Deskripsi

Semua berjalan dari awal, dia yang dulunya seorang putri dari jenderal paling berpengaruh, menjadi seorang dayang yang setia pada tuannya. Bukan tanpa alasan dia melakukan itu, tapi karena keinginan sang kakak tercinta untuk menjaga sang hati tetap hidup aman. Namun takdir berkata lain, Sang Dewa sudah menggariskan perjalanan hidupnya mendapatkan tambatan hati yang tak pernah dia bayangkan

Sudah satu tahun lebih putri Ino menjadi selir kekaisaran Uchiha. Namun keadaan tetap sama. Tidak ada yang berubah kecuali tanah kelahiran sang putri bertambah maju dan damai. Para penjahat berkurang drastis begitu Kaisar agung penguasa tanah Konoha mengambil tindakan. Tak sampai situ, bahkan sang kaisar pun ikut memberantas para pejabat yang korupsi. Dengan kata lain, semua pemerintahan kerajaan Yamanaka secara tidak langsung berada dibawah pimpinan Kekaisaran Uchiha.

Banyak yang mendukung, terutama para rakyat. Namun tak urung juga banyak yang mengecam. Terutama para penguasa tidak jujur yang merasa nyawa dan kenyamanan mereka terancam. Keadaan stabil, perekonomian pun meningkat walaupun masih banyak rakyat yang hidup dalam kesusahan.

Meski begitu, masalah dalam istana selir tidak ada peningkatan. Putri Ino harus menahan sindiran dan celaan dari keluarga istana karena belum memberikan keturunan. Berita-berita tak sedap mulai simpang siur di dalam istana kekaisaran. Tapi Ino mengabaikan. Lagipula, untuk apa Ino hamil dengan orang yang sangat dibencinya?

"Seharusnya aku memotong lidah mereka yang berbicara sembarangan!"

Tenten langsung membungkam mulut Sakura ketika mendengar umpatan wanita itu. Ia menatap ke segerombolan wanita-wanita istana Harem yang saat ini tengah berkumpul. Membicarakan keadaan tuan putrinya dengan lancang.

"Nona, jangan mengatakan hal yang bisa memancing kerusuhan." Bisik Tenten pada Sakura.

Sakura memutar bola matanya. Ia melepas bekapan Tenten dan melirik gadis itu kesal, "Berhenti memanggilku Nona! Apa kau tuli? Ini sudah setahun lebih!"

Tenten meringis. Sudah lebih dari setahun. Namun rasanya sangat canggung memanggil Sakura hanya dengan namanya saja. Bagaimanapun, status mereka dari awal sangatlah berbeda, "Maaf. Aku hanya belum terbiasa." 

Sakura mengabaikan. Dia memilih melanjutkan jalannya yang sempat tertunda, "Yang Mulia Kaisar belum menemui Putri lagi?"

Tenten menggeleng, "Belum. Malam ini adalah jadwalnya Yang Mulia membalik papan. Semoga Putri terpilih." 

Mendadak langkah kaki Sakura berhenti lagi. Ia berbalik cepat menghadap tenten yang berdiri tepat di belakangnya. Membuat Tenten terkejut hingga perempuan itu mundur dua langkah.

"Kalau begitu kau harus mempersiapkannya dengan baik. Aku akan pergi dulu." kata Sakura dengan serius.

Kening Tenten mengkerut, "Nona mau kemana lagi?" ia langsung terdiam begitu mendapat pelototan tajam dari Sakura. Tenten baru saja kelepasan, "Kenapa setiap Yang Mulia Kaisar hendak ke kediaman Putri, kau pergi?"

Sakura berdecak, ia merangkul Tenten dan kembali mengajaknya berjalan. Berbisik dengan suara rendah, "Ada yang harus aku urus. Ini demi keselamatan Yang Mulia Kaisar juga."

Tenten semakin tidak mengerti, "Keselamatan?"

Sakura menahan untuk tidak memutar kedua matanya. Sebagai gantinya gadis itu tersenyum manis. Namun senyum itu terlihat mengerikan di mata Tenten.

"Jangan banyak bertanya. Kau lakukan saja apa yang aku suruh. Dan aku melakukan tugasku, mengerti!" kata Sakura tegas.

"T-tapi.."

"Sudahlah, cepat kau urus Putri dengan baik. Aku pergi dulu." setelah menepuk pundak Tenten, Sakura berlari berlawanan arah dari Pavilliun Melati.

Tenten hendak berteriak, tetapi dia kembali mengatupkan mulutnya saat sadar jika tidak boleh membuat keributan di istana. Akhirnya perempuan berusia 20 tahun itu hanya mampu menghela napas pelan. Lalu berjalan lagi setelah punggung Sakura tak terlihat.

.
.
.

"Yang Mulia Kaisar, saatnya membalikkan papan."

Sasuke meletakkan kuas penanya dan menoleh pada kepala kasim. Ia memandang sejenak pria yang lebih tua 5 tahun darinya yang menyengir di hadapannya. Meraih kertas di meja dan memukul kepala pria itu.

"Hentikan cengiranmu itu!" ujarnya tenang seperti biasa.

Chouji sedikit mengaduh dan terkekeh. Ia meminta maaf dengan segera. Lalu mengulurkan nampan dengan beberapa papan yang di balik.

"Silahkan tentukan pilihan Anda Yang Mulia Kaisar." ucapnya kemudian.

Sasuke menghela, ia mengangkat tangan dan mengurut keningnya yang terasa sakit. Apakah sudah selarut itu hingga dia harus membalik papan sekarang?

"Bisakah aku melewatkannya malam ini?" tanyanya dengan lemah.

"Em...itu.." Chouji tampak kesulitan untuk menjelaskan. Takut jika menyinggung pemilik kekaisaran yang agung ini, "A-anda, kan, sudah melewatkannya minggu kemarin Yang Mulia Kaisar."

Sebelah tangan Sasuke menggebrak meja. Chouji langsung memejamkan mata menahan takut. Ia mengintip hati-hati Kaisar yang berdiri dengan wajah dingin.

"Baiklah, kau yang membalikkannya untukku. Suruh mereka segera menyiapkan tandu juga." Sasuke berkata tenang. Ia berbalik pergi keluar dari ruang kerjanya dan berjalan menuju bilik kamar. Melepaskan pakaiannya, "Siapkan air mandi dengan segera!" imbuhnya.

"B-baik Yang Mulia Kaisar," Chouji segera melaksanakan perintahnya. Dia membalik papan dengan acak, "Anda akan ke paviliun Bunga Melati setelah ini." ia terdiam sejenak. Menunggu junjungannya untuk berbicara.

"Aa." hanya itu jawaban dari Sasuke.

Chouji membungkuk memberi salam, "Saya akan memberitahu para pelayan." ia mundur dan keluar ruangan.

Sasuke menghela saat mendengar pintu tertutup. Menoleh lewat bahu menatap ruang kerjanya yang sudah sepi melalui bilik bambu. Ia berjalan menuju ranjang. Mendudukkan diri di sana bersamaan dengan satu dayang masuk untuk memberitahunya jika air untuknya mandi sudah siap. Ia pun segera pergi ke ruang pemandian miliknya.

.
.
.

Sakura berjalan pelan tanpa suara. Dengan waspada dan hati-hati dirinya mengawasi sekitar. Ia baru saja kembali setelah cukup lama berkeliaran entah ke mana.

Sudah tengah malam. Seluruh penghuni istana rata-rata pastilah sudah tidur dan menjelajahi alam mimpi. Sakura mengendap-endap menuju kamarnya. Ia beberapa kali bersembunyi ketika ada para penjaga yang sedang berpatroli. Menghembuskan napas lega ketika dirinya tak ketahuan.

Ia menghela napas begitu sampai di area paviliun tuan putrinya. Berjalan lebih tenang dan santai. Kesunyian di sekitarnya sedikit membuat Sakura nyaman. Gadis itupun menghentikan langkah sejenak, sebelum akhirnya berjalan menuju kolam ikan dan berjongkok di sana.

Ia memandang ikan yang masih senang berenang elok di antara gelapnya taman paviliun. Kedua tangannya berada di atas lutut. Dengan sebelah tangan yang menopang dagu.

"Yang Mulia Kaisar kira-kira ada di sini tidak, ya?" gumamnya pada ikan itu seolah mengerti apa yang dia bicarakan.

Sakura menelengkan kepalanya. Emerald gadis itu tampak cantik saat terpantul oleh kilauan air kolam yang bergoyang. Angin malam yang berhembus pelan nyatanya tidak membuatnya kedinginan. Ia justru menikmatinya sembari terus melihat ikan-ikan.

Sementara itu, Sasuke baru saja keluar dari kamar Putri Ino. Raja berusia di akhir dua puluhan tersebut berjalan pelan menyusuri koridor Paviliun Melati. Mencari angin untuk menghilangkan sedikit keringatnya. Meninggalkan sejenak Putri Ino yang sudah terlelap.

Langkah kakinya tanpa sadar membawanya ke taman tempat Sakura berada. Mata pria itu memicing ketika melihat siluet gadis tersebut. Hendak menegur kalau saja tidak ada sosok lain yang memanggil perempuan yang tidak di kenalinya itu. Akhirnya dia hanya berdiri tak jauh dari mereka.

"Kau dari mana saja?"

Sakura berdiri setelah menoleh ke belakang. Ia tak lekas menjawab sebelum sosok yang memanggilnya sampai di dekatnya, "Jalan-jalan."

Tenten melotot, "Apa saja yang kau lakukan, Nona?!"

Sakura berdecak, ia menendang tulang kering Tenten pelan, "Berhenti memanggilku Nona. Kau itu tuli atau apa?"

Bibir Tenten terkatup sejenak. Ia kembali kelepasan. Kaget dan kekesalannya membuatnya melupakan larangan dari perempuan di depannya saat ini.

"Jawab aku saja, kau dari mana?" Tenten sudah kembali berbicara tidak formal, "Sejak siang kau menghilang begitu saja. Putri sampai khawatir."

"Dari pasar," Sakura menjawab pertanyaan Tenten dengan wajah lempeng. Menambah pelototan dari gadis itu.

"Pasar? Kau keluar istana lagi?" Tenten sedikit merendahkan suaranya, "Ini bukan kerajaan Yamanaka. Bagaimana kau bisa bersikap seperti ini?"

"Bersikap apa? Aku hanya berjalan-jalan saja dan tidak membuat masalah apapun."

"Sakura, kau baru saja melanggar peraturan. Pergi keluar istana tanpa ijin adalah pelanggaran. Semua kerajaan memiliki peraturan seperti ini. Bagaimana mungkin itu tidak di sebut sebagai masalah?"

Sakura masih tetap bersikukuh, "Aku tidak membuat keributan Tenten."

"Itu karena kau tidak ketahuan. Bagaimana kalau tertangkap?" Tenten menghembuskan napas lelah dan mengurut keningnya, "Bagaimana kau bisa melakukan ini. Bagaimana caramu pergi? Bahkan berulang kali?!" gumamnya dengan nada lelah.

"Dinding istana ini tidak mungkin bisa menghalangiku. Kau tahu itu dengan baik." Sakura berkata polos. Dan Tenten menjadi sangat kesal karenanya. Bukan hanya karena nada polos itu mengandung sedikit kesombongan, tetapi apa yang di bilang oleh Sakura memang benar. Tidak ada dinding yang bisa menghalangi perempuan itu melakukan apa yang dia mau.

"Seharusnya aku menghalangi mu tadi."

Sakura menghendikkan bahunya tak acuh. Dia menepuk bahu Tenten seolah memberi kekuatan untuk bersabar. Ya, bersabar ketika menghadapinya.

"Yang Mulia Kaisar ada di sini?" tanya Sakura kemudian. Ia menoleh ke sekitar mereka.

Tenten mengangguk lemah.

"Kau mempersiapkan semuanya dengan baik, kan?"

Sekali lagi Tenten mengangguk.

"Bagus. Semoga Yang Mulia Kaisar betah di kamar Tuan Putri."

Mata Tenten berpendar malas. Dia menatap Sakura hingga wanita itu kembali bertanya.

"Kenapa kau menatapku begitu?"

Tenten menggeleng pelan, "Tidak ada. Aku hanya merasa jika ucapan mu tadi terasa hambar. Kau mengatakannya seolah menyukainya. Tapi aku merasa jika sebenarnya kau tidak suka."

"Haha, itu tidak mungkin. Kenapa aku harus tidak suka. Tuanku akan jadi kesayangan Kaisar jika dia hamil. Tentu saja aku harus bahagia." jawab Sakura di sela tawanya yang hambar.

"Kata 'harus' yang kau katakan barusan sudah mewakilkan kalau itu tidak tulus. Itu menegaskan kau mengharuskan bahagia walau aslinya tidak."

Sakura terdiam. Ia menatap Tenten lama. Sedangkan Tenten juga berbalik menatap lurus ke arahnya. Untuk sejenak keduanya terdiam dengan pikiran masing-masing.

"Sakura, kau masih membenci Yang Mulia Kaisar?" tanya Tenten hati-hati, "Atau kau justru kau mencintainya? Kau selalu menghindar setiap Yang Mulia Kaisar ke mari. Kalau bukan karena dua alasan itu, lalu apa?"

Sakura mendengus. Senyum miring tercetak samar di bibirnya. Ia berbalik membelakangi Tenten. Mendongak menatap langit, "Apa yang membuatmu berpikir kalau aku menyukai Kaisar? Itu konyol." ia berujar seringan angin yang sedang berhembus sekarang.

"Kau selalu menghindarinya sebisa mungkin selama ini."

"Bukankah itu sudah jelas alasannya?"

Tenten terdiam sejenak, "Yang Mulia Kaisar tidak sepenuhnya bersalah tentang kejadian itu. Tolong jangan membuatmu lebih sakit lagi."

Sakura, "Aku tahu. Karena itu aku menghindarinya untuk menahan diri."

Angin kembali berhembus di antara kesunyian mereka berdua setelah itu. Sakura berbalik kembali menghadap Tenten. Tersenyum hingga matanya menyipit, "Sudahlah, ayo pergi tidur sebelum ada yang menyadari kita berada di sini." ucapnya sebelum berjalan melewati Tenten untuk kembali ke kamar miliknya sendiri.

Tenten masih di sana sebelum mengikuti Sakura dengan jarak yang sedikit jauh. Keduanya tak menyadari jika selama perbincangan itu di dengar oleh pihak yang juga dibicarakan oleh mereka. Sasuke diam menatap dua pelayan salah satu istrinya itu pergi menjauh. Sebelum akhirnya berbalik dan berjalan kembali ke kamar pemilik paviliun tersebut.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC..

Harap untuk tidak merasa panas.. Karena masih banyak hal yang lebih membakar emosi nanti :v

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya Bab 2
2
0
Karena pernikahan politik, kakak dan keluarganya dipenggal karena telah berani menentang dekrit dari raja. Dengan alasan menghindari peperangan antar kerajaan, dengan kejamnya sang raja memutuskan pertunangan putri tersayangnya dengan sang kakak. Gejolak amarah menguasai, namun harus ditahan karena janji yang sudah diikrarkan. Semua berjalan dari awal, dia yang dulunya seorang putri dari jenderal paling berpengaruh, menjadi seorang dayang yang setia pada tuannya. Bukan tanpa alasan dia melakukan itu, tapi karena keinginan sang kakak tercinta untuk menjaga sang hati tetap hidup aman. Namun takdir berkata lain, Sang Dewa sudah menggariskan perjalanan hidupnya mendapatkan tambatan hati yang tak pernah dia bayangkan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan