
Cerita Pendek Tentang patah hati dan merelakan
Wanita Patah Hati di Kedai Kopi Tua Tengah Kota*
“ Rasa sayang bisa berkurang, rasa cinta juga bisa hilang”, ucap Raka datar. Masih dengan nada datar , Raka melanjutkan, “ Senyummu sudah tak menenangkanku, tawamu juga tak serenyah dulu”. “Maksudku kamu juga berubah, rasanya berbeda ....”
Wanita didepan Raka sudah tak kuat lagi, sebelum Raka melanjutkan kalimat yang hanya akan semakin menggarami luka dihatinya, wanita itu segera berdiri dari kursinya, memasukkan dua buah buku kedalam tas, dan bergegas meninggalkan rumah tanpa menoleh sedikit pun, bahkan pintu rumah juga tak sempat ia tutup. Raka duduk terdiam, menelan kalimat yang tak jadi keluar dari mulutnya. Dan hanya mampu memandangi punggung wanita yang ia cintai, atau setidaknya pernah ia cintai.
Arini – nama wanitu itu – sudah berdiri dipinggir jalan, menunggu taksi. Hari menjelang sore, sebentar lagi senja akan merekah diufuk barat, dan dihari minggu seperti ini lalu lintas memang padat, semua orang ingin menghabiskan hari diluar rumah. Aneh. Padahal mereka menghabiskan sepanjang pekan ditempat kerja, dan pulang ke rumah hanya untuk tidur. Harusnya hari libur mereka nikmati dirumah, bercengkerama diruang tengah, menikmati suasananya, merasakan hangatnya. Berbagi cerita diteras depan rumah, tersenyum dan tertawa sepuasnya.
Dari kejauhan terlihat sebuah taksi mendekat, Arini segera melambaikan tangan, begitu taksi berhenti didepannya, ia segera membuka pintu dan menutupnya dengan agak kasar. Setelah bertengkar dengan Raka yang kini menjadi seperti rutinitas harian, ia selalu gagal menguasai hatinya, supir taksi itu melihat dengan sinis dari spion, menyadari tatapan itu, Arini menghela nafas , “Maaf...” ucapnya, “antarkan aku ke kedai kopi tua tengah kota”.
***
“ Kak, pesan latte satu, ya ”. Aku langsung memesan.
“ Iya, kak. Meja pojok ya? “ Jawab barista didepanku dengan senyum ramah.
“ Iya.” Sahutku pendek agak kaget.
“ Ditunggu ya, kak.” Ucapnya lagi, masih dengan senyum ramahnya.
Kedai kopi tua tengah kota ini tempat yang nyaman. Terlebih aku selalu memilih meja pojok ini, sudut jendela didepannya menghadap matahari terbenam, cantik sekali. Membuat suasana hati membaik, sehabis bertengkar dengan mas Raka, suasana seperti ini mampu sedikit mengusir sedih dihati. Sembari menunggu pesanan datang, Aku mengeluarkan dua buah buku yang kubawa, satu buku catatanku dan satunya lagi novel terbaru penulis idolaku Eka Kurniawan, judulnya Sumur.
Aku hobi membaca, turunan keluarga. Seingatku mulai kelas tiga SD, saat aku sudah bisa membaca sendiri, Ayah selalu mengajakku ke toko buku setiap bulan, aku dibebaskan memilih buku apa saja. Ayah memang yang selalu membelikanku buku, tapi ibu lah yang dari awal mengajariku cara membaca, bahkan sampai aku kelas enam SD, ibu masih sering menemaniku membaca. Kadang itu menggangguku, dan saat aku merasa terganggu, aku akan menoleh ke arah ibu, “ Ibu kan juga mau baca buku”, ucap ibu sambil membuka-buka buku ditangannya.
Ayah dan Ibu adalah sosok pasangan ideal bagiku, tentu banyak anak lain yang juga mengidolakan orangtuanya, bedanya, aku mengidolakan ayah dan ibuku sebagai pasangan bukan karena kesempurnaannya, tapi karena kekurangannya. Ayah dan Ibu terkadang berselisih pendapat, seringnya karena keputusan ibu. ketika ayah tak suka dengan keputusan ibu, dia akan bercerita padaku. Ibu tau kalau ayah suka menceritakan kekesalannya padaku, jadi ibu akan mendatangiku, menggenggap tanganku, dan bertanya,” tadi ayah ngomong apa?”. Aku pun menceritakannya, setelah itu, ibu akan mengusap dan mencium keningku. Aku sering membayangkan, Ketika aku bertengkar dengan mas Raka, ia akan bercerita pada anak kami, dan aku bisa melakukan apa yang dilakukan ibu padaku. Ah... andai saja.
“ Silahkan Lattenya Kak”, barista tadi sudah disampingku sambil menyodorkan segelas latte pesananku.
Aku menoleh, “ Terimakasih”, sambutku menerima segelas latte pesananku.
“ Sekarang ada menu baru, kak. Kopi Excelsa, kopi Liberika, kopi Catimor, Tawarnya dengan antusias.
“ Enggak dulu, kak. Mungkin besok-besok”. Tolakku halus. Sambil melihat wajahnya yang agak berubah. Matanya mengerjap, senyumnya semakin mengembang.
“ Saya juga suka baca novel, kak. Jadi mudah mengingat pelanggan yang suka baca. Apalagi yang mejanya nggak pernah pindah”. Ujarnya.
Aku tersenyum. “ Sudah baca yang ini?” Tanyaku menunjuk novel yang kubawa.
“ Sudah, kak. Bagus banget” . Komentarnya.
“ Iya, mana ada novel Eka Kurniawan yang jelek”. Batinku.
“ Suka nulis juga?” Tanyaku.
“ Baru belajar nulis puisi”. Jawabnya jujur.
“ Boleh ikut baca?” tanyaku dengan mengankat alis, berniat sekedar menggodanya.
“ Boleh, Tapi kalau jelek jangan diketawain ya”, ucapnya malu-malu. Kemudian dia merogoh saku dan mengeluarkan notebook kecil.
Aku menerima buku itu sembari menjawab : “Iya. Janji!” Tegasku.
Aku menyeruput latte didepanku. Rasanya pas. Sesuai dengan suasana hatiku yang mulai membaik. Selain sudut jendela yang cantik, rasa latte yang sempurna, barista tadi adalah pelengkap suasana di kedai ini.
Sebenarnya aku juga suka memperhatikan barista tadi. Kutaksir usianya tak terlalu jauh dibawahku, paling hanya tiga tahun. Rambutnya sebahu, tidak terlampau hitam, senyumnya manis, dengan lesung pipit disebelah kiri, dan terutama suaranya yang terdengar cerewet saat menawarkan menu-menu baru, suaranya terasa menghangatkan hati dan membuatku betah disini. Dia tipikal orang yang ramah dan mudah bergaul. Cocok dengan pekerjaannya, aku yakin para pelanggan lain juga menyukainya. Atau munkin saja dia menjadi ramah dan mudah bergaul karena tuntutan pekerjaan? Apapun itu, barista tadi seperti magnet yang membuatku menempel dikedai ini.
Aku jadi penasaran dengan puisinya, sebab ada yang mengatakan, hanya puisi yang bisa menggambarkan kehidupan. Ku buka notebook yang tadi diberikaannya, masih baru, mungkin baru ia beli dua hari yang lalu. Dan hanya ada satu tulisan.
Cinta itu mengerikan, bukan sesuatu yang aman
Karena ketika kita mencintai seseorang
Kita harus menghadapi kenyataan
Bahwa kita mungkin akan kehilangannya
Seringkali, hidup memberikan kejutan yang pahit
Mungkin kita kehilangan karir, kebebasan
atau yang terburuk, harus merelakan orang yang kita cintai
Semua itu membuat kita sadar
Betapa berharganya setiap detik yang kita miliki
Tak ada yang pernah tau berapa lama waktu yang kita miliki
Bisa jadi satu menit, satu jam, atau lima puluh tahun
Tapi aku tau, meskipun itu seratus tahun
Aku tak akan pernah punya cukup waktu denganmu**
Terbayang wajah mas Raka, senyumnya, tawanya. nafasku tercekat. Mataku panas. aku harus pulang. aku langsung berdiri dan melankah menuju kasir. Setelah membayar dengan terburu-buru. Aku menghampiri barista pemilik rambut sebahu, dan mengembalikan notebooknya.
“ Puisimu bagus”. Ucapku tertahan.
Dia hanya tersenyum, menyadari raut sedih di wajahku.
Aku bergegas keluar. Aku tak mau menangis ditempat ini.
***
Setidaknya sudah enam bulan, sejak pertama kali Arini merasa curiga dengan Raka. Gelagatnya, bahasa tubuhnya, ciuman selamat tidurnya, semuanya berubah. Terasa ada yang hilang. Dua bulan lalu, sewaktu ia keluar makan bersama teman kerjanya, dari arah belakang sekilas ia seperti melihat Raka, bentuk tubuhnya, tinggi badannya, dan bajunya. Kemeja biru tua, warna favorit Raka. Sama persis dengan baju hadiah ulangtahun yang sebulan lalu ia berikan. Sosok mirip Raka itu menggandeng mesra tangan perempuan dengan baju yang senada. Biru tua. Namun Arini masih bisa menahan diri, ia masih punya sisa keyakinan pada laki-laki yang mengucap janji pernikahan dengannya tujuh tahun yang lalu itu.
Hingga seminggu yang lalu, didepan matanya, Arini melihat Raka dan seorang wanita berjalan layaknya sepasang kekasih menuju sebuah toko baju. Ia hanya membeku ditempatnya berdiri. Ia tak mampu mengerakkan langkahnya, saat akhirnya ia melangkah, kakinya tak mengejar Raka dan wanita itu, ia malah menuju rumah.
Dirumah ia berusaha menenangkan diri sambil terus mengusap air mata yang dari tadi tak berhenti mengalir, ia masih berharap ketika pulang nanti, Raka akan bercerita bahwa ia baru saja mengantarkan temannya membeli baju. Arini bertekad untuk tak menanyakannya lebih dulu, dan menunggu Raka bercerita. Sampai akhirnya tadi siang Raka menceritakan apa yang Arini tunggu, tapi bukan yang Arini harapkan.
Kini Arini dan Raka duduk berhadapan, diruang tengah rumah sederhana milik mereka, didepan mereka berdua, ada sebuah meja dan dua gelas teh hangat. Arini memang penyuka Latte, tapi ia ingin meniru ucapan ibunya, bahwa apapun masalah yang ada, bisa dibicarakan didepan segelas teh hangat. Dulu, ketika ayah dan ibunya sedang memiliki masalah, ibunya akan menyiapkan teh hangat, kemudian membicarakan masalah itu sembari sesekali meneguknya, siasat ini selalu berhasil. Jadi, sebelum mengajak bicara Raka, terlebih dulu Arini menyiapkan teh hangat itu.
“ Namanya siapa?” Tanya arini memulai.
Raka menatap mata teduh arini dan menjawab dengan jujur. “Ratna”.
Arini menelan ludah. Rasanya kelu mendengar nama perempuan lain dari mulut laki-laki yang dicintainya. ” Kamu mencintainya?” Arini bertanya dengan gemetar.
Raka menghela nafas berat, “rasanya memang tidak persis sama seperti cintaku padamu. Tapi iya, aku mencintainya”.
Air mata mulai meleleh dipipi Arini, “ Baiklah. Kita urus perceraian kita secepatnya.”
“ Arini, maafkan aku ”. Ucap Raka memelas.
“ Aku mencintaimu. Tapi Aku tidak tau apa aku bisa memaafkanmu, mas.”
Untuk pertama kalinya siasat teh hangat itu gagal, Arini beranjak menuju kamar. Menutup pintu. Dan menangis tanpa suara.
***
Disamping ranjang Arini, ada Jono, adik Raka yang datang membesuknya. Jono datang setelah ditelepon oleh pihak rumah sakit, yang mengatakan pasien bernama Arini meminta untuk dibesuk. Setelah menyelesaikan pekerjannya, Jono segera berangkat menuju rumah sakit tempat Arini dirawat.
Tubuh layu arini terbaring lemas dikasur rumah sakit. Dia didiagnosa kanker rahim. Jika ada penyesalan yang tersisa dari hubunannya dengan Raka, itu adalah karena dia belum sempat bercerita tentang penyakitnya. Penyakit yang membuat senyumnya tak lagi menenangkan, tawanya tak lagi renyah. Penyakit yang juga memupuskan cita-cita sederhananya, ia ingin mengajari anaknya membaca, menemaninya membaca, seperti yang dilakukan ibunya dulu. Dan jika ada keberuntungan dari penyesalan itu, ia tak perlu merasa menjadi beban bagi Raka, Raka tak perlu memaksakan diri untuk tetap mencintai orang yang sedang menunggu mati.
“ Kabarmu gimana? Kerjaan lancar?” Arini mencoba bertanya seceria mungkin.
“ Baik, mbak. Lancar”. Jawab jono mencoba menyembunyikan kesedihannya
“ Aku minta maaf ya? Jadi merepotkan...”,
“ Merepotkan apa? Nggak ada yang merasa direpotkan, mbak”. Sahut jono cepat.
“ Kalau begitu” , ucap Arini sembari mengulurkan secarik surat yang ia tulis dikedai kopi tua tengah kota sebulan yang lalu, “ Titip ini, berikan pada mas Raka setelah seratus hariku”.
“ Jangan ngomong begitu, mbak. Pamali”. Jono menerima surat itu, “ mbak pasti sembuh, kok” . Lanjutnya.
Arini pun hanya tersenyum menanggapi ucapan itu.
*Terinsporasi dari judul salah satu karya Eka Kurniawan
**Diterjemahkan bebas dari salah satu dialog dalam serial berjudul The Suits
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