
Menanggung adik-adik sampai menjadi orang, tidak menjadi jaminan mereka ingat kepada kami, apalagi disaat terpuruk seperti ini.
-Fika dan Farhan-
Balasan Whatsapp Dari Adik (6)
----------
Memang salah kalau aku mempunyai standart hidup lebih? Rumah, mobil, dan kehidupan yang layak? Toh, aku usahakan sendiri. Tidak mengambil hak orang lain.
Aku sudah mandiri sejak ayahku meninggal. Tidak ada pertolongan ataupun yang bersedia menanggung.
Mandiri itu berdiri di atas kaki sendiri, ya, bukan malak sodara sendiri.
---
Itu status facebook yang ditulis oleh Dek Hana
Pada paragraf awal, tidak ada yang salah dengan keinginannya. Cita-cita untuk maju dan mengusahakannya. Aku pun senang kalau mempunyai adik ataupun ipar yang mempunyai kehidupan lebih baik. Kalau yang ditulis hanya paragraf awal, dengan senang hati aku akan berkata, "Aamiin".
Namun, tulisan berikutnya apalagi terakhir membuatku mengernyitkan dahi.
Dek Hana menyebutkan mandiri sejak ayah mertua meninggal, aku tidak bisa menyebut memenuhi apapun yang diminta saat dulu. Namun, dia tidak pernah kelaparan, ataupun putus sekolah saat tinggal bersama kami.
Dia memang sedari SMA menyukai bisnis, kami pun menyokongnya ketika membutuhkan modal. Keuntungannya, murni dipakai untuk keperluan dia pribadi, kami tidak pernah mempertanyakan apalagi meminta bagian.
Memang, Dek Hana mempunyai standart hidup tinggi. Baju, sepatu, bahkan tas pun harus bermerk, dari hasil bisnisnya itu dia membelinya.
Saudara siapa yang dimaksud? Memang dia tidak menuliskan nama, tetapi, mengingat masalah diantara kami, jelas-jelas ini tertuju kepada kami.
Kata malak, membuat hati ini teriris. Itu sama saja menuduh kami mengambil paksa apa yang dia punya. Kakakmu ini hanya pinjam, Dek. Itu pun, seribu kali kami berpikir saat akan mengirim pesan whatsapp.
Banyak yang menaruh komentar setelahnya, ada yang bilang aamiin, tetapi ada juga yang mempertanyaan.
"Bukankan kamu ikut Mas Farhan, ya. Aku pernah ke rumahmu, mereka baik. Setahuku sekolah dan kuliah ditanggung kakak kamu." Sepertinya komentar ini dari teman sekolah Dek Hana dulu.
Aku mengarahkan jariku pada balasan dari Dek Hana. "Wajarlah, mereka memberiku makan. Pembantu saja dikasih makan dan gaji. Anggap saja uang sekolah upahku karena mengerjakan pekerjaan rumah."
"Kamu dijadikan pembantu?" Komentar dari akun lainnya.
"Iya. Aku harus mencuci, seterika baju, dan bantu masak. Itu kan pekerjaan pembantu."
Ini dari orang lain lagi. "Memang siapa malak kamu? Ih, tidak tahu malu. Bisanya jadi benalu."
"Biasalah, orang yang merasa berjasa," balas Dek Hana.
Jemariku berhenti membuka komentar lebih lanjut, ini hanya menambah luka saja. Semakin dibicarakan tidak akan menjadi baik, karena semua bersikukuh dengan kebenaran yang sudah diyakini. Kebenaran tidak bisa dipaksakan, aku hanya bisa iklas dan mendoakan semua menjadi baik.
Huuuft!
Aku menarik napas dalam-dalam, mengurai sesak di dada, kemudian menyusut sisa air mata di pipi. Meneteskan air mata membuatku lega, seakan resah ikut hilang saat aku menghapusnya.
Kutegakkan badanku dan merentangkan tangan, menambah ruang udara dan energi untuk mengusir pikiran negatif Aku tetapkan untuk menghilangkan dan tidak ingin mencari tahu, fokus dengan apa yang aku lakukan.
Aku harus segera keluar kamar, terlalu lama nanti Santi merasa aku marah besar. Bisa saja dia tidak enak hati, merasa sikap Dek Hana merupakan tanggung jawabnya juga.
Kulongokkan kepala ke dalam kamar Lisa, tidak ada adik iparku itu di sana. Selimut terlipat rapi, bahkan spreipun tidak kusut. Kemana dia?
"Santi? Kamu kenapa setrika?" teriakku mendapati dia di kamar belakang. Dengan tumpukan baju yang sudah rapi di setrika. Dia menoleh dengan cepat, mungkin terkejut karena teriakanku.
Tanpa menghentikan kegiatannya dia berujar, "Tidak apa-apa, Mbak. Kalau menganggur, aku malah pegel."
"Biar Mbak saja yang kerjakan. Kamu duduk di depan saja atau---."
"Mbak Fika, tenang saja. Aku bukan Mbak Hana yang menyebut setrika baju itu pekerjaan pembantu. Ini pekerjaan rumah yang dikerjaan anggota keluarga."
"Udah, itu terakhir, ya. Mbak mau bicara dengan kamu. Tentang bisnis," perintahku sambil menunjukkan senyum, menyampaikan tanda kalau aku tidak marah kepadanya.
Dia menatapku sesaat, kemudian membalas senyuman seperti biasa. "Ini sudah selesai kok," ucapnya kemudian mencabut kabel setrika dan merapikan kembali.
"Aku tunggu di depan, ya," ucapku sambil berlalu. Langkah ini menjadi lebih ringan, ada terbersit ide setelah bertemu Santi dan menilik facebook tadi.
"Ini, kopinya. Aku tahu, Mbak Fika belum ngopi, kan?" tebak Santi sambil menaruh segelas kopi yang masih mengepul. Menguar aroma yang menenangkan pikiran ini.
"Kamu seperti ahli nujun. Sok tahu."
"Ya, tahu lah, Mbak. Di meja tidak ada gelas kopi, di belakang juga belum ada gelas kotor."
