
"Gimana rasanya punya orang tua?"
Sejak masuk ke dalam tenda, Ruqa tidak bisa benar-benar tidur. Bukan lagi memikirkan peralatan yang sudah beres atau belum, tetapi karena percakapan singkat dengan Ilo tadi membuat dadanya berdebar. Ia baru saja mengalami penolakan, tetapi perasaannya justru berbunga-bunga. Pria itu lumayan nyaman diajak bicara meski tidak pernah membalas tatapan matanya.
Ya, dia paham karena pria seperti Ilo jelas tidak akan menatap lawan jenis. Namun Ruqa ingin sekali membuat pria itu menatapnya.
Alhasil, sampai semua rombongan bangun, Ruqa belum sempat memejamkan mata. Namun semangat untuk summit tetap tinggi.
Pendakian menuju puncak Mahameru sangatlah berat. Butuh perjuangan untuk sampai ke sana dan Ruqa harus bisa melakukannya. Ada lautan awan yang katanya indah.
Seiring dengan matahari yang mulai menyingsing, rombongan sudah sampai di puncak. Lautan awan serta nirwana pagi terbentuk begitu cantik di sepanjang mata memandang.
Sayangnya mereka tidak bisa terlalu lama di sana karena gas beracun yang keluar dari kawah gunung merapi aktif itu. Mereka menyempatkan untuk berfoto bersama, duduk melepas lelah kemudian bergegesan kembali ke tenda.
Saat turun, Ruqa mulai merasa tubuhnya tidak nyaman. Namun ia harus benar-benar menjaga konsentrasi agar tidak menyusahkan orang lain.
Sampai di tenda, Ruqa segera menyiapkan sarapan untuk rombongannya. Tidak peduli tubuhnya kurang nyaman, tetap ia gunakan untuk memasak.
"Abang! Ntar tolong beresin peralatannya, ya. Ruqa mau tidur dulu, bentar aja," ujar Ruqa usai menyelesaikan sarapannya.
"Tumben? Kenapa? Ada yang sakit?" tanya Billal khawatir dan menarik perhatian yang lain. Ia memeriksa kening adiknya.
"Enggak apa-apa, Bang. Semalem aku nggak bisa tidur, jadi sekarang ngantuk banget," jelas Ruqa. Ia menatap orang-orang di sekitarnya. "Maaf ya, jadi nungguin Ruqa tidur bentar."
"Nggak apa, Mbak. Bobok aja dulu, daripada nanti ngantuk di jalan, malah bahaya," ujar Jenna.
"Mau ditemenin Mas Ando nggak, Ru?" goda Ando dan mendapat pukulan dari Billal.
"Kulempar ke kawah mau?" sentak Billal mendapat balasan tawa dari yang lain.
Ruqa pergi ke tenda dan lekas merebahkan badan.
π±
Tidak sampai satu jam Ruqa terlelap, ia lekas bangun dan bersiap untuk mengemas tenda. Tubuhnya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, tetapi kantuknya lumayan terobati.
Setelah mengemas tenda dan memastikan semua barang juga sampah telah dibawa, mereka bergegas untuk turun.
Dibandingkan saat berangkat, Ruqa lebih banyak diam. Hanya Jenna yang sering bertimpal canda dengan orang lain. Hal itu menarik perhatian Ilo yang saat itu menjadi sweeper. Pria itu mengajak Billal yang sedang memimpin jalan untuk lebih sering berhenti.
Niat mereka ingin menghabiskan banyak waktu di Ranu Kumbolo, tetapi Ruqa tidak mau melakukannya. Mereka hanya istirahat untuk salat dan makan snack, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Semakin lama, Ruqa semakin tidak bersuara dan kali ini Billal menyadari ada yang berbeda dengan adiknya.
"Kenapa, Ru? Ada yang sakit? Bilang kalau ada yang sakit!" ujar Billal cemas.
"Enggak, Bang. Ruqa cuma agak ngantuk sama capek dikit," jawab Ruqa.
"Kamu sih, Bil. Ruqa 'kan lama nggak hiking, sekalinya berangkat, kamu ajak ke sini," tuduh Furqan.
"Abang bawain carrier kamu, ya!" saran Billal mengabaikan Furqan.
"Nggak, Bang. Kita punya beban sendiri-sendiri. Lagian Ruqa masih kuat bawa sendiri, kok."
"Wajahmu kelihatan pucet, Dek. Biarin kita bawain carrier kamu. Kami bisa gantian bawa. Kamu fokus sama diri kamu biar nggak kenapa-kenapa?" ujar salah satu teman Ilo.
