
Teror kuyang runi semakin menjadi jadi,mertsi dan teman teman menyelidiki siapa itu runi
Bab 6: Jejak Kuyang
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berbisik di antara pepohonan, menimbulkan suara lirih yang membuat bulu kuduk berdiri. Erni terbangun dari tidurnya, merasa ada sesuatu yang janggal. Perasaan gelisah menyelimutinya tanpa alasan yang jelas.
Ia melirik ke samping, melihat Rino masih tertidur lelap. Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Namun, saat matanya menatap keluar, tubuhnya langsung membeku.
Di luar, samar-samar dalam gelap, sebuah kepala melayang tampak menatap langsung ke arahnya. Rambut panjang kusut menjuntai, berayun-ayun tertiup angin. Mata merah menyala penuh kebencian, dan organ tubuh yang menggantung di bawah kepala itu tampak berkilat oleh darah segar.
Erni terbelalak, mulutnya terbuka ingin menjerit, tapi suaranya seakan tersangkut di tenggorokan. Sosok menyeramkan itu hanya melayang di sana, seolah menikmati ketakutan yang terpancar dari tatapan Erni.
Tiba-tiba, kepala itu bergerak cepat ke arah jendela. Erni tersentak mundur, jatuh terduduk di lantai dengan napas terengah-engah. Dalam kepanikannya, ia merangkak ke tempat tidur dan mengguncang tubuh Rino dengan tangan gemetar.
"Rino... Rino, bangun! Aku melihatnya!" bisiknya ketakutan.
Rino terbangun dengan wajah bingung. "Apa yang kau lihat? Erni, kau mimpi buruk lagi?"
Erni menggeleng cepat. "Tidak! Aku melihatnya! Kepala itu... Kuyang! Dia ada di luar jendela!"
Rino langsung bangkit, melangkah ke jendela dengan hati-hati. Namun, saat ia mengintip ke luar, yang terlihat hanya kegelapan malam dan pepohonan yang bergoyang pelan.
"Tidak ada siapa-siapa, Erni. Kau mungkin hanya terlalu lelah," ujarnya mencoba menenangkan.
Tapi Erni tahu apa yang dilihatnya nyata. Dia tidak sedang bermimpi. Sesuatu yang mengerikan benar-benar mengintai mereka dalam kegelapan.
Sementara itu, di sudut desa, suara tawa lirih menggema di antara bayang-bayang pepohonan. Kuyang itu belum selesai. Teror barulah dimulai...
Bab 7: Kematian yang Tak Wajar
Siang itu, di sebuah kafe kecil di pinggir kota, Topan duduk santai sambil menyeruput kopi hitamnya. Matanya tak lepas dari layar ponselnya, menunggu balasan dari Runi. Ia baru saja mengirim pesan dengan nada genit, menawarkan sebuah pertemuan istimewa malam ini. Sebagai lelaki yang gemar mencari hiburan, ia sudah lama mengincar Runi, wanita yang konon memiliki daya tarik luar biasa.
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Runi masuk. “Baiklah, aku ikut. Tapi kau harus membuatku senang dulu.”
Topan tersenyum penuh kemenangan. Ia membalas, “Jangan khawatir, Sayang. Kita bertemu di warung biasa dulu, nanti aku pastikan malam ini jadi malam yang tak terlupakan.”
Malam harinya, Topan sudah menunggu di sebuah warung kecil. Ia merapikan rambutnya di depan cermin kecil yang tergantung di dinding warung, memastikan dirinya tampak menarik. Tak lama kemudian, Runi tiba dengan gaun merah yang membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Wangi parfum yang lembut menyelimuti udara di sekitar mereka.
"Kamu cantik banget malam ini," puji Topan sambil menarik kursi untuknya.
Runi tersenyum kecil, lalu duduk dengan anggun. "Kamu selalu tahu cara merayu, ya?" jawabnya sambil memainkan sedotan di gelasnya.
Setelah mengobrol beberapa saat, Topan mencondongkan tubuhnya, menatap Runi dengan tatapan penuh maksud. "Runi, malam ini ikut aku ke hotel, ya? Aku ingin kita lebih dekat," ucapnya dengan suara menggoda. Runi hanya tersenyum, memainkan sedotan di gelasnya sebelum akhirnya mengangguk pelan.
