Respair (Bab 1-2)

59
0
Deskripsi

Respair : to have hope again.

Aulia Chindy Pramoetya harus meninggalkan karier di bidang aviasi karena ibundanya, Zasmita Laksmi seorang artis papan atas terjerat sebuah kasus. Dia digunakan sebagai pengalihan isu. Di hari terakhir dia terbang, disanalah dia bertemu Erik.
Atalaric-Erik Abizar mau menerima permintaan temannya sebagai supir travel untuk mendukung penyamarannya dalam mengikuti seorang anggota dewan yang diduga korupsi, disanalah dia bertemu dengan Lia.
Dua hari pertemuan, satu pandang...

1 : Permulaan (1)

 

"Saya, Atalaric Abizar, mewakili redaksi dan kerabat yang bertugas mengucapkan terima kasih atas kebersamaan anda. Sampai jumpa."

Erik terus bertahan dengan senyum di bibirnya, sampai Hengky—sang kameramen mengangkat jempol menandakan bahwa kamera sudah tak lagi menyorot akan dirinya. Erik menunduk untuk merapikan berkas-berkas yang ada di tangannya, hingga credit muncul di layar televisi. Beberapa saat kemudian, ia mulai beranjak dari ruang studio rekaman saat Program Director memberikan tanda bahwa acara sudah selesai. Sebelum keluar, seperti biasa, ia tak lupa mengucapkan terima kasih pada seluruh kru yang bertugas siang ini.

Sejujurnya, acara buletin siang ini bukan miliknya. Namun karena rekannya, Samuel, kini tengah dirawat di rumah sakit, Erik menyanggupi untuk mendapat jadwal tambahan hingga Samuel pulih. Acara Erik sendiri merupakan berita malam yang ditayangkan setiap pukul sepuluh malam.

"Lo jadi ke Bali, Rik?" Tanya Khalil saat melihatnya datang ke ruangan produksi.

Sebelum menjawab, Erik menghempaskan tubuh di kursinya. Dia melirik ke arah beberapa rekannya di bagian produksi yang tampak begitu serius. Seharusnya dia berganti pakaian terlebih dahulu setelah siaran, tapi kali ini Erik memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu.

Meskipun tak ditanggapi, Khalil kembali mendekatinya karena rasa penasaran yang teramat sangat. "Lo jadi ngejar Abraham Rashad, Rik?" Ia menarik kursi yang ada disampingnya sedangkan Erik tampak sibuk dengan mengeluarkan catatan-catatan penting atas investigasinya dalam mengejar salah satu anggota dewan yang selama setahun ini ia lakukan.

"Jadi, dong. Udah setahun gue ngelakuin ini,” jawab laki-laki itu santai.

Khalil berdercak dan menepuk punggung Erik pelan. "Good luck."

"Ke DPR besok?"

"Sidang Paripurna," Khalil tersenyum miring.

"Titip salam sama Hattaru Narman."

Spontan, Khalil tergelak. Pasalnya, lima bulan yang lalu, Erik berhasil membuat Hattaru Narman mati kutu dalam acara Ruang Temu—acara talk show yang dibawakan Erik. Hattaru sebagai Ketua Komisi IX diam seribu kata setelah Erik mengungkap kasus suap yang yang belum pernah diberitakan dimanapun. Sekalipun dipermalukan, tampaknya Hattaru Narman belum kapok diundang ke acara Erik. Bulan lalu saat bertemu lagi di Ruang Temu, keduanya tampak lebih bersahabat dari acara sebelumnya.

Setelah memastikan bahwa dia telah mengumpulkan beberapa catatan terkait Abraham Rashad, Erik segera bersiap untuk mengganti pakaiannya. Besok pagi, dia akan terbang ke Bali untuk memastikan bahwa Abraham jadi melakukan transaksi illegal di salah satu kelab private terkenal.

Erik memang selalu totalitas dalam melakukan pekerjaannya sebagai jurnalis.

