Perfect Husband PART 21

2
0
Deskripsi

BIDADARI  BERSAYAP 

Di tempat lain, di sebuah hotel. 


Dion dan Albar memilih kamar dan mereka memutuskan untuk memilih kamar dengan dobel bad. 
Resepsionis hotel menatap mereka berdua dengan senyum yang entah apa artinya. Dia seperti mengartikan lain melihat Dion dan Albar. 


“Apa yang kau pikirkan?” Dion bertanya dengan kesal mengetahui tatapan aneh dari resepsionis. 


“Ah, tidak ada, Tuan,” jawab resepsionis. Tetapi Dion tidak puas dengan jawaban itu. Ia masih menatap resepsionis tajam. 


“Aku laki-laki normal,” jelasnya tanpa ada yang bertanya. Dia tersinggung dengan tatapan dan senyum aneh resepsionis didepannya. “Apa kau ingin membuktikannya? Aku bisa menyewamu. Berapa yang kau inginkan?” 


“Apa maksud anda? Saya tidak mengucapkan apa-apa. Kenapa anda berkata begitu pada saya? Itu melecehkan saya,” resepsionis berkata kesal pada Dion. 


“Hehhh.” Dion tersenyum sinis. “Kau pikir aku tidak tahu arti tatapan dan senyummu? Kau pikir aku buta? Siapa disini yang dilecehkan? Aku atau kamu? Disini ada cctv, pakar ekspresi akan menganalisa arti tatapan dan senyummu. Kau akan kehilangan pekerjaan jika aku melaporkan tindakan ketidak nyamanan ini pada atasanmu. Siapapun yang datang, apapun urusannya seharusnya sebagai pegawai kau tidak berhak menghakimi seseorang dengan pikiran kotormu.” 
Resepsionis menjadi pusat pasi mendengar itu. Iya, memang ia sempat berfikir jika dua laki-laki didepannya adalah seorang gay yang akan ajip-ajip di kamar hotel. 


“Maaf, maafkan saya, Tuan,” ucapnya gemetar. 


“Jangan belagu jadi karyawan,” ucap Dion sinis. Ia beranjak dan tidak jadi memesan kamar di hotel itu.

 “Ayo. Kita cari hotel lain,” ajak Dion pada Albar. Laki-laki itu menurut saja. 


“Ok,” jawabnya. 


“Tuan, saya minta maaf yang sebesar-besarnya,” resepsionis berdiri dan meminta maaf. 


“Maafmu tidak akan mengubah rasa kecewa pengunjung,” jawab Dion sinis. Dia langsung pergi begitu saja. 


“Itu hanya sebuah tatapan mata dan senyuman, kenapa kau sangat sensitif kawan.” Albar mengomentari setelah mereka keluar dari area hotel. 


“Tatapan mata dan senyuman yang merendahkan. Itu bukan perkara ‘hanya’ tapi sebuah penghinaan. Aku adalah asisten Tuan muda Leo J. Tidak ada yang bisa merendahkanku apalagi menghinakanku.” 


“Wah-wah kau keren, sobat,” ucap Albar. “Aku adalah supir pribadi Tuan kecil. Tidak ada yang boleh merendahkanku, apalagi menghinakanku.” Lanjutnya.

 Dan sebuah injakan kaki ia dapatkan lagi. Membuatnya berteriak. Kakinya sudah sakit dan sekarang ditambah lagi.  


“Tapi sepertinya itu terlalu sombong. Kita hanya karyawan biasa,” ucap Albar. Mereka duduk di sebuah kedai kopi out door. 


“Posisi kita sudah bisa disombongkan, hahahaaa,” jawab Dion. “Kau pikir mudah bisa menjadi asisten pribadi sang maha Boss? Ohh tidak, kau harus mengandalkan otakmu.” 


Albar mengangguk-angguk. Ya, memang tidak mudah untuk bisa berada di posisi mereka saat ini. 


“Dan mengandalkan kesabaran. Hahaaa. Sedikit saja tidak mengerti maksud Boss, maka habislah sudah. Aku terancam di lengserkan dari jabatanku,” Dion melanjutkan lagi. 


“Aku bukan orang pandai sepertimu. Mungkin aku hanyalah orang beruntung yang bisa menjadi supir pribadi Tuan muda, lalu menjadi supir pribadi Nyonya muda dan Tuan kecil,” ucap Albar. Dia membandingkan kepandaiannya dengan Dion. 


Dion tertawa mendengar itu. Ucapan Albar terdengar melankolis. 


