
Saat melihat-lihat macan dalam kurungan dan mata hewan itu bertemu dengan matanya, ia melihat mata yang basah dan sayu, dan ia merasa kasihan. Tapi istrinya kegirangan saja. “Kereng, ya mas? Gagah, ya?” Hampir ketakjuban seperti itu pula yang istrinya lontarkan saat melihat-lihat binatang buas lainnya, binatang buas yang dikandangkan. Ia menurut saja ajakan istrinya yang sepertinya memang cuma suka menyambangi binatang-binatang yang katanya gagah itu. Istrinya hanya diam saja atau manggut-manggut...
Dalam Penjara Rumah Tangga
KE sudut smooking area ia menghindar dari kegaduhan zona mainan, meninggalkan istri dan adik iparnya yang kegirangan berpindah-pindah jenis permainan. Ia mau pesan kopi, tapi tak jadi. Lalu ia lihat menu di situ, ada juga menu minuman tradisional. Ia pesan beras kencur hangat. Pelayan itu perempuan, tinggi, terlihat matang dengan eye shadow cerah, tersenyum sebentar ketika ia membayar pesanannya. “Silakan, selamat menikmati,” kata pelayan itu selanjutnya. Ia beranjak melewati area bebas rokok pelan saja. “Dingin,” gumamnya. Ia masuk ruangan selanjutnya, memilih meja di sudut dekat jendela. Ia taruh nomor meja yang ia tanting itu; 11/12. Ia menunggu pesanannya, duduk menghadap televisi plasma lebar; selintas berita, iklan-iklan, sebuah drama.
Itu sore yang hujan, akhir pekan saat ia dan istrinya mengantarkan adik iparnya buat belanja keperluan piknik sekolah adik iparnya ke Bali seminggu lagi. Sedangkan akhir pekan sebelumnya, istrinya telah minta liburan ke kebun binatang. “Lama tak melihat binatang-binatang buas. Maksudku binatang selain piaraan; kucing, ayam, kambing. Aku ingin melihat macan atau gajah atau jerapah, buaya ...” kata istrinya. Ia setuju saja. Maka berangkatlah mereka tanpa anaknya yang satu tahunan itu ke kota J, tempat kebun binatang besar yang paling dekat berada. Saat melihat-lihat macan dalam kurungan dan mata hewan itu bertemu dengan matanya, ia melihat mata yang basah dan sayu, dan ia merasa kasihan. Tapi istrinya kegirangan saja. “Kereng, ya mas? Gagah, ya?” Hampir ketakjuban seperti itu pula yang istrinya lontarkan saat melihat-lihat binatang buas lainnya, binatang buas yang dikandangkan. Ia menurut saja ajakan istrinya yang sepertinya memang cuma suka menyambangi binatang-binatang yang katanya gagah itu. Istrinya hanya diam saja atau manggut-manggut ketika menyambangi burung-burung atau kera-kera kecil yang bergelantungan dan merambat di pohon-pohon yang disediakan untuk mereka.
***
Tiga tahun lebih usia perkawinannya, dan satu anak telah dilahirkan istrinya. Apa lagi yang kurang? Tentu saja ia selalu bersyukur dengan keadaan yang sekarang. Ia menikah tanpa perencanaan yang matang. Ia belum punya pekerjaan waktu itu, apalagi rumah sendiri, bahkan sampai sekarang. Ia tak malu harus mengatakan pada kawannya ketika ditanya soal pernikahannya dulu, “Sebagian besar ditanggung keluarga istriku karena tempatku sendiri tak mengadakan hajatan. Sebagian ngutang. Masih kucicil sampai sekarang.” Waktu-waktu itu ia justru malu jika tak bisa lekas menikahi perempuan yang sekarang jadi istrinya itu, “Mas, kapan kau akan melamarku? Bapak sudah sering menanyakannya.” Begitu kerap kalimat itu diterimanya. Lima tahun mereka ubyang-ubyung, dan di kampung, sungguh merupakan pergulatan batin yang menguras perasaan dan pikiran anak muda yang beranjak dewasa yang memiliki hubungan intim dengan lawan jenisnya; omongan orang, nama baik orang tua dan keluarga yang dipertaruhkan. Maka ia merasa lega akhirnya bisa menikahi perempuan yang sekarang jadi istrinya itu. Ia merasa lengkap, waktu itu.
Ia memboyong istrinya ke kota S setelah setahun di kampung di rumah mertua, ia tak juga mendapat pekerjaan selain membantu mertuanya mengurusi kebun Salak yang poranda diterjang abu tebal Merapi. Merapi meletus hanya beberapa bulan setelah mereka menikah. Rencana-rencana keluarganya yang baru terbentuk itu harus tertunda sampai hampir setahun. Di kota S, ia dan istrinya menumpang pada kenalan dekat kakaknya sebentar sebelum kemudian membuka usaha jasa binatu atas pinjaman modal kolega lama kakaknya itu. Malam-malam saat mereka berdua lembur kerja, ketika istrinya bertanya padanya kenapa ia pilih kota S, ia jawab, “Kota ini dulu yang mengenalkanku pada uang, bukan dalam hal bagaimana mencarinya tapi dalam hal menghabiskannya. Kan pernah kuceritakan padamu?” istrinya diam merenung, dan lalu tersenyum. Ia memang sempat dibesarkan kota itu selama masa kanak dan remaja yang berlimpah ketika kakaknya begitu sukses dengan bisnis kayu ukirnya yang besar dan diekspor ke luar negeri. Itu telah lama sekali. Sekarang, setelah bangkrut dagang dan cerai dengan istrinya, kakaknya bertani organik menggarap sawah warisan yang diwariskan sebelum waktunya itu, dan tinggal menumpang di rumah bapak mereka.
Anaknya lahir hampir setahun setelah ia dan istrinya menetap di kota S. Istrinya minta ditemani ibunya bila saatnya melahirkan. Pulanglah mereka berdua ke kampung. Ia kurang yakin apakah anaknya itu ia bikin di waktu-waktu antara Merapi meletus atau ketika ia telah menetap di kota S. Yang jelas ia sendiri merasa bersyukur bahwa anaknya lahir dan tumbuh dengan cukup baik. Anaknya memang kemudian lebih sering diasuh ibu mertuanya sendiri, karena waktu itu pun mereka menumpang lagi di rumah orang tua istrinya itu. Setelah persalinan istrinya dan setelah obrolan panjang dengan istrinya itu, mereka memang memutuskan untuk tidak kembali lagi ke kota S. “Kukira cukup kita mengenal kota S,” katanya pada istrinya. Kebetulan sekali waktu itu kota agak besar terdekat dengan kampungnya sedang gencar ditumbuhi pusat-pusat belanja. Kemudian atas bantuan seorang kolega kakaknya yang ikut investasi di salah satu pusat belanja yang baru dibangun di kota itu, dan dengan sisa simpanan hasil usaha dari kota S, ia memutuskan untuk menyewa satu stand dan membuka counter, berdagang produk-produk alat komunikasi, telepon genggam. Ia lebih giat lagi, terasuk nuansa kota itu yang terus tumbuh dan bergerak, dan juga karena anaknya. Setiap pulang sore dari counter bersama istrinya -mereka mengelola usaha itu bersama-sama sambil istrinya menjual produk-produk parfum isi ulang-, ia akan lantas menuju anaknya. Mereka pasti berebut untuk mencium, memeluk, atau menggendongnya hingga anaknya kerap susah tidur, sampai jauh malam. Setelah akhirnya berhasil menidurkan anaknya, mereka masih meluangkan waktu sejenak buat berdua mengingat-ingat segala hal yang telah mereka lalui hari sebelumnya. Kadang ia mengajak istrinya sembahyang malam, dan jika kebetulan mertuanya juga melakukan itu, mereka masih akan mengobrol pula. Hari-hari yang padat dan memanjang. “Bagaimanapun kita masih menumpang. Kita tak bisa seenaknya sendiri di rumah ini. Meski ini juga rumahmu sendiri,” katanya suatu malam pada istrinya. “Shhh,” istrinya selalu berusaha membesarkan hatinya. Istrinya terlalu baik buatnya, penurut. Tapi entah kenapa, kadang ia merasa ada yang kurang dalam dirinya sendiri. “Berapa tahun kita akan bertahan seperti ini?” Ia sering menggumam seperti itu. Dirinya dua tujuh, istrinya dua tiga. Mereka masih begitu muda. Dulu sekali saat sekolah, ia pernah belajar drama. Dan justru sekarang ia merasai benar semua yang ia dapatkan dari belajar drama itu. “Ini panggung lebih, lebih,” gumamnya tertahan. Kerap gumaman itu ia ulang-ulang ketika memandangi orang-orang yang lalu lalang di depan counternya, atau ketika memandangi istrinya yang tengah sibuk berhitung dan menyusun pembukuan.
***
Masih gerimis. Ia melongok ke luar lewat jendela. Di bawah, nampak beberapa orang di pintu keluar, diam di tempatnya, dan yang lain menepi-nepi menuju tempat parkir. Ia melongok lebih jauh ketika melihat seseorang yang mengenakan baju yang hampir mirip dengan yang ia pakai di sudut jauh gedung itu. “Ah,” ia mengeluh. Punggungnya agak nyeri. Dulu ketika remaja, ia pernah jatuh dari pohon dan tulang punggungnya masih kerap sakit sampai sekarang. Itu pula kenapa ia berhenti belajar bermain drama. Tapi, “Ini panggung lebih, lebih,” gumamnya sambil menahan nyeri di punggung. “Berapa tahun aku akan bertahan dengan sakit ini?” Lalu smartphonenya berdering. Istrinya memanggil, “Mas di sebelah mana?” di sela-sela keriuhan jauh segala macam permainan. “Aku di food court, di sudut, meja 11/12.” Mati, dan ia menyeruput minumannya. “Hangat, hangat sekali. Wangi,” gumamnya. Ia kebayang pelayan yang lebih muda darinya yang mengantarkan minuman pesanannya.
Itu telah pukul 20an lebih. Pengunjung lain hanya tinggal satu dua. Di luar masih menetas gerimis. Tak terdengar desaunya, tapi bisa ia lihat lewat jendela kaca. Dengung ac pelan timbul tenggelam antara suara yang keluar dari televisi; ftv, iklan-iklan, dan selintas berita setiap tiga puluh menit, dan kadang suara langkah kaki pelayan yang membenahi meja yang ditinggalkan pengunjung. Langkah-langkah kaki yang telah terlatih antara televisi dan pengunjung. Ia iseng merunutnya sampai pintu kaca yang membuka sendiri begitu ada orang berdiri di depannya itu. Pintu membuka, pelayan keluar, istrinya di depan pintu, adiknya menampakkan wajah puas. Istrinya tersenyum, melambaikan tangan. Ia balas tersenyum, lalu ia seruput lagi minumannya. Ia ingin cepat pulang menemui anaknya. Istrinya masih berdiri di tempatnya sementara adik iparnya itu beranjak ke mejanya. Melihat ia sendirian di meja di ruang yang hampir lengang itu, mungkin istrinya teringat liburan seminggu lalu.
- End.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