"Baiklah, tapi jangan lama-lama," jawabnya dengan nada lembut yang semakin membuat Topan tergila-gila.
Tanpa berpikir panjang, Topan segera membayar makanan mereka dan menggandeng tangan Runi menuju motornya. Dengan kecepatan tinggi, ia melaju ke sebuah hotel kecil di pinggiran desa, tempat yang sering dijadikan persinggahan bagi pasangan yang mencari kesenangan sesaat.
Malam itu, Topan berjalan keluar dari hotel dengan senyum puas di wajahnya. Ia baru saja menghabiskan malam bersama Runi, wanita yang belakangan ini menjadi buah bibir di kalangan lelaki desa. Ada sesuatu yang begitu menggoda tentang Runi, sesuatu yang membuatnya sulit untuk ditolak.
Saat itu, Runi masih bersandar di ambang pintu kamar hotel, matanya menatap tajam ke arah Topan yang melangkah pergi. Senyumnya tetap terukir di bibirnya, tetapi ada sesuatu yang terasa janggal, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa lebih dingin.
Topan menghidupkan motornya dan bersiap pergi. Namun, saat ia melewati tikungan menuju jalan desa, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas. Dadanya terasa sesak, seakan ada sesuatu yang berat menekan jantungnya. Pandangannya mulai kabur, dan suara-suara aneh mulai terdengar di sekelilingnya—bisikan lirih yang semakin lama semakin keras.
Ia menghentikan motornya dan mencoba mengatur napas. "Sial, kenapa tiba-tiba aku merasa aneh begini?" gumamnya sambil memegang kepalanya yang mendadak pusing.
Saat ia menoleh ke belakang, tubuhnya langsung membeku. Di sana, di tengah kegelapan malam, sesosok kepala melayang dengan rambut panjang terurai, mata merah menyala, dan organ tubuh yang menjuntai berlumuran darah. Kuyang itu menatapnya dengan tatapan lapar.
Topan ingin berteriak, tetapi suaranya seakan terkunci di tenggorokan. Tangannya gemetar saat mencoba menyalakan motornya lagi, namun mesin itu seakan mati total. Kuyang melayang cepat ke arahnya, taringnya menyeringai, siap menerkam.
Dalam hitungan detik, Topan merasakan sesuatu yang dingin menembus lehernya. Ia mencoba meronta, tapi tubuhnya sudah tak bisa digerakkan. Darah mulai mengalir dari tenggorokannya, membasahi jaket yang ia kenakan.
Esok paginya, warga desa menemukan tubuh Topan tergeletak di pinggir jalan, dengan ekspresi wajah yang dipenuhi ketakutan. Tidak ada luka terbuka, tetapi tubuhnya sudah membiru dan matanya membelalak seakan menyaksikan sesuatu yang sangat mengerikan sebelum ajal menjemputnya.
Dari kejauhan, Runi menyaksikan semuanya dengan tatapan dingin. Ia menghela napas pelan, lalu tersenyum tipis. "Satu lagi," gumamnya sebelum berbalik dan menghilang di lorong gelap hotel itu.
Bab 8: Misi Mertsi
Mertsi duduk di beranda rumahnya, pandangannya kosong menatap langit malam yang pekat. Sejak kematian Topan yang tak wajar, perasaannya semakin gelisah. Terlalu banyak kejadian aneh di desa ini sejak kedatangan Runi. Kematian misterius para pria yang pernah dekat dengan Runi, dan kini Topan menjadi korban berikutnya. Semua ini pasti saling berkaitan, dan Mertsi yakin Runi adalah kuncinya.
Ia menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya. Dengan cepat, ia menghubungi dua sahabatnya, Disa dan Araini. “Kita harus bicara. Aku punya firasat buruk tentang Runi,” katanya dengan suara serius. Tanpa banyak tanya, kedua temannya setuju untuk bertemu di rumah Mertsi malam itu.