“Apa kau pikir Boss hanya mengandalkan keberuntungan seseoarng dalam mencari karyawan? Tidak,” Dion memberikan pendapatnya. “Saat Big Boss memilihmu, itu artinya kau memiliki kelebihan dari pada orang lain.” 


Albar mengangguk meskipun ia tidak yakin jika ia memiliki kelebihan dari orang lain. “Aku hanya jago menerobos lampu merah. Hahahaaa.” Dia tertawa. Dion juga ikut tertawa. Mereka kemudian menyeruput kopi yang sudah disajikan. 


“Menerobos lampu merah juga butuh skil yang hebat,” sahut Dion. 


Akademisi Albar dalam bidang taekwondo dan pencak silat sangat bagus. Dari sekolah menengah pertama hingga di bangku kuliah dia menjuarai berbagai pertandingan. Sebelum bekerja pada Leo, dia bekerja menjadi pengantar pizza yang harus sampai tepat waktu atau dia akan dipecat. 


Dion dan Albar, tentu saja orang-orang pilihan. Benar kata Dion, Leo tidak mungkin menjadikan mereka asisten pribadi jika mereka tidak memiliki kelebihan. Mereka berdua adalah orang yang bertanggung jawab atas pekerjaan dan jujur dalam setiap tindakan. 


“Kapan kau menikah. Pacaran lama tapi tidak nikah-nikah, hahaaaa,” ledek Albar. “Kalau putus, itu namanya jagain jodoh orang,” lanjutnya. 


“Masih mending aku punya pacar. Kamu? Jomblo sejati, enggak laku-laku. Hahhaaa,” balas Dion. 


“Aku jomblo terhormat,” jawab Albar membela diri. 
Dion tertawa. “Apa kau masih mengharapkan doi?” tanyanya. 


Albar tersenyum dan menyesap kopinya. “Sepertinya tidak lagi. Ternyata ada hal yang tidak bisa membuatku terus mengharapkannya.” Jawab Albar. 


Dion tertawa lagi. Teman satunya memang sering melankolis. 


“Nona Alea tidak mau kembali ke Ibu Kota?” tanya Dion. 


Albar menggeleng. “Bukan,” jawabnya. “Aku akan menceritakan ini padamu. Hanya padamu dan berjanjilah untuk tidak ngember,” lanjutnya. Itu membuat Dion tertawa terbahak-bahak. Mereka berdua sudah seperti ibu-ibu tukang gosip. 


“Aku laki-laki, pantang ngember. Ngember itu hanya mulut wanita. Hahaa.” 


Albar menatap Dion. 


“Nona Alea sempat mencintai Tuan muda Leo,” ucapnya pelan seolah takut jika ada yang mendengar ucapannya. 


“Aapaaaa?!!!” Dion melotot tak percaya. Matanya melebar hingga rasanya bola matanya ingin lepas. 


Albar mengangguk. “Iya. Dia sempat mencintai Tuan muda Leo. Kepergiannya meninggalkan Ibu kota adalah untuk menghindari Tuan muda.” 


“Anjay. Berani-beraninya dia. Bukankah dia adalah sahabat Nyonya muda?! Ah, gila. Benar-benar gila,” komentar Dion. 


Albar mengangguk lagi. “Setelah tahu itu. Aku tidak lagi menunggunya. Bukan karena tidak bisa menerima kenyataan itu, hanya saja rasanya sulit jika aku bersamanya. Antara dia dan Tuanku tentu aku memilih Tuan muda. Aku akan mencari wanita lain tetapi untuk mencari Boss lain sepertinya aku tidak mau. Aku tidak rela posisiku digantikan orang lain,” ucap Albar. “Benar katamu. Posisi kita saat ini adalah sesuatu yang bisa dibanggakan dan bahkan disombongkan. Hahaha.” 


Dion mengangguk-angguk. Dia setuju dengan keputusan Albar. Untuk bisa berada diposisi mereka saat ini, itu tidak mudah jadi sebisa mungkin mereka akan terus menjaganya dan tidak akan membiarkan orang lain memiliki kesempatan untuk menggantikan mereka. Mereka akan bekerja dengan sangat baik. 


"Tapi Nona Alea tidak salah juga," komentar Dion setelahnya. "Jika aku adalah wanita, maka mungkin aku juga akan jatuh cinta pada Big Boss," lanjutnya. Mereka tertawa. 


“Eh. Asisten pribadi Tuan kecil, cantik bukan? Gaet saja,” usul Dion. 


“Dia masih anak-anak. Baru saja lulus kuliah.” 