 

***

 

"Good morning Ladies and Gentlement, this is your first officer, Aulia Pramoetya, speaking from flight deck. In a view moment we will beginning our descend for Ngurah Rai International Airport in Bali and expected to be at the gate at 8 am in local time. The current weather at Ngurah Rai is reported to be partly cloudy and with visibility of 5 km. On behalf of Captain of this flight, Captain Guttama Arsya and the entire of crew member, would like to say Thank You for choosing Airland Indonesia. We are looking forward to seeing you on board again in the near future. Have a nice day and welcome to Bali."

Erik membuka mata mendengar pemberitahuan singkat itu. Sepertinya ia tertidur dengan cukup pulas selama penerbangan karena kelelahan. Posisi duduknya yang berada di dekat jendela membuatnya melirik ke arah bawah. Bangunan-bangunan tampak sangat kecil dengan perpaduan sawah dan bangunan sebelum pesawat sepenuhnya berada di atas laut.

Rahang Erik menegang, ia harus melakukan relaksasi dengan menarik napas panjang. Ambisi memenuhi dadanya. Kali ini, dia tidak boleh lagi gagal dalam membongkar kasus Abraham Rashad. Anggota dewan itu sudah lama diincarnya karena masuk dalam jajaran nama yang terkait dengan kasus pelecehan seksual satu tahun yang lalu. Dari informasi yang dia dapatkan, tua bangka itu juga bertindak sebagai pemilik bisnis dunia malam yang sangat kental dengan jual beli manusia. Erik benar-benar bergairah dalam membuat Pak Tua itu tak berkutik dalam acaranya dua minggu lagi.

Setidaknya, dia harus mengumpulkan bukti terlebih dahulu.

Saat pesawat tengah bergerak menuju gate, Erik menghidupkan ponselnya. Dia mengerinyitkan dahi membuka beberapa pesan dari Anwar—teman SMAnya yang saat ini membuka tour and travel di Bali menyatakan bahwa dia tidak bisa menjemputnya.

Begitu menunggu giliran untuk turun dari pesawat karena harus berurutan dari kursi depan, ponsel Erik berbunyi.

"Bro, Sori. Gue nggak bisa jemput."

Erik mendesah. "Tapi besok lo bisa kan?"

"Sorry banget, Bro. Orang tua tunangan gue sakit. Gue mau ke Banyuwangi pagi ini."

Erik menarik napas. "Mobilnya?”

"Umm.."

"War?! Lo belum menyerahkan mobilnya ke klien lo, kan?" Erik sudah tidak sabar.

Anwar tak langsung menjawab. "Gue … boleh minta tolong nggak?"

"Apa?" Desak Erik

Nada bicara Anwar semakin semakin ragu. "Gue minta tolong banget. Tolong banget. Lo juga hafal jalan, kan?"

"Apa?"

"Minta tolong jadi supir."

"WHAT?!"

Anwar semakin terdengar frustrasi. "Please banget, Bro. Dia klien yang selalu sewa jasa gue. Supir-supir gue lagi pada full."

"Gue nggak ke Bali buat jadi salah satu supir lo, War."

"Gue bisa jamin dia nggak akan pergi kemana-mana. Besok doang, Rik. Dan, cantik lagi! Biasanya dia cuma minta diantar ke restoran favoritnya, habis itu udah ... lo antar dia ke hotel. Lo bisa bebas pakai mobil kemanapun! Termasuk ngebuntutin anggota dewan lo itu."

Erik berdecak. "Yakin cuma itu aja?"

"Iya. Gue udah titip mobil di vila. Gue udah harus berangkat, nih."

Anwar brengsek. Erik merasa begitu kesal, kenapa juga dia harus bekerja sebagai supir saat harus membuntuti Abraham?!

"Rik? Gimana?"

"Yaudah." Sudah tidak ada pilihan lain, dia tidak mungkin mencari supir dan kendaraan lain.

"Emang lo paling baik sedunia, Rik. Thanks. Nanti gue infokan sama klien gue."

Laki-laki itu benar-benar keki setengah mati. Baru akan protes lebih jauh pada Anwar, sudah saatnya dia turun pesawat. Kalau dia tidak bisa membuntuti Abraham gara-gara Anwar dan kliennya, Erik berjanji akan menyebar hoaks tentang tour dan travel Anwar di media massa. Lihat saja!

 

***

 

"Terima kasih atas bantuannya selama ini, Capt." Lia menunduk dan mengulurkan tangan untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Captain Tama setelah mereka berdua berada di dalam Bandara Ngurah Rai. Hari ini … dia sudah resmi melakukan penerbangan terakhirnya.

Captain Tama tersenyum tipis. "Sayang sekali kamu harus resign, Li. Semoga sukses dimanapun kamu berada." Pilot senior itu menyambut uluran tangannya. Ia sudah menganggap Captain Tama sebagai mentor selama bertahun-tahun ia berkarier. Karier yang sudah musnah per penerbangan terakhirnya. Ia menyembunyikan rasa gundah di dalam dadanya dengan tersenyum singkat dan mengangguk. Meskipun perasaannya berkecamuk, dia tetap harus profesional menampilkan wajah baik-baik saja.

Mereka mengadakan pesta kecil-kecilan pagi itu bersama pramugara dan pramugari Airland lainnya sebelum Lia istirahan di hotel. Lima tahun bekerja sebagai pilot di Airland Indonesia, tentu sedikit banyak telah membuat Lia merasa Airland adalah keluarganya. Tidak mungkin dia tak sedih meninggalkan dunia aviasi yang menjadi impiannya sejak SMA.

Namun, takdir berkata lain. Dia harus keluar untuk sesuatu yang bukan tanggung jawabnya. Kalau saja mamanya tidak banyak ulah, tentu karier Lia tidak akan berhenti sampai disini.

Lia benar-benar jengkel kalau mengingat kasus itu.  Rasa kesalnya bukan main pada mamanya. Ada rasa penolakan yang begitu kental yang dia rasakan saat mamanya meminta dia untuk resign. Sampai hari ini pun, dia tak percaya akan meninggalkan dunia aviasi secepat dan dengan cara paling bodoh seperti ini. 

Bahkan saat kariernya tengah meningkat pesat karena jam terbangnya sudah tinggi.

Sial.

"Ya, Bli Anwar?"

"Supirnya udah di bawah, Mbak."

Lia mengemasi barangnya. Sore ini, dia berniat untuk menghabiskan waktu di restoran Bebek Tepi Sawah, tempat makan favoritnya selama ada di Bali.

Tidak butuh waktu lama untuk turun dari lantai lima kamar hotelnya dan melihat mobil sewaannya sudah ada di lobby. Lia membuka pintu belakang dengan cepat. Sebelum masuk ke bangku belakang, ia termenung. Pikirannya menimbang. Detik berikutnya … ditutupnya pintu belakang dan membuka pintu depan.

Matanya membelalak saat melihat pemuda tampan sedang menunggunya. Laki-laki itu setengah tersenyum kepadanya, seperti terpaksa. Lia masuk dengan cuek dan segera menutup pintu. Tak lupa, ia memasang seatbelt.

"Supir baru Bli Anwar ya?"

Laki-laki itu mengangguk pelan.

"Pantesan saya baru lihat. Udah berapa lama kerja sama Bli Anwar?"

"Sebulan,” jawab Erik singkat. Ia menarik napas panjang dan mengalihkan pandangan dari wajah Lia. Sungguh, perempuan itu jauh lebih cantik dari iming-iming yang diucapkan Anwar tadi.

"Sebelumnya kerja dimana?" Lia mencoba mengkrabkan diri.

Erik tiba-tiba gugup. "Di … travel … Surabaya."

"Oh. Kirain bintang iklan." Lia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Saya sewa mobil Bli Anwar dua hari, besok bisa datang pagi kan?"

"Bukannya sehari?" Jawab Erik tanpa sadar.

Lia mengerinyitkan dahi. "Saya udah bilang sama Bli Anwar buat sewa dua hari. Memangnya ada klien lain?"

Anwar sialan! Katanya cuma antar makan dan kemudian selesai? Sehari! Kenapa jadi dua hari?! Erik mengumpat.

"Ya."

Erik menggeleng. Buru-buru, ia meralat ucapannya. "Maksud saya ... bisa datang pagi."

Lia memandang Erik dengan lurus. Menurut Lia, wajah Erik berpotensi menjadi selebgram atau mendapat endorse tour and travel. Dia memiliki wajah yang oke dan badan yang kekar namun begitu pas. Tetapi itu bukan masalah sekarang, karena supir baru Bli Anwar ini terlihat tidak ramah kepadanya. Laki-laki itu hanya menjawab dengan singkat dengan wajah yang tampak terpaksa.

Membuat Lia tidak nyaman.

Apa dia harus memberikan penilaian ini kepada bosnya? Setidaknya Bli Anwar bisa mengevaluasi dan mengajarkan tata cara ramah kepada klien. Bukan apa-apa, bekerja di bidang pelayanan memang harus mengedepankan keramahtamahan. Bukan seperti supir Bli Anwar yang cuek bebek begini!

Ganteng, sih. Tapi tampak cuek dan pendiam.

Lia mengalihkan pandangan pada sisi kiri, tak lagi terganggu dengan sikap canggung yang diberikan oleh supir baru Bli Anwar. Sepanjang perjalanan menuju Ubud, laki-laki hanya diam saja. Sedangkan Lia … memilih sibuk dengan pikirannya sendiri, memikirkan nasib hidupnya setelah resign.

Butuh waktu satu jam untuk sampai dari Kuta ke restoran tersebut. Setelah memarkir mobil, Erik melirik Lia yang tengah tertidur pulas. Dia mencoba berdeham untuk membangunkan wanita itu, tapi tampaknya Lia terlalu lelah hingga tak mendengarnya sama sekali.

"Mbak Lia, sudah sampai." Erik menarik napas, menatap lama wajah Lia yang tertidur pulas. Tidak tahu cara membangunkan lebih baik, laki-laki itu memilih membunyikan klakson dengan sangat nyaring, membuat Lia seketika terperanjat.

"Astaga! Udah sampai ya?!" Lia segera mendudukkan badan dan menatap ke sekeliling, tampak masih linglung.

"Mas ... eh, biasanya supir Bli Anwar dari jawa semua. Mas juga bukan?"

"Nggih, Mbak."

"Mau ikut sekalian makan?"

Erik sedikit melongo. Menurut informasi dari Anwar, Lia memang sering menawarkan untuk makan bersama. Tetapi biasanya, Anwar memerintahkan untuk tidak makan bersama klien karena itu hanya basa-basi belaka. Baru akan mencari alasan untuk tidur di mobil, mata Erik menangkap sosok Abraham keluar dari sebuah mobil sedan hitam bersama beberapa orang tak dikenalnya.

"Boleh, Mbak," jawab pemuda itu seketika, tanpa berpikir. Matanya tentu tak lagi fokus pada Lia.

Kali ini, Lia yang mengerutkan dahi. Biasanya, supir Bli Anwar selalu makan di tempat makan sederhana yang tak jauh dari sini. Sudah kepalang menawarkan, dia akhirnya tersenyum kecut. Yasudahlah. Mungkin orang ini memang tak ada basa-basinya!


