BAB I – MALAM SEMAKIN LARUT

Masih di malam yang sama, ketiga orang itu masih berada pada lokasi mereka masing-masing. Alif yang sekujur tubuhnya masih sedikit lemas terus berusaha untuk melanjutkan perjalanan. Setelah menjauh dari pepohonan bambu yang angker tersebut, ia berjalan menerus ke arah belakang komplek pemakaman. Sesuatu yang berbeda ia rasakan ketika berjalan semakin ke belakang. Di lihatnya di sana kumpulan makam-makam yang ada tampak semakin sedikit, sehinga jarak antara satu makam dengan makam yang lain pun semakin renggang meski penataan dari makam-makam tersebut sama saja berantakan. Walaupun begitu, perasaan merinding seakan semakin menjadi-jadi ketika berada di area belakang komplek pemakaman.

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya Alif sampai juga di pagar belakang dari komplek pemakaman tersebut. Pagar kayu yang dibuat menyerupai pagar peternakan sapi terlihat membatasi area pemakaman dengan area luar pemakaman di sisi belakang. Dan yang Alif lihat di seberang pagar tersebut ternyata adalah sebuah sungai yang mengalir dengan lebar kurang lebih sepanjang sebuah bus. Jika dilihat dari dalam komplek pemakaman, di seberang sungai itu terdapat hutan dengan berbagai macam jenis tanaman yang tumbuh lebat. Jadi bila disimpulkan, keberadaan komplek pemakaman dengan hutan di area belakang itu dipisah oleh pagar kayu dan sungai yang mengalir.

Alif mencoba untuk berhenti sejenak setelah sampai di pagar belakang. Di rasakannya detak jantungnya saat ini, ia merasa lega karena rasa panik yang sedari tadi menghantui kepalanya kini telah hilang. Perlahan-lahan Alif coba untuk menenangkan pikirannya yang kalut agar menjadi lebih rileks. Setelah perasaannya mulai tenang, ia coba kembali melakukan komunikasi dengan teman-temannya.

“(Alif) Info... Aku udah sampai di pagar belakang.”

“(Mabror) Cepet banget kamu sampai di sana.”

“(Bang Jay) Alif, masuk Alif...”

“(Alif) Ya... Gimana Bang Jay?”

“(Bang Jay) Ada apa aja di daerah belakang pemakaman?”

“(Alif) Di belakang sini, area pemakamannya dibatasin sama pagar kayu. Di luar pagar kayu ada sungai yang lumayan lebar, terus di seberang sungainya udah hutan semua.”

“(Bang Jay) Oke Lif... Posisimu mentok sampai pagar aja. Jangan cari perkara ngelewatin pagernya.”

“(Alif) Santai Bang... Aku juga nggak berani ke sana. Soalnya setelah pagar itu bibir sungai, jadi kalau lompat pagar bisa langsung kecebur.”

“(Bang Jay) Oke Lif. Kalau Mabror gimana? Kamu udah sampai belakang juga belum Bror...?”

“(Mabror) Belum Bang. Ini masih jalan pelan-pelan.”

“(Bang Jay) Ya udah, jalannya hati-hati aja.”

“(Bang Jay) Lif... Kalau udah di ujung pagar, coba kamu jalan ke arah tengah deh. Nanti kalau udah sampai di tengah-tengah pagar belakang, stand by di situ aja sambil nunggu Mabror sampai ke situ.”

“(Alif) Siap Bang...”

Selesai mendengar saran dari security itu, Alif melanjutkan langkahnya berjalan ke arah kanan. Sambil menyusuri pinggiran pagar, mata dan senter Alif terus mengawasi keadaan di sekelilingnya. Hingga ketika ia sampai di tengah-tengah pagar belakang pemakaman, ia memutuskan untuk beristirahat dan bersantai sambil menunggu temannya sampai ke lokasi itu.

