus pulang.”

“Tapi Anda belum sepenuhnya pulih—”

Faye tidak peduli. Firasat buruk mencengkeram dadanya. Ia mencabut infus, lalu turun dari ranjang. Bahunya terasa kaku, dan kakinya yang jenjang bergetar saat menjejak lantai dingin.

Tubuhnya limbung sesaat sebelum menemukan keseimbangan.

Namun, rasa pusing itu tak seberapa dibanding firasat aneh yang menghantuinya. Dengan napas berat, ia berjalan tertatih keluar ruangan.

Ia bergegas mencari mobilnya—saksi bisu kecelakaan yang baru saja dialaminya. Namun, setelah berkeliling dan bertanya ke sana-sini, hasilnya nihil. Tidak ada jejak kecelakaan. Tidak ada laporan berita. Seolah insiden itu tak pernah terjadi.

Rasa gelisah menyergapnya. Dengan sisa uang di dompet, ia memutuskan pulang naik kereta. Namun saat hendak membeli tiket, pria di loket menatapnya curiga.

“Maaf, uang ini palsu.”

Jantungnya mencelos. “Apa maksud Anda? Ini uang asli!”

“Tidak bisa digunakan di sini.” Pria itu bersikeras, sorot matanya berubah waspada.

Faye meremas uang itu. Kegelisahan menjalar. Uangnya tidak diterima. Mobilnya hilang. Dan orang-orang di sekelilingnya... Pakaian mereka aneh: potongan longgar, warna kusam, jaket bahu lebar. Rambut mereka pun berbeda—poni tebal, tatanan mengembang.

Lili... Aku harus menemukan Lili.

Dadanya sesak. Ada yang tidak beres.

Sebelum sempat menyusun kepingan-kepingan aneh itu, dua polisi tiba-tiba menghampiri.

“Silakan ikut dengan kami, Nona,” ucap salah satunya, tegas.

“Kenapa? Saya tidak melakukan kesalahan!”

“Identifikasi uang palsu adalah pelanggaran serius.”

Faye ingin membela diri, tapi sadar, perdebatan hanya membuang tenaga. Dengan napas tertahan, ia mengikuti mereka ke kantor polisi, duduk di ruang interogasi.

“Kami butuh identitas Anda,” kata salah satu petugas.

Faye menyerahkan dompet. Namun, saat KTP-nya berpindah tangan, ekspresi polisi itu mendadak berubah.

“Kamu bercanda?” Ia melempar kartu ke meja. “Tahun lahir 1994? Sekarang masih 1993!”

Darah Faye berdesir. “Tidak. Itu... tidak masuk akal!”

Dengan tangan gemetar, ia merogoh sakunya... dan menemukan ponselnya.

Aneh. Ia yakin benda itu sempat terjatuh sebelum tabrakan terjadi. Tapi sekarang... masih utuh, dan hidup.

Ia menyalakannya, dan layar menyala terang—menarik perhatian.

“Apa itu?” tanya polisi lain.

“S-Smartphone...”

Mereka terdiam. Salah satu dari mereka mengeluarkan ponselnya sendiri—ponsel jadul dengan antena. Dibandingkan.

“Nona, Anda dapat ponsel ini dari mana?” tanya polisi yang berpangkat lebih tinggi.

Faye menelan ludah. “Kenapa kalian... ini ponsel biasa.”

“Tidak. Kami belum pernah melihat yang seperti itu.”

Ruangan terasa menyesakkan. Faye melirik televisi tabung di sudut ruangan. Siaran berita sedang tayang.

Di pojok layar, tertulis tanggal: 10 Mei 1993.

Napas Faye tercekat. Jari-jarinya mencengkeram ponsel lebih erat. Rumah sakit kuno. Uang ditolak. Orang-orang berpenampilan lawas. TV tabung.

Potongan-potongan itu menyatu.

“Tidak... Ini tidak masuk akal. Ini cuma mimpi. Efek benturan, ya…”

Tapi semuanya menunjukkan satu hal: Faye tidak berada di tahun 2025 lagi.

Ia terlempar ke masa lalu.

***

Yoko Apasra Lertprasert, gadis cantik, imut dan lugu, berusia dua puluh tiga tahun, berdiri di hadapan Direktur Rumah Sakit Bangkok Metropolitan, Prof. Chai.

Seragam perawatnya rapi, meski sorot matanya menyimpan kelelahan yang tak sepenuhnya bisa disembunyikan.

“Jadi, kamu benar-benar ingin meninggalkan rumah sakit ini?” tanya sang direktur. Nadanya datar, tapi mengandung tekanan halus.

Yoko menunduk hormat. “Mohon maaf, Prof. Dengan berat hati saya mengundurkan diri. Saya ingin kembali ke kampung halaman dan mengabdi di sana.”

Prof. Chai menghela napas. “Sayang sekali. Untuk seorang pemula, kamu cukup menonjol.”

Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan, “Tapi kamu hebat, Yoko. Kalau suatu hari kamu berubah pikiran, rumah sakit ini akan selalu terbuka untukmu.”

“Baik Prof. Terima kasih... Saya permisi.”

Yoko keluar dari ruangan, lalu membuka seragamnya perlahan. Terima kasih sudah menemaniku bertahan sejauh ini, gumamnya dalam hati.

Ia mencium aroma kain itu sebelum melipatnya rapi dan menyimpannya di lemari khusus miliknya.

Ia menatap sekeliling. Lorong-lorong yang telah menjadi bagian hidupnya selama ini.

Lalu ia melangkah pergi—perlahan, seakan ingin menyimpan semuanya dalam ingatannya.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Right person Wrong time bab 2 ᶠʳᵉᵉ
6
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan