
Sudah jadi suratan hidup penuh penderitaan. Dahulu Yuki hidup miskin, semua harus serba dihemat. Putar otak agar kebutuhan cukup. Baik sandang, pangan, dan papan.
Membeli buku Yuki harus nabung dengan kerja paruh waktu. Dia sudah terbiasa menekan diri bagai budak. Melakukan apa saja asal dapat uang.
Yuki bahkan jadi bandar contekkan. Setiap soal dia bandrol seribu rupiah, semua demi agar bisa ikut beli jajan.
Bukan main gadis itu kalau soal masalah perjuangan hidup. Tak patah arang, kuat mental bagai anggota karyawan jepang tempo dulu; romusha.
Andai ada penghargaan untuk karakter Charlotte mana yang bermental baja, maka dengan lantang Yuki akan mengacung tangan, saya! Saya lah karakter itu! pilih saya.
Waktu berlalu, masa berganti. Perjuangan dan air mata berubah menjadi kenyataan hidup yang jauh lebih baik.
Kalau bisa dibilang, Yuki sudah ada di atas garis kemiskinan.
Sekarang, Yuki bahkan sudah duduk di dalam mobil pajero. Miliknya sendiri yang dia beli, punya apartemen cukup mewah, dan juga habis makan roti panggang.
Harusnya dia berbangga. Harusnya dia berterima kasih pada penulis murah seribu tiga itu, Charlotte.
Namun, entah kenapa perasaan Yuki nelangsa. Dia masih merasa miskin. Dan gadis itu tak tahan berteriak, "Bajingaaannn!!"
Tinn!!
Bersamaan dengan teriakkannya. Suara klakson dari mobil belakang memberi kode untuk Yuki segera tancap gas. Lampu sudah berganti hijau tiga detik lalu dan seluruh pengguna jalan mulai menggerakkan mobil mereka melintasi persimpangan.
"Iya, Pak, maaf! Bentar."
Buru-buru gadis itu menurunkan rem tangan dan menginjak gas pelan.
"Bisa nyetir nggak sih lo?" Maki pengendara di belakang Yuki saat menyalip kendaraannya. Orang itu bapak-bapak, gendut, kumisan, dan pakai baju PNS.
"Iya, Pak," katanya lagi dengan cemas.
Tiba di gedung tempatnya bekerja. Yuki naik menggunakan lift menuju lantai kantor EY berada.
Gadis itu masuk ke dalam ruangan dan disambut oleh bawahannya yang segera menggerumbung.
"Bu Yuki. Akhirnya Bu Yuki datang juga."
"Iya, kenapa? Ada masalah apa lagi?"
"Tadi ada perwakilan dari Pt Bukit Jaya. Katanya CEO kita diganti, emang iya, Bu?"
Yuki menipiskan bibir, lalu mulai melancarkan ragam kalimat yang sudah gadis itu susun sejak semalam.
Kedatangannya di EY-education hari ini adalah untuk yang terakhir kali. Dia akan mengucapkan salam perpisahan pada semua timnya. Sesuai dengan kesepakatan dengan si sipit keparat.
Yuki diminta bekerja menjadi sekertaris William selama tiga bulan. Dua kali lipat dari masa saat Yuki menyakiti laki-laki itu dulu, tiga minggu.
Setelahnya, usai William puas. Yuki akan dikembalikan lagi menjadi pemimpin utama EY-education dan harapannya. William tidak menganggunya lagi.
Namun, itu masih tak dapat dipercaya. Mengingat nama belakang William diikuti kata pendendam. Adam William Mattias si tukang dendam tak kesudahan.
"Iya, gue datang hari ini juga buat kasih acara perpisahan. Gue bakal dipindah tugaskan sementara di Pt Bukti Jaya, tapi nggak lama kok."
"Yahh, Bu. Masa pindah sih? Kami udah nyaman sama Ibu." Wirda menekukkan bibirnya sedih, ditemani Mulan yang ada di samping gadis itu.
"Iya, Bu. Kalau bukan Ibu yang mimpin rasanya beda. Emang kenapa sih, Bu, diganti?"
"Emm, soalnya. Investor kita kan udah beli saham dominan dari EY, jadi mereka mau melakukan penyesuaian. Mereka juga bagian dari kita kok sekarang. Malah itu bagus, kan. Dan sebagai gantinya. Saya juga dipekerjakan di sana menjadi bagian mereka."
Alasan yang masuk akal, kan? Tapi...
"Emang harus CEO-nya diganti? Nggak masuk akal ah." Egit memprotes. "Kenapa harus Bu Yuki? Kenapa nggak yang lain aja? CEO kan jabatan penting."
Gue juga nggak tahu, Git. Tanya aja sama direktur utamanya Yuki menjawab dalam hati.
Masalah antara dirinya dan William tidak boleh diketahui publik. Itu akan menjadi urusan Yuki dan William secara pribadi.
Masa Yuki harus bilang karena dilatarbelakangi masalah percintaan dan dendam. Itu namanya mencari bahan gosip.
"Udah, nggak apa-apa. Kan juga nggak lama. Sekarang, kita makan-makan aja. Gue bakal traktir kalian semua. Kita beli pizza."
Semua karyawan Yuki bersorak riang. Mereka seketika melupakan masalah yang ada. Sogokkan berupa makanan memang selalu berhasil menyembuhkan lara.
Tapi Yuki, dia tetap bersedih meski sambil mengunyah pizza.
***
Keesokkan hari. Yuki tiba di gedung perkantoran Pt Bukit Jaya. Gadis itu menaikkan wajah menatap tinggi bangunan yang mencapai lima puluh lantai. Megah dan terlihat seperti menyundul langit.
Langkahnya lebar masuk ke dalam dan disapa oleh seorang pria yang bertugas sebagai keamanan di sana.
"Pagi, Bu."
"Pagi, Pak. Emm, saya mau nanya sesuatu. Ruangannya Pak William ada di lantai berapa, ya?"
Kemarin Yuki lupa mengingat nomornya saat datang ke gedung ini. Rasa cemas dan panik terlebih dahulu menggerumbungi isi kepala dan membuat Yuki tidak mengingat apa-apa.
"Pak Willy? Direktur utama, Bu?"
"Iya."
"Lantai tiga puluh, Bu. Nanti naik lift yang khusus tamu aja, ya, di sebelah kiri. Soalnya kalo lift karyawan harus pake Id card. Minta tolong sama satpam ruangan."
"Baik, Pak, makasih."
Yuki masuk membelah bagian loby gedung, sambil matanya menatap beberapa orang yang lalu lalang.
Rasanya benar-benar aneh. Yuki tidak terbiasa berada di kantor semegah ini. Dia biasa di bangunan yang lebih kecil dengan fasilitas standar. Tapi bangunan Pt Bukit Jaya, sudah seperti mall saja di matanya.
Benar-benar canggih. Lantainya saja dari marmer berwarna cukup mencolok, dengan logo perusahaan besar terpampang di bagian ujung.
Begitu mencapai lantai yang dimaksud. Kedatangan Yuki langsung disambut oleh sekitar lima belas orang yang bekerja di ruangan sama. Mereka serentak menoleh pada sosok yang baru datang.
Yuki diam sebentar. Dia tidak terbiasa dengan situasi ini. Gadis itu menyebar pandangan lalu tersenyum untuk menurunkan tekanan yang dia rasa.
"Pagi," sapanya.
Tapi tak ada yang membalas. Setelah melihat kehadiran Yuki. Orang-orang yang tadi menaruh atensi pada gadis itu kembali melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing.
Bejirr, sombong amat, nggak mau balas nyapa. Berapa sih gajinya karyawan yang kerja di sini?
Tak mau berlama-lama tegak macam patung. Yuki meneruskan perjalanan sampai ke ruangan bertulis Direktur Utama. Dia berdiri di depannya mengumpulkan keberanian, sebelum akhirnya mengetuk pintu.
"Permisi, Pak."
"Masuk." Suara William menyahut dari dalam dan Yuki membuka pintunya.
"Kamu baru datang sekarang? Kenapa sekalian kamu nggak datang sore aja pas semua orang pulang." William berbicara dari mejanya sambil memegang pulpen. Laki-laki itu juga mengenakan kacamata tipis dan kemeja yang digulung sampai siku.
Tampak memukau karena Yuki tidak pernah melihat William dalam tampilan seperti itu.
"Emangnya harus datang jam berapa, Pak?"
"Menurut kamu jam berapa? Kamu tahu nggak sekarang jam berapa?"
Yuki melihat jam dipergelangannya. Jarum pendek menunjukkan angka sembilan, dia datang sesuai jam yang seharusnya, tapi mendadak dahi gadis itu mengernyit.