 

 

2 : Permulaan (2)

 

Ada banyak hal yang dipikirkan oleh Erik saat ini. Pertama, Abraham tidak seorang diri, dia bersama rekan anggota dewan yang diketahuinya berada pada bagian Komisi VIII. Satu hal yang Erik pikirkan adalah mereka pergi setelah menghadiri acara bersama Presiden yang diadakan hari ini di salah satu hotel di daerah Kuta. Kedua, tiga laki-laki lain tampak mencurigakan. Mereka sudah dipastikan bukan pejabat daerah karena pakaiannya terlalu informal. Tetapi Erik tidak bisa menyimpulkan dengan cepat, itu bukanlah sebuah keputusan yang bijak. Kesimpulan yang diambil terburu-buru tidak akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Karena, di pandangan matanya, semua tampak begitu normal. Ketiga, Lia dari tadi memperhatikannya. Sekalipun Erik tidak menatap balik tatapan perempuan itu. Jelas, Lia sedang memperhatikannya bahkan seluruh gerak-geriknya.

Mereka berdua duduk di sebuah pendopo yang berdampingan, tidak terlalu luas. Mata Erik sendiri menyusuri Abraham dan kawanannya. Mereka duduk di pendopo yang jauh lebih privat dan luas, menghadap sawah, jaraknya tak jauh dari mereka.

"Mau pesan apa, Mas?"

"Saya ngikut aja.”

Lia menatapnya dengan pandangan menyipit. Sejak mereka masuk restoran ini, Erik menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan. Dia hanya fokus pada satu titik yang entah kenapa ... Lia tak menemukan ide sama sekali atas apa yang laki-laki itu perhatikan.

Setelah mendengar Lia memesan makanan untuk mereka berdua, Erik baru memusatkan perhatian pada Lia. "Andriyanto datang juga rupanya." Erik tanpa sadar bergumam, Lia langsung menelusuri arah pandang Erik pada seorang bapak-bapak yang datang bersama dua orang bodyguard berbaju hitam.

"Satu penerbangan sama saya." Lia menimpali, sekalipun tahu Erik tidak sedang berbicara dengannya. Ia masih mengingat bagaimana dia diarahkan Captain Tama untuk menyapa mantan Direksi salah satu BUMN itu tadi pagi.

Erik menoleh ke arah Lia. "Kamu tahu? Dia sekarang tahanan kota?"

Mata Lia membelalak, menatap tidak percaya pada Andriyanto yang tengah bergabung dengan pejabat-pejabat lainnya di pendopo besar itu, pendopo yang diperhatikan Erik sedari tadi. "Oh ya?"

"Kasus suap." Erik tanpa sadar mengucapkan dengan tenang, tangannya memainkan kunci mobil dengan santai, tampak berpikir.

Lia mengerinyit, memandangi penampilan Erik lamat-lamat. Pemuda itu mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah dan celana marun selutut. Cukup modis dari supir-supir travel biasanya.

"Mbaknya enggak pernah nonton berita?" tanya Erik lagi, pandangan mereka bertemu.

Lia menyusuri wajah Erik. "Saya lebih tertarik dengan siapa kamu sebenarnya, sih, Mas. Kamu bukan supir baru Bli Anwar, kan?" Tembaknya langsung. Puluhan kali menjadi pengguna jasa travel tentu membuat Lia paham ada yang aneh dengan pertemuannya dengan Erik.

Erik berdeham, membenarkan posisi duduknya. Gesture tubuh seseorang yang tengah ketahuan. Keinginannya untuk membuntuti Abraham malah berakibat dia tidak maksimal berakting di depan Lia.

"Saya supir barunya untuk hari ini."

"Logat kamu juga aneh," timpal Lia.

Erik mengangkat sebelah alisnya. "Aneh?"

"Terlalu ... Jakarta. Bli Anwar juga, cuma sudah kecampur sama dialek Bali." Lia menumpukan tangan yang menopang dagunya di meja. "Kamu dari Jakarta, kan?"

"Kamu enggak pernah nonton berita, Mbak?" tanya Erik lagi.

"Enggak." Lia menjawab dengan santai. "Berita sekarang juga banyak campur tangan politisnya. Enggak menarik kayak dulu."

Erik mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, benar juga."

"Apa hubungannya saya sering nonton berita dengan kamu, Mas?"

Erik hanya menunjuk asal ke arah Andriyanto menghilang. "Mau kasih tau kamu kalau dia sekarang tahanan kota."

Lia spontan berdecak. "Aneh."

Erik tersenyum datar. "Saya memang ditugaskan Anwar hari ini untuk antar-jemput Mbaknya dan ya … kerjaan saya bukan supir travel."

Perempuan yang memiliki wajah bulat itu menjentikkan jarinya. "Tuh kan! Saya udah curiga dari awal ketemu kamu," Dia benar-benar memperhatikan Erik dengan seksama. "Saya malah mengira kamu bintang iklan."

"Kamu nonton iklan?"

"Enggak juga." Lia menggeleng tak acuh. "Tapi wajah kamu memang familier."

Senyum Erik semakin melebar. Setidaknya ada untungnya juga Lia tidak mengenalinya. Bagaimanapun setiap hari selasa, rabu dan jumat malam wajah Erik selalu menghiasi televisi berita yang cukup terkenal. Bukannya Erik sombong, tapi beberapa orang kadang mengenalinya dengan mudah.

Percakapan mereka terhenti saat pelayan mengantar makanan yang dipesan Lia untuk mereka berdua. Lia mengeluarkan ponsel dan melihat ada beberapa panggilan dari mamanya. Rasa semangat untuk menghabiskan hari ini dengan ketenangan langsung surut. Lia tanpa sadar mendesah, mematikan ponselnya.

Mata Erik masih mengamati Abraham yang tengah mengangkat gelasnya tinggi-tinggi. Setelah dua kasus pembunuhan yang menyeret namanya, Pak Tua itu tampak baik-baik saja dan menikmati hidupnya. Erik benar-benar risi dengan kehadiran Abraham. Semua kasus yang menyeret namanya berakhir dengan jalan damai, kemudian menghilang begitu saja. Abraham adalah salah satu kejelasan tentang bagaimana hukum tumpul keatas dan runcing ke bawah.

Andriyanto tak kalah tidak tahu diri. Dia berjoget sambil tertawa keras. Dari tempat mereka duduk, Erik tentu tidak bisa mendengar percakapan apapun yang ada di pendopo tengah sawah itu. Hanya ada gelak tawa dan canda yang dapat dipantaunya.

Lama dia mengamati Abraham sampai Erik tidak sadar kalau Lia tengah termenung memandang bebek goreng yang tersedia di depannya. Wajah Lia yang bulat, hidung yang sedikit memerah namun raut wajahnya tampak sayu. Meskipun begitu, tatanan rambut panjangnya di kepang asal serta perempuan itu menggunakan blazer dan bawahan ungu muda. Menampilkan penampilan formal dan kasual sekaligus. 

"Mbak? Enggak mau makan?" Tukas Erik setelah beberapa saat memandangi Lia yang termenung.

Lia mengerjap kaget. "Oh iya! Saya lagi mikir tadi. Masnya udah selesai investigasi orang?" Ia mencuci tangan dan dengan santai memotong bebek goreng dengan tangannya. "Ini pertama kali saya makan sama stranger."

"Sama."

Lia mengangkat wajah. Tatapan mereka kembali bertemu.

"Saya juga pertama kali makan sama orang asing, biasanya saya lebih pilih makan sendiri." Aku Erik turut mencuci tangannya.

Lia menunduk dan mengangguk lemah. Dia tak lagi memperhatikan tingkah Erik karena pikiran lain kini tengah menguasai seluruh fokusnya.

"Kamu bukan BIN kan?"

Tanpa sadar, Erik terkekeh. "Bukan, lah."

"Soalnya … tingkahmu sangat aneh."