Setengah jam kemudian, Disa dan Araini tiba. Mereka bertiga duduk di ruang tamu dengan ekspresi serius. “Jadi, kamu yakin Runi ada hubungannya dengan semua ini?” tanya Disa sambil melipat tangannya.
“Aku nggak cuma yakin. Aku tahu dia menyimpan sesuatu yang mengerikan,” jawab Mertsi. “Semenjak dia datang, desa kita berubah. Dan sekarang, Topan mati dengan cara yang nggak masuk akal. Semua laki-laki yang pernah dekat dengannya berakhir tragis.”
Araini menggigit bibirnya, pikirannya mulai dipenuhi bayangan menyeramkan. “Aku juga pernah dengar bisik-bisik di pasar, ada yang bilang Runi bukan wanita biasa,” katanya pelan.
Mertsi mengangguk. “Itulah kenapa kita harus menyelidikinya. Kita nggak bisa tinggal diam.”
Disa menatap mereka berdua. “Kita mau mulai dari mana?”
Mertsi berpikir sejenak. “Kita awasi dia. Cari tahu ke mana dia pergi, siapa saja yang ditemuinya, dan apa yang dia lakukan saat malam.”
Araini menelan ludah. “Kalau ternyata dia benar-benar makhluk halus atau semacamnya, apa kita nggak dalam bahaya?”
“Kita harus hati-hati,” kata Mertsi. “Aku nggak mau kehilangan orang lain lagi.”
Malam itu juga, mereka bertiga mulai melaksanakan rencana mereka. Dengan pakaian serba hitam, mereka bersembunyi di balik semak-semak tak jauh dari rumah Runi. Dari luar, rumah itu tampak seperti rumah biasa, tapi entah kenapa hawa di sekitarnya terasa mencekam.
Beberapa menit berlalu, lalu terdengar suara pintu terbuka. Dari celah semak-semak, Mertsi melihat sosok Runi melangkah keluar. Ia mengenakan gaun panjang berwarna gelap, rambutnya terurai dan bergerak perlahan tertiup angin. Namun yang membuat mereka merinding, langkah Runi nyaris tak bersuara, seakan ia melayang.
“Astaga… lihat itu…” bisik Araini dengan suara bergetar.
Mertsi menahan napas. Ia memperhatikan Runi berjalan menuju hutan di belakang rumahnya. Tanpa pikir panjang, mereka bertiga mengikuti dari kejauhan.
Hutan malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Udara semakin dingin, dan suara jangkrik yang biasanya ramai kini menghilang. Hanya ada suara langkah kaki mereka yang perlahan menyusuri jalur setapak di antara pepohonan.
Tiba-tiba, Runi berhenti. Mertsi dan kedua temannya ikut berhenti, menahan napas di balik pohon besar. Jantung mereka berdegup kencang.
Kemudian, sesuatu yang mengerikan terjadi. Tubuh Runi bergetar aneh, dan dalam hitungan detik, kepalanya terlepas dari tubuhnya! Rambutnya berkibar liar, matanya berubah merah menyala, dan organ dalamnya terlihat menggantung di udara.
Disa menutup mulutnya, hampir saja menjerit. Araini berpegangan erat pada Mertsi, tubuhnya gemetar hebat. Mertsi sendiri nyaris tak bisa bernapas.
“Kuyang…” bisik Mertsi dengan suara tercekat.
Mereka menyaksikan Runi—atau apa pun makhluk itu—melayang perlahan, menghilang ke dalam kegelapan malam. Jantung mereka hampir copot melihatnya.
“Kita harus pergi dari sini!” bisik Disa dengan panik.
Namun sebelum mereka bisa bergerak, ranting di dekat mereka patah. Mata merah Runi langsung menoleh ke arah mereka. Untuk sesaat, mereka bertiga merasakan tatapan itu menusuk hingga ke tulang.
Tanpa pikir panjang, mereka berbalik dan berlari secepat mungkin keluar dari hutan, tak peduli lagi suara langkah kaki mereka menggema di malam yang sunyi.