Aku tertawa kecil mendengar penjelasannya, menepuk bangku sampingku untuk dia duduk. Sama dengan Fariz, pembawaan Santi juga manja kepadaku. Mungkin karena saat menikah dengan Mas Farhan, dia masih kecil.
"Kamu pinter, ya," ucapku sambil mengacak rambutnya setelah kami duduk sebangku. Aku beringsut ke arahnya, sehingga kami berhadapan.
"Iya, lah. Memang Mbak Hana yang tidak mengerti, padahal sekolahnya tinggi," celetuknya dengan nada kesal yang mematik.
"Sudah, lupakan saja. Ini mungkin salah Mbak karena ingin pinjam uang di saat yang tidak tepat," ucapku sambil menepuk bahunya.
"Tidak bisa begitu, dong. Harusnya tanpa Mas Farhan atau Mbak Fika ngomong, Mbak Hana mengerti dan membantu tanpa disuruh! Harusnya dia bisa menilai mana yang mendesak atau tidak!" terang adik iparku ini kemudian mengambil jeda untuk bernapas, mengurai rasa kesal. "Kalau aku sudah mampu, pasti tanpa Mbak Fika minta aku sudah maju, tapi ... aku belum bisa."
"Jangan diperpanjang lagi, ya. Lebih baik Mbak Hana didoakan supaya keinginannya terkabul dan keluarga kita tetap rukun. Jangan sampai, ini terdengar ibu," ucapku sambil mengangguk, memaksanya mengikuti yang kuucapkan.
"Sekali lagi, maap, Mbak Fika."
"Sekarang kita tutup masalah ini. Kita fokus dengan apa yang harus kita lakukan. Mbak punya ide untuk bisnis. Kalau kamu mau bergabung, boleh."
Mata yang sempat terpercik amarah, sekarang membulat. Mata Santi adik iparku ini membulat dan berbinar, seperti sudah berkata 'iya'.
Meletakkan sakit hati, lebih baik daripada memelihara rasa yang hanya merugikan saja. Pasrah dan iklas yang bisa aku lakukan, mencari mana yang benar atau salah, hanya membuat keadaan semakin runyam.
'Kebenaran tergantung dari sudut mana dan waktu kapan kita menilai sesuatu. Hanya kebenaran Tuhan yang mutlak.'
***
Balasan Whatsapp Dari Adik (7)
------
"Beneran, Mbak? Aku mau!" teriak Santi dengan mata berbinar.
Santi ini lulusan tata boga, aku pun suka memasak dan pernah mempunyai warung yang ramai, kami bisa bekerja sama dalam hal bisnis makanan. Nasib kami sama, aku yang gagal dalam bisnis online, begitu juga dia.
Harapanku, kami bisa menyatukan keunggulan dan menghilangkan kelemahan.
Dengan antusias Santi mengambil alat tulis di kamar Lisa, dan langsung bersiap merumuskan rencana kami.
"Yang order tidak ada, Mbak. Orang sekitar sini keadaannya sama dengan kita. Penghasilan berkurang dan akhirnya ikutan jualan. Dan, akhirnya penjual lebih banyak daripada pembeli," keluh iparku ini dan aku mengangguk menyetujuinya. Sama kasusnya.
"Masalahnya berarti pasar. Pembeli di sekitar kita berkurang, bahkan nyaris tidak ada," ucapku sambil mengetuk jari di meja. Kebiasaanku kalau sedang memeras otak.
.
.
.
"Kalau begitu kita harus memperluas jangkauan pasar. Tapi, bagaimana caranya?" gumamku sambil menatap Santi.
"Jualan lewat marketplace, Kak! Kenapa aku tidak kepikiran, ya?" teriaknya tiba-tiba. Tangannya menepuk kening, dan terbit senyumannya yang lebar.
"Marketplace?"
"Iya. Marketplace itu platform yang mempertemukan antara penjual dan pembeli di internet. Itu lo, Mbak. Shopie yang ada iklannya di tivi!"
"Kita bisa jualan dia sana? Dikirim ke seluruh Indonesia? Ongkos kirimnya bagaimana?" tanyaku memberondong. Benar kata Lisa anakku, aku memang buta tehnologi.
Kami langsung disibukkan dengan mencari tahu tentang marketplace, ternyata banyak, tidak sebatas Shopie. Aku mendowload applikasi dan belajar banyak dari Shanti.
Sebagai anak muda, dia lebih lincah tentang hal ini, beda denganku yang melihatnya saja kening sudah berkerut.
Banyak fasilitas untuk mempermudah jualan di sana. Jaminan pasti mendapatkan uang dan keamanan juga bagi pembeli. Promo atau program penawaran banyak diselenggarakan juga, mempermudah kamk sebagai pengguna. Ada fasilitas gratis ongkos kirim, dan perusahaan pengiriman juga disediakan.
"Oke, Santi. Mbak Fika setuju deh, kita jualan lewat marketplace. Produknya biar Mbak yang atur. Tapi, yang pegang penjualan kamu, ya. Pusing dengan pencet ini dan itu. Maklum lah, faktor U!" terangku sambil tertawa.
"Beres!" serunya disela tawa, kemudian mengacungkan jempol.
Kamipun mulai menentukan apa yang dijual, pastinya makanan. Mencari makanan yang tahan lama, karena terbentur jarak dan waktu pengiriman.
Akhirnya, kami memilih jualan segala lauk pauk kering dan kue kering. Ada berapa alasan selain tahan lama. Dengan menyasar tidak hanya pada ibu rumah tangga, tetapi lajang yang hidup sendiri dan super sibuk. Sesuatu yang praktis, unik, dan banyak orang suka.
***
"Capek, Mas? Apa perlu disiapkan air hangat untuk mandi?" sambutku setelah cium tangan dan merapikan sepatu suamiku ini di rak.
"Tidak usah. Aku mau mandi, sholat, dan langsung istirahat."
"Sudah makan?"