Erik hanya mengulum senyum, memutuskan untuk tak melanjutkan percakapan. Sepoi angin menemani keheningan mereka saat makan, hanya terdengar suara cengkrama dari sekitar mereka namun mereka bertahan dalam keheningan. Selama menyantap makanan, perhatian Erik tentu tak lepas dari acara makan-makan pejabat yang tak jauh dari mereka, sedangkan Lia hanya sibuk dengan makanan di depannya.

“Saya Erik. Atalaric." Erik bahkan lupa memperkenalkan diri.

Lia mendongak, kunyahan di dalam mulutnya terhenti saat mereka tanpa sadar kembali beradu pandang. Ada suasana freeze yang dirasakan saat mata mereka kembali bertemu. "Lia. Aulia."

"Nama yang cantik dan feminin."

Lia mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum. "Thanks."

 

***

 

Ponsel Erik berdering, tepat setelah dia menyelesaikan makannya. Lia sempat melirik sebentar sebelum akhirnya sibuk dengan urusannya sendiri. Ternyata, Anwar yang menelepon.

"Apa?"

"Klien gue aman kan?" Tuduh Anwar dengan nada bercanda. Erik menatap Lia yang ternyata tengah memperhatikannya yang tengah menerima telepon.

"Nih, lo ngomong aja sama orangnya langsung."

Lia mengerinyitkan dahi dan mendekatkan diri untuk mendengar suara Anwar melalui loudspeaker.

"Li, teman saya enggak kurang ajar sama kamu kan?"

Lia tersenyum. "Syukurlah enggak, Bli. Malah saya yang berterima kasih udah mengiyakan permintaan saya yang mepet."

"Iya, Li. Mobil dan supir lagi full, disewa semua. Oke lah, have fun, ya!"

"Makasih."

Anwar masih terkekeh diseberang. "Kamu mau kemana aja tinggal bilang sama dia. Dia udah hafal jalanan Bali, kok."

"Besok saya mau ke Uluwatu."

"Rik, lo mau pakai mobil jam berapa?"

Erik menarik napas panjang. "Malam." Erik menarik ponselnya dan berbicara langsung ke Anwar.

"Bayaran gue gimana nih?" Tukas Erik dengan santai.

"Masih loudspeaker?" Tanya Anwar iseng.

"Enggak."

"Nemenin cewek cantik, masa lo minta bayaran?"

Erik berdecak. "Dua kali lipat ya."

"Iya. Iya. Ya sudah, gue masih di rumah sakit. Sofi masih nangis karena keadaan semakin kritis. Thank you for everything, Bro."

"Yok. Salam buat Sofi." Erik mengingat sesuatu. "War, Nirvana Club and Beach masuk kesana harus ada akses nggak?" Dia mengingat dimana tempat kesenangan Abraham untuk bertemu orang lain.

"Nirvana? Iya."

"Lo punya kenalan?" Tanya Erik, tak sadar Lia sudah kembali memperhatikannya.

"Saya punya akses. Kamu mau kesana?"

Bagaimana pun Nirvana terkenal sebagai club private dimana tidak semua orang bisa masuk kesana, apalagi jurnalis sepertinya. Terlalu riskan dan tentu saja melalui screening yang sangat ketat.

Erik mengakhiri percakapan itu setelah mendengar penuturan Lia. Senja sudah mulai turun, langit juga mulai menggelap, fokus Erik tak lagi pada meja para pejabat lagi.

Laki-laki itu menatap Lia lekat. "Maksud kamu … kamu mau bantu saya?"

"Iya. Saya punya aksesnya. Hitung-hitung sebagai balas budi, Mas sudah mau jadi supir dua hari ini." Lia mengerjapkan matanya. "Umm. Sekarang?"

"Besok."

"Oke. Pakai akses saya saja. Saya masih disini sampai lusa."

Erik tak dapat berkata-kata lagi selain mengangguk. Niatnya untuk mengacaukan tour and travel Anwar tidak jadi dia laksanakan karena ternyata bertemu Lia memberikan kelancaran akan rencananya.

"Umm.. jadi ... Kamu temannya Bli Anwar?"

Erik mengangguk. "Teman SMA tepatnya. Saya juga tinggal di Jakarta. Ke Bali karena ada urusan."

"Sedekat apa kalian sampai kamu mau menggantikan dia begini?"

Senyum kembali menghiasi wajah Erik. "Dia sering bantu pekerjaan saya, dari legal sampai ilegal."

Pertama kali dalam dua jam pertemuan mereka, Lia mengeluarkan senyum lebarnya. Perempuan itu memang ramah, tapi keramahannya lebih tampak seperti barier atas dirinya sendiri. Setidaknya itulah pandangan Erik saat memperhatikan Lia. "Wah! Saya enggak sabar dengar salah satu bantuan yang ilegal."

"Saya pinjam ID-nya kemana-mana disini."

"I see. Partner in crime, ya?"

Erik mengangguk setuju, Anwar memang selalu membantunya dalam mencari tahu hal-hal yang bisa diselidiki melalui relasi tour and travel-nya. Karena Anwarlah, biasanya dia mendapatkan berita-berita ter-update yang kadang sangat luar biasa. Berita yang terbukti keabsahannya itu tanpa sadar membantunya dalam karier sebagai pewarta selama ini.

"Gimana dengan kamu, Aulia?" Baru Erik menanyakan hal itu, segerombolan pejabat tadi sudah meninggalkan pendopo dan berjalan keluar. Posisi Erik dan Lia yang tak jauh dari mereka membuat laki-laki itu harus menunduk. Pikirannya tiba-tiba tersentak, kemungkinan beberapa orang mengenalnya pasti ada. Segera, ia beranjak ke samping Lia dan mengamati perempuan itu dengan intens. Menyelamatkan wajahnya agar tidak dikenali.

Lia terperangah, juga tidak tahu harus melakukan apa. Kedua tangan Erik memerangkap bahunya pelan, namun masih sopan, sedangkan matanya mengarah pada manik mata Lia yang tanpa sadar membulat. Dari jarak sedekat ini, Lia bisa merasakan embusan napas Erik yang hangat.

"Maaf, saya khawatir ada yang kenal saya."

Seperti robot, Lia menganggukkan kepalanya. Kemudian setelah Erik beranjak kembali kedepannya, senyum di wajah Lia semakin mengembang.

"Kamu lagi jadi mata-mata?"

"Kind of."

Lia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Keren!"

"Kamu lebih keren, Aulia. Oh sorry, Capt Aulia." Erik menyerahkan ID Card Lia yang tak disadarinya terjatuh dari saku blazer perempuan itu.

 

***

Part ini dibagikan dengan gratis dan sedikit diedit dengan bagian yang pernah dipublish di wattpad. Terima kasih, selamat datang di kisah Erik-Lia

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Respair
Selanjutnya Respair (Bab 6-8)
38
3
Gue pikir lo udah tau! Dan yang lebih menakjubkan adalah ... Atalaric dan Tatia sama-sama dari universitas yang sama. Jodoh, kan?Jodoh Bapaknya? Respair : to have hope again.Aulia Chindy Pramoetya harus meninggalkan karier di bidang aviasi karena ibundanya, Zasmita Laskmi seorang artis papan atas terjerat sebuah kasus. Dia digunakan sebagai pengalihan isu. Di hari terakhir dia terbang, disanalah dia bertemu Erik. Atalaric-Erik Abizar mau menerima permintaan temannya sebagai supir travel untuk mendukung penyamarannya dalam mengikuti seorang anggota dewan yang diduga korupsi, disanalah dia bertemu dengan Lia. Dua hari pertemuan, satu pandang kagum dengan desiran serta perpisahan. Mereka hidup bagai tak pernah bersua. Namun, takdir mempertemukan mereka kembali dalam panggung yang berbeda.Daftar Isi:PermulaanRealitaRespairPenyelesaian
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan