TEMAN HATI

3
0
Deskripsi

Bagaimana kalau orang tua justru menjadi sumber keburukan bagi tumbuh kembang anak?

Namaku Amel Antariksa, usia tujuh tahun, sekarang menginjak kelas satu, di SD Negeri Sidomukti, nama salah satu Desa di Kecamatan Plakat Tinggi Kabupaten Musi Banyuasin. 

Rambutku ikal kecoklatan, kulit kuning mata sipit, hidung tak terlalu mancung, badan kurus tapi tinggi. Aku terbilang jenius di SD, karena nilai selalu lebih unggul daripada temen-temen se kelas, adik tingkat, bahkan kakak tingkat. Saudaraku dua, yang pertama laki-laki sudah kelas satu SMA, yang kedua SMP kelas 2.

Aku orang yang paling sering disebut di rumah, selain karena pintar, ternyata aku terlahir sebagai bungsu. Kata orang-orang, bungsu itu anak yang paling di sayang dan di manja. Padahal tidak juga. Buktinya, aku sering dapat baju lungsuran dari saudara perempuan, kalau sudah kecil dikasihlah ke aku, dia beli yang baru. Begitu juga dengan mainan, kata Mamah; pake aja bekas kakakmu masih bagus, kok, daripada beli lagi, ntar juga gak lama bosen dan dibuang.

Kedua kakakku udah punya gawai sendiri-sendiri, pasti nanti kalau kakak pertama masuk kuliah minta baru dan yang lama lama diberikan ke aku. Hmm. Nasib. Gawai jadul.

“Mah, aku besok mau kemah ya, tiga hari.”

“Halah, ngga usah. Nanti jadi kayak Kakakmu tuh, mau jadi apa. Emang piagam pramuka 

bisa buat masuk Universitas Negri, kan engga!”

Aku diam sambil mikir. Kak Anton, kakak pertama suka banget ikut kegiatan Pramuka, Ekstrakulikuler Seni Bela Diri, pokoknya apapun kegiatan non akademis. Mungkin karena itu dia jadi oon, karena tak bisa bagi waktu buat belajar pelajaran di dalam kelas. Tapi dia unggul di sana, sering di kirim ke daerah lain untuk ikut Pramuka, dan aku jadi suka—ingin juga. Ingin kebebasan tepatnya, seperti kakak yang selalu nampak bahagia punya banyak teman. Punya banyak cerita, yang sering diceritain ke aku.

Nah, kakak kedua, ikut ekskul tidak, tapi sama pelajaran juga tak pintar, mungkin emang dasar otaknya yang lemot. Tiap hari nonton video orang nari di youtobe. Dia suka nari, tapi aku suruh ikut kelas nari, katanya malu. Kan repot.

“Dini, kamu itu belajar kayak Amel biar juara, Mamah sama Papah jadi bangga.”

 Aku senyum-senyum merasa gak enak karena wajah kak Dini berubah jadi masam, merasa selalu dibanding-bandingkan.

“Mah, Kak Dini tu pengen jadi penari.” Sahutku, biar Kak Dini tidak mendiamkan aku setelah dibandingkan tadi.

“Halah, penari apa. Badan aja kayak cacing kepanasan.”

Aku menahan tawa, dan ternyata kak Dini sedang menoleh ke arahku. Kak Dini masuk kamar dan membanting pintu.

            “Tuh liat kelakuan, kayak gitu mau jadi penari. Penari apaan.”

Aku diam aja sambil membayangkan Kak Dini jadi penari yang seperti di televisi pas ada acara-acara gitu, pasti kelihatan keren.

Kadang aku mikir, orang tua emang suka egois, dia mau anak-anaknya jadi seperti yang dia mau. Padahal yang kembar aja ada bedanya, apalagi kita, udah beda fisik, beda usia, banyak selera makan, beda banyak, pokoknya. Mereka tidak memberi  ruang sendiri buat anak-anaknya milih mau jadi apa dan gimana. Semua serba apa kata mereka.

Minggu pagi hujan lebat, semua orang masih tidur kecuali aku dan Mama. Rasanya malas banget, dingin-dingin enaknya di atas kasur, selimutan. Mama sudah bangun jam empat pagi, sudah masak dan mencuci pakaian.

            “Pah, nggak sholat subuh?” Aku ngebangunin Papa yang tubuhnya tertutup selimut.

            “Nggak ah izin dulu.” Jawab Papa dengan kemalasannya.

Aku mengernyit, sambil bicara dalam hati ‘emang bisa’ aku izin jugalah, eh tapi siapa yang mau laporin ke Allah. Hmm. Akhirnya, terpaksa aku sendiri yang menghadap.

            “Mamah udah sholat?”

            “Ntar aja lah, tanggung.” Jawab Mama sambil memindahkan pakaian di dalam mesin cuci ke wadah untuk dijemur.

Lantas aku pergi masuk kamar, melihat, ternyata kak Dini main dengan gawainya.

            “Kak, nggak subuhan?”

            “Iya.”

Iya nya kak Dini itu tidak loh, buktinya sampai jam tujuh masih sama gawainya. Boro-boro mau bantu Mama membersihkan rumah. Kalau kak Anton tidur sudah seperti kebo, dipanggil, digoyang-goyang sama sekali tak ada reaksi.

Rasanya kesal membangunkan, akhirnya memutuskan untuk keluar bawa kain pel buat ngepel lantai teras yang basah kena percikan hujan.

            “Eh, biar Mamah aja, ntar ngga bersih.” Mama meraih kain pel yang kupegang.

Hmm. Aku menghela nafas dan berlalu pergi. Mama bertingkah seolah semua pekerjaanku tak bakal baik, tak sesuai dengan keinginannya. Kira-kira gimana aku bisa belajar. Hmm.

Minggu sudah hampir setengah hari, sebentar lagi jam sepuluh pagi, jadwal mengaji di mushola hari minggu jam satu siang. Tapi hujan masih saja turun meski tidak lebat, sepertinya akan awet, menciptakan kemalasan yang hakiki. Jalanan sepi, untung lampu tidak mati, jadi bisa nonton Doraemon makan dorayaki.

Rasa malas kini menggelayut di mata, ingin dimanja, dibuai di atas kasur dan di bawah selimut. 

“Mau ngaji Mel?”

Aku mengangguk setelah kak Anton bertanya, sambil mengucek matanya.

“Dah lah Mel nggak ada yang dateng, lagian buat apa sih ngaji ampe sebegitunya.” Celetuk 

Papa yang membuatku makin malas sekaligus kesal.

“Buat apa ngaji tapi masih nggak punya akhlak. Kayak Kiyai itu, sebutannya Kiyai tapi 

korupsi.” Sambung Ayah lagi, sembari nonton Televisi.

Mungkin kali ini wajahku mirip Hulk. Aku pergi masuk kamar, tidak menggubris Papa yang menyambung kalimatnya lagi.

“Nah, orang tua bicara malah pergi, kayak gini hasil dari mengaji.”

Aku menutup telinga dan menangis, ada perasaan sesal dilahirkan dari keluarga ini. Bukan kali pertama, ini sudah kesekian kalinya.

Barangkali ini cuma hal biasa, omongan biasa, tapi bagiku ini sangat menyakitkan. Harusnya, yang namanya keluarga, orang tua terutama, saling memberi dukungan bukan justru menjatuhkan minat dan semangat. Kadang bingung, kenapa kok mereka bisa dengan mudahnya mengeluarkan kata-kata sarkas. Gimana kalau orang lain berlaku seperti itu juga ke dia.

“Mah, siapin makan.” Perintah Papa ke Mama. Tapi Mama sepertinya tidak dengar, repot 

di dapur.

Laki-laki emang tidak punya perasaan, kan bisa ambil sendiri, emang dari tadi Mama ini rebahan doang. Sering meneriaki egois ke orang lain tapi, Tidak pernah bercermin pada dirinya sendiri. Aku nggerundel dalam hati.

Dengar perintah Papa yang tidak ada sahutan dari Mama, akhirnya aku ke dapur melihat Mama, duduk di kursi masih dengan perasaan kesal. Kak Dini tidak mau bantu Mama, nyuci piring kek, motong sayur kek. Tidak ada yang peduli sama Mama. Melanjutkan Nggerundel dalam hati di tempat lain dengan posisi yang berbeda.

“Mah, Papah mau makan.” Aku mengulang perintah Papa yang bisa jadi Mama tidak dengar karena fokus sama pekerjaannya.

“Oh iya ya, lupa.”

Mama yang pelupa, dan Papa yang suka memerintah. Hmm.

Aku jadi ingat kata guru ngaji, ‘kita hidup usahakan jangan jadi beban buat orang lain, minimal nih, kalo gak bisa bantu ya jangan ngerepotin. Contoh, Amel udah bisa cuci sepatu sendiri, maka cucilah sendiri, nggak jadi pekerjaanya orang tua ataupun saudara. Contoh lain lagi, yang sering dianggep sepele, saudara kita habis nyapu, eh kita makan jajan sampahnya gak dibuang, kan itu bikin kesel orang dan bikin repot orang. Ini perbuatan yang gak pantes dilakuin. Karena kita juga kesel ketika ada orang bertingkah semaunya. Intinya nih, jangan ngelakuin apa-apa yang kita gak suka kalo orang ngelakuin itu ke kita.’

Setelah merenung beberapa menit. Kuperhatikan Mama belum juga menata piring makan buat Papa.

“Aku bantuin ya Mah,” Tawarku ke Mama.

“Boleh. Makasih ya Amel.”

“Sama-sama.”

Mama tersenyum, namun terlihat lelah.

Aku menata piring di meja, kak Dini dan kak Anton mendekat dan duduk berhadapan di meja makan. Ini maksudnya apa? 

“Mel, sekalian ambil piring buat Kakakmu ya.” Perintah Mama. Untung saja Mama yang kasih perintah, kalau salah satu dari mereka, kutinggal pergi. Batinku.

Aku menghela nafas panjang sekali, biar tidak balik lagi saja.

Kenyataannya yang kesekian, anak bungsu itu sering diperintah melakukan sesuatu buat saudara tuanya, yang padahal mereka bisa melakukannya sendiri, buat kepentingan mereka sendiri.

“Panggil Papahmu ya!” Perintah Mama lagi setelah selesai menata piring di meja.

Aku bergegas ke ruang tengah memanggil Papa.

            “Pa, ayo makan, udah siap.”

“Lama banget, ngapain aja sih!”

“Tiduran.” Jawabku seraya melirik Papa yang beranjak dari tempat duduknya.’ Dia bilang ngapain aja? Ya Robbi’. Entahlah, pagi ini, pagi yang buruk untuk kesehatan hati. 

 Di rumahmu, orang tua laki-laki merokok apa tidak? Atau saudara laki-lakimu. Mereka suka meninggalkan kotoran bekas rokok tidak? Kalau iya, berarti kita sama. Di mana dia duduk di situ pasti kotor. Entah faktor kesengajaan atau faktor kemalasan.

Di rumahmu, ada yang suka memaki kalau tidak cocok dengan keinginannya? Atau jangan-jangan, kamu sendiri yang suka memaki orang tua karena tidak dituruti keinginannya.

Aku jadi ingat, kemarin sore, baru kemarin guru ngaji bilang ‘ada 2 hal yang bisa merusak hubungan persaudaraan ataupun pertemanan, yaitu; lisan dan hutang.’

Lisan yang tak dikendalikan, alih-alih efek orang emosi, padahal pengendali itu diri kita sendiri. Dikendalikan emosi atau mengendalikan emosi, kita sendiri yang milih. Ngerinya lagi, sudah mengeluarkan ucapan sarkas, eh, tidak merasa bersalah sama sekali, justru melakukan pembelaan. Meyalahkan setan, juga orang yang sudah bikin emosi jadi tidak terkontrol.

Aku dan Mama sudah makan dari tadi, piring pun barusan beres dicuci, sepertinya bakal nyuci lagi.

“Kak Din, piringnya dicuci dong. Makanya, bangun tu pagi-pagi, mentang-mentang libur.” Aku berharap Kak Dini mau mencuci piring karena Mama sudah mencuci piring makan malam semalam. Kini giliran kak Dini.

“Halah anak kecil, cerewet.” Kak Dini menimpali.

“Kayak kamu aja yang nyuci piring Mel.” Celetuk Papa. Maksudnya apa coba. Sepertinya senang sekali kalau Mama itu tidak ada waktu buat sekedar rebahan.

            “Mel, siap-siap sana, katanya mau ngaji.”

            “Iya Mah.”

            “Bawa payung.”

            “Oke.”

Aku kasian lihat Mama, jam segini belum mandi, masih mengurus bayi besar, yang sebenarnya bisa mengurus diri sendiri. Makanan sudah ada minta disiapin, piring yang dicuci tadi belum kering sudah ada yang kotor lagi.

Aku berangkat ngaji, pas keluar rumah ternyata Sally sudah berdiri di teras rumah dengan payung berwarna biru muda, nampak cantik dengan bunga-bunga putih. Aku minta belikan juga ah. Batinku seraya menatap payung Sally.

            “Mel, payungku baru loo.”

            “Wah, cantik banget, dibeliin siapa?” Kataku seraya menyentuh payungnya.

            “Dibeliin Kakakku yang kerja di Bogor. Nyampe rumahnya kemarin siang.”

            “Ooh, cantik cantik.”

Aku bawa payung sendiri, payung lama masih bagus belum ada yang rusak. Tapi aku pengen juga payung seperti punya Sally.

Guru ngajiku namanya mbak Dewi, dia tidak suka dipanggil ustadzah, maunya dipanggil Mbak saja. Orang jawa baru tamat pondok tahun ini. Anggun dan pintar ngaji. Aku mau seperti dia nanti.

“Ada dua saudara yang pergi ke pasar, waktu di pasar si bungsu ini ngeliat boneka yang sangat lucu. Bungsu minta kakaknya buat beliin boneka itu. Kakaknya gak mau beliin karena di rumah boneka si bungsu udah banyak dan masih bagus-bagus. Adeknya nangis.”

            “Nah, menurut adek-adek, kira-kira kakaknya tadi jahat apa baik?”

            “Jahat, karna nggak nurutin adeknya.” Jawab salah satu temenku.

            “Iya, Kakaknya nggak suka kalo adeknya seneng.” Tambah salah seorang lagi.

            “Ehm.” Mbak Dewi mengangguk-angguk menelaah jawaban mereka. “Kalo menurut kamu gimana Mel?” Sepertinya Mbak Dewi memerhatikanku yang dari tadi diam berusaha mencerna ceritanya barusan.

Aku nyengir lalu bilang “Itu perbuatan mubadzir Mbak.”

            “Oke. Pintar. Padahal Mbak tadi cuma nanya Kakaknya tadi baik apa jahat.” Mbak Dewi tersenyum menatapku.

Aku masih cengar-cengir sambil garuk kepala yang tak gatal.

            “Oke adek-adek, Amel tadi betul, karena membeli sesuatu yang gak terlalu penting, di rumah juga masih ada dan masih bagus itu namanya mubadzir. Mubadzir itu perbuatan yang gak disukai Allah. Mubadzir sama dengan buang-buang.”

            “Kan nggak dibuang Mbak.” Celetuk Sally.

Semua anak tertawa. Mbak Dewi tersenyum dan melanjutkan kalimatnya.

            “Maksudnya, numpukin sesuatu hanya untuk nurutin hawa nafsu kita, keinginan kita yang kurang berfaedah. Mata memang seneng banget ngeliat sesuatu yang indah, yang lucu, yang bagus. Tapi nggak semua yang indah, lucu dan bagus itu harus jadi milik kita. Karena ada hal-hal yang musti diutamakan. Kayak si Bungsu tadi, dari pada buat beli boneka mending buat beli buku bacaan, atau beli makanan dan makanan tadi diberikan ke orang lain. Itu lebih bermanfaat.”

Semua mengangguk-angguk paham, entah paham sungguhan atau pura-pura mengerti saja. Aku jadi ingat payung Sally yang cantik, aku mengurungkan keinginan untuk dibelikan payung baru seperti punya Sally. Payungku juga masih bagus. Aku mencoba membunuh keinginan yang hanya sekedar mampir dan merasa ingin memiliki.

            “Jadi paham ya, bahwa nggak semua yang kita sukai harus kita miliki. Utamakan dulu sesuatu yang penting. Kalo kalian bingung mana yang penting banget dan kurang penting, tanya aja sama orang tua atau sama saudara kita, sebelum menginginkan sesuatu.” Lanjut mbak Dewi dengan suaranya yang lembut.

Jadi, belajar ngaji sama mbak Dewi selalu ada bonus cerita yang bikin aku awalnya tidak tau jadi tau. Setelah sholat dzuhur bersama, kami pulang ke rumah masing-masing.

Jalanan mulai dihuni beberapa, orang-orang terlihat berjalan lebih cepat, memakai kerudung dan baju bagus, bawa payung. 

            “Sal, emang ada pengajian ya?”

            “Nggak tau.” Jawab Sally datar.

Semakin dekat dengan rumah. Orang-orang semakin ramai. 

            “Kayaknya tempatmu deh Mel yang ada pengajian.” Kata Sally setelah liat orang-orang ramai di rumah.

            “Kok aku nggak tau ya, Ibu juga masak biasa aja tadi.” Jawabku yang mulai bingung dengan keadaan. “Ayo ikut ke rumah Sal.”

            “Gak ah, malu, ntar Ibuku nggak ada, aku sama siapa?”

            “Sama aku lah.”

Sally menggelengkan kepala lalu menuju rumahnya. Aku menerobos masuk. Beberapa orang mengelus kepala dan merangkulku.

            “Assalamu’alaikum.” Aku masuk dengan pikiran, ‘emang ada apa sih. Kok wajah mereka pada sedih. Apa tausiyahnya ustad yang bikin mereka sedih’ Aku masuk dan melihat kak Dini menangis meraung-raung, kak Anton yang sesenggukan, dan Papa yang lagi memeluk buntelan. Apa. ‘Mana mamah?’ Aku mencari Mama di sekitar. Tangis kak Dini makin jadi setelah melihatku yang berdiri mematung dengan kebingungan.

Tiba-tiba aku merasakan ke pipi yang basah, hati mendadak nyeri saat menyadari wajah Mama, yang ada pada buntelan itu. Aku lari mendekati dan memeluknya. Tangisku pecah, lebih mengerikan daripada kaleng rombeng yang di lempar ke dinding.

“Ma-mah....” Kali ini Mama pergi, sunggug pergi, tidak akan kembali lagi. 

Setelah ikut menyolatkan Mama, aku juga ikut mengantar ke kuburan. Dunia seolah gelap dan sepi. Jantung rasanya malas sekali memompa darah agar semua organ bisa bekerja sebagaimana mestinya.

Hampir maghrib, orang-orang masih berdatangan untuk takziyah. Aku di dalam kamar, entah yang lain di mana aku tak peduli. Papa berulang kali menyuruh makan, tapi perut terasa kenyang, bukan, tepatnya kehilangan nafsu untuk makan.

Kini sudah satu pekan, hidup kami tanpa Mama. Aku bener-bener merasa kesepian, orang yang sering aku ajak cerita, sudah tidak ada. Cuma Mama yang tak pernah bilang bosan saat aku menceritakan, cerita berulang, yang tidak pernah bilang capek saat diminta untuk bacakan cerita menjelang tidur, tidak pernah ngeluh saat aku minta dipijat meski waktu rebahannya sangat sedikit.

Papa sangat sedih karena tak ada lagi yang diperintah sepenurut Mama, tak ada yang menyiapkan makan, tak ada yang mencuci pakaian dan nyetrika. Semua serba berubah, biasanya Mama yang mengerjakan pekerjaan itu, sekarang semua mandiri. Kak Dini mulai kerepotan, karena dia yang seharusnya sudah bisa masak, sudah bisa ngurus rumah, ada Mama bersantai ria, seolah-olah dan seakan-akan.

Mama emang bukan pegawai kantoran, dia cuma ibu rumah tangga, semua dilakukan sendiri. Mama meninggal karena terpeleset pas bawa jemuran pakaian ke loteng atas. Harusnya Mama minta tolong kak Dini atau kak Anton, buat bantu, karena Mama sudah kelelahan bekerja seharian. Manusia memang kadang begitu, tidak peka sama keadaan sekitar.

Ada tidak di rumahmu yang sering banget memberi perintah tapi tak mau diperintah? Atau jangan-jangan kamu lah orangnya. Mau makan minta orang lain yang ambilkan, mau minum juga. Pakaian sekolah tidak mau dan malas nyetrika sendiri. Harusnya kan kita meringankan beban orang tua dengan cukup mengurus keperluan diri sendiri. Seperti membereskan tempat tidur, menyetrika pakaian sekolah, nyuci sepatu, nyuci tas, makan ambil sendiri. Dan lain-lain.

            “Kak, bacain cerita dong.”

            “Apaan sih Mel, kayak nggak bisa baca sendiri aja.” Kak Dini fokus dengan gawainya. Suara musik tarian itu lama-lama bikin kepalaku pusing. Meski Mama sudah tidak ada tapi ia tidak berubah.

            “Kak, kecilin dong.”

Belum selesai ngomong, suara pintu dibuka.

Krek!

Papa membuka pintu kamar. Aku dan kak Dini kompak memejamkan mata.

            “Dini! Hapenya kok gak dimatiin!” suara tarian itu masih terdengar, meski kami sudah memejamkan mata, pura-pura.

Suara langkah mendekati ranjang tempat ku tidur. Aku yang di balik selimut itu berteriak setelah Papa membuka selimutnya.

            “Hem, ketauan pura-pura tidur ya.” Papah menggelitik pinggangku, ketawa sampai kencing di celana.

            “Dih Amel ngompol.” Papa menyentuh pantatku yang basah

            “Hehe, aku nahan kencing dari tadi.” Kataku sambil nyengir.

Papa tertawa. 

            “Iiih jorok.” Kak Dini protes.

Mah. Kalau saja Mama di sini, pasti hidupku sangat lengkap. Sekuat apapun usaha Papa buat menggantikan posisi Mama, tetep Mama tak akan tergantikan. Laki-laki dan perempuan memang beda karakter. Tapi menurutku, Mama bisa jadi Papa, tapi Papa, tidak bisa jadi seperti Mama.

Tak ada yang hidup selamanya di dunia, aku, kita semua hanya titipan dan dititipi. Setelah Mama, mungkin Papa yang diambil kembali oleh Allah, atau bisa jadi esok lusa, aku lah yang duluan pulang, pulang ke kampung halaman.

Apa nunggu merasa kehilangan dulu, seseorang baru bisa berubah? Setelah tak adanya orang yang biasa melakukan banyak hal buat kita, mau tak mau, suka tak suka, pada akhirnya kita bertanggung jawab atas hidup kita sendiri.

Terima kasih Ma, untuk segala lelahmu yang tanpa keluh itu, karena mengurus kami. Tak ada yang bisa diberi selain doa dan menjadi sebaik-baik anak, anak yang shalih-shalihah. 

Salam sayang buat Mama di surga. Sampai jumpa di sana. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
CerpenFiksi
Selanjutnya SEPAKAT
3
5
Harap baca sampai akhir biar gak bingung. Novel ini dipersembahkan gratis, total 23.591 kata. Masih banyak sekali kekurangan pada tulisan, tentunya. Mohon krisan sesudah baca ya.Jangan diperjualbelikan. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan