
Ikuti kisah Kenzie dan Naura
Bab 9
"Jika suamimu meminta haknya, kamu tidak boleh menolak."
Seketika jantungku serasa mau copot kala aku melihat tatapan sejuta makna ada di wajahnya.
Aku hanya terpaku memandang saat dia berjalan dari arah pintu menuju tempat kakiku berpijak.
"Kamu memang istriku sekarang, tapi aku janji tidak akan ada cinta di antara kita."
Kalimat itu cukup membuatku syok dan tidak percaya. Bagaimana mungkin lelaki yang baru saja mengucap janji di depan semua keluarga besar akan setia sampai mati, kini mengatakan tidak akan mencintaiku. Tatapan itu membuat bulu kuduk merinding tidak mau turun.
"Bagaimana kalau kamu ingkar janji suatu saat nanti?"
Aku memberanikan diri menanyakan kalimat yang lolos begitu saja dari bibirku tanpa kupikirkan terlebih dahulu. Duh, nih otak butuh disekolahkan sampai ke sarjana kayaknya. Gimana kalau nanti dia marah atau akan berbuat sesuatu hal yang buruk terhadapku? Apalagi di ruangan ini hanya ada aku dan dia.
"Tidak akan." Matanya melotot ke arahku seperti singa yang siap menerkam mangsa yang ada di depannya. Angkuh sekali memang, dia.
Sorot mata itu membuat kepalaku refleks menunduk seperti sedang mencari uang receh di sekitar lantai yang berkarpet abu-abu. Jujurly, sedikit takut sih, nyaliku pun menciut.
"Kamu tidur di sofa, aku tidak biasa tidur di situ," katanya dengan mata mengarah ke sofa hitam samping kasur.
Bola mataku mengikuti arah pandang dan memang benar, ada sofa. Syukurlah, memang seharusnya kita jaga jarak, aku pun tak pernah berpikir akan menikmati malam pertama romantis seperti kisah yang ada di sinetron-sinetron.
Kaki dan mataku seolah terkunci, memandang lekaki berjambang tipis itu menuju ke kasur dan merebahkan bobot tubuhnya.
Tubuhku pun lelah tetapi otakku masih belum puas mencerna apa yang barusan dikatakan Kenzie. Berarti benar, aku semakin yakin kalau dia menikah denganku bukan karena cinta. Namun, mengapa dia mengiyakan perjodohan ini? Bisa saja dia menikahi pacarnya yang cantik nan seksi itu, tapi kok aku?
Duduk di sofa, pandanganku tertuju pada punggung Kenzie yang membelakangiku.
"Hai suamiku, akan aku pegang janjimu tadi."
๐๐๐๐
"Nenek pasti akan kangen sama kalian."
Kulihat mata nenek berkaca-kaca, menggenggam jemariku dengan erat seolah-olah dia tak rela kepergian kita.
"Ingat janjimu, Kenzie. Sabtu dan Minggu kalian akan datang berkunjung dan nginap di sini"
Nenek mengingatkannya dengan tatapan berharap. Sebuah anggukan dan senyuman tipis menanggapi nenek.
Manis sekali senyuman itu, andai saja senyuman itu diberikan kepadaku. Tapi ah, Naura, kamu jangan berharap banyak. Dia sudah janji tidak akan ada cinta untukmu.
"Kenzie janji, Nek."
Eh, manusia angkuh itu akhirnya mengeluarkan suara. Jarang-jarang aku mendengar dia berbicara. Dia hanya akan membuka mulutnya saat ia sedang makan.
Aku dan Kenzie masuk ke mobil bersamaan. Aku duduk di samping jok kemudi. Tak lama kenderaan roda empat kesayangannya dilajukan meninggalkan halaman rumah nenek yang megah.
Setelah melaju beberapa kilometer, tiba-tiba Kenzie menghentikan mobil di pinggir jalan yang agak sepi.
"Turun!"
"Hah?"
Aku sedikit kaget ketika dia menyuruhku turun. Kenapa dia mau aku turun di sini? Mana jalanan di sini sepi.
"Pindah ke belakang !" perintahnya lagi membuat mataku melebar.