Bukan kah di jalan tadi, dia juga melihat jam sembilan. Bahkan sejak dari apartemennya.
Tunggu.
Degup jantung Yuki mendadak cepat, dia mendekatkan pergelangan tangannya untuk melihat lebih jelas, dan apa yang dia temukan langsung membuat Yuki mengangkat wajah dan menatap William yang cemberut.
"Jam saya mati, Pak. Maaf, lupa ganti baterai."
"Bagus. Besok karir kamu yang saya matiin."
Yuki mengiba. Wajah gadis itu terlihat sedih. Belum apa-apa saja, William sudah mengancamnya. Apalagi ke depannya nanti.
Bisa-bisa kepala Yuki dia tempeleng.
"Jangan pecat saya, Pak. Saya minta maaf, besok nggak akan saya ulangi lagi."
William kembali meneruskan pekerjaannya. Laki-laki itu tak menggubris perkataan Yuki dan kembali sibuk sendiri.
Detik berlalu, berganti menit, dari satuan, menjadi belasan, dan sebentar lagi akan mencapai puluhan.
Tapi masih tak ada tanda-tanda perintah dari William. Dia masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Seolah Yuki jin penunggu ruangan.
Karena lelah berdiri. Yuki akhirnya berinisiatif duduk di sofa mahal William. Dia tidak tahu harus melakukan apa, jadi mending duduk saja.
William memang memintanya menjadi sekertaris, tapi Yuki terlalu buta tentang perusahaan laki-laki itu.
Apa yang harus dia kerjakan? Dan bagaimana sistemnya? Yuki tidak tahu. Kalau disuruh membuat program, Yuki baru tahu.
Menjadi sekertaris benar-benar bukan keahliannya.
Baru saja gadis itu akan mendaratkan bokong melepas lelah. William yang tadi sibuk sendiri, mendadak menaikkan wajah dan menatap gadis itu galak.
"Ngapain kamu duduk? Siapa yang suruh?"
"Emang nggak boleh duduk, Pak?"
"Nggak boleh. Saya bayar kamu bukan untuk duduk seharian."
"Tapi, Pak."
"Dulu saya nunggu di depan pintu kosan kamu juga lama berdiri. Nggak ada saya ngeluh."
Yuki melongo menatap William, tak menyangka laki-laki itu akan mengaitkan dengan kejadian lalu. "Iya, Pak. Maaf."
Gadis itu kembali berdiri, tapi lagi-lagi itu salah.
"Ngapain kamu berdiri?"
Lah, katanya nggak boleh duduk.
"Daritadi saya lihat kamu di sana aja nggak ngapa-ngapain. Ganggu pemandangan. Saya jadi pusing liat kamu. Apa lagi sama penampilan kamu."
Yuki menunduk melihat penampilannya sendiri. "Emangnya ada yang salah sama penampilan saya?"
"Kamu pake baju biru, itu yang salah. Saya nggak suka baju warna biru."
"Terus saya pake baju apa?"
"Nggak usah pakai baju."
Yuki kaget, tapi William lebih kaget.
Laki-laki itu cepat meralat ucapannya, "Maksud saya, lain kali kamu. Emm ... pokoknya kamu salah. Saya nggak suka sama kamu. Mengganggu pemandangan."
Yuki menatap William tak percaya, dia menghela napas panjang dan bergeser miring-miring menuju lemari, menyembunyikan badannya dari hadapan William.
"Itu kamu ngapain?"
"Ya, katanya nggak mau lihat saya. Saya kan ganggu pemandangan."
Memang pada dasarnya William ingin memarahi Yuki, jadi laki-laki itu berkata, "Kamu ada gunanya nggak sih? Kalau kamu datang cuma buat ngumpet aja. Nggak usah ke sini. Ke tengah jalan sana."
"Ngapain, Pak?"
"Ya, mana saya tahu!"
Yuki kembali berjalan miring keluar dari persembunyiannya. Gadis itu merengut kesal dengan William yang tidak jelas maunya apa.
"Saya harus ngapain, Pak, sebenarnya? Saya nggak tahu job saya apa di sini. Jadi tolong Pak William buat--"
"Buatkan saya kopi," potong William cepat.
Yuki langsung tersenyum lega. Buru-buru gadis itu keluar dari ruangan untuk memenuhi keinginan atasannya. Setidaknya, ada sesuatu yang gadis itu bisa lakukan.
Berdiri macam patung benar-benar menguras psikis dan tenaga.
Beberapa saat kemudian. Yuki datang ke dalam ruangan William lagi membawa pesanan. Secangkir kopi hitam dengan asap masih mengepul.
Gadis itu bahkan memasukkan gula lebih karena tahu William suka manis.
"Ini, Pak," ucap Yuki, meletakkan di atas meja.
"Itu panas?"
"Iya."
"Ganti. Saya mau dingin."
"Kenapa nggak bilang di awal, Pak?"
"Kenapa kamu nggak nanya? Yang nyuruh kamu langsung nyelonong siapa?"
Yuki kembali mengangkat cangkir itu dan keluar dari ruangan membuatkan yang baru. Dia datang dengan segelas kopi dingin beberapa saat kemudian.
"Pake susu?"
"Enggak."
"Bikinkan lagi, tambahin susu."
Yuki menghela napas kasar. Kali ini agak sambil melotot menatap William, tapi ternyata laki-laki itu mengetahuinya. Jadi William dengan galak berkata, "Kenapa? Kamu nggak suka? Kamu mau melawan saya?"
"Enggak, Pak." Saya kan cuma kutu air.
"Yaudah kamu sana-sana keluar, bikin kopi aja kamu masih revisi. Apalagi bikin yang lain."
Yuki kembali keluar untuk yang ketiga kalinya dan kembali mengulang pesanan. Pekerjaan ini sebenarnya tidak berat, andai pantry berada di ruang yang sama.
Masalahnya, Yuki harus turun satu lantai melewati tangga hanya untuk menyeduh kopi. Dia tidak punya akses ID card, jadi tidak bisa menggunakan lift seperti karyawan lain.
Kakinya pegal dan tekanan dari lima belas mata yang menatap pada gadis itu membuat Yuki mendadak menjadi seleb gedung.
Dia bolak-balik macam setrika dengan cangkir di tangan, dan rasanya itu sungkan sekali.
Setelah pesanan yang ketiga. Yuki kembali menaiki tangga menuju ruangan William dan menghidangkannya.
"Ini, Pak. Kopi susu dingin yang Bapak William mau."
"Oke, bagus. Tapi karena sekarang sudah jam makan siang. Jadi saya tidak minum kopi."
"Maksud lo apa?" Yuki melawan tak tahan. Gadis itu bahkan sampai membanting cangkir di tangannya.
"Lo yang maksudnya apa? Kenapa lo pake bahasa informal sama gue? Lo tahu kan kalo lo--"
"Iya, gue tahu kalau gue bawahan lo, tapi nggak gini. Ini nggak manusiawi namanya. Lo kayak lagi balas dendam banget sama gue. Emangnya apa salah gue?"
"Apa salah lo? Lo nanya salah lo apa?" William berdiri dari duduknya dan melangkah maju mendekati Yuki, sambil tangan laki-laki itu menunjuk-nunjuk.
Yuki yang ada di hadapan William otomatis mundur teratur karena tidak mau tertabrak.
"Lo beneran nanya salah lo apa ke gue?"
"William itu udah kejadian lam--"
"Wiliam?" William memotong ucapan Yuki dengan menekan namanya sendiri. "Emangnya gue temen lo manggil nama gue seenaknya. Gue udah bilang kalo gue nggak suka nama gue disebut sama lo."
"Ok, Pak William. Saya minta maaf, tapi apa yang bapak lakukan tidak seharusnya melibatkan masa lalu. Bapak harus profesional."
"Profesional? Lo kira kehadiran lo di sini karena profesional? Lo pikir gue butuh sama lo?"
"Pak William." Yuki mencoba tenang menghadapi kemarahan laki-laki itu. "Saya kan sudah minta maaf. Saya benar-benar menyesal."
"Nggak ada kata menyesal. Lo harus bayar semua yang dulu udah lo lakuin. Gue udah bilang kemarin dan informasi itu sangat jelas. Jadi seharusnya lo nggak butuh pengulangan. Karena segala yang berurusan tentang lo. Nggak akan pernah jadi profesional, sampai kapan pun."
William berbalik meninggalkan Yuki di ruangannya dan membiarkan gadis itu menatap dalam keterkejutan.
Sejauh mana sebenarnya amarah sudah merubah mantan kekasihnya itu?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