Terlihat yang lain pun setuju dengan pendapat itu. Akhirnya Ruqa menurut, mengesampingkan rasa segannya.
Terkadang Ruqa memang tidak tahu diri, tapi hanya pada orang-orang terdekat saja atau yang tidak disukai. Sedangkan pada orang baru, ia benar-benar harus menjaga diri. Tidak mau menyusahkan apalagi sampai membuat nama kakaknya jelek karena tidak mampu mendidiknya.
Sekitar pukul tujuh malam mereka tiba di Ranu Pani. Hanya beristirahat sebentar kemudian lanjut untuk pulang. Ruqa cuma ingin segera merebahkan badan. Sebab, bukan hanya tubuhnya yang sakit tetapi sekarang sudah berfokus pada perutnya.
Setelah menjejaki jalan protokol, kendaraan menepi di salah satu SPBU untuk mengisi bahan bakar. Ruqa gunakan kesempatan itu untuk pergi ke toilet. Dugaannya benar, ia sedang datang bulan.
Karena ada minimarket di depan SPBU, ia pergi ke sana untuk membeli pembalut. Namun, ia tertarik pada anak kecil yang sedang duduk di teras dengan membawa kardus bertuliskan 'Isi Gas Korek Api'.
"Kamu jualan sendirian?" tanya Ruqa pada anak laki-laki yang semakin teihat kurus karena baju yang kedodoran.
"Iya, Mbak."
"Isi gas sendiri?"
"Iya."
"Bisa?"
Anak itu mengangguk.
"Udah isi berapa korek hari ini?" tanya Ruqa.
"Belum ada."
"Kok belum ada? Kamu kemahalan kali kasih harganya."
"Lima ribu, tiga korek, Mbak. Kata bapak segitu."
"Kalau aku mau isi, tapi lima ribu, empat korek. Boleh?"
Anak itu terlihat berpikir.
"Bolehlah! Kan aku pelanggan pertama kamu," nego Ruqa dengan mengerjap manja. "Aku artis, loh. Nanti aku bonusin tanda tangan," bujuk Ruqa.
"Iya, nggak apa. Lima Ribu dapat empat."
"Yes!" seru Ruqa. "Aku ke dalam dulu ya mau beli sesuatu. Habis itu aku ambil korekku."
"Iya."
Ruqa langsung masuk ke dalam. Mencari pembalut, susu serta snack juga roti. Kemudian ia bawa ke meja kasir.
"Mbak, jual korek api yang gas?" tanya Ruqa pada petugas kasir.
"Ada, Mbak. Mau berapa?"
"Yang banyak."
Kasir itu terkejut.
"Buruan. Aku mau beli yang banyak!" desak Ruqa dengan menahan sakitnya.
Kemudian satu box korek gas diletakkan di atas meja kasir. Ruqa membayar semuanya lalu menghampiri anak tadi.
"Ini buat kamu jajan," Ruqa meletakkan kantong plastik berisi kue di dekat anak penjual jasa isi korek gas. "Aku ambil koreknya dulu di sana, ya!" Ruqa berlari menuju ke mobil yang sudah selesai mengisi bahan bakar.
"Abang! Bantu aku keluarin isi gas korek api ini!" seru Ruqa saat tiba di mobil.
"Hah? Buat apa?" Billal kebingungan.
"Udah pokoknya buang!" Ruqa membongkar box korek gas itu kemudian membaginya pada Ilo. "Kamu juga. Tolong bantuin!"
Kemudian membagi ke teman-teman Abangnya agar membantu juga.
"Aku tinggal ke toilet, kalau aku balik harus udah selesai!" seru Ruqa sambil berlari pergi.
Ruqa sudah ingin merebahkan badan. Tubuhnya mulai panas dingin menahan sakit. Namun harus lebih ia tahan karena ingin jadi pelanggan pertama anak tadi.
Ketika Ruqa kembali, tugas yang dia berikan belum selesai semuanya.
"Mau buat apa, sih!" protes Billal di antara kesibukannya.
"Aku bawa yang udah udah, ya. Nanti sisanya tolong antar ke sana." Ruqa berlari sambil menunjuk minimarket di seberang.
Ia memberikan korek-korek yang sudah kosong pada anak tersebut. Jika biasanya dia akan bawel bertanya tentang latar belakang orang yang ia ajak bicar, Ruqa justru diam. Duduk meringkuk memeluk lutut. Tidak berselang lama, Jenna datang membawa sisa korek api.
"Mbak, kenapa? Wajahnya pucet gitu?" tanya Jenna yang duduk di samping Ruqa.
"Biasa, lagi dapet."
"Barusan?" tanya Jenna dan mendapat anggukan.
"Pantes." Jenna menggosok pinggang belakang Ruqa. "Diginikan nyaman?" tanyanya.
"Iya. Makasih, ya!" Ruqa tersenyum, kemudian kembali meringkuk.
Hampir setengah jam duduk di sana, menunggu dalam dinginnya malam, semua korek yang Ruqa berikan terisi penuh.
"Totalnya jadi berapa, Dek?" tanya Ruqa.
"62.500, Mbak. Karena banyak, aku potong jadi enam puluh ribu saja."
Ruqa mengambil dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu kemudian memberikan ke anak itu. "Karena kamu rajin banget, aku juga kasih bonus buat kamu."
"Ehβ"
"Tadinya mau aku bonusin foto, tapi karena wajahku lagi jelek, nggak usah dulu ya." Ruqa berdiri dan hampir terhuyung. Ia menahan diri kemudian pergi.
"Makasih, Mbak!" seru anak itu gembira.
Ia menyebrang jalan dengan digandeng Jenna lalu menghampiri kendaraan yang terparkir di tepi jalan.
"Mbak Ruqa mau bantu anak itu ternyata," ujar Jenna pada orang-orang yang menatap mereka penasaran.
"MasyaAllah, adek Abang. Lagi sakit masih sempet-sempetnya mikirin orang," ujar Billal mengusap kepala adiknya.
Ruqa tidak memberikan jawaban dan masuk ke dalam mobil.
π±
Karena kondisi Ruqa yang tiba-tiba sakit, Billal putuskan untuk menerima tawaran keluarga Ilo untuk menginap di rumah mereka lagi. Ruqa tidak mau berbasa-basi karena memang ia butuh istirahat.
Usai membersihkan badan dan ganti pakaian bersih, Bu Kara mempersilakan semuanya untuk makan. Namun Ruqa tidak bisa, ia lebih nyaman meringkuk di kamar Jenna menikmati rasa sakit.
"Ruqa ... makan dulu, ya!"
Suara Bu Kara membuat Ruqa terpaksa duduk. Wanita paruh baya itu membawakan sepiring nasi dan segelas air lalu diletakkan di atas nakas.
"Maaf, Ruqa datang kemari malah merepotkan."
"Nggak, kok. Saya senang kalau teman-teman Ilo atau Jenna datang kemari. Rumahnya jadi ramai. Biasanya sepi. Anak-anak jarang di rumah kecuali kalau Jenna libur gini, Ilo pasti sempatkan pulang ke Malang."
Bu Kara merogoh sakunya dan menyodorkan sebuah obat. "Makan sedikit, terus minum ini ya buat pereda nyeri."
Ruqa mengangguk. "Nggak apa, makan di kamar, Bu?" tanyanya.
"Kan kamu sakit. Boleh, kok."
Ruqa pun mengambil piring kemudian memakannya. Tidak banyak, hanya beberapa suap lalu ia meletakkan dan meminta maaf. Posisi duduk membuatnya tidak nyaman. Sakit yang dirasa sampai ke punggung.
Setelah meminum obat, Bu Kara membiarkannya tidur. Wanita paruh baya itu pergi dan berganti Billal. Sayangnya, sang Abang tidak bisa terus di sana karena Jenna harus istirahat juga.
Ruqa berharap jika ia bisa tidur, nyatanya sakit itu membuatnya berulang kali terbangun. Ia putuskan untuk keluar, mencari Billal yang tidur di kamar Ilo.
Sebuah kamar yang ada di ujung lorong adalah tujuannya. Ia ketuk pelan, takut mengganggu teman Abangnya. Tidak disangka, pintu itu terbuka tetapi bukan Billal yang muncul, melainkan pemilik kamar.
"Kenapa?" tanya pria itu.
"Bisa tolong panggilin Abangku?" pinta Ruqa.
Bukannya pergi memanggilkan, Ilo justru mengamati Ruqa dari ujung rambut sampai di kaki. "Masih sakit?" tanya Ilo.
Ruqa mengangguk.
"Biasanya diapain?"
"Dikompres air hangat sama diusap punggungnya."
Ilo mengangguk. "Tunggu di kamar dulu."
"Tolong sampaikan ke Abangku, ya. Makasih."
"Hm."
Ruqa berjalan dengan sedikit membungkuk kembali ke kamar Jenna. Ia menunggu, sedikit lebih lama. Kemudian pintu terbuka tetapi bukan Abangnya yang hadir.
"Bu Kara," pekik Ruqa tertahan.
Wanita yang tetap mengenakan cadarnya itu menekati Ruqa dengan membawa sebuah bantal penghangat yang juga biasa ia pakai di rumah.
"Pakai ini, ya." Bu Kara membuka kaus di bagian perut Ruqa dan meletakkan bantalan itu di sana. "Tidur miring aja, punggungnya Ibu usap."
"Nggak apa, Bu. Biar Bang Billal aja yang ngelakuin," tolak Ruqa teramat segan.
"Ada Jenna di sini, Kakak kamu nggak bisa masuk, Sayang."
Ruqa menggigit bibir.
"Nggak apa ... jangan segan. Anggap ibu kayak ibu kamu sendiri. Biar nggak segan, panggil Umma juga boleh. Biar sama kayak Jenna."
Ruqa tersentak mendengar itu. Hatinya trenyuh dengan apa yang dikatakan Bu Kara.
Wanita itu mendorong pelan tubuhnya agar miring dan ia duduk di tepi tempat tidur. Telapak hangat mulai bisa dirasakan Ruqa pada bagian pinggang belakang.
"Tidur, ya."
"Iya ... Bu. Terima kasih," sahut Ruqa.
Ia memejamkan mata. Perasaan canggungnya mulai berubah nyaman ketika Ruqa mendengar lantunan salawat yang lirih. Benar-benar tenang hingga ia masuk dalam mimpinya.
π±
Niat Ruqa untuk bangun sangat awal dan membantu membersihkan rumah sebagai ucapan terima kasih tidak terwujudkan. Jarum jam sudah menunjuk ke angka delapan, Ruqa baru membuka mata.
Sakitnya belum menghilang sempurna tetapi sudah lebih baik dibanding semalam.
"Sudah sehat kamu, Nak?" tanya Pak Kala yang kebetulan bertemu saat Ruqa baru keluar dari kamar Jenna.
"Maaf, saya baru bangun, Pak," sesal Ruqa.
"Nggak masalah. Kondisimu juga kayak gitu," sahut Pak Kala. "Kamu pergi ke dapur. Ada istriku di sana, sebaiknya kamu cepat sarapan."
"Baik, Pak!"
Ruqa membungkuk sedikit saat melewati Kala. Ia menuju ke dapur, bukan untuk mencari makan melainkan meminta maaf pada Bu Kara.
"Mbak! Udah bangun?" seru Jenna yang duduk di kursi meja pantry. Menunggu ummanya yang sedang memotong-motong buah.
"Udah enakan, Nak?" Bu Kara ikut bertanya.
"Sudah lebih baik, Bu. Kara, Jenna."Ruqa mendekati Bu Kara. "Maaf, saya telat bangunβ"
"Nggak usah sungkan gitu." Bu Kara mendorong dan memaksanya duduk di samping Jenna. "Semuanya udah sarapan. Tinggal kamu aja yang belum."
Ruqa melihat ke ruang tamu yang memang berada lurus dengan dapur. Ia tidak melihat Billal ataupun yang lainnya di sana.
"Mas Billal nyari obat buat kamu, Mbak. Dianter Mas Ilo. Mas Furqan sama Mas Ando juga ikutan."
Tiba-tiba semangkuk bubur tersaji di hadapannya. "Makan bubur dulu, ya. Bukan Umma yang bikin, tadi Jenna beli di langganan. InsyaAllah bersih dan enak kok."
"Makasih, Bu."
Bukannya pergi, Bu Kara jusrtu pindah ke belakang dan menguncir rambutnya menjadi ekor kuda. "Nah. Kalau gini nggak akan halangin kamu buat makan."
Ruqa sampai mematung melihat apa yang diperlakukan Bu Kara padanya. Sampai sebuah salam mengalihkan perhatian mereka.
Ilo, Billal dan yang lainnya sudah kembali. Billal lekas menghapiri Ruqa dan menanyakan keadaannya. Sedangkan Bu Kara mengajak Jenna untuk pergi, memberi kesempatan untuk kakak beradik itu berbicara. Sementara Ilo, Ando dan furqan duduk di ruang tamu.
"Abang beliin obat yang biasanya."
"Makasih ya, Bang." Ruqa menjawab datar.
"Kenapa? Kok jadi sedih gitu?" tanya Billal sambil mengusap kening Ruqa yang berkeringat.
"Abang ...."
"Hm?"
"Abang masih inget nggak rasanya dirawat Ibuk kalau lagi sakit dulu?"
Pertanyaan Ruqa membuat wajah Billal berubah sendu. "Kenapa?" Ia menggenggam tangan adiknya yang sedang memainkan ujung sendok. "Kamu kangen sama Ibuk?"
Ruqa mengatupkan bibir kemudin ganti menggigitnya. Ia mengangguk sambil berkata lirih, "Ruqa enggak tahu gimana rasanya dirawat dan diperhatikan Ibuk. Tapi, sekarang Ruqa tahu gimana rasanya."
Genggaman Billal semakin erat ketika Ruqa menantapnya.
"Jadi gini, rasanya punya ibu itu kayak apa."
"Ru ...."
Ruqa tersenyum menatap Abangnya. Matanya mulai berair. "Ruqa jadi pengen punya ibu. Gimana nih, Bang?"
Seketika Billal memeluk adiknya. "Ru ... udah ada Abang. Ada Pakdhe, Mas Rasya. Ada Mbak Rae juga. Kamu jangan merasa kesepian, ya?"
Ruqa hampir saja menangis. Namun suara gelas yang diletakkan di atas meja membuat Ruqa mengatur emosinya kembali.
Ilo yang meletakkan gelas tersebut. Pria itu melipat tangan dan bersandar pada pembatas antara meja pantry dan dapur.
"Nanti kamu juga bakal punya ibu yang suamimu bawa untukmu. Tinggal doa aja. Minta ke Allah, semoga suami dan keluarganya kelak adalah orang-orang yang tulus sayang sama kamu."
Ruqa jadi malu ketika Ilo mendengar keluhannya.
"Jangan sampai sedih dari kekurangan yang kamu miliki bikin kamu lupa dengan nikmat lain yang sudah Allah kasih ke kamu."
"Aku nggak pernah tanya ini sama siapapun. Tapi, boleh aku tanya sesuatu ke kamu?" tanya Ruqa pada Ilo.
"Semoga saya bisa jawab."
Ruqa mengatupkan bibir. Ia diam sejenak, kemudian menatap Ilo dan bertanya, "Gimana rasanya punya orang tua?"
"Ruqa." Billal mengingatkan adiknya, tetapi wanita itu tidak memedulikan.
"Mau jawab?" tanya Ruqa.
"Kamu butuh alasan untuk meratapi nasibmu?"
Ruqa tersentak ketika Ilo balik bertanya dengan kalimat menyakitkan itu. "Kamu jahat!"
"Saya bersyukur dan bahagia dengan kelengkapan keluarga saya. Tapi, kamu nggak bisa buat perbandingan dengan itu. Kamu pun punya kelebihan yang nggak saya punya. Kamu dan Billal, punya hati yang kuat, lapang dan sabar. Ketika banyak orang bergantung pada orang tua, kamu justru punya keberanian bergantung pada diri sendiri. Kedudukan kamu lebih istimewa dari anak seperti saya. Kamu nggak punya apa yang saya punya, tapi saya nggak punya apa yang kamu punya."
"Istimewa?" Ruqa mengernyit.
"Al-Qur'an menyebut kata yatim sebanyak 22 kali. Ditambah lagi, kamu seorang wanita. 57 kali disebut di kitab suci kita. Kurang istimewa apa coba?"
Ruqa menatap Billal. "Aku seistimewa itu ternyata, Bang."
"Jadi, nggak usah banding-bandingin sama yang lain, ya!" ujar Billal mengusap ujung kepala adiknya.
"Iya, Bang." Ruqa tersenyum lebar.
Saat melihat Ilo yang beranjak pergi, Ruqa lekas menoleh dan berkata, "Makasih, ya. Kamu baik ternyata."
"Nggak. Saya nggak baik," sahut Ilo. "Kamu aja yang malas bersyukur," imbuhnya kemudian pergi.
"Ck! Dia bisa nggak sih nggak ngeselin. Udah bisa ngobrol baik-baik juga!" umpat Ruqa melirik sinis pada pria yang bergabung dengan Ando dan Furqan.
"Kalo ngobrol sama Abang baik-baik aja kok. Ke kamu aja emang sewot." Billal cekikikan. "Dia emang jaga jarak kalau sama cewek."
"Yakali Ruqa harus tukar gender biar bisa ngobrol baik-baik ama dia? Ntar nggak bisa nikah ama dia dong kalo jadi cowok."
"Walaupun jadi cewek, emang dia mau nikah sama kamu?" sungut Billal mulai emaosi dengan adiknya.
"Seenggaknya masih ada kemungkinannya 'kan, Bang."
"Tau deh, Ru. Otakmu terlalu absurd buat dimengerti."
Β
π±tbcπ±
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°