"Hah?"
Aku hanya ingin memastikan indra pendengaranku tidak salah mendengar. Aku memberanikan diri menoleh ke arahnya, tetapi sorot mata mengarah ke depan jalan. Sepertinya dia memang enggan melihat wajahku. Apa mungkin aku tak enak dipandang? Atau mungkin dia sudah ingat siapa aku?
"Kalimatku kurang jelas atau telingamu bermasalah?"
Nadanya tak enak didengar, tajam menusuk sampai ke ulu hati.
"Maksudnya aku ...."
Aku terpaksa memutuskan kalimat ketika dia beralih pandang ke arahku dengan tatapan sinis dan rahang yang mengeras. Tanpa berdebat lagi, aku pun turun dari mobil dan membuka pintu mobil belakang.
Huh, kalau tahu akhirnya akan seperti ini, aku akan memilih tinggal sama nenek saja. Tidak mau ikut ke apartemennya. Bulu kuduk langsung merinding kala otakku berpetualangan menerka bagaimana kehidupanku selanjutnya saat berdua dengannya di apartemen.
๐๐๐๐
Aku mengikuti langkahnya dari belakang sambil menyeret koper yang kubawa dari rumah nenek setelah mobil terparkir di lantai basement apartemen.
Kami masuk ke dalam lift dan dia menekan angka lima belas. Suasana di apartemen masih sepi karena mungkin masih pagi. Tidak ada percakapan apapun di antara kami. Kulirik wajahnya sungguh dingin dan tak bersahabat sama sekali.
Dia melanjutkan langkahnya tanpa menghiraukan keberadaanku saat pintu lift terbuka. Aku ada tapi seakan-akan tidak ada.
Aku terus mengikutinya dari belakang karena tidak mau tersesat di tempat yang asing ini. Lalu, langkahnya terhenti di depan pintu yang bertulis 1508. Menekan tombol angka yang ada di depan pintu lalu menggesekkan kartu, tak lama pintu itu terbuka. Dia pun masuk dan tanpa aba-aba aku pun ikut masuk ke dalam unit itu.
Wow, aku memukau melihat apa yang ada di depan mataku. Semua perabotan dan barang dengan nuansa warna kayu dan hitam-putih mendominasi ruangan ini. Rapi, terkesan mewah dengan desain minimalis. Aku belum pernah menginjakkan kaki di rumah yang bertingkat-tingkat seperti ini.
"Itu kamarmu."
Jari telunjuknya mengarah ke kamar yang diapit dua kamar yang aku tak tahu itu kamar apa. Sudah kuduga dari awal, kita pasti pisah ranjang seperti kebanyakan novel tentang pernikahan tanpa cinta pada umumnya dan aku mensyukurinya.
Aku bergegas menuju ke arah kamar yang ditunjuk sambil menyeret koperku. Tak sabar ingin melihat kamar yang akan menjadi tempat favoritku saat aku ada di sini. Kubuka daun pintu itu dan masuk.
Ada ranjang ukuran queen yang dilengkapi dengan nakas berbahan kayu. Interior di kamar ini juga bernuansa kayu minimalis yang senada dengan ruangan di depan tadi.
Aku segera berberes pakaian dan perlengkapan lainnya lalu menyimpan di lemari baju berwarna cokelat yang letaknya berseberangan dengan kasur. Ruangan ini juga dilengkapi dengan kamar mandi.
Selepas berberes, aku kepo dengan isi apartemen. Bagaimana dapur, ruang tamu atau kamar sebelah itu kamar apa ya? Aku mau keliling melihat-lihat isi unit ini.
Aku membuka pintu dan melangkah pelan ketika mendengar suara Kenzie samar-samar di ruang tengah. Aku mendekati sumber suara yang sedang duduk di sofa membelakangiku. Suara itu semakin lama semakin terdengar jelas olehku.
"Sayang, kamu yang sabar dong. Aku tak mungkin bisa cinta sama wanita kampung itu. Kamulah satu-satunya wanita dalam hidupku. Aku menikah dengannya ada alasan, kamu sudah tahu kan? Iya, tapi enggak sekarang, aku baru menikah, masa langsung cerai? Gimana dengan nenek? Aku juga enggak tahu kenapa nenek sangat menyayanginya ...."
Kalimat demi kalimat kudengar dengan jelas. Kini rongga hati itu pun ikut remuk berkeping-keping. Nyeri sih, tapi aku sudah tahu hal ini akan terjadi. Lagipula, aku dan dia tidak ada cinta, kenapa pula aku harus peduli? Tak sengaja langkah kakiku diketahuinya, dia pun menoleh ke belakang.
"Sayang, nanti aku call lagi ya." Seketika ambungan telepon ditutup sepihak.
"Kamu sudah mendengar semuanya?" tanyanya tetapi aku memilih diam dan membuang muka ke sisi lain.
"Ok, aku jelasin ke kamu, apa yang sebenarnya terjadi. Sebelum kamu hadir dalam kehidupan nenek, aku sudah punya Olivia. Aku mencintainya melebihi diriku sendiri dan aku tidak mungkin bisa mencintaimu. Walau sekarang statusmu adalah istriku."
Seperti ada benda berat yang menghantam jantungku, tetapi aku berusaha tegar, menguatkan diri dan menahan airmata agar tidak jatuh lagi. Cih, jadi apa maksud dia menikahiku kalau dia sudah punya oliv, siapa tadi namanya? Berarti, apa ada teri di balik rempeyek?
"Maukah kamu bekerja sama denganku untuk menjalankan pernikahan pura-pura sampai saatnya kita bercerai?"
Pria angkuh itu terus berbicara tanpa perduli kondisi hatiku yang sudah hancur berserakan. Aku tak suka dengan kondisi seperti ini. Namun, kupastikan aku akan kuat menghadapinya.
"Di depan nenek, kita bersandiwara tetapi di belakangnya kamu boleh melakukan apapun. Terserah kamu. Aku tidak akan mengekang dan mengusik kehidupanmu. Namun, kamu harus ingat, kamu juga jangan mengusik dan ikut campur urusanku."
Aku masih memilih bungkam dan mencoba memahami kondisi yang sedang terjadi saat ini walau sejujurnya aku enggan untuk melanjutkan hubungan ini. Kalau bukan teringat wajah kedua nenek itu, mungkin aku sudah memberontak tak terima diperlakukan seperti apa yang dibahas ini.
"Ini, kamu tandatangan surat perjanjian di atas materai." Dia menyodorkan kertas putih yang berisikan tulisan dengan beberapa poin.
Aku meraih dan membaca satu per satu poin yang tertera di kertas putih itu dengan mata mulai buram, eh, kenapa aku jadi mau mewek? Masih tidak mau percaya dengan apa yang sudah ada di depan mata. Apa ini? Kenapa aku tidak tahu menahu tentang ini?
"Jelas di situ, kita akan jalankan pernikahan pura-pura ini selama 1-2 tahun lihat kondisi nenek. Aku tidak akan menyentuhmu, kita hidup masing-masing dan tidak mencampuri dan mengusik kehidupan masing-masing dan satu poin lagi, aku akan memberi kompensasi atas kerjasama itu sebesar satu Milyar saat kita resmi pisah nanti. Saya rasa cukup untuk memenuhi kehidupanmu."
Apa? Satu milyar? Uang sebesar itu cukup untuk memenuhi hidupku selama 10 sampai 20 tahun kemudian. Lima milyar bukan uang yang kecil, tapi?
"Kamu setuju atau tidak, aku tidak peduli. Yang penting aku sudah jujur padamu dan aku tetap berhubungan dengan Olivia."
Dia bangkit dari duduk, meletakkan kartu apartemen dan kartu debit di meja lalu menyebutkan kode sandinya.
"Ini kartu debitku. Kamu boleh pakai untuk makan dan keperluan sehari-harimu."
Selanjutnya dia melangkah keluar dari unit, meninggalkan aku yang masih belum bisa menerima bahwa awal pernikahanku akan seperti ini.
Pernikahan macam apa nih? Geramku sambil menatap tajam ke arah kedua kartu yang ada di atas meja.
Bab 10
Pagi sudah mulai meninggi, sinar matahari malu-malu masuk di sela-sela gorden kamarku. Benda bulat yang menggantung di dinding sudah menunjukkan pukul enam kurang dikit.
Oh, iya ternyata aku tertidur saat menunggu sampai jam dua belas malam, Kenzie belum pulang ke apartemen. Terlepas apapun yang dia katakan padaku, dia masih suamiku. Setidaknya aku harus tahu, apakah semalaman dia pulang ke rumah atau tidak.
Aku membuka daun pintu kamar dengan memegang surat perjanjian yang sudah kutandatangani. Perjanjian itu setuju atau tidak, memang harga mati untukku. Suami yang tidak menginginkanku memilih untuk kembali dengan kekasihnya.
Nyesek sih, tapi harus bagaimana lagi? Cinta tidak bisa dipaksa. Lagi pula satu dua tahun kita akan berpisah. Tidak rugi juga sih, pisah kamar, aku masih bisa mempertahankan kesucianku sampai kita cerai nanti sesuai surat perjanjian itu.
Uangnya? Aku tidak butuh.
Perlahan aku keluar untuk memastikan apakah semalam dia pulang atau tidak. Selain itu, aku pun berniat menyerahkan surat perjanjian itu sebenarnya. Di mana dia berada? Kulangkahkan kaki ke arah ruang tengah, dapur tetapi tidak ada tanda-tanda sosoknya.
Pandanganku tertuju di kamar sebelah kamarku. Apa mungkin itu kamarnya dan dia masih tidur? Aku mendekati dan mencoba membuka kamar tersebut untuk mencari keberadaannya.
Bingo, ternyata kamarnya tidak terkunci. Aku pun memberanikan diri masuk dengan langkah pelan. Sorot mataku menyapu ke seluruh isi ruangan ini ternyata hampir sama dengan kamar yang di sebelah. Nuansa kayu minimalis mendominasi ruangan dengan warna kayu dan hitam - putih.
Aku mengalihkan pandangan ke arah kasur yang lebih besar ukurannya dari milikku. Namun, tidak kutemukan sosok Kenzie di sana. Ke mana dia? Apa semalaman dia tidak pulang? Menghela napas menepis kekecewaan. Hubungan seperti apa yang akan aku jalankan sebenarnya? Apa aku akan kuat menghadapi semua ini?
Mataku tertuju ke meja kerja dekat jendela di sudut ruangan ini. Aku mendekati dan melihat beberapa berkas dan agenda kerja dengan laptop yang tertata rapi di tengah meja. Lalu, aku menyeret bola mataku ke figura foto seorang wanita yang tak asing yang pernah aku lihat. Apa mungkin wanita ini adalah Olivia, kekasihnya.
Foto kebersamaan suamiku dan Olivia yang sedang bergelayut di lengannya dengan manja. Cantik, seksi, senyuman manja, rambut panjang yang terurai memang ciri-ciri wanita idaman semua lelaki. Wajar saja, Kenzie tak bisa menolak pesonanya. Aku semakin mengerti kalau Kenzie sangat mencinta wanita itu. Olivia memiliki semua syarat untuk dicintai. Namun, entah mengapa, bibirku terpaksa senyum pahit dan mengingat itu hatiku kembali merasa nyeri.
Suara batuk yang mengangetkan itu hampir membuat tanganku melepaskan pigura foto itu. Kutolehkan kepala ke arah sumber suara batuk dengan refleks.
Kudapatkan sebuah tatapan sengit seekor macan kelaparan yang diarahkan kepadaku. Sorot mata yang tak bersahabat, tajam dan siap menerkam kapan saja tertuju kepadaku. Bulu kuduk merinding seketika saat kubalas menatapnya.
"Apa kamu tidak pernah diajarkan arti sopan santun? Jangan masuk ke kamar ini tanpa izin dariku."
Kecaman pertama dengan suara lantang dilontarkan cukup membuatku sadar kalau memang tidak seharusnya aku masuk ke kamar ini tanpa izinnya.
"Maaf , a-aku hanya ingin tahu, apa Mas Kenzie sudah pulang atau belum. Itu aja." Suaraku terbata-bata dengan nada bergetar. Aku pun tidak berani menatap mata elang yang sungguh terasa mengigit hatiku.
"Kamu itu bodoh atau tuli sih? Bukannya kemarin sudah jelas aku katakan kepadamu. Jangan pernah mengusik hidupku. Aku pulang atau tidak, bukan urusanmu. Enggak usah carmuk, itu tidak akan membuatku menumbuhkan rasa simpati untukmu."
Sepertinya dia tidak peduli kata kasarnya menyakiti perasaanku. Tahan, Naura, kamu harus kuat.
"Maaf, tidak akan aku ulangi lagi." Aku menunduk sambil meremas ujung piyama panjangku. Ingin kulangkahkan kaki kabur dari tempat itu, tetapi kakiku seolah terkunci di bumi, tak bisa bergerak.
"Sekarang keluar dari sini!" Suaranya pelan terkesan mengusir, sungguh menyayat hati.
"Hm, ini surat perjanjiannya, sudah aku tandatangani dan ini kartunya, aku tidak butuh."
Kuletakkan kertas putih dan kartu debit di atas meja bernuansa kayu samping laptop. Aku bergegas keluar dengan langkah yang cepat, tentu saja dengan hati teriris tak berdarah karena status istri tetapi tak dianggap sama sekali.
Air mata oh air mata, janganlah engkau turun di hadapan sang tuan angkuh itu. Aku tidak boleh terlihat lemah di matanya.
Kembali masuk ke kamar, menuju ke toilet, aku menyalakan air keran wastafel, membasuh wajah yang sudah bercampur air mata.
Oke, terserah kamu menganggap aku apa, tetapi jauh di dalam lubuk hatiku, pernikahan buatku bukanlah suatu permainan. Pernikahan adalah sebuah komitmen yang sakral.
Aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku dengan caraku sendiri. Namun, bila suatu saat aku gagal, iya, aku siap untuk mengikhlaskan dan melepaskan dirimu satu atau dua tahun lagi.
Sekarang aku harus tabah dan tegar menjalaninya, bersikaplah seperti layaknya seorang istri, melayani, mengabdi dan memberi perhatian kepadanya. Apapun itu, semuanya sudah terjadi. Pernikahan ini harus dipertahankan sampai tetes darah terakhir.
Aku mandi dan segera menuju ke dapur menyiapkan sarapan untukku dan suamiku. Nasi goreng sudah disajikan di piring, lengkap dengan telor mata sapi dan irisan timun dan tomat khas makanan di kafe Aku sering melihat sajian ini di kafe dimana aku bekerja dulu.
Kulihat Kenzie keluar dari kamar dengan kemeja biru lengan panjang dan menenteng tas hitam. Sungguh, terlihat aura kharisma dan tampan sekali. Aku yakin tidak ada satu wanita yang bisa menolak menoleh ke arahnya. Sepertinya dia bersiap ke kantor. Kata nenek, Kenzie lelaki pekerja keras, suami idaman sebenarnya, tetapi?
Eh, dia tidak melangkah ke dapur. Aku mendengar langkah kakinya makin menjauh.
"Mas, tidak sarapan dulu?"
Aku buru-buru mendekati saat kulihat dia mengenakan sepatu pentovel. Bagaimanapun aku adalah istrinya, sepantasnya aku melayani.
"Aku sudah siapkan nasi goreng buat Mas," lanjutku setelah tidak ada tanggapan apapun darinya.
Setelah selesai mengenakan sepatu, lelaki tampan yang berdiri membelakangiku menjawab, tanpa menoleh ke arahku.
"Aku tidak makan makanan kampung."
Nyaris dadaku bergemuruh dengan ucapan terkesan mengejek itu. Sejurus itu, dia pun keluar dari unit, tanpa tahu bagaimana perasaanku saat dia mengatakan kalimat itu.
Aku mencoba menarik napas dalam-dalam berharap bisa mengurangi sesak yang kini menghimpit dada. Namun, satu yang masih kupegang, aku tidak akan menyerah begitu saja. Lihat saja, aku akan membuatmu bucin kepadaku. Aku akan menunggu kapan waktu itu akan tiba.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