Sesampainya di rumah Mertsi, mereka bertiga terduduk di lantai, napas mereka terengah-engah. Disa memegang dadanya, wajahnya pucat pasi. “Astaga… kita hampir mati tadi…”
Mertsi menatap kedua sahabatnya. “Sekarang kita tahu kebenarannya. Runi bukan manusia. Dia kuyang.”
Araini mengangguk lemah. “Dan kita dalam bahaya.”
Bab 9: Peringatan Mamar
Mertsi masih terduduk di lantai rumahnya bersama Disa dan Araini. Ketakutan masih membekas di wajah mereka setelah pengalaman mengerikan tadi malam. Mereka baru saja melihat sesuatu yang seharusnya tak ada di dunia nyata—Runi adalah kuyang. Napas mereka masih tersengal, tubuh mereka masih gemetar, dan pikiran mereka dipenuhi oleh bayangan kepala melayang dengan organ-organ menggantung di udara.
"Kita nggak bisa diam saja," kata Mertsi akhirnya, suaranya parau karena kelelahan dan ketakutan. "Kita harus mencari seseorang yang bisa membantu kita."
Disa menatap Mertsi dengan ragu. "Siapa yang bisa bantu kita? Polisi? Ustad? Atau…?"
Araini tiba-tiba teringat sesuatu. "Ada satu orang… satu-satunya yang selamat setelah berurusan dengan Runi. Mamar."
Mertsi dan Disa saling pandang. Mamar adalah pria yang dulu sempat hilang selama dua hari setelah berkencan dengan Runi. Semua orang mengira dia mati, tapi tiba-tiba dia kembali dalam keadaan ketakutan dan lebih kurus. Sejak saat itu, Mamar tak pernah lagi mendekati perempuan dan lebih banyak mengurung diri di rumah.
"Kalau dia selamat, mungkin dia tahu sesuatu," ujar Mertsi. "Kita harus menemuinya."
Tanpa membuang waktu, mereka bertiga segera menuju rumah Mamar. Rumahnya terletak di pinggiran desa, sedikit terpencil dan dikelilingi pepohonan rimbun. Begitu sampai, mereka melihat rumah itu tampak sepi, jendelanya tertutup rapat, dan halaman rumahnya penuh dengan daun kering.
Mertsi mengetuk pintu beberapa kali. Tidak ada jawaban.
"Mamar! Ini aku, Mertsi! Kami perlu bicara!" serunya.
Hening. Tidak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam rumah itu.
Disa mulai merasa tidak enak. "Mungkin dia nggak mau diganggu."
Tiba-tiba, pintu rumah terbuka sedikit, dan dari celahnya, sepasang mata ketakutan mengintip. "Siapa?" suara serak terdengar dari dalam.
"Kami butuh bantuanmu, Mamar. Tolong izinkan kami masuk," pinta Mertsi dengan nada memohon.
Setelah beberapa saat ragu, Mamar akhirnya membuka pintu lebih lebar. Wajahnya pucat, tubuhnya lebih kurus dari yang mereka ingat, dan matanya terlihat cekung seolah tak pernah tidur nyenyak.
Mertsi, Disa, dan Araini melangkah masuk. Rumah Mamar berantakan, penuh dengan benda-benda mistis seperti rajah, dupa, dan botol-botol berisi cairan aneh.
"Kalian nggak seharusnya datang ke sini," kata Mamar dengan suara bergetar. "Aku sudah mencoba melupakan semuanya."
"Kami nggak punya pilihan," balas Mertsi. "Kami tahu siapa Runi sebenarnya. Kami melihatnya dengan mata kepala sendiri."
Mamar menegang. Ia menatap mereka dengan ketakutan. "Kalian melihatnya? Kalian lihat kuyang itu?"
Mertsi mengangguk. "Dan kami yakin dia yang bertanggung jawab atas kematian banyak orang di desa ini. Kami butuh bantuanmu. Tolong ceritakan apa yang sebenarnya terjadi padamu."
Mamar menelan ludah. Tangannya gemetar saat ia duduk di kursi usang di ruang tamu. Ia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya menghela napas panjang.
"Aku pernah bersamanya," katanya pelan. "Aku pikir dia hanya perempuan biasa. Kami bertemu di sebuah warung, lalu dia mengajakku ke tempatnya. Aku tak menolak. Tapi malam itu… aku terbangun oleh suara aneh. Aku melihat sesuatu yang tak bisa aku lupakan seumur hidupku."
Mertsi, Disa, dan Araini menahan napas, menunggu kelanjutan ceritanya.
"Tubuhnya tergeletak di lantai, tapi kepalanya… kepalanya melayang, dengan organ-organ yang masih menggantung! Darah menetes dari lehernya, dan matanya merah menyala! Aku hampir mati ketakutan!"
Mamar menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tubuhnya gemetar hebat.
"Aku mencoba kabur, tapi dia melihatku. Aku merasa ada sesuatu yang menyedot kekuatanku, membuatku lemas dan hampir pingsan. Aku beruntung bisa keluar dari rumahnya sebelum dia menangkapku. Sejak itu, aku tak pernah bisa tidur dengan tenang lagi."
Mertsi menggigit bibirnya. "Kenapa kau tidak memberitahu orang-orang?"
Mamar tertawa pahit. "Siapa yang akan percaya? Aku cuma dianggap orang gila. Mereka pikir aku berhalusinasi. Aku tak ingin mati, jadi aku memilih diam."
Disa menghela napas panjang. "Tapi sekarang, kita tahu itu bukan halusinasi. Kuyang itu nyata, dan dia masih memangsa orang-orang di desa ini. Kita harus melakukan sesuatu."
Mamar menggeleng cepat. "Jangan! Jangan cari masalah! Jika kalian mencoba melawannya, kalian akan mati. Kuyang itu kuat, dia bukan sekadar hantu biasa!"
Mertsi menatap Mamar dalam-dalam. "Kalau kita nggak melakukan apa-apa, akan ada lebih banyak korban. Kami tidak bisa tinggal diam. Kami harus menemukan cara untuk menghentikannya."
Mamarmenunduk, raut wajahnya dipenuhi ketakutan dan dilema. Satu-satunya korban yang selamat, Mamar, memperingatkan mereka. tangannya erat, lalu mendesah panjang. "Ada satu cara…"
Mertsi, Disa, dan Araini langsung mendekat, menunggu dengan penuh harap.
"Aku pernah dengar dari orang tua dulu… satu-satunya cara menghancurkan kuyang adalah menangkap kepalanya saat ia sedang berpisah dari tubuhnya. Kalau kepalanya tak bisa kembali sebelum fajar, dia akan mati selamanya."
Araini merinding. "Itu berarti kita harus mengawasinya lagi?"
Mamar mengangguk. "Dan kalian harus berhati-hati. Jika dia tahu kalian mengincarnya, dia tidak akan membiarkan kalian hidup."
Mertsi mengepalkan tangannya. "Kami tidak akan mundur. Terima kasih atas peringatanmu, Mamar. Kami akan melakukannya."
Mamar menatap mereka penuh kekhawatiran. "Aku harap kalian tahu apa yang kalian lakukan. Semoga kalian tidak berakhir seperti aku… atau lebih buruk lagi."
Dengan perasaan campur aduk, Mertsi, Disa, dan Araini meninggalkan rumah Mamar. Mereka tahu mereka akan menghadapi bahaya besar, tetapi tak ada jalan lain selain terus maju.
Malam itu, mereka mulai menyusun rencana. Rencana untuk memburu kuyang.
Dan kali ini, mereka siap mempertaruhkan segalanya.
Bab 10: Duka Rino
Pagi itu, Mertsi, Disa, dan Araini masih dikejutkan oleh pertemuan mereka dengan Mamar malam sebelumnya. Pria itu tampak ketakutan dan menyampaikan peringatan serius kepada mereka. Namun, belum sempat mereka mencerna semuanya,Mereka mendengar kabar bahwa Erni akan segera melahirkan.
Tanpa berpikir panjang, mereka bergegas menuju rumah Rino. Di sana, suasana panik sudah terasa. Erni merintih kesakitan, tubuhnya berkeringat deras, sementara Rino tampak cemas, menggenggam tangan istrinya dengan erat.
"Bertahanlah, Sayang! Kita akan segera ke klinik," ujar Rino dengan suara gemetar.
Namun, sebelum mereka sempat berangkat, suasana di rumah tiba-tiba berubah mencekam. Angin dingin bertiup, membuat daun pintu berderak. Lampu di ruangan berkedip-kedip, dan di luar rumah, suara tawa pelan yang menyeramkan terdengar samar-samar.
Mertsi menoleh ke jendela, dan di sanalah ia melihatnya—sesosok kepala melayang dengan rambut panjang terurai, usus menjuntai, matanya merah menyala menatap mereka. Kuyang.
Erni menjerit, tubuhnya mendadak bergetar hebat. Ia memegangi perutnya yang terasa perih luar biasa. Seakan ada sesuatu yang mencoba merenggut nyawa bayi dalam kandungannya.
"Rino! Tolong aku!" teriak Erni dengan suara lirih yang penuh penderitaan.
Rino panik, ia mencoba menggendong Erni untuk membawanya keluar, tapi tiba-tiba tubuh istrinya menegang dan darah mulai mengalir di antara kakinya.
Dokter Yana akhirnya tiba bersama Nana dan Rini, dua bidan yang membantunya. Mereka segera bergegas menangani Erni, tetapi kondisinya semakin memburuk. Erni dilarikan ke klinik desa dalam keadaan kritis.
Beberapa jam kemudian, Rino terduduk lemas di kursi ruang tunggu klinik. Matanya merah dan sembab. Tubuhnya bergetar menahan emosi yang hampir meledak. Erni masih berada di dalam ruang perawatan, ditemani oleh seorang perawat. Dokter Yana keluar dengan wajah muram, lalu duduk di sebelah Rino.
"Saya sudah berusaha yang terbaik," kata dokter Yana pelan. “Tapi kandungannya terlalu lemah setelah semua kejadian belakangan ini. Saya turut berduka, Rino.”
Rino mengepalkan tangannya. Dadanya terasa sesak. Ia menengadah, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kenapa ini bisa terjadi?”
Dokter Yana menghela napas. “Kami masih belum tahu penyebab pastinya. Tapi... jujur saja, kejadian seperti ini sudah terlalu sering terjadi di desa kita sejak beberapa bulan terakhir.”
Ucapan dokter Yana membuat kepala Rino berdenyut. Ia teringat cerita-cerita yang beredar. Tentang kuyang. Tentang Runi.
Beberapa jam kemudian, Erni akhirnya bisa dibawa pulang. Wajahnya pucat, matanya kosong. Rino menggenggam tangannya sepanjang perjalanan, tapi Erni hanya diam. Ia seperti kehilangan semangat hidup.
Saat malam tiba, Rino duduk di teras rumahnya, menatap langit dengan mata kosong. Amarah dan duka bercampur menjadi satu dalam hatinya. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Mertsi muncul bersama Disa dan Araini.
"Rino... kami harus bicara," kata Mertsi dengan suara pelan.
Rino menatap mereka dengan mata tajam. "Aku sudah tahu apa yang mau kalian bilang," katanya dingin. “Ini semua gara-gara dia, kan? Runi?”
Mertsi mengangguk. “Kami melihatnya sendiri, Rino. Runi bukan manusia biasa. Dia kuyang.”
Dada Rino bergemuruh. Ia menggertakkan giginya. “Aku bersumpah, aku akan mengakhiri ini semua. Aku tidak peduli siapa atau apa dia sebenarnya. Aku tidak akan membiarkan dia menyakiti keluargaku lagi.”
Mertsi meletakkan tangan di bahu Rino. “Kami akan membantumu. Ini bukan hanya tentang Erni, tapi juga tentang desa kita. Kita harus menghentikannya sebelum lebih banyak nyawa melayang.”
Dalam kesunyian malam itu, tekad Rino semakin kuat. Ia tak akan mundur. Kini, bukan hanya balas dendam yang membakar hatinya, tapi juga tanggung jawab untuk melindungi orang-orang yang ia cintai.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