Karena tubuhnya sudah mulai merasa lelah, Alif menyenderkan dadanya di atas pagar sambil matanya memandang ke seberang sungai. Senter dari ponsel yang masih ia genggam terus ia arahkan ke luar pagar walaupun cahaya senternya sulit untuk menjangkau lokasi hutan di seberang. Sambil bersantai, Alif mencoba untuk menyisirkan mata ke arah bibir sungai yang berada di tepian hutan. Dari seluruh warna hitam akibat kegelapan yang menutupi area pinggir hutan, ada satu warna lain dari sebuah objek yang sepertinya menarik perhatian Alif untuk lebih memfokuskan pandangannya. Di pinggiran hutan yang berada di seberang sungai, mata Alif menangkap sebuah benda yang berwarna putih. Apabila di lihat dari kejauhan, benda itu seperti bayangan seseorang yang sedang berjongkok di pinggiran sungai. Karena rasa penasarannya perlahan mulai bangkit, Alif terus berusaha membuat pandangannya untuk lebih fokus ke arah objek itu. Walaupun senternya sulit sekali menjangkau seberang sungai, namun orang yang berwarna putih di sekujur tubuhnya itu terlihat jelas dari posisi Alif berdiri.

Beberapa menit Alif memandangi, tiba-tiba benda putih itu berpindah posisi dari yang semula jongkok, sekarang menjadi berdiri. Melihat pergerakan dari objek itu, Alif semakin penasaran untuk terus memandanginya. Ketika objek tersebut berdiri, bentuk dari objek itu bukanlah seperti bentuk manusia biasa, melainkan berbentuk seperti manusia yang terbungkus kain di sekujur tubuh hingga membentuk seperti sebuah guling. Sekian menit diamati, benda itu tampaknya masih berdiri mematung di pinggir hutan di seberang sungai. Alif terus memelototi objek tersebut, hingga tiba-tiba ia dikejutkan dengan gerakan tak terduga yang dilakukan oleh benda itu. Benda berwarna putih seperti guling itu langsung melompat tinggi sekali melebihi tinggi pepohonan yang ada di hutan. Dengan sekali lompatan, objek itu masuk ke dalam hutan dan menghilang dari pandangan.

Alif yang dikagetkan dengan fenomena itu langsung saja mengusap-usap kedua bola matanya berulang kali, seolah ia tidak percaya terhadap apa yang baru saja ia lihat. Ia kembali menyisirkan pandangannya ke arah seberang sungai, namun yang ada di depan pandangannya hanyalah kegelapan total dari hutan yang lebat. Otaknya yang tadinya masih rileks, kini dipaksa harus berpikir keras untuk melogikakan apa yang baru saja ia saksikan.

Sedang serius Alif berpikir, sebuah tepukan dari telapak tangan tiba-tiba mendarat tepat di pundaknya.

“PLAAKK”

Alif sangat kaget hingga terhentak dan hampir menjatuhkan ponselnya ke sungai. Dengan perasaan panik, ia segera menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang menepuk bahunya. Ternyata orang yang membuatnya kaget adalah Mabror yang baru saja sampai di lokasi Alif berdiri yaitu lokasi di tengah-tengah pagar belakang pemakaman.

“(Alif) Setaaaann... Bikin kaget aja kamu Bror.”

“(Mabror) Ya habisnya, kamu ngalamun kayak orang mau kesurupan gitu. Aku jadi khawatir lah.”

“(Alif) Siapa yang ngalamun. Orang lagi mikir begini dikatain ngalamun. Untung ponselku nggak jatuh ke sungai tadi.”

“(Mabror) Lah, mikir apaan malem-malem begini di pinggir sungai? Aneh-aneh aja kamu Lif.”

“(Alif) Kamu sih... Kesininya telat. Tadi sebelum kamu sampai, aku sempat lihat putih-putih.”

“(Mabror) Haahh...? Serius Lif? Dimana putih-putihnya?”

Sambil berbincang dengan Mabror, Alif mengacungkan jari telunjuk mengarah ke seberang sungai, tepat dimana objek putih itu berdiri.

“(Alif) Tuuhh... Tadi dia di pinggir sungai seberang sana.”

“(Mabror) Putih-putih berwujud perempuan?”

“(Alif) Enggak... Tadinya posisi dia jongkok, tapi susah dilihat gara-gara cahaya senternya nggak sampai ke ujung sana. Tapi pas objek itu mulai berdiri, baru deh kelihatan bentuk badannya. Ternyata warna putihnya itu kayak kain yang ngebungkus sekujur badannya. Pas aku lihat-lihat lagi, bentuknya kayak lontong warna putih. Tahu sendiri kan kamu itu jenis apa?”

“(Mabror) Serius...? Yang bentuknya kayak lontong? Terus dimana dia sekarang?”

“(Alif) Pas aku lagi fokusin pandanganku ke dia, tiba-tiba dia loncat ngelebihin tinggi pohon yang ada di hutan sana, terus dia masuk ke hutan dan hilang gitu aja Bror.”

“(Mabror) Ahh, yang bener Lif... Masa loncatnya bisa setinggi itu?”

“(Alif) Beneran... Berani sumpah aku Bror... Tapi anehnya, aku nggak ngerasa takut sama sekali. Malah otakku sempat loading habis ngelihat begituan.”

“(Mabror) Untung dia lompat masuk ke hutan. Coba kalau dia lompat nyebrang ke sini, bisa papasan sama kamu nanti Lif. Hiiiyy...!”

“(Alif) Hahaha... Kalau dia loncat ke sini, aku nggak tahu lagi deh gimana cerita selanjutnya.”

Mendengar percakapan Alif dan Mabror yang terdengar samar di speaker ponsel, Bang Jay mencoba untuk menanyai keduanya.

“(Bang Jay) Halo... Halo... Tes... Tes... Habis ngobrolin apa kalian berdua?”

“(Alif) Habis ngelihat guling loncat aku Bang...!”

“(Bang Jay) Eehh, buseett... Beneran itu Lif?”

“(Alif) Iya bang. Habis ngeliat guling itu, tiba-tiba aja mabror udah sampai di tengah pagar belakang.”

“(Bang Jay) Berarti posisi kalian berdua udah pada papasan nih?”

“(Mabror) Iya Bang... Kita berdua udah di tengah pagar belakang.”

“(Bang Jay) Ya udah kalau begitu. Sekarang kalian tinggal jalan balik ke depan bareng-bareng, terus kita pulang.”

“(Alif) Oke Bang Jay. Kita langsung capcus balik ke gapura depan. Yok Bror...”

“(Mabror) Ayo lah... Udah larut banget ini.”

Alif dan Mabror memutuskan untuk kembali ke lokasi pintu masuk pemakaman dimana Bang Jay sedang menunggu keduanya di sana. Mereka berdua melangkahkan kaki secara pelan-pelan sambil melihat-lihat ke sekeliling. Ketika sampai tepat di tengah-tengah area pemakaman, mereka bertemu dengan sebuah bangunan. Bangunan tua dengan susunan batu bata itu dibangun tanpa diplester satu pun di setiap sisi temboknya. Dua buah pintu juga terpasang pada ke dua sisi, yakni di sisi utara yang menghadap gapura pemakaman, dan satu lagi menghadap ke sisi selatan yang mengarah langsung ke sungai belakang komplek pemakaman. Melihat keberadaan bangunan itu, Mabror mulai penasaran dan mencoba bertanya kepada kawannya.

“(Mabror) Itu bangunan apa sih...? Mushola ya?”

“(Alif) Nggak mungkin lah. Mana ada mushola di tengah pemakaman. Paling itu gudang.”

“(Mabror) Kalau gudang, masa nggak ada pintunya sama sekali Lif?”

“(Alif) Ya udah kita cek aja kalau gitu.”

“(Mabror) Serius mau ngecek? Kok jadi makin merinding gini.”

Mereka berdua melangkahkan kaki mendekat ke arah bangunan. Melalui pintu belakang yang menghadap ke selatan, mereka mulai masuk ke tempat itu. Suasana singup dan gelap memenuhi bagian dalam dari bangunan tersebut. Keduanya mencoba menyalakan senter untuk melihat apa saja yang ada di dalam.

Sorot senter pun menyala dan menyinari setiap sudut tempat itu. Ternyata yang berada di dalam bangunan itu adalah sebuah ranjang besi tua tanpa kasur yang ditutup dengan kelambu berwarna hitam di sekeliling ranjang. Taburan bunga mawar dan melati juga terlihat menghiasi lantai yang ada di bawah ranjang. Melihat bunga-bunga yang disebar di lantai, Alif pun mencoba menyentuh taburan bunga itu.

“(Alif) Ehhmmm... Tahu nggak Bror. Bunga-bunga ini kelihatannya masih baru.”

Melihat tindakan yang dilakukan Alif, Mabror mencoba untuk memperingatkan temannya.

“(Mabror) Udah, jangan diotak-atik bunga-bunganya.”

“(Alif) Enggak apa-apa. Ini cuma bunga yang disebarin ke lantai aja kok. Coba pegang deh...!”

Mabror dengan hati-hati menggenggam satu-persatu potongan kelopak bunga mawar dan melati yang ada di bawah kakinya.

“(Mabror) Iya... Ini mungkin belum lama disebar di lantai Lif. Berarti ada orang yang datang ke sini malem-malem dong?”

“(Alif) Nggak harus datang malem kali. Bisa aja orang itu nyebarin bunganya pas siang atau sore hari.”

“(Mabror) Kira-kira, ini tempat apa ya? Aku kira tadinya di dalam sini tuh makam, Lif.”

“(Alif) Sama Bror... Aku juga sempat memprediksi di dalem bangunan ini tuh makam orang penting atau tokoh masyarakat. Eehh... Nggak tahunya cuma ada ranjang besi ini aja.”

Mabror mencoba menyinari ranjang itu dengan senter ponselnya. Setiap sisinya ia periksa dengan hati-hati tanpa menyentuh barang-barang itu.

“(Mabror) Lihat nih Lif... Ranjang kosong begini, ngapain coba? Ditutupin pakai kelambu segala? Warnanya hitam lagi. Kayak kehabisan kelambu warna putih aja di pasar.”

“(Alif) Jarang-jarang loh, aku lihat kelambu warna hitam legam kayak gini.”

“(Mabror) Di sisi lain juga, ngapain orang-orang itu naburin bunga di sini ya? Orang nggak ada makam sama sekali.”

“(Alif) Kalau dipikir secara kasar, apa ini termasuk tempat buat sesembahan ya?”

“(Mabror) Aahh, udah lah, Lif... Makin pusing kepalaku. Mau buat tempat sesembahan kek, tempat pesugihan kek, tempat esek-esek kek. Yang penting kita cepetan pulang aja yok... Perasaanku nggak enak kalau kita di sini terus.”

“(Alif) Ya udah, yuk... Lagian udah lewat tengah malem juga ini.”

Kedua pemuda itu memutuskan untuk meninggalkan lokasi dan melangkah keluar dari bangunan tersebut. Ketika sudah berada di luar bangunan, Mabror kembali menyenteri setiap sisi bagian luar bangunan. Saat cahaya senternya mengarah ke atap, pandangan Mabror tertuju pada sebuah kain putih yang tertelungkup di ujung atap bangunan itu. Melihat hal tersebut, ia coba tanyakan kepada Alif yang berdiri di sampingnya.

“(Mabror) Lif... Lif... Itu kain siapa yang ditaruh di ujung atap?”

“(Alif) Mana, mana Bror...?”

“(Mabror) Itu... Tuuhh, di pucuk limasan.” Jawab Mabror sambil mengarahkan jari telunjuk ke ujung genting.

“(Alif) Loh...? Perasaan waktu kita dateng tadi nggak ada kain itu deh.”

Ketika keduanya sedang saling bertanya, tiba-tiba hal mengejutkan terjadi. Kain putih yang tadinya tertelungkup di pucuk atap bangunan, seketika langsung terbang menjauh begitu saja meninggalkan atap bangunan tersebut. Dengan cepat kain putih itu terbang melesat hingga menghilang dari pandangan sambil diiringi sebuah suara yang terdengar begitu melengking.

“Khikhikhikhi” “Khikhikhikhi” Suara tawa perempuan menggema hingga terdengar ke seluruh area pemakaman.

Kedua pemuda yang menyaksikan fenomena itu langsung terperangah. Keduanya tak bisa mengucapkan sepatah kata pun sesaat setelah kejadian. Alif hanya bisa memberi kode kepada Mabror dengan cara menarik-narik bajunya untuk segera pergi dari situ. Mabror yang paham dengan aba-aba yang Alif berikan lantas mulai melangkahkan kaki berjalan ke arah gerbang masuk pemakaman. Mereka berjalan dengan langkah yang sedikit cepat seiring perasaan cemas yang membayangi pikiran keduanya. Setelah sekitar lima menit berjalan, akhirnya Alif dan Mabror sampai juga di depan gerbang komplek pemakaman itu. Di sana, Bang Jay sedang duduk di atas jok motor menunggu mereka berdua kembali. Melihat keduanya kembali dengan nafas yang sedikit tersengal, Bang Jay mencoba untuk bertanya.

“(Bang Jay) Laahh... Kenapa kalian? Kok ngos-ngosan gitu?”

“(Mabror) Enggak apa-apa, cuma kejadian tak terduga aja Bang.”

“(Bang Jay) Ada apa? Cerita lah. Sehabis kalian saling ketemu aja, kalian nggak ada ngobrol lagi di voice chat.”

“(Alif) Nanti aja di pos kamling lah, Bang. Yang penting kita pergi dari sini dulu yuk.”

“(Bang Jay) Ya udah deh... Yok naik, buruan.”

Bang Jay menaikkan standar tengah dan mulai menyalakan sepeda motornya. Tanpa basa-basi, Alif dan Mabror langsung naik ke atas jok belakang, kemudian Bang Jay memutar tuas gas hingga sepeda motor berjalan meninggalkan komplek pemakaman tersebut. Saat sepeda motor melaju melewati jalanan sepi yang dikelilingi hutan, Bang Jay melihat dari jauh ada sepasang lampu kendaraan yang sepertinya berlawanan arah dari lajur sepeda motornya. Ketika jarak sepeda motor Bang Jay sudah dekat dengan kendaraan itu, seketika kendaraan itu melintas dengan cepat melewati sepeda motornya. Ternyata itu adalah sebuah mobil yang melaju kencang masuk ke arah lokasi komplek pemakaman tersebut. Melihat ada kendaraan melintas di jalanan sepi nan gelap ini, Alif mulai membuka obrolan.

“(Alif) Gilaaa... Tengah malem begini, ngapain itu mobil masuk ke jalanan sepi ini?”

“(Bang Jay) Nggak tahu tuh. Jalannnya juga kayak orang lagi kebelet boker.”

“(Mabror) Mau ke kuburan kali ya?”

“(Bang Jay) Nggak mungkin tengah malem begini itu orang ke kuburan. Ada urusan apa ke sana?”

“(Mabror) Mungkin mereka mau uji nyali kayak kita, Bang...! Hahahahah...!”

“(Alif) Kalau nggak, bisa aja mobil itu jalan lurus masuk ke dalam gang sana. Setelah pemakaman kan ada jalan lagi ke arah sana.”

“(Mabror) Emang jalan setelah ngelewatin pemakan ke arah mana lagi, Bang?”

“(Bang Jay) Kelihatannya sih ada kampung lagi. Tapi kemungkinan jaraknya jauh banget kalau masuknya dari jalan pemakaman itu.”

“(Alif) Tuh kan, bisa jadi mobil itu ke arah kampung sana.”

Ketika sedang asyik berbincang, tak terasa sepeda motor yang dikendarai Bang Jay sudah keluar dari jalanan gelap dan sampai di jalan raya yang masih dipenuhi kendaraan berat yang melintas. Dengan hati-hati Bang Jay mengemudikan sepeda motor melintasi jalan raya hingga akhirnya mereka bertiga sampai di komplek perumahan dengan selamat. Sepeda motor berhenti tepat di depan pos kamling dan mereka bertiga menuju ke warung Bu Ning yang masih buka.

[BERSAMBUNG]

PENGULAS ALAM LAIN (BAB I - Eps 4)