"Sudah. Tadi disiapkan makanan oleh tuan rumah. Jadinya makan sekalian dengan anak-anak," jelas Mas Farhan kemudian langsung ke kamar mandi.
Memasang canopi ternyata sampai malam, Lisa dan Fariz saja sudah tidur duluan. Tadi sore, Mas Farhan sempat kirim kabar kalau baru setengah jalan dan dipastikan pulang telat.
Setelah memastikan semua pintu terkunci, aku langsung masuk kamar, menyiapkan pakaian dan menggelar sajadah untuk suamiku.
Menunggui laki-laki teman hidupku ini. Menatap dia menggunakan baju koko dan berpeci, sungguh membuat hati ini adem.
"Capek banget, ya? Apa bisa kita ngobrol sebentar?" pintaku sambil merapikan sajadah setelah dia selesai.
Mas Farhan yang sudah berbaring di ranjang menepuk tempat sebelahnya dan menyiapkan lengannya untukku. "Kenapa, kangen sama Mas?" tanyanya sambil melempar senyum yang dulu membuatku sesak napas.
"Kasihan istriku, dari siang tidak ada teman ngobrol," bisiknya sambil mengecup pucuk kepalaku, setelah berbaring di sampingnya.
"Ada. Tadi siang---"
"Siapa? Kok tadi tidak bilang?" sela Mas Farhan sambil menarik tubuhnya untuk leluasa melihat wajahku.
Aku tahu kenapa dia bersikap seperti itu. Karena sudah dipesan berkali-kali, aku tidak boleh menerima apalagi memasukkan tamu terutama laki-laki ke dalam rumah, kalau aku sedang sendirian. Kalaupun terpaksa ada tamu, aku harus mengabarinya. Tadi, aku lupa.
"Santi, Mas. Tadi siang dia datang," jawabku sambil tersenyum melihat raut wajah yang sudah menegang itu.
"Oh, Santi. Aku kira siapa. Ada apa dia ke sini? Tumben siang-siang mau keluar, biasanya dia takut panas," ucapnya kemudian merapat kembali.
Aku menceritakan semua rencana yang aku bicarakan dengan adiknya itu. Menjelaskan apa yang akan kami buat, pemasaran, penggunaan marketplace, termasuk bagaimana pembagian kerja.
Sengaja, aku tidak memberitahukan tentang kasus di FB tadi. Suamiku masih lelah, dan kemungkinan kalau diberitahu tentang kabar tidak enak, bisa menyulut emosi. Lebih baik aku diamkan saja.
"Santi yang pegang pemasaran dan pembukuan. Dia tahu kok itung-itungannya. Menentukan harga dari bahan dan operasional. Di sekolah, katanya diajari. Nanti, tetap aku awasi. Kadang praktek dengan teori tidak sama," jelasku kemudian mendongakkan wajah, menilik tanggapan Mas Farhan.
"Boleh, Mas?" tanyaku dengan mengerjapkan mata demi kata iya. Suamiku ini susah-susah gampang, kadang boleh, tetapi tidak jarang dia melarangku ini itu.
"Hmmm .... Boleh tidak, ya?" ucapnya kemudian diam sejenak seperti memikirkan sesuatu. "Boleh----"
"Terima kasih, Mas!" sambarku langsung. Spontan aku eratkan pelukan dan mengirimkan hadiah ciuman. Gembira rasanya sebentar lagi aku memiliki kesibukan.
"Eh, jangan senang dulu," selanya, mengurungkan niatku menghujankan hadiah kedua. Aku menatapnya sambil menautkan kedua alis, menunjukkan ketidakrelaan kalau Mas Farhan merenggut kegembiraanku ini.
"Ini bisnis serius, kan? Untuk jangka panjang dan ingin berkembang?" tanyanya dan langsung aku jawab anggukan, tanpa melepas tatapan padanya.
"Walaupun kerjasama dengan adik sendiri, harus ada perjanjian di awal secara tertulis. Terutama pembagian hasil usaha. Ini seperti pembagian saham, ada prosentasenya."
"Halah, Mas. Ini cuma bisnis keluarga, kok."
"Justru itu istriku," sahutnya sambil memencet hidungku, "jangan sampai karena bisnis malah jadi enak gak enakan. Apalagi berakhir putus persaudaraan."
"Oh, jadi harus dibicarakan sebelum bisnis jalan, ya."
Sekarang aku mengerti, kenapa kadang-kadang perusahaan setelah berkembang pesat malah pecah, dan akhirnya mati perlahan. Mungkin ini dikarenakan masalah pembagian hasil.
Memang uang itu bisa menjadi madu, tetapi, mampu juga berubah menjadi racun yang mematikan.
Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari esok, menentukan langkah selanjutnya setelah mendapat ijin dari suami.
"Memang kalian sudah punya modal?"
Pertanyaan Mas Farhan yang sekejap meluruhkan mimpiku. Bagaimana bisa jalan, kalau tidak ada uang untuk memulainya.
"Modalnya niat, semangat, dan dengkul. Serta doa," jawabku sekenanya sambil meringis.
"Alhamdulillah, Mas hari ini ada pelunasan dan tambahan deposit. Kamu bisa gunakan sebagian," ucapnya, membuat jantungku terlempar karena gembira yang sangat.
Spontan, aku meluluskan kiriman hadiah kedua, ketiga, dan seterusnya.
Berakhir, lampu padam seketika tertinggal sinar temaram dari lampu depan. Ulah siapa lagi kalau bukan Mas Farhan. Tangannya yang panjang, menjangkau saklar di atas kepala, meleluasakan mengambil alih kendali untuk serangan balasan.
"Katanya ingin langsung istirahat," bisikku mengambil jeda.
"Setelahnya," jawabnya dan melanjutkan niat yang sudah tersulut karena ulahku.
***
Balasan Whatsapp Dari Adik (8)
-------
Hari ini, aku dan Santi memulai bisnis makanan. Pertama, kami memulai dari kue kering. Ini dengan pertimbangan bulan puasa dan lebaran yang sebentar lagi. Sekarang, waktu yang tepat mencari pelanggan.
'Sederek Kitchen', nama yang kami pilih. Perpaduan dua bahasa, sederek bahasa Jawa artinya saudara dan kitchen bahasa Inggis yang artinya dapur. Ada rasa tradisional tetapi ada sentuhan kekinian.
Akupun sudah mantap, langsung menghubungi Mas Farhan dan mendapat jawabaan, "Bagus. Semoga kalian berhasil."
Santi juga begitu bersemangat, dia langsung melancarkan aksinya. Dia membuat akun facebook, instagram, tik-tok, dan tentunya marketplace. "Pokoknya, Mbak. Sederek Kitchen akan langsung dikenal banyak orang!" serunya dengan mata berbinar.
Akupun mengambil bagianku, memulai menentukan produk dan segera eksekusi hari ini. Santi membutuhkan untuk pengambilan foto sebagai promosi.
"Santi, kamu di rumah saja. Mbak akan ke pasar beli bahan. Kalau mau makan, di kulkas ada makanan yang bisa dihangatkan," pesanku sebelum pergi.
Menggunakan becak langganan, aku menuncur ke pasar. Tujuanku ke toko bahan kue, pemiliknya bernama Nurul--teman pengajian yang sudah menjadi sahabat.
"Fika! Untung kamu ke sini. Aku ingin bicara," ucapnya membuatku mengernyitkan dahi. "Eh! Perlu apa?" tanyanya langsung menarikku masuk.
Pembawaannya memang cerewet dan rame, makanya toko yang baru berdiri satu tahun ini langsung laris. Dia begitu ramah terhadap pembeli yang mayoritas kaum hawa. Biasanya kalau kami bertemu, dia akan bercerita banyak dan aku bertugas mengamini dan tertawa saja.
"Aku butuh ini. Tidak banyak, kok," ucapku menyodorkan catatan belanja yang aku butuhkan. Dia membaca sejenak, kemudian memberikan ke pegawainya untuk disiapkan.
"Pesananmu masih antri. Kita ke atas saja, yuk. Di sini ramai!" celetuknya, kemudian menarikku tanpa menunggu jawaban dariku.
Ruko ini ada dua lantai, di bawah toko dan di atas gudang penyimpanan dan sebagian disetting menjadi kantor tempat Nurul merekap data.
"Kopi, kan?" tebaknya langsung menyeduh kopi instan dengan menuang air panas dari dispenser.
Aku menyapu ruangan dengan pandangan, tumpukan berbagai bahan, box-box besar berisi bahan kemasan kecil dan rak yang memanjang tertata rapi. Bahan kue memang banyak macamnya, dari yang kemasan besar sampai kemasan kecil-kecil. Kalau tidak di atur akan susah mencari yang dibutuhkan.
Sebenarnya, ada satu lagi sahabat kami, namanya Wiwin. Kalau bertiga sudah berkumpul, pasti lupa waktu karena mengobrol. Sayangnya, dia sekarang semakin sibuk setelah suaminya menjabat menjadi kepala dinas di kota sebelah.
"Rencanaku, akhir minggu ini berkunjung ke rumahmu. Ada yang perlu aku sampaikan," ucapnya seraya menyodorkan kopi yang mengeluarkan aroma yang kusukai. Sejenak, aku menyesap sedikit dan membuat badanku segar.
"Ada apa. Setahuku setiap kita bertemu, ada saja yang disampaikan," ucapku sambil tertawa, mengingat yang lalu-lalu.
Dia tidak menanggapi gurauanku, malah sibuk dengan ponsel. Kemudian, dengan memasang wajah serius, beringsut lebih mendekat, dia menyodorkan ponsel, dan menunjukkan layar yang terbuka.
"Kamu sudah baca ini?" Aku melihat sekilas. Duh! Ternyata status FB Dek Hana. Temanku ini juga tahu. Pastilah, postingannya berstatus publik, jadi siapa saja bisa tahu dan komen.
Aku menatap wajah sahabatku yang terlihat menunggu reaksi. Seketika kuterbitkan senyuman sambil mengangguk, resah dan sakit hati ini sudah lewat. Usahaku membutakan hati dan menulikan segala sesuatu tentang ini, ternyata berhasil.
"Kamu kok diam saja? Kalau aku jadi kamu, pasti aku datangi dia. Aku robek-robek mulutnya dan kupotong jarinya yang mampu menulis seperti ini!" serunya berapi-api, matanya menyiratkan kekesalan. Tangannya pun terkepal keras menekan meja. Kemudian dia mencondongkan badannya sambil berdesis, "Atau, kau butuh bantuanku? Aku siap mencucinya sampai tak bersisa."
Aku tertawa mendengar tawaran gila, kusesap lagi kopi untuk mengalihkan kegilaan ini. Nurul itu memang orang yang unik.
"Kenapa kamu diam? Harusnya kamu balas di komentar, beberkan semuanya supaya jelas dan orang tidak salah paham terhadap kamu," seru Nurul masih bernada kesal.
"Kalau ditanggapi dengan kepala panas, malah runyam. Itu sama saja bertarung. Menang jadi arang dan kalah jadi abu, sama-sama rugi. Hanya sebagai tontonan orang saja. Aku tidak mau seperti itu."
Dia kembali ke tempat duduknya semula, bersendekap sambil mengawasiku. Seperti memikirkn sesuatu, matanya dipicingkan dan berkata, "Kalian dulu, tanpa dimintapun menanggung kehidupan mereka. Yang seharusnya bisa bersenang-senang dan hidup berlebih bersama keluarga kecil, kalian memilih menahan keinginan. Harusnya sekarang mereka yang sudah mampu juga demikian, dong!"
"Nurul, apa yang bisa aka lakukan? Biarlah waktu yang akan menjawab. Sekarang aku hanya bisa berdoa supaya keluarga kami menjadi rukun selalu."
"Fika ... Fika. Kamu itu begitu sabar! Lama-lama kalian bisa diinjak-injak. Aku sudah membatin dari dulu. Memang keadaan kalian mengharuskan seperti itu. Namun, melihat begitu kerasnya kerja kalian, membuat aku dan suami miris. Apalagi balasan mereka seperti itu," ucap sahabatku ini masih bersikukuh.
"Berbuat baik kepada siapapun pasti ada balasannya. Dia sudah mengatur balasannya dari siapa, bagaimana, dan kapan. Itu pasti yang terbaik dan tertepat. Tugas kita hanya menjalani perintah-Nya untuk menyebar kebaikan," ucapku kemudian berhenti menyesap kopi yang sudah hampir tandas.
"Aku sekarang fokus dengan usaha baruku. Jualan makanan lewat marketplace. Doakan, ya!" ucapku kemudian bersiap beranjak. Kalau tidak diputus obrolan ini, bisa tidam pulang-pulang.
"Jadi, tadi belanja untuk itu! Kalau begitu, itu semua gratis, dah!" teriaknya dengan mata berbinar, kekesalan yang terpercik tadi sudah lenyap.
"Maaf, ya. Kali ini, aku tidak menerima gratisan. Ini hari pertama dan modal pertama, jadi harus bayar!" ucapku sambil menangkup tangannya.
"Ok! Ok! Aku terima alasanmu kali ini. Tapi, lain kali kamu tidak boleh menolak, ya!" ucapnga kemudian mengajakku menuruni tangga. Pesananku pasti sudah siap, aku harus segera pulang.
Dia mengantarku sampai naik becak, membawa belanjaan dan menata di samping dudukku. "Apa tidak apa-apa kalau kamu merahasiakan ini dari suamimu?" ucap lirih Nurul setelah bertanya apakah Mas Farhan tahu.
Sepanjang jalan, aku melewatkan pemandangan yang biasanya aku kagumi. Pikiranku berkecamuk dengan pertanyaan Nurul sebelum aku pergi tadi.
Benar yang diucap, dia dan suaminya saja tahu tentang status di FB itu, berarti bisa jadi semua orang di sekeliling ini membaca atau bahkan meletakkan komentar gunjingan. Tetangga, teman, orang yang lewat depan rumah, atau orang yang bertemu denganku di pasar tadi. Bisa jadi, Pak tukang becakpun tahu.
Ini seperti bom waktu yang bisa meledak tiba-tiba. Aku harus bagaimana?
***
Balasan Whatsapp Dari Adik (9)
------
Cerita ini dipersembahkan untuk pejuang keluarga--Bapak, Ibu, Kakak, Adik, Om, ataupun Tante. Sehat selalu dan terima kasih sudah membiarkan pundakmu menanggung beban keluarga.

-----
"Mbak Fika! Aku ada ide. Pokoknya keren, deh!" teriak Santi. Dia yang duduk di teras langsung beranjak berlari menyambut, mengambil tas belanjaan.
"Fariz nanti sore ke sini, Mbak. Dia bantuin foto. Boleh, ya?"
Aku menoleh ke arahnya, terpancar semangat yang membuatku tersenyum senang. "Bolehlah, semakin banyak yang bantu, semakin semangat."
Sampai aku masuk ke ruang belakang, tak henti-hentinya dia bicara. Tentang Fariz--adiknya yang menghubungi dia, dan tercetus ide membuat logo kemasan sampai bagaimana pengambilan foto yang menarik.
Memang, Fariz dulu pernah ikut extrakurikuler fotografi dengan fasilitas kamera dari sekolah. Untuk hal ini, dia sudah biasa.
Jualan online, memang harus kuat di visual. Memanjakan mata dan menggelitik pelihat penasaran. Gambar mewakili produk dan bikin ngiler yang melihat. Pastinya, ini ditujukan supaya pengunjung lapak memencet kolom checkout.
Sederek Kitchen, mengusung makanan tradisional kekinian. Rencananya, setiap bulan akan diluncurkan produk baru. Ini supaya pembeli tidak bosan dan nantinya akan menunggu dan penasaran selalu di setiap bulannya.
Kali ini, aku mengulik kue semprit. Aku memadukan rasa kekinian, ada lima rasa: klasik, matcha, red velvet, oreo, dan hazelnut.
"Fariz nanti ke sini bawa stiker logo dan bahan packing. Katanya, dia akan pinjam kamera temannya," jelasnya kemudian menunjukkan layar ponselnya kepadaku. "Ini tampilan sampul FB, dan ini IG. Logonya ini yang lay-out Fariz, tadi dia kirim whatsapp."
"Bagus! Dia ternyata pinter, ya," ucapku kemudian berhenti, menyadari sesuatu. "Memang dia tidak kerja? Nanti dia dipecat, lo. Masih karyawan baru sudah korupsi waktu."
"Dia kerjakan ini pas istirahat, Mbak. Don't worry, lah."
"Iih, sok kemingris!" teriakku sambil mencolek pipinya dengan jariku yang belepotan tepung. Sontak dia teriak dan berakhir tertawa.
Melihat keriuhan ini, hatiku menjadi lega. Keluarga kami ternyata masih seperti dulu, saling bahu membahu dengan hati gembira. Semoga nantinya menggelitik hati Dek Arif dan Dek Hana untuk bergabung kembali.
Benar yang pernah aku baca. Saat kita fokus ke suatu titik, itu sama saja kita menariknya untuk mendekat. Sama seperti sekarang, aku fokus ke pekerjaan dan pikiran positif. Jadi semua yang mendukung akan dengan sendirinya datang mendekat.
Bayangkan saja, kalau aku fokus ke sakit hati, bukankan itu malah merugikan aku sendiri. Semakin dalam dan terpuruk dalam lubang kesedihan dan semua energi negatif, prasangka akan semakin membenamkan aku.
Untungnya, aku bisa melepaskan diri.
***
"Beneran Om Fariz nanti ke sini, Te? Asik!" teriak Lisa anakku dengan girang. Mereka baru pulang sekolah, terlihat mendapati Santi yang sibuk membantuku.
"Kamu nunggu Om Fariz atau mie ayam Pak Tombong," goda Fikri kakaknya, berakhir teriakan keduanya. Lisa berusaha mengejar Fikri, namun tidak berhasil.
Duh, mereka ini kalau berkumpul ada saja yang diributkan. Namun, kalau tidak ketemu saling menanyakan. Dasar anak-anak.
Loyang yang berisi kue semprit satu persatu keluar dari oven. Harus bersabar, karena aku menggunakan oven tangkring yang mempunyai kapasitas terbatas.
Tepat saat Fariz datang kue semprit sudah siap di lima wadah dengan rasa berbeda. Warnanye terlihat menggoda, putih untuk klasik, hijau-matcha, merah-red velvet, kehitaman-oreo, dan kecoklatan untuk hazelnut. Aku, Santi, dan anak-anak puas dengan hasil di depan kami ini.
"Mbak Fika, punya kardus besar?" tanya Fariz mulai bersiap menyiapkan acara foto-foto.
"Ada di gudang, coba cari," seruku kemudian mencari Fikri untuk membantunya. "Fikri! Dicari Om Fariz!"
Mereka begitu sibuk, Fikri membantu omnya membuat studio mini dari kardus. Sedangkan, Lisa membantu tantenya memasukkan ke kantong kertas dan memasang stiker yang dibawa Fariz tadi.
Aku tersenyum lega, diam-diam aku foto kesibukan ini dan aku kirim ke Mas Farhan. Pasti dia senang.
[Siapkan makan, kita makan bareng. Mas sebentar lagi pulang. Nanti Mas belikan ayam krispy. Mas dapat rejeki]
[Seperti biasa, ya. Gelar tikar]
Balasan whatsapp dari Mas Farhan.
Gegas, aku menyiapkan semuanya. Menggelar tikar di depan televisi. Kebiasaan kami dulu karena meja makan tidak cukup untuk orang banyak.
Tak seberapa lama, bunyi motor Mas Farhan terdengar, aku langsung menyambutnya seperti biasa.
"Anak-anak mana?" ucapnya sambil melongokkan kepala. Kemudian senyum terbit sempurna, mungkin rasa yang sama denganku, kangen berkumpul dengan banyak keluarga.
"Lihat, ayah bawa apa?" teriak Mas Farhan sambil memamerkan tas kresek yang dia jinjing. Mereka yang sibuk dengan aktifitas masing-masing mendongak bersamaan.
Mata Lisa membulat, dan langsung berlari menyongsong Mas Farhan. Makanan yang sempat absen dari meja makan kami, kembali hadir. Aku dan Lisa langsung menata makanan di tikar, Mas Farhan membersihkan badan, dan Fikri Fariz menyelesaikan studio yang tinggal sesikit lagi.
"Ayo makan dulu. Baru setelah ini kerja lagi!" panggil Mas Farhan, kemudian secepatnya mereka bersiap di atas tikar. Menyodorkan piring kosong untuk kuambilkan nasi.
"Kangen makan bareng," seru Fariz kemudian mengambil ponsel di sakunya. Mengarahkan ke kami untuk selfie.
"Senyum semua, ya!" serunya kemudian mengambil foto beberapa kali.
Kami makan dengan lahap, selain lapar. suasana kebersamaan ini yang menentukan. Bahkan, Mas Farhan dan Fariz sampai nambah tiga kali. Mungkin karena keasikan ngobrol, sampai tidak sadar sudah makan banyak.
Tring .... Tring .....
"Santi, telponmu bunyi itu, lo. Dari Ibuk mungkin?" teriak Mas Farhan mengingatkan.
"Ibuk sudah tahu, kok. Aku sampai malam di sini," jawab Santi. Dia meraih ponsel, memastikan siapa yang kirim pesan.
Sesaat dia diam, kemudian mengerutkan dahi seperti ada kesal di sana. Dengan tatapan aneh dia memandangku dan berkata, " Dari Mbak Hana. Dia di rumah, aku disuruh pulang sekarang."
"Dek Hana di rumah?" tanya Mas Farhan langsung.
"I-Iya, Mas," sahut Santi dengan gugup.
"Suruh ke sini saja, sekalian ajak Ibuk biar rame. Toh, kerjaanmu belum selesai, kan?" sela Fariz memberikan usul.
Santi yang masih menggenggam ponsel, terlihat ragu. Dia menatapku seakan meminta pertolongan. Pasti ada yang tidak beres, kasihan Santi.
"Ya, sudah kamu pulang saja. Sekarang kan tinggal foto saja. Biar Fariz dan anak-anak yang kerjakan," ucapku menengahinya.
Entah, apa yang terjadi. Lebih baik Santi pulang mengikuti permintaan Dek Hana. Semoga tidak terjadi apa-apa.
***
[Mbak Fika, tadi Mbak Hana tanya-tanya tentang Mbak Fika dan Mas Farhan. Masih marah atau tidak]
[Aku jawab, tidak.]
[Aku bilang juga Mbak Fika tahu status di FBnya. Aku marah ke dia, eh malah dia marah balik]
[Kesel, aku, Mbak]
[Kok ada orang seperti itu]
Pesan whatsapp dari Santi masuk bertubi-tubi, kelihatan sekali dia kesal. Aku menunggunya dia selesai mengirim pesan, baru aku tulis balasan.
[Sabar, San. Mungkin dia ada masalah pekerjaan. Nanti kalau sudah reda, pasti tidak begitu lagi. Didoakan saja, ya]
[Ih, Mbak Fika. Telpon dia saja, Mbak. Marahin supaya tidak nglunjak]
"Siapa, Dek?" Pertanyaan Mas Farhan membuatku kaget. Aku langsung menaruh ponsel di atas nakas.
"Santi, Mas. Nanya kerjaan," jawabku berbohong. Bingung saya mau jawab apa, karena kalau dikatakan yang sebenarnya, buntut penjelasannya panjang.
"Oh gitu. Oya, Dek Hana tadi kenapa?"
"Tidak tahu, ya," jawabku dengan menaikkan kedua bahuku. "Apa aku tanya ke Santi?"
"Eh, tidak usah. Biar dia istirahat."
Syukurlah, suamiki ini tidak bertanya lagi. Aku ke luar kamar, memastikan semua sudah terkunci. Kemudian menilik kamar Lisa yang penghuninya sudah berselimut rapat. Samar, masih terdengar obrolan di kamar Fikri, pasti dia masih terjaga bersama omnya.
"Ayo, tidur. Sudah malam. Besuk bangun pagi!" ucapku sambil mengetok pintu.
Tak selang berapa lama, lampu kamar padam, menunjukkan penghuni bersiap tidur.
"Mereka sudah tidur semua." Aku melapor ke suamiku yang menyambutku dengan senyuman.
"Mereka sudah besar, ya. Hana, Arif, Santi, dan Fariz. Sekarang, tanggung jawab kita hanya anak-anak," ucap Mas Farhan kemudian menarik tanganku.
Sambil menepuk punggung tanganku dia berkata lagi, "Dek Fika, terima kasih sudah membantuku menanggung bebanku selama ini. Kamu seorang istri yang luar biasa. Maafkan Mas, tidak membahagiakanmu seperti suami-suami lainnya."
"Bicara apa, sih, Mas. Hidup bersamamu saja, sudah cukup membuatku bahagia."
Terdengar helaan napas Mas Farhan yang berujung pertanyaan. "Kadang, aku mempertanyakan sikapmu yang tidak pernah mengeluh atau menuntutku. Aku kawatir kamu memendam sesuatu."
Seketika aku mengangkat dagu, menatap mata suamiku, menyelidik dan memastikan. Aku seperti tersindir.
Jangan-jangan, dia tahu hati ini sempat tertoreh beberapa hari yang lalu?
Duh!
***
Balasan Whatsapp Dari Adik (10)
----------
Pagi-pagi aku sudah beres-beres. Setelah menyiapkan semua keperluan anak-anak sekolah, dan mereka sudah berangkat, aku pun mulai menyiapkan membuat kue semprit.
Rencananya, beberapa kue semprit di bagikan dan dimintai pendapat yang akan di video, tentunya setelah mendapat persetujuan. Ini usulan Fariz, dia bilang pembeli online biasanya selain melihat produk dia juga meneliti pendapat orang sebagai bahan pertimbangan. Makanya kalau di marketplace ada penilaian bintang.
Entah, Santi ke sini lagi atau tidak. Setelah percakapan tadi malam, aku tidak membuka ponsel lagi. Baru pagi subuh aku meniliknya, ternyata pesan yang masuk berderet.
[Tadi malam Mbak Hana dikirim foto makan bersama kita oleh Fariz]
[Dia marah, kenapa aku dan Fariz memihak Mbak Fika]
[Kok tidak ke saudara kandung, Mbak Fika kan ipar saja, itu katanya.]
[Kalau bagiku, Mbak Fika tidak sekedar istri Mas Farhan, tetapi orang tua dan pembimbingku]
[Maafkan Mbak Hana, Mbak]
Huuft ....
Aku menghela napas. Ternyata Hana masih saja mempermasalahkan. Padahal, salahku apa? Bicara atau kirim pesan saja tidak, atau membalas komentar di FB juga tidak.
Yang kirim whatsapp untuk pinjam uang pun, Mas Farhan--Kakaknya sendiri. Yang menegur dia lewat telpon, juga Pakde Ji--sodara ayahnya sendiri. Termasuk yang membalas komentar menyanggah dan mempertanyakan statusnya juga teman-temannya sendiri di dumay.
Trus, kenapa dia memusuhiku? Seakan aku menabuh genderang perang. Aku hanya sekadar diam untuk menjaga kewarasanku. dan tidak ambil pusing dengan hal yang tidak perlu.
Apa mungkin dia kesal karena aku mengabaikannya? Tidak memakan umpannya untuk marah atau sekadar balas komentar? Ibaratnya, dia melemparkan pukulan ke ruang kosong kemudian berakhir kecewa dan kesal.
"Assalamualaikum!" Suara keras dari depan, secepatnya aku mencuci tangan dan membukakan pintu.
Senyum lebar Santi langsung nampak, sekaligus sosok dibelakangnya--ibu mertua. Santi langsung mencium tanganku, dan berganti aku mencium tangan ibu.
"Sehat, Bu?"
"Alhamdulillah. Farhan sudah berangkat?" tanya Ibu mertua sebelum duduk di sofa. Dia mengamati sekeliling ruangan, bekas Fariz foto-foto ada disimpan di ujung ruangan bersama beberapa contoh produk.
"Itu kerjaan Fariz tadi malam," jawabku menjawab pertanyaan yang tersirat di matanya. "Mas Farhan mandi, Bu. Sebentar lagi bersiap berangkat," tambahku kemudian mendudukkan diri di depannya.
"Mbak Fika, lodehnya di taruh panci atau langsung di mangkok?" teriak Santi dari dapur.
Aku langsung menatap ibu kembali, "Ibu bawa makanan?"
"Iya. Ada lodeh nangka dan ayam bacem. Kemarin Ibu masak, Santi di sini jadinya tidak ada yang makan. Ibu ingat, kamu suka sekali makanan manis, makanya dibawa sekalian," jelas Ibu kemudian melepas jaket sweter berwarna coklat--jaket yang aku belikan tahun lalu.
"Sebentar, saya ambilkan minum, sekalian lihat Santi di belakang." Aku pamit kemudian beranjak meninggalkannya.
Setelah membuat minuman, dan mengarahkan apa yang harus dikerjakan Santi, aku ke depan. Langkah kaki ini terhenti dengan suara samar Mas Farhan yang berbincang dengan Ibunya.
"Kamu maklumi sikap Hana, Far. Dia itu anak yatim yang pas sayang-sayangnya dengan Bapakmu ditinggalkan. Aku tahu perasaan dia, biasa dimanja kemudian blas ... seketika hilang."