“Justru itu. Kau om-om yang sudah matang dan dewasa. Anak-anak pasti suka. Pepet saja, beri kode-kode cinta,” ucap Dion. 


“Bagaimana jika dia sudah punya pacar?” 


“Pacar yang setia disana, akan kalah dengan yang selalu ada. Wakakkkk. Itu rahasia umum,” jawab Dion. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. 


****@****


Masih malam yang sama. Di kamar hotel berbintang. Neva tengah membuat minuman hangat untuk Vano. Dia mengaduk minuman itu dengan pelan tetapi pasti. Mengaduk minuman dalam cangkir yang tidak menimbulkan suara. 


Setelah jadi, ia membawanya ke sofa dimana Vano duduk sana. Si kecil sudah tidur saat ini. Dia tidak tidur siang tadi, jadi ia tidur lebih awal. 


“Terima kasih, Baby,” ucap Vano seraya menerima cangkir dari Neva. Gadis itu mengangguk. 


“Kau nonton apa?” tanya Neva. 


“Berita gempa tadi siang,” jawab Vano. Dia menyesap minuman hangat di cangkirnya. 


Neva membungkuk dan mencium pipi Vano. “Aku mandi dulu. Seharian belum mandi, hahhaa,” ucapnya. 
Vano menahan lengan Neva. 


“Sini dulu,” ucapnya. Ia menarik lengan Neva pelan. Membuat wanita itu duduk dipangkuannya. 


“Aku seharian belum mandi, lho,” ucap Neva. Ia melingkarkan kedua tangannya di leher Vano. 


“Si kecil membuatmu tidak sempat mandi?” 


Neva mengangguk. “Iya. Aku bingung setengah mati memikirkan dia,” jawab Neva. “Lalu tak lama, Mama Mahaeswara menelfon dan mengajak kesini bareng dan aku tidak sempat mandi. Asataga, Sayang … maafkan istrimu yang bau,” ucap Neva. 


“Tapi bau keringatmu harum,” jawab Vano menggombal. Ia langsung mendaratkan ciuman di leher Neva. Mengecup leher itu berkali-kali. Neva mencoba menarik kepala Vano agar menjauh dari lehernya. Dia tidak PeDe.


“Stttt.” Vano mengambil tangan Neva dan menguncinya di belakang tubuh gadis itu. 


“Sayang, please.” Neva menatapnya memohon. Dia tidak mau Vano mencium tubuhnya yang seharian tidak mandi.    


Vano membalas tatapan Neva dengan senyum. “Baby, biar ku mandikan tubuhmu dengan keringatku,” ucap Vano vurgar. Itu membuat rona merah di kedua pipi Neva. Wanita itu malu. 


“Aku tidak mandi seharian. Setelah dari rumah Kak Lee, aku kembali ke rumah dan langsung membereskan barangku, lalu terbang kesini bersama Mama Mahaeswara dan Kak Nora. Tubuhku belum tersentuh air sedari siang,” jelas Neva. Dia menakuti Vano dengan menceritakan itu. Tapi tentu saja Vano tidak mempermasalahkan itu. Neva tidak bau keringat meskipun seharian tidak mandi. 


Vano mendengarkannya tetapi ia tidak melepaskan Neva. Ia kembali mendekatkan wajahnya dan membuat ciuman di dada Neva yang masih terbungkus baju. 


“Izinkan aku membersihkan diriku sebentar. Sebentar saja,” pinta Neva. Ia tidak bisa bergerak bahkan saat baju yang ia kenakan di Tarik kebawah oleh Vano. 


Vano mendekatkan wajahnya lagi namun itu terhenti oleh suara batuk si kecil. Mereka berdua menjadi gelagapan. 


Neva segera membenarkan bajunya dan turun dari pangkuan Vano. 


“Dia bangun?” tanya Neva pada Vano dan pada dirinya sendiri. Mereka menoleh kearah ranjang. Si kecil terlihat masih tidur di sana. 


“Apakah ruangan ini berdebu? Aku akan menegur staffnya besok pagi,” ucap Vano. Dia beranjak dan mendekati si kecil. Ia memperhatikan si kecil yang masih tertidur pulas. Mungkin memang hanya debu yang tak sengaja terhirup olehnya. 


Vano membenarkan selimut si kecil lalu mengusap rambutnya dengan sayang. Ia tersenyum, mungkin seperti ini rasanya jika nanti ia memiliki anak. Akan susah untuk bisa berdua-duaan. Dan sering gagal saat akan berkelana menyatukan alam semesta. 


Vano menoleh ke arah sofa dan sudah tidak ada Neva disana. Laki-laki tersenyum lebar. Tawanannya berhasil kabur. 


Tak lama, pintu kamar mandi terbuka dan Neva melongokkan kepalanya. Dia menatap Vano dengan senyum lucu. 


“Sayang, minta tolong,” ucapnya sambil nyengir. Dia melambai pada Vano. 


Vano beranjak dan melangkah menuju Neva. Kesempatan untuk menyelesaikan apa yang ia inginkan tadi, batin Vano. 


“Apa?” tanyanya. 


“Aku kedatangan tamu,” jawab Neva. Itu langsung meruntuhkan bumi yang Vano pijak. Ia membeku. Kenapa ini harus terjadi, geramnya. Ia kesal setengah mati. 


“Umm. Bisakah kau membelikanku pembalut. Aku tidak membawa sama sekali,” ucap Neva manis. 


Membeli pembalut? Vano? Astaga, cobaan apa lagi ini, batinnya. Namun tidak ada pilihan lain. 


“Ok,” jawab Vano. Dan ia membalik badan dengan frustasi. Dia turun dan memanggil salah satu karyawannya. 


“Belikan pembalut,” perintahnya. Ini lebih baik dari pada ia harus mencari pembalut sendiri ke mini market. Dia cerdik, bukan? 


Sang karyawan tersenyum dan mengangguk. 
“Baik, tuan muda,” jawabnya. “Maaf, pembalut yang bersayap atau yang biasa?” tanyanya kemudian. 


Vano mengerutkan kening. Bersayap? Ia melebarkan matanya. Jadi, semua wanita yang sedang datang bulan adalah bidadari yang telah menemukan sayapnya yang hilang. Jadi, bidadari tanpa sayap itu, apakah karena sayapnya ada pada pembalut. Pikirnya konyol. Ia tertawa dalam hati. 


“Ambil semuanya. Aku tidak tahu,” jawabnya. Dia memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu pada karyawannya. Lalu ia duduk di sofa. Tak lupa, ia meminta staff hotel ini untuk menghadapnya besok pagi. 


Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan. Vano segera kembali ke kamarnya. Dia mengetuk pintu kamar mandi. 


“Baby,” panggilnya. 


Neva segera membuka pintu kamar mandi. 


“Ini.” Vano memberikan sekantong besar pembalut. 


“Hahhh. Kenapa sebanyak ini?” Neva shock melihat kantong besar di tangannya. 


“Aku tidak tahu sayap seperti apa yang cocok untuk bidadari cantik sepertimu,” jawab Vano. 


Neva membeku beberasa saat mendengar itu. Dia kemudian tersenyum lebar dan menatap Vano. 
“Apakah ini pembalut bersayap?” tanyanya. 


Vano mengangguk. “Iya,” jawabnya. 


“Uuuh. Sayangku, terima kasih,” ucap Neva. Dia mencium pipi Vano dan kemudian pamit untuk segera memakai pengaman. 


Vano menatap pintu kamar mandi dengan kesal. Ia mengumpat dalam hati. Tamu yang sangat menjengkelkan. Jadi, ia harus berpuasa seminggu ini. 
Vano tidak menginginginkan apa-apa lagi malam ini. Ia ingin segera tidur saja. Dia naik mengganti bajunya dan langsung naik keatas ranjang memeluk si kecil. Tak lama, Neva keluar dari kamar mandi. 


“Sayang, apa kau sudah tidur?” tanyanya. Dia duduk di kursi dan memakai skincare malam. Kemudian ia ikut naik ke atas ranjang. Dia mengambil tangan Vano yang memeluk si kecil, kemudian ia menempatkan diri di tengah diantara Arai dan Vano. 


“Sayang,” panggilnya. Dia menghadap kearah Vano.

 Tidak ada jawaban. “Sayang,” panggil Neva lagi. Dia menggoyangkan lengan Vano. Namun masih tidak ada jawaban. Sebenarnya Vano belum tidur, hanya saja ia merasa sangat kesal dengan si tamu yang tidak tahu waktu. 


Neva memeluk Vano dan menyandarkan kepalanya di dada Vano. 


“Sayang, terima kasih, ya,” ucapnya dengan senyum. “Dulu, saat aku masih kuliah S1. Aku sempat berkata dengan teman-teman. Aku bilang pada mereka jika aku akan mencari suami, seorang laki-laki yang mau membelikan pembalut untuk wanitanya. Laki-laki yang tidak malu membeli barang itu untuk wanitanya,” cerita Neva. Dia tersenyum dengan bahagia. “Menurutku, laki-laki yang mau membelikan pembalut adalah laki-laki yang luar biasa. Itu sangat romantiiiiis. Dan ternyata suamiku sungguh mau melakukan itu. Manisnya,” lanjutnya. Dia bahagia. Neva mencium pipi Vano dengan sayang. 


Vano membuka matanya. Ia menunduk menatap Neva. 


“Tapi aku tidak membelikanmu pembalut,” ucapnya. 


Alis Neva berkerut. “Maksudmu?” tanyanya. 


“Iya, aku tidak membelikanmu pembalut,” jelas Vano.

 
“Lalu sekantong pembalut itu?” 


“Aku meminta salah satu karyawan untuk membelinya,” jawab Vano jujur. Dan itu membuat Neva langsung kecewa setengah mati. 


“Aaaaaaa,” dia berteriak kesal. Kedua tangannya langsung mencubit pinggang Vano. “Kau keterlaluan. Kau jahat. Kenapa kau malah menyuruh karyawanmu. Kenapa kau tidak membelinya sendiri. Kau curang. Aku tidak mencintaimu,” Neva mencerocos kesal. Dia sudah membayang betapa repot dan malunya Vano memilih pembalut untuknya. Laki-laki yang memilikh pebalut dengan penuh cinta. Tapi ternyata?!!! 


“Maaf membuat bidadari yang sekarang bersayap menjadi kecewa,” Vano menggodanya. Neva menatapnya kesal dan memukul dadanya. 


“Kau keterlaluan. Kau tidak mencintaiku,” Neva menangis tanpa air mata. Dia sungguh sangat kesal karena ternyata ekspektasinya salah besar. 
Vano tertawa melihat itu. 


“Jangan tertawa. Kenapa kau malah tertawa. Kau jahat. Aku kesal dan aku tidak mencintaimu,” seru Neva. Dia membelakangi Vano. 


Itu membuat Vano semakin tertawa. Dia memeluk Neva dari belakang dan mencium rambutnya. 


“Kamu jahat,” ucap Neva. 


“Maaf, maaf.” 


“Tidak ada maaf.” Neva menjawab dengan masam. 


“Bidadari bersayap, tidak boleh marah,” gurau Vano. Dan Neva langsung menyodok perutnya dengan siku.

 “Oughhh. Sodokan cinta yang manis,” ujar Vano. Dia semakin memeluk Neva. Dia mencium pipi Neva dengan bertubi. 
“Semoga setelah ini, tidak ada tamu bulanan lagi selama sembilan bulan,” do’a Vano. 


Neva mengamini dalam hati. Mengamininya berkali-kali. Dia masih kesal, jadi ia tidak bersuara. 


“Kenapa tidak Aamiin?” tanya Vano. 


“Siapa?” 


“Kamu.” 


“Sudah.” 


“Kapan? Aku tidak mendengarnya.” 


“Tidak perlu kau dengar.” 


“Ish. Bidadari bersayap tidak boleh galak.” 


“De Vano ….” Neva langsung membalik badan dan mencubit pinggang Vano. Vano meledeknya terus. 


“Hahaahaaa. Maaf, Sayang,” seru Vano. Dia mencoba mengambil tangan Neva dari pinggangnya. Lalu menarik tangan itu untuk memeluknya. 


“Kamu jahat,” ucap Neva. 


“Aku sudah minta maaf tadi, Baby,” jawab Vano. 


“Tapi aku belum memaafkanmu.” 


“Sudah saja, dong,” bujuknya. 


“Belum.” 


“Sudah.” 


“Belum.” 


“Tante, apakah ini sudah pagi?” sebuah suara menyahut mereka. Neva segera membalik badannya menatap keponakan tampannya. Arai terlihat mengeucek matanya. 


“Masih malam, Sayang. Apa Tante membangunkanmu?” Neva mengusap rambut si kecil. 
Vano ikut mengusap lengan si kecil. 


“Bobo lagi,” ucapnya. “Janji tidak akan berisik,” lanjut Vano. 


Si kecil mengangguk dan kembali memejamkan matanya. Dia masih sangat mengantuk. 


Vano memeluk Neva dan mencium rambutnya. 
“Selamat tidur, Baby. I love you.” 


Dan mereka akur malam itu juga. 
 

____

Next 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Berusaha MENJADI ISTRI KESAYANGAN TUAN PART 19
3
1
“SEPERTINYA KAU TELAH SIAP JIKA AKU MELAKUKAN HAL YANG LEBIH.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan