
(20+) Mohon bijaksana dalam memilih bacaan.
Setelah lama berjuang, akhirnya Naruto menerima Hinata sebagai kekasihnya.
Akan tetapi, apakah hubungan mereka akan semulus bayangan Hinata?
It’s Not Fine © Laverna
Naruto © Masashi Kishimoto
Warning: Drama, Typo, Ooc.
Hubungan Hinata dan Naruto mulai membaik, walau Hinata masih sering di-kacangin, tapi setidaknya Naruto sudah tidak sedingin sebelumnya.
Hubungannya dengan Sasuke pun semakin akrab, ternyata pria itu menganggapnya sebagai seorang adek perempuan yang manja, dan itu bukan masalah bagi Hinata.
Semuanya baik-baik saja, sebelum ia mengetahui ternyata Naruto menyukai Shion, mahasiswa jurusan seni. Hinata merasakan patah hatinya yang pertama.
Sebagaimana dia yang gigih membuat Naruto mencintainya, seperti itu pula kegigihan Naruto membuat Shion menyukainya.
Hinata diam menghitung dalam hati, dia menunggu Naruto dibawah hujan karena pria itu mengiyakan akan menjemputnya, harusnya ia berteduh, tapi dia ingin Naruto tahu, bagaimana perjuangannya menunggu laki-laki itu ditempat yang sudah mereka tentukan.
Hinata tidak beranjak sedikitpun dari taman kampus dekat pintu gerbang, karena ia tidak mau Naruto kesusahan mencarinya jika ia berpindah tempat.
5 menit pertama, ia masih bertahan, bahkan saat tubuhnya sudah basah kuyub 10 menit kemudian dia tetap tidak beranjak dari kursi taman.
Tapi merasakan air hujan yang sudah tidak mengenai, ia kira hujan sudah berhenti. Ketika mendongak dia melihat payung biru tua, ia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah seseorang yang memayunginya.
Hinata melihat Sasuke yang juga memandangnya dalam diam. Tiba-tiba air matanya keluar sendiri. Dia terisak sambil memeluk Sasuke, sedangkan pria itu sepertinya tidak masalah dipeluk Hinata dalam keadaan basah.
“Aku akan mengantarmu.” Ucap Sasuke, dia masih membiarkan Hinata memeluknya, dia bisa merasakan bajunya semakin basah, karena air mata gadis itu.
“Senpai kemana?” tanya Hinata sambil terisak. Sasuke menghelah nafas lelah, tangan kirinya yang tidak memegang payung ia gunakan untuk mengelus rambut basah Hinata. “Kita pulang.” Ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Hinata, Sasuke membantu perempuan itu bangkit dan mereka berjalan ke arah mobilnya.
Di dalam mobil Hinata masih terisak, seumur hidupnya dia tidak pernah diperlakukan seperti ini, dia diabaikan, bahkan Naruto tidak mengirimkannya pesan bahwa dia tidak akan menjemputnya. Setidaknya dia tidak diberi harapan palsu, tapi laki-laki itu begitu tega memperlakukannya seperti ini.
“Naruto-senpai kemana?” Hinata bertanya ulang, jika jawaban Sasuke masuk akal, mungkin ia bisa memaafkan laki-laki itu.
“Aku tidak tahu,” jawab Sasuke seadanya, “Pakai ini, kau kedinginan.” Tambahnya sambil menyerahkan jaketnya.
Hinata menggeleng, percuma. Baju dan dalamanya sudah basah, tapi dibanding tubuhnya yang kedinginan, hatinya jauh merasakan kebekuan.
“Aku ingin menyerah.” Lirihnya, dia tahu Sasuke mendengarnya, tapi laki-laki itu tetap diam.
“Kau dimana?” tanya Sasuke setelah teleponnya diangkat.
“Rumah sakit, ada apa?” jawab orang diseberangnya, Hinata mengalihkan pandangannya, itu suara Naruto.
“Apa kau melupakan sesuatu?” tanya ulang Sasuke.
“Tidak, aku—shit! Hinata! Apa dia bersamamu sekarang?” jawab Naruto kemudian ketika mengingat jika dia telah berjanji pada gadis kepala batu itu untuk menjemputnya.