"Tapi, Bu. Okelah, dulu dia masih kecil. Sekarang ini dia sudah dewasa, sudah tahu mana sikap yang pantas dan mana yang tidak sesuai. Kalau kita terus maklumi dia, kapan dia dewasanya? Lama-lama dia keblinger. Kemarin yang dia menyuruh Santi pulang, aku sudah tidak enak dengan Fika. Kalau dia butuh, harusnya dia ke sini, ya. Wong, Santi kerjaannya belum selesai."
"Iya, Ibu mengerti juga. Makanya, kemarin juga Ibu tegur. Tapi, kamu juga harus memaafkan dia. Ibu hanya ingin kalian rukun selalu."
Kuurungkan niat untuk ke ruang depan. Mereka bicara dengan nada serius, bahkan suara Mas Farhan terdengar ditekankan. Aku tidak mau mengganggu, tidak enak nantinya.
Kuletakkan teh hangat di meja tengah, lebih baik aku ke belakang melanjutkan pekerjaanku bersama Santi.
Kalau mendengar percakapan mereka, ini hanya seputar karena Dek Hana yang meminta Santi pulang, bukan yang lain.
*
"Santi, kamu tidak bantu Mbak Fika. Main hape terus," celetuk Ibu yang membawa loyang berisi penuh kue semprit yang sudah siap packing.
"Dia tidak main hape, Bu. Santi kerjakan pemasaran online," ucapku yang jalan di belakangnya sembari membawa loyang juga.
"Iya, Mbak Fika! Ibu suka sekali suudzon. Setiap aku pegang hape dibilang main," sahut Santi dengan mulut bersungut-sungut.
"Iya gimana, ya. Kalau di rumah tuh pegang hapeeee terus. Mulai duduk, kemudian nyender, dan akhirnya sambil tiduran. Malah. kadang-kadang tertawa sendiri! Ya gitu, Fika. Kelakuan adikmu, walaupun di rumah Ibu tidak ada temen ngomong," terang Ibu mencurahkan isi hatinya.
"Ah, Ibu. Ngadu, ye."
"Ibu bilang seperti itu, karena Ibu belum tahu, San." Aku mensejajari mertuaku ini, mengambil ponsel dan menunjukkan kepadanya.
Aku bukakan instagram yang dari kemarin sudah di posting sebagian foto-foto. Follower sudah bertambah, bahkan ada beberapa yang mengajukan pertanyaan. Di biodata sudah dicantumkan link ke marketplace. Mereka diarahkan untuk bisa langsung pesan di sana.
"Jadi ini yang dikerjakan Santi?" tanya Ibu sambil menelengkan kepala ke arahku.
"Iya, Bu. Fotonya yang foto Fariz," jelasku menambah membuat Ibu mengangguk beberapa kali. Tersirat senyum kebanggaan di wajahnya, aku pun ikut senang melihat ini.
"Jadi Ibu tidak protes lagi, kan?" seru Santi yang sudah berdiri di belakang kami.
"Ya tetep protes, lah. Terutama, kalau kamu tertawa-tawa sendiri. Ibu takut kamu kesambet setan!" jawab Ibu sambil tertawa lebar. "Iya kan, Fika. Itu kan tandanya wong edan."
Aku dan Ibu pun tertawa bersama, apalagj melihat reaksi Santi yang menghentakkan kaki dengan bibir yang semakin ke depan.
*
--------
Masih ngoven pake tangkring saja songong. Ngomong sana-sini mengumpulkan pasukan untuk menyerang. Kalau berani, hadapi langsung, dong. Beraninya main belakang dan menggelar drama.
----------
Santi menunjukkan status Dek Hana di facebook ke arahku. Sorot matanya menunjukkan kecemasan sekaligus kesal.
Ternyata teguran dari Ibu tidak menghentikannya, malah membuatnya tersulut. Foto yang dikirim Fariz pun tidak menggerakkan hati, malah menjadi ancaman buatnya. Seakan aku mengumpulkan masa untuk melawannya.
Kuhentikan Santi saat jemarinya akan menambah di kolom komentar. "Jangan di teruskan. Semakin diladeni, tambah semakin panas. Ini hanya seperti menyiram minyak ke api."
"Tapi, Mbak. Kalau Mbak Fika diam, Mbak Hana akan menginjak-injak Mbak Fika. Aku tidak rela dia seperti itu! Sarjana kok otaknya di dengkul!" teriaknya kesal.
Aku langsung memberi tanda untuk tidak bicara keras. Kawatir yang kita bicarakan terdengar oleh Ibu. Bisa tambah gawat, kalau Ibu mengerti dan marah, kemudian kambuh penyakitnya. Untung Ibu istirahat siang di kamar Lisa, jadi kami bisa leluasa bicara, tentunya tidak dengan suara keras.
Benar juga ucapan Santi, yang menjadi incarannya adalah aku. Maju atau tidaknya aku, sama-sama ada resikonya.
Tring .... Tring .....
[Dek, siang aku tidak pulang, masih belum selesai]
[Mungkin setelah magrib sampai rumah]
[Tadi aku telpon Hana untuk ke rumah setelah Isyak. Ada yang harus diluruskan sebelum tidak karu-karuan]
[Pastikan, anak-anak mengantar Ibu sebelumnya]
[Ingat ya, pastikan saat pembicaraan nanti, Ibu dan anak-anak tidak di rumah. Santi biarkan tinggal]
[Maafkan Mas, ya, Dek]
Pesan yang tidak biasa dari Mas Farhan, suamiku. Menyiratkan ada hal yang genting mengenai Dek Hana. Apakah ini karena pesan whatsapp, status facebook, atau ada yang lain.
Aku menunjukkan pesan ini ke Santi, kami saling berpandangan dengan kecemasan yang sama. Apakah bom waktu yang aku kawatirkan akan meledak?
Huuft!
Aku harus bersiap kemungkinan apapun yang terjadi nanti malam.
(BERSAMBUNG lanjut ke bab selanjutnya)
***
Astika Buana
(Akun PF : astika_buana; Instagram: Astika_Buana; FB: Astika Buana)
Terima kasih sudah membaca cerita ini.
Letakkan pendapat anda di kolom komentar dan pencet tanda suka.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