“Tidak, ada apa?” jawab Sasuke, Hinata memandang bingung Sasuke, kenapa pria berbohong.
“Kuso! Aku tutup teleponnya.” Kemudiian Naruto menutup teleponnya. Sasuke menghelah nafas, kemudian melakukan panggilan kembali, sedangkan Hinata masih diam, dia tidak mengerti.
“Hinata bersamaku sekarang, aku baru saja bertemu dengannya di taman.” Kata Sasuke setelah teleponnya kembali diangkat.
Tidak ada suara, tapi Hinata dan Sasuke dapat mendengar deru nafas Naruto yang memburu, pria itu seperti baru saja berlari.
“Ya, sangkyu.katakan padanya aku meminta maaf, ibuku masuk rumah sakit dan aku lupa memberi tahunya.” Jawab Naruto masih berusaha mengendalikan nafasnya.
Hati Hinata kemudian menghangat, bukan hanya karena Naruto meminta maaf, tapi juga karena laki-laki itu mengatakan alasannya.
“Semoga Obaasan lekas sembuh Senpai,” cicit Hinata dengan suara bergetar, sekarang dia sudah merasakan dirinya menggigil kedinginan.
“Ya, aku tutup.” Jawab Naruto beberapa saat, ketika mengetahui kali ini Hinata yang berbicara.
“Sekarang kita pulang,” kata Sasuke sambil menyalakan mobilnya.
“Arigato Sasuke-kun, aku hampir salah paham pada Naruto-senpai.” Kata Hinata, sekarang dia mulai memakai jaket pemberian Sasuke. “Hn,” jawab Sasuke.
*
*
*
Esoknya, Hinata datang menjenguk ibu Naruto, syukurlah dia tidak flu, saat tiba di kamar rawat ibu Naruto, ia memelankan langkahnya, matanya dapat melihat Shion duduk disebelah ranjang dan bercerita dengan ibu Naruto, mereka terlihat akrab, dan hal itu mengusiknya.
“Ohayo, Obaasan.” Kata Hinata setalah memantapkan hatinya.
Kedua perempuan tersebut menoleh, wajah Kushina langsung cerah ketika melihat kedatangan Hinata, dan Shion dapat melihat perubahan langsung suasana hati ibu Naruto.
“Masuklah sayang, duduk disebelah Baasan,” ucap Kushina sambil tersenyum cerah, dan Shion memandang Hinata sambil tersenyum.
“Duduk disini Hinata-san.” Ucap Shion sambil beranjak, untuk duduk di sofa samping jendela.
“Arigato Senpai,” ucap Hinata, dan duduk ditempat Shion sebelumnya.
“Bagaimana keadaan Baasan? Gomen aku baru tahu kemarin sore jika Baasan masuk rumah sakit.” Kata Hinata merasa bersalah.
Kushina tersenyum lembut, sambil mengusap rambut Hinata, ia berkata “Tidak apa-apa, Baasan hanya demam biasa, Naruto terlalu berlebihan.”
Hinata mengulurkan tangannya, “Gomen Baasan,” ucapnya sambil mengukur suhu ibu Naruto. “Obaasan kapan bisa pulang?” tanya Hinata.
“Nanti sore, ini bukan apa-apa, Baasan sudah merasa sehat.” Kata Kushina sambil mengganggam tangan Hinata.
Hinata tersenyum cerah, “Baasan hebat! Nanti aku ikut mengantar Baasan pulang ya, kumohon?” ucap Hinata dengan manja.
Kushina tertawa, “Tentu saja. Baasan akan menyuruh Naruto memberi tahumu jika Baasan sudah boleh pulang.” Ucap Kushina sambil mencubit pipi Hinata gemas.
“Hehehe, arigato Baasan, sebanarnya hari ini kuliahku sudah selesai, jadi boleh aku yang menjaga Baasan?” tanya Hinata lucu.
“Benarkah? Tentu saja boleh!” ucap Kushina semangat, “Jangan panggil Baasan, Okaasan saja ya, dari dulu Kaasan ingin punya anak perempuan.” Ucap Kushina sambil memandang Hinata gemas.
“Tentu saja Kaasan,” ucap Hinata sambil menutup wajahnya yang memerah, dia malu sekali. Kushina yang melihatnya merasa semakin gemas dengan tingkah lucu Hinata.
Shion memandang keduanya dengan pandangan yang sulit dimengerti, mendengar suara pintu yang dibuka, ketiganya menoleh dan melihat Naruto baru saja masuk, dengan paper bag berisi buah-buahan.
Naruto menghentikan langkahnya ketika melihat Hinata yang memandangnya dengan senyum cerah, sambil menghelah nafas dia melanjutkan langkahnya dan menyimpan paper bag tersebut di atas meja depan Shion.
“Minumlah dulu, aku akan mengantarmu ke kampus.” Ucap Naruto sambil menyerahkan minuman kaleng untuk Shion.
“Bagaimana keadaan Kaasan? Aku akan ke kampus dulu mengantar Shion, dan kembali lagi nanti.” Ucap Naruto sambil mengusap tangan ibunya, dan mengabaikan Hinata yang dari tadi tersenyum lebar.
“Aku bisa ke kampus sendiri Naruto-kun, sangkyu minumannya, aku pamit Baasan, Hinata-san.” Shion berdiri dan membungkuk ke arah keduanya, dan mulai melangkah ke pintu keluar.
“Aku akan mengantar Shion, aku akan kembali lagi Kaasan.” Ucap Naruto sambil melangkah keluar, Hinata memandang keduanya dengan sendu. Naruto bahkan tidak menyapanya.
Kushina melihat raut wajah sedih Hinata, dan hal itu juga membuatnya sedih.
Hinata mengalihkan pandangannya ke arah Kushina ketika merasakan tangannya diganggam dengan lembut. “Naruto pasti akan menyukaimu suatu hari nanti.” Ucap Kushina lembut.
“Naruto lebih membutuhan wanita yang mencintainya dibanding wanita yang ia cintai.” Ucap Kushina kembali, dan entah mengapa hati Hinata sakit mendengarnya. Dia merasa bersalah. Naruto berhak bahagia dengan seseorang yang dicintainya.
Tapi seperti kata Kushina, dia akan berjuang hingga suatu hari nanti Naruto mencintainya.
“Gomen Kaasan, aku begitu egois.” Ucap Hinata menunduk. “Tidak, semua orang berhak memperjuangkan orang yang dicintainya.” Ucap Kushina sambil mengangkat wajah Hinata untuk melihatnya. Kushina mengusap pipi Hinata lembut, “Entah mengapa, Kaasan merasa Hinata-chan lah yang dapat membahagiakan Naruto.”
Mendengar hal tersebut, membuat perasaan Hinata semakin membaik, dan membuatnya optimis kembali.
*
*
*
Hinata sudah mendapatkan lampu hijau dari ibu Naruto, dan Karin.
Mereka berdua adalah orang yang paling mendukungnya untuk bersatu dengan Naruto, dan hal itu membuatnya di atas angin.
Waktu berjalan begitu saja, 6 tahun berlalu, sekarang dia dan Ino telah menjadi dokter muda atau Junior Residen di Rumah Sakit Universitas Tokyo, Naruto dan Sasuke membangun perusahaan game mereka sendiri. Shikamaru—kekasih Ino—telah memperlihatkan prestasinya dengan mejadi kepala Kepolisian Tokyo termuda dalam Sejarah Jepang.
Perjodohannya dengan Sasuke telah dibatalkan, dan kini statusnya adalah sebagai kekasih Naruto.
Hinata merapikan jas dokternya, sudah masuk jam istirahat, 1 tahun yang lalu Naruto mengajaknya untuk berkencan, walaupun dia tahu pria itu di desak oleh ibunya, tapi dirinya akan berusaha membuat laki-laki itu mencintainya.
Selama setahun penuh dia selalu merecoki laki-laki itu dengan pesan dan telepon, dia tahu bahwa Naruto memberikan dering telepon khusus untuknya—agar dapat mengabaikan teleponnya sebagaimana pesannya diabaikan.
Tapi itu bukan apa-apa, dia akan pergi ke kantor pria itu, memaksanya makan siang bersama, dan tentunya makan malam bersama jika sempat.
Seperti saat ini, dia telah bersiap-siap untuk makan siang bersama.
Hinata mengganti pakaiannya, dia akan berusaha membuat laki-laki itu terpesona—walaupun selama ini gagal.
Setelah mengambil makan siang yang sudah disiapkannya, dirinya bersenandung. Walaupun ogah-ogahan Naruto selalu menghabiskan makanan yang ia buat. Dia akan membuat laki-laki itu hanya bisa memakan makanan buatanya saja—kikik Hinata tersenyum licik.
Setelah sampai di kantor Naruto, ia berjalan ke ruangan laki-laki itu yang berada dilantai tiga. Bersebelahan dengan ruangan Sasuke.
Ngomong-ngomong, Sasuke yang mengurus semua sponsor yang masuk ke perusahan mereka, dan yang lebih sering melakukan perjalan bisnis keluar negeri. Sedangkan Sasuke fokus mencari sponsor keluar negeri, Naruto sendiri lebih sibuk di Jepang.
“Hai!” sapa Hinata ketika membuka pintu ruangan Naruto, dan melihat laki-laki itu yang memandang laptopnya dengan serius.
Naruto mengangkat kepalanya dan melihat kepala Hinata yang sudah tersenyum lebar sedangkan tubuhnya masih diluar ruangan. Sambil melirik jam tangannya, ya sudah masuk waktu makan siang, pantas saja perempuan kepala batu itu sudah datang.
Sambil membuka jasnya, ia menyampirkannya di belakang kursinya, dan menghampiri sofa dimana mereka selalu makan siang bersama.
Hinata bersiul menggoda, melihat tubuh kekar Naruto hanya terbalut kemeja biru membuatnya tidak dapat menahan senyum malunya. Tubuh Naruto tinggi dan besar, sangat bertolak belakang dengan dirinya yang ‘kecil’ membuatnya tenggelam jika memeluk pria itu.
Selain itu, sepertinya badan Naruto mulai berisi, dia harus mengatur asupan makanan laki-laki itu agar tubuhnya kembali seperti dulu, ramping dan seksi.
“Hari ini aku membuat spaghetti bolognaise, sudah kuhangatkan sebelum ke sini dan Naruto-kun harus lebih sering berolahraga karena perut Naruto-kun sudah buncit.” Ucap Hinata sambil membuka tempat makanannya dan men-noel perut buncit Naruto.
Naruto yang mendapat perlakuan demikian terkejut, jujur saja ada perasaan aneh ketika Hinata menyentuh perutnya.
“Ya.” Balasnya kemudian sambil menikmati masakan Hinata.
Hinata memandang Naruto yang makan dengan lahap, dan laki-laki itu kembali mengabaikannya dan fokus menghabiskan makanannya.
Hinata menyusun apel dan anggur, kemudian meletakkannya di atas meja Naruto, selain itu dia juga mengganti kemasan kopi instan Naruto dengan sebutol jus jambu yang sudah dibuatnya.
Dia kemudian meletakkan 2 botol air mineral ukuran besar di kulkas kecil milik laki-laki itu.
Hinata akan membuat laki-laki itu tidak menyesal telah menjadikannya kekasih.
Hinata meletakkan vitamin di atas meja, ketika Naruto meminum air mineralnya. “Minumlah, Naruto-kun bekerja keras akhir-akhir ini, Naruto-kun harus menjaga kesehatan.” Ucap Hinata perhatian.
Ketika Naruto menuruti kata-katanya, ia bangkit dan berdiri di belakang Naruto sambil memijat pundaknya pelan.
“Naruto-kun harus istirahat, jangan bekerja terus. Kurasa Naruto-kun perlu liburan.” Ucap Hinata sambil terus memijat pundak Naruto lembut, ia kemudian mengeluarkan minyak kayu putih dan mengoleskannya di sekitan tengkuk Naruto. “Ini akan membuat Naruto-kun lebih rileks.”
Naruto mengiyakan ucapakan Hinata dalam hati, perlakuan perempuan kepala batu itu saat ini benar-benar membuatnya nyaman.
Rasa tegang disekitar lehernya perlahan mulai memudar, sensasi dingin dari minyak kayu putih yang dioleskan Hinatapun membuatnya ingin tertidur sebentar.
Melihat Naruto yang bersandar di sofa dan memejamkan matanya membuat Hinata tersenyum lembut. “Naruto-kun sudah bekerja dengan keras, terima kasih sudah berjuang sampai saat ini.” Bisiknya pelan. Naruto mendengarnya tapi dia mengabaikannya.
Perlahan hatinya mulai menerima Hinata, walau tidak sepenuhnya, tapi dia sudah terbiasa dengan kehadiran perempuan kepala batu itu.
Mengira Naruto tertidur, Hinata melangkah mendekati laki-laki itu, dengan menggunakan kekuatannya, ia mengangkat kaki panjang Naruto untuk membuat posisi Naruto lebih nyaman saat tertidur di sofa.
Setelah Naruto terlentang, Hinata mulai melepas sepatu dan kaos kaki Naruto, kemudian memijat telapak kaki Naruto pelan dan lembut.
Warna kulit mereka sangat kontras, bukan bermaksud rasis, tapi warna kulit kecoklatan Naruto sangat maskulin, perpaduan tangan putihnya dan kaki coklat Naruto, sangat mendefinisi ‘perempuan dan laki-laki’ dan hal itu membuat Hinata berdebar gugup.
Jika mereka memiliki anak, apakah anak mereka adalah perpaduan mereka berdua? Ataukah anak mereka akan mewarisi gen salah satu diantara mereka saja? Hinata memekik dalam hati memikirkannya.
Oke, mereka belum pernah tidur bersama, entah Naruto menjaganya atau laki-laki itu memang tidak mau melakukannya dengannya? tapi walaupun begitu mereka berdua telah beberapa kali berciuman, hal itu merupakan hal biasa sepasang kekasih bukan.
Naruto awalnya hanya berniat memejamkan mata sebentar, tapi pijatan lembut Hinata di telapak kakinya dan rasa ngantuk yang datang setelah makan siang, membuatnya benar-benar tertidur lelap.
Ketika membuka matanya, Naruto dapat melihat Hinata yang juga tertidur dengan kepala perempuan itu disebelah betisnya. Naruto perlahan duduk, mengecek jam tangannya, oke dia tertidur selama 20 menit, waktu yang cukup singkat, tapi sangat berkualitas.
Perasaan jauh lebih segar setelah berisitirahat, dia dengan perlahan menyanggah kepala Hinata, berharap tidak mengganggu tidurnya.
Setelah berhasil berdiri, ia mengangkat tubuh kecil Hinata, gantian membaringkan perempuan itu di sofa. Setelah Hinata berbaring Naruto baru menyadari jika perempuan itu menggunakan rok, dan tampilanya saat ini membuat sesuatu dalam diri Naruto kembali berdesir. Bagaimana tidak, jika matanya disajikan pemandangan paha putih gadis itu, karena roknya yang tersingkap hingga pertengahan paha.
Hinata tidak pernah menggunakan rok pendek, dia lebih sering menggunakan celana jens* atau rok hingga lutut, sehingga ini merupakan penampilan perdana paha putih perempuan kepala batu itu, dan ia tidak pernah menyangka jika Hinata akan terlihat sangat seksi saat ini.
Perempuan itu terlihat pasrah, dan siap menerima serangan kapan saja, Naruto mengepalkan tangannya, bagaimanapun dia laki-laki normal, disajikan pemandangan indah seperti itu membuatnya ingin melakukan sesuatu pada perempuan itu.
Perlahan Naruto duduk, tangannya tanpa sadar terulur menyentuh paha Hinata, merasakan sensasi lembut kulit Hinata membuat Naruto nyaris gila. ‘Shit’ umpat Naruto.
Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah wajah Hinata, perempuan itu terlihat sangat polos, dia tahu Hinata cantik, tapi Naruto tidak tahu jika Hinata akan secantik ini ketika tertidur.
Alisnya melengkung indah, bulu matanya sangat lentik, dan bibirnya penuh. Oke, dia sudah pernah merasakan bibir gadis itu, dan sekarang dia sangat ingin merasakannya lagi.
Apa yang diinginkannya kemudian dia wujudkan, Naruto mencium bibir gadis itu, dan tanpa menunggu lama melibatkan peran lidahnya. Hinata merasa terusik dalam tidurnya, ada yang aneh. Ada yang menarik lidahnya dan itu tidak nyaman.
Membuka matanya, tapi pandangannya terhalang objek yang ia yakini sebuah mata yang terpejam.
Hinata mendorong pundak seseorang yang sudah berani menciumnya, dan ketika berhasil membuat jarak, yang ia lihat adalah Naruto yang memandangnya tepat dimata. Hinata kemudian sadar jika yang menciumnya tadi adalah Naruto, dan seketika itu juga wajahnya langsung memerah malu, hingga telinganya pun ikut merah.
“Apa yang Naruto-kun lakukan...” cicit Hinata malu, ia alihkan pandangannya ke samping, dia tidak sanggup melihat Naruto.
Naruto sendiri merasakan kepalanya hampir meledak, dia butuh pelepasan, kemudian tanpa membuang-buang waktu, Naruto meraih tengkuk Hinata, menciumnya lebih dalam dari sebelumnya, dan dari ciuman-ciuman mereka yang lalu.
Hinata meremas kemeja depan Naruto, ketika ia merasakan sensasi aneh ketika Naruto menciumnya sedalam ini. “Akh..” pekik Hinata ketika ciuman Naruto berubah menjadi kasar, membuatnya meringis, belum lagi tangan laki-laki itu yang meremas pinggangnya, bibir luarnya digigit, dan lidahnya juga ditarik keluar.
“Cukup..” pekik Hinata memundurkan wajahnya, dan menahan tangan Naruto yang hampir mencapai dadanya.
Naruto sudah gelap mata, ia butuh perempuan itu di bawahnya sekarang, dan ketika akan menggapai Hinata, Hinata langsung berdiri. Mengambil tasnya dan akan melangkah keluar, saat ini Naruto terlihat sangat berbahaya, dan hal itu membuat Hinata takut.
“Akh!” Hinata kembali memekik ketika merasakan punggungnya yang membentur dinding sebelum tangannya sempat mencapi ganggang pintu.
Hinata kembali bergetar, ketika Naruto kembali menciumnya, bahkan kedua tangannya ditahan Naruto di atas kepalanya. Naruto menciumnya kasar, seakan tidak ada hari esok.
Hinata pasrah, tenaga Naruto saat kuat, bahkan dia tidak bisa merasakan kakinya berpijak di lantai karena Naruto mengangkatnya, membuatnya mau tidak mau melingkarkan kakinya dipinggang laki-laki itu.
“Aku ingin melakukannya ketika kita sudah menikah!” ucap Hinata keras ketika ciuman Naruto berpindah ke lehernya. Kedua tangannya yang sudah bebas menahan pundak Naruto, membuat pergerakan laki-laki itu berhenti. Hinata merinding, nafas berat Naruto tepat di atas dadanya.
Jika Hinata tidak menghentikannya, Hinata berani bersumpah mereka akan melakukannya sekarang juga di ruangan ini.
Naruto diam. Kesadarannya kembali secara perlahan, apa yang dilakukannya sekarang pada Hinata adalah tindakan paling memalukan dan menjijikkan! Jadi, sebelum dia tidak dapat menahan dirinya lagi, sebaiknya dia menghindar dengan cepat.
“Pulanglah, maaf atas sikapku.” Ucap Naruto, kemudian bergegas memasuki toilet di ruangannya, dia harus menuntaskan sesuatu.
Hinata mengambil nafas dalam-dalam, dia harus menenangkan jantungnya, sebelum keluar dari ruangan ini.
“Ughk!”
Jantung Hinata kembali serasaberhenti ketika mendengar suara Naruto dari dalam toilet, dia tahu apa yang dilakukan laki-laki itu. Suaranya sangat dalam, dan terdengar kesakitan.
Hinata menggeleng, menyadarkan dirinya agar tidak masuk dan melihat keadaan Naruto.
‘Jangan mengkhawatirkannya sekarang baka! Kau harus lebih khawatir pada dirimu sendiri!’
Setelah merasa kakinya sudah dapat berjalan, Hinata kemudian bergegas meninggalkan ruangan Naruto.
*
*
*

ini sampai Part 10 teman-teman
jangan bosan untuk menantikannya yaa
hehehe
Salam hangat, Laverna.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
