CINTA DITOLAK DUKUN MENDEKAT (TAMAT)

4
0
Terkunci
Deskripsi

Part 1-5

"Maaf ya, Sih. Bukannya aku nggak suka sama kamu. Hanya saja saat ini aku mau fokus kuliah dulu.Belum mau pacaran."

"Nggak papa Yal, aku sabar kok nunggu kamu. Kita jalani kayak biasa aja ya."

"Jangan ditunggu lah, Sih. Nanti kamu keburu bosan. Soalnya untuk waktu yang lama aku belum mau pacaran. Kita nggak usah ketemu lagi aja ya. Banyak mata kuliah yang harus aku kejar."

Itulah kata-kata terakhir Riyal sebelum memutuskan untuk menjauhiku. Katanya belum mau pacaran nyatanya beberapa hari ini...

16,757 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
250
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya ANAK ORANG KAYA ( TAMAT)
7
1
ANAK ORANG KAYA (1)Tinggalkan Daryan! Seratus juta itu jadi milikmu. Wanita paruh baya bergaya elegan itu menunjuk amplop coklat di atas meja dengan dagunya.Ma--maaf, aku tidak mangerti maksud anda, jawabku dengan suara gugup.Ucapanku cukup jelas. Putraku hanya sedang tersesat hingga jatuh cinta pada gadis sepertimu. Saat dia sadar nanti, dia pasti akan segera meninggalkanmu begitu saja.Aku terdiam. Ucapannya terasa begitu merendahkan harga diriku.Kalau anda berpikir seperti itu, kenapa malah memberikan uang? Kenapa tak menunggu saat itu tiba saja?Matanya menyipit. Merasa tertantang.Aku sedang berbaik hati padamu. Tak ingin kau terlanjur berharap. Nasibmu tidak semujur itu. Carilah pasangan yang pantas. Daryan berhak mendapatkan gadis yang sederajat dengannya.Aku terdiam. Wanita ini berkata benar. Kisah Cinderella hanya ada dalam dongeng dan cerita fiksi romance. Bahkan para crazy rich sekarang sudah menjodohkan anak mereka sejak dalam kandungan.Kenapa tidak anda katakan saja hal itu pada Daryan? Maaf, tapi uang anda tidak bisa membeli perasaan saya.Aku memundurkan kursi kafe, lalu bangkit hendak meninggalkannya.Aku tambah dua puluh juta. Katakan padanya kalau kau yang menyerah akan hubungan kalian.  Kurasa dia akan mendengarkanmu.Aku berdecih. Daryan pasti berusaha mati-matian mempertahankanku di hadapannya. Aku tak menggubris ucapan wanita arogan itu. Lalu kembali berbalik.Lima puluh juta. Atau kau tak akan mendapatkan apa pun, karena aku akan gunakan berbagai cara agar Daryan menjauhimu. Kau akan rugi besar, nona.Aku menahan langkahku. Kemudian menarik sudut bibir. Lalu berbalik dan mengulurkan tangan padanya.Baiklah. Seratus lima puluh juta. Deal!***Dasar murahan! Kau melepaskanku hanya dengan uang segitu? Pemuda itu mengamuk saat mengekor ke kamar kosku.Aku tertawa pelan, sembari menghitung jumlah uang cash yang diberikan ibunya padaku. Selebihnya dia transfer ke rekening.Aku bilang satu milyar. Kau dengar? Sa-tu mil-yar. Itu hargaku! Dia terlihat emosi.Sudahlah, Yan. Uang segini sudah terlalu banyak buatku. Seumur hidup dengan penghasilanku yang sekarang pun belum tentu bisa menabung uang sebanyak ini.Tapi aku terlihat murahan, May. Aku terkekeh geli mendengarnya.Kau pergilah. Jangan datang kemari lagi. Ibumu pasti akan mengawasi.Enak saja! Aku sudah membantumu mendapatkan uang dengan mudah. Kau mau mengusirku begitu saja?Mudah katamu? Jantungku hampir copot saat berhadapan langsung dengan ibumu. Idemu sungguh gila.Aku melihat wajahmu berubah saat di kafe. Di bagian mana kata-kata ibuku yang menyinggung perasaanmu?Aku tertegun. Sekilas menatap wajahnya. Lalu mengalihkan pandangan.Tidak ada. Semua hanya akting. Apa terlihat meyakinkan? Aku tertawa kecil.Harusnya kau bertahan sedikit lagi. Jual mahal sedikit saja. Setidaknya kau terlihat lebih memilih dan mempertahankanku.Kau tidak dengar ibumu bilang apa? Dia tidak akan menambah uangnya lagi. Semua rencana akan sia-sia.Tapi setidaknya pria tampan sepertiku tidak cuma seharga itu. Bahkan jam tangan yang kupakai lebih mahal dari harga diriku. Dia mengusap tengkuknya dengan bibir mengerucut.Lucu sekali.~~~Aku berjalan memasuki kedai kopi. Berjalan menaiki anak tangga ruko menuju lantai dua. Pemuda yang sedang duduk bersandar di balik meja kerja itu langsung menurunkan kakinya yang tadi menyilang di atas meja.Kau? Di sini? Dia tampak terkejut.Hutangku lunas. Berikan kwitansi dan juga surat rumah itu! Aku melempar amplop berisi segepok uang ke atas meja.Matanya membesar. Lalu meraih dan mengintip ke dalamnya.Dari mana kau dapatkan uang sebanyak ini? Wajahnya berubah masam.Bukan urusanmu. Mulai sekarang berhenti mendatangiku ataupun meneror lagi keluargaku. Aku tak mau lagi bertemu denganmu.Dia mengambil napas kasar, lalu melempar kembali amplop itu. Kembali bersandar pada kursi, layaknya seorang Direktur perusahaan.Kau pinjam ke rentenir mana lagi? Kembalikan saja. Aku akan beri kelonggaran. Dia mulai bernegosiasi.Bukan urusanmu. Kau atau siapa pun sama-sama rentenir. Tidak ada bedanya.Sudah kubilang aku beri kelonggaran. Kau bayar pokoknya saja. Hanya lima puluh juta, tidak perlu pakai bunga. Tapi kembalikan uang itu. Kau bisa terus mencicilnya. Pria bertubuh tinggi tegap itu menurunkan nada bicaranya.Dasar orang aneh. Kepalamu itu baru saja dipukul orang, ya? Apa kau lupa, kemarin-kemarin kau selalu datang dan membuat keributan. Marah-marah tidak jelas agar aku segera melunasi hutang Ayahku.Dia terdiam, kemudian kembali menarik napas.Meski sudah setahun belakangan aku berurusan dengan laki-laki ini, namun hingga sekarang aku masih belum tahu namanya. Aku hanya menyebutnya Ren. Karena yang kutahu dia memang seorang rentenir. Anehnya dia sama sekali tidak keberatan aku memanggilnya seperti itu.Hampir setiap hari dia datang ke tempat aku membuka usaha. Menagih hutang Ayahku yang angkanya selalu saja bertambah. Entah dari mana asalnya angka-angka itu. Aku sudah bosan bertanya dan tak lagi peduli.Untung ada Daryan. Langgananku yang ternyata anak orang kaya. Dan yang pasti dia itu... gila.Aku tidak mau. Kau hanya boleh berhutang padaku! Pria yang gaya berpakaiannya seperti preman itu tetap tak mau menerima uangku.Baik. Kalau begitu aku akan mengantarnya langsung ke rumahmu. Bukankah Ayahku menggadaikan surat rumah pada Ayahmu? Kau hanya kaki tangan saja. Caramu sama sekali tidak profesional! Aku meraih kembali amplop tersebut, sampai tangannya dengan refleks menahan.Kini punggung tanganku tanpa sengaja telah berada dalam genggamannya. Kami berdua saling terpaku, sampai akhirnya aku menarik diri dan membiarkan benda itu kembali ke tempatnya.Dia pun segera membenarkan sikapnya. Meraih amplop itu dan mencoba bersikap santai dengan kembali bersandar.Tak lama ia membuka laci dan mengambil buku kwitansi pembayaran. Menuliskan sesuatu di sana. Lalu bangkit menuju laci bertingkat tiga terbuat dari besi. Membuka kunci dan mengeluarkan selembar amplop yang lebih besar.Perasaanku lega, karena akhirnya surat rumah yang digadaikan Ayah bisa kembali.      ~~~ Maya? Ayah menyambut kedatanganku dengan wajah sumringah. Kau bawa apa?Aku memutar bola mata malas, sambil meletakkan tiga bungkus sate ke atas meja makan. Lalu menyusun bahan makanan ke dalam kulkas.Ayah meraih bungkusan tadi dan langsung melahapnya. Tak lama adik laki-lakiku keluar dari kamar.Tak perlu lagi menemui rentenir itu. Aku sudah melunasi hutang Ayah, ketusku, di sela-sela makan malam.Benarkah? Mana surat rumahnya? Ayah tampak bersemangat. Dia bahkan tak bertanya dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu. Sudahlah. Ayah memang tak pernah mau peduli urusan anak-anaknya.Aku yang simpan.Hei, apa maksudmu? Ayah membanting sendok hingga terpelanting. Kembalikan pada Ayah!Tidak akan. Ayah pasti akan menggadaikannya lagi. Ini terakhir kalinya aku membayar hutang Ayah. Lain kali kalau ada rentenir atau siapa pun yang menagih dan mengganggu aku dan Adit, aku sendiri yang akan melaporkan Ayah ke polisi. Aku berucap tegas.Kau.... Ayah mengepalkan tangan ke atas meja. Geram.Kenapa? Ayah mau protes? Sampai kapan Ayah mau hidup seperti ini? Judi itu tidak akan pernah membuat Ayah kaya.MAYA! Ayah berteriak sembari menggebrak meja.Aku lelah, Yah. Aku lelah harus membayar semua hutang Ayah. Ayah bahkan tak mau tahu tentang biaya sekolah Adit. Aku semakin menantang. Mana tanggung jawab Ayah sebagai orang tua? Aku mulai menangis.Ayah terdiam, lalu bergegas bangkit dan meninggalkan meja makan. Tak lama terdengar suara pintu kamar dibanting dengan kuat.Aku mau pulang, ucapku pelan.Baik, kak. Aku antar.Dari mana kakak dapat uang? tanya Adit saat di perjalanan.Kau pikir aku pengangguran? Aku memukul helm di kepalanya.Hutang Ayah tidak sedikit. Memangnya berapa keuntungan dari usaha kakak?Aku tertawa kecil. Adit bukan anak kecil lagi. Usianya sudah tujuh belas tahun. Tentu tak bisa lagi dibohongi.Percaya saja. Aku tak mungkin berbuat macam-macam.Dia tak lagi menjawab. Lagipula apa yang harus aku katakan. Menipu konglomerat, dan menukar anaknya dengan uang? Ah, aku jadi bingung. Di antara aku dan Daryan, siapa yang lebih gila?           ~~~ANAK ORANG KAYA (2)Cuaca hari ini begitu terik. Aku hampir kerepotan melayani para pembeli yang kebanyakan adalah mahasiswa.Sudah satu tahun ini aku membuka usaha bubble drink di sekitaran kampus. MAY BOBA aku membuat namanya. Bermodalkan sebuah booth container serta dua buah kursi panjang dan juga meja.Sebenarnya usahaku lumayan ramai. Posisi stand yang strategis membuat para mahasiswa banyak berdatangan untuk membeli minuman kekinian yang lagi hits.Namun semua yang kuhasilkan tetap saja tak bisa kunikmati, karena harus terus-terusan membayar hutang Ayahku yang jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi biaya sekolah Adit. Tak ada niat sedikit pun dari Ayah untuk mengambil alih tanggung jawab itu. Judi online membuatnya seperti kehilangan kewarasan dan semangat untuk bekerja.Aku menghampiri Daryan yang baru saja datang dan duduk di kursi yang telah kusediakan di depan booth container.Sudah kau bayar hutangmu? tanyanya dengan tenang.Hem.Surat rumahnya?Aman.Lalu, Ayahmu?Dia bahkan tak bertanya apa pun. Aku berdecih.Ayahmu aneh. Orang tua lain mungkin sedang berpikir kalau anaknya sedang menjual diri.Kau benar. Tapi untung aku punya teman yang harga jualnya lebih mahal.Hei, sudah kubilang itu masih terlalu murah! Dia terlihat sangat kesal.Daryan. Aku mengenalnya baru beberapa bulan terakhir. Pria yang aku kenal secara tak sengaja karena kerap membeli produk minumanku. Hampir setiap hari dia duduk di sini. Semula kami hanya mengobrol biasa. Hingga akhirnya kami saling terbuka satu sama lain layaknya sahabat.Hidup kami bagaikan langit dan bumi. Aku yang sejak kecil hidup sederhana, harus bekerja ke sana kemari sejak masih sekolah. Berbeda dengannya. Bayangkan, di usianya yang sudah menginjak dua puluh lima tahun, tak pernah sekalipun menghasilkan uang dari hasil jerih payahnya sendiri.Keluargaku kaya raya. Harta mereka tak akan habis sampai tujuh turunan. Karyawan mereka juga mencapai ribuan. Dengan hanya menggunakan kartu-kartu yang diberikan ibuku, aku bisa membeli apa pun yang aku mau. Untuk apa lagi aku susah-susah bekerja? Selalu begitu alasannya. Meski terkadang ada gurat kekecewaan terlihat di wajahnya.Ada benarnya juga. Seandainya sedikit saja Ayahku punya pikiran, tentu aku juga tak akan mungkin mau bekerja membanting tulang seperti ini. Hah! Kapan aku jadi anak orang kaya.* Jam delapan malam aku sudah selesai mengunci booth container. Kursi dan meja juga sudah aku masukkan ke dalam ruko tempat aku menyewa lapak. Tinggal berjalan kaki beberapa ratus meter, maka aku akan sampai ke kosanku.Sejak lulus SMA aku memang sudah keluar dari rumah dan tinggal sendiri. Lelah karena terus-menerus bertengkar dengan Ayah. Aku benci sifat pemalasnya. Hingga setiap percakapan selalu berakhir dengan kata-kata kasar.Ibuku meninggal sejak tujuh tahun yang lalu. Hingga mau tak mau aku harus menggantikannya sebagai tulang punggung bagi adikku. Membiayai sekolah hingga sampai sekarang ini.Suara klakson mobil tiba-tiba mengagetkanku dari arah belakang. Aku berhenti dan melihat siapa yang iseng menggodaku. Wajah itu lagi-lagi tersenyum saat kaca jendela terbuka.Daryan datang lagi. Mendatangiku bisa seperti minum obat tiga kali sehari. Seperti tak punya teman atau kegiatan yang lain. Seperti hanya aku tujuan satu-satunya saat ini.Aku kembali berjalan, ikut tersenyum. Mobilnya berjalan pelan mengiringi langkahku. Tempat tinggalku tak lagi jauh. Sebentar saja kami sudah sampai. Seperti biasa Daryan memarkir kendaraan di halaman yang terkadang menjadi sorotan penghuni kos yang lain. Mereka pasti berpikir kalau pria kaya itu adalah pacarku.Dia langsung merebahkan diri di kasur mungilku. Menganggap layaknya kamar milik sendiri. Anehnya tak ada yang aneh dia lakukan. Sempat aku berpikir bahwa dia sama sekali tak tertarik pada wanita. Semacam, yah... begitulah.Tapi lambat laun aku menyadari, kurasa aku memang tak menarik di matanya. Benar apa yang ibunya katakan. Anak orang kaya seperti Daryan jelas akan memilih wanita yang sederajat dengannya. Jadi bantuannya selama ini, kuanggap tulus karena dia butuh teman.Aku menginap ya, May. Malas pulang. Dia menutup matanya dengan lengan.Bagiku tak ada masalah. Tempat ini bebas. Semua penghuni rata-rata melakukan hal serupa. Hanya saja hal ini masih tabu bagiku. Ini kali pertama dia mengucapkan kalimat itu.Kalau tidak mau pulang, kenapa tak cari hotel saja? Kau bilang kartu ajaibmu bisa memberikan apapun yang kau mau.Percuma kalau sendiri. Aku butuh teman.Kau bisa mencarinya di tepi jalan. Memangnya berapa limit kartumu itu, sampai-sampai tak sanggup lagi membayar seorang wanita.Kau pikir aku laki-laki macam apa? Dia melempar kasar bantal padaku. Aku meringis kena lemparannya.Jadi kau butuh teman untuk apa?Tentu saja untuk mengobrol. Memangnya apa lagi?Aku tersenyum tipis. Dia benar. Kalau hanya ingin mencari wanita penghibur, dia tak harus datang ke kamar sempit ini. Ada banyak club yang menyediakan fasilitas lengkap seperti itu.Aku membeli dua bungkus mie ayam dan juga soda tak jauh dari tempat tinggalku. Daryan makan dengan lahap sambil bercerita apa saja. Tentang masa sekolah, kuliah, bahkan perjalanannya liburan keliling dunia.Hidupnya terlihat begitu sempurna. Hanya saja peraturan tetaplah peraturan. Ada hal-hal yang tak bisa dia bantah dan mau tak mau harus dia terima. Masalah apa itu, dia hanya diam saat aku bertanya.Daryan tidur dengan lelap saat aku masih berselancar di dunia maya. Sampai terdengar bunyi dering ponsel dari bawah kakinya. Aku mendekat untuk melihat siapa yang memanggilnya.Yan, bangun! Aku menggoyang-goyangkan kaki panjang itu.Hem, sahutnya setengah sadar. Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari.Pulang sana. Ibumu khawatir.Hem. Dia tak peduli, lalu membalikkan badan memunggungiku.Ponselmu berbunyi. Dari ibumu.Dengan malas dia berusaha untuk duduk. Mengacak-acak rambutnya sendiri. Dan itu terlihat menawan. Aku tersenyum tipis. Lalu menepis pikiran yang ada di dalam kepalaku.Cepat pulang! perintahku. Dia menatapku sekilas, lalu tersenyum.Kau hanya kesal karena tidak kebagian tempat tidur, kan? Dia berdecak.        ~~~Choco boba satu. Suara itu terdengar dari kursi.Aku yang berada di balik booth container langsung melihat sumber suara. Merasa tak asing dengan suara itu. Aku menarik napas kesal setelah tahu siapa yang datang. Aku segera menuju keluar dan menghampirimya.Mau apa lagi? Bukankah hutangku sudah lunas? Pergi saja. Aku tak mau lagi kau membuat keributan di sini. Aku mendorong dadanya dengan jari telunjukku.Dia tak bergerak dari tempatnya berdiri. Seolah tak terganggu dengan reaksiku. Tetap membiarkan jariku menyentuh jaket denimnya.Ren. Dia muncul kembali meski aku telah melunasi hutang padanya. Jujur aku malu selalu berdebat dengannya. Sikap emosionalku kadang tidak bisa terkontrol. Hingga terkadang kami terlibat adu mulut dan menjadi perhatian orang-orang sekitar atau hanya lewat.Aku hanya memesan boba. Kau menjual itu, kan? Dia beralasan. Pemuda jangkung itu bicara tanpa rasa bersalah.Aku tidak menjualnya padamu. Cari saja tempat lain.Kenapa kau galak sekali?Jadi aku harus bersikap bagaimana lagi dengan lintah darat sepertimu, ha? Kau pasti punya maksud lain selain minum boba-ku. Tidak perlu berbasa-basi lagi. Sekarang katakan, mau apa kau ke sini?Sebenarnya perasaanku sedikit cemas. Takut kalau Ayah berulah lagi. Bisa saja dia kembali meminjam uang setelah kuberi tahu bahwa hutangnya sudah lunas. Lebih parahnya lagi dia membuat lapak usahaku sebagai jaminannya.Pria bertopi itu merogoh sesuatu dari balik pinggangnya. Lalu mengeluarkan sebuah amplop. Dia menarik paksa tanganku dan meletakkan benda tadi ke dalamnya.Apa-apaan ini. Bukankah ini uang yang aku bayarkan kemarin? Kenapa dia mengembalikannya?Apa maksudmu? Aku menarik kembali tanganku. Otomatis amplop itu ikut terseret.Kembalikan uang itu pada siapa kau meminjam. Jaminanmu sudah aku kembalikan. Kau tak perlu buru-buru lagi membayarnya. Cicil saja seperti biasa.Aku memang membayar hutangku seminggu sekali. Karena takut bunganya akan terus bertambah. Pria licik ini selalu saja menakut-nakutiku dengan bunga yang terus bertambah setiap harinya. Karena begitu katanya kesepakatan dengan Ayah.Dia bahkan ingin datang setiap hari seperti petugas koperasi keliling. Namun aku tetap meminta kelonggaran agar dia tak melakukan itu.Kau sudah gila, ya? Kenapa kau lakukan ini? Kau sudah dapatkan kembali uangmu tanpa ada kerugian. Kau untung banyak. Karena yang berhutang adalah orang bodoh sepertiku. Kau puas?Bisa tidak bicara tanpa perlu berteriak? Kau sendiri yang membuat perhatian orang tertuju padamu. Aku terdiam. Mana mungkin aku bisa bersikap tenang pada orang yang selalu saja meneror keluargaku.Lalu kenapa kau ingin aku terus berhutang padamu? Meski tanpa bunga? Aku menyindir.Karena aku....Katakan saja, brengsek!Agar aku punya alasan bisa terus bertemu denganmu.          ~~~~~ANAK ORANG KAYA (3)Mataku mengerjab mendengar penuturannya. Pelan, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Berharap dia salah bicara atau sedang sakau karena pengaruh obat.Lupakan! ucapnya dengan tegas.Membuat kesadaranku segera kembali. Aku bahkan belum sempat bertanya apa aku salah dengar atau tidak. Tapi sepertinya aku memang salah.Pokoknya aku akan lebih sering datang untuk menagih hutang padamu. Dia membuang muka dan berlalu melewatiku.Aku masih terdiam, membuang pikiran buruk yang mungkin terjadi. Amit-amit jika pikiranku ini sampai benar. Aku menggeleng cepat hingga tak sadar bahwa kini ada seorang wanita yang telah berada di hadapanku setelah aku berbalik.Ta-Tante? Aku kembali tergagap saat berhadapan dengan ibunya Daryan.Plak!Tangan halusnya tiba-tiba mendarat di pipiku. Tanpa kata, aba-aba, apalagi peringatan. Menciptakan rasa panas dan pedih hingga membuat mataku terasa menghangat.Sudah saya bilang jangan ganggu Daryan lagi. Kamu mau mempermainkan saya, ha? Di mana Daryan sekarang? Suara cemprengnya tampak sangat marah.Daryan? Aku tidak tahu, jawabku seadanya. Satu harian ini dia memang belum datang menemuiku.Jangan pura-pura suci. Kau mengajak Daryan menginap? Dasar murahan! Matanya memerah menahan amarah. Hingga tangannya kini kembali mengudara dan bersiap ingin menamparku sekali lagi.Dengan cepat aku menutup wajah dengan telapak tangan, berusaha mengelak. Aku menunggu lama, tapi tak ada pukulan sama sekali. Tangannya belum juga sampai ke bagian tubuh mana pun.Aku memberanikan diri menoleh, hingga kulihat tangannya kini tertahan di udara akibat cengkraman seseorang.Ren? Dia belum pergi?Jaga tanganmu. Jangan sembarangan memukul orang! ucap Ren tegas, lalu melempar tangan wanita itu asal.Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, merasa tidak enak karena telah ingkar janji pada wanita itu.Tapi aku benar-benar tidak tahu di mana Daryan sekarang. Ucapannya ternyata serius tentang tak mau pulang. Mereka pasti bertengkar hebat, hingga Daryan sampai tak pulang semalaman.Berani sekali kau bersikap seperti ini padaku? Ibunya Daryan berang dengan sikap Ren. Dasar preman!Ren menepikan tubuhku agar menjauh dari wanita itu. Dia menggeser tubuhnya membelakangi agar menjadi tameng untuk melindungiku. Aku mengintip reaksi wanita itu dari balik tubuh Ren. Entah apa yang akan terjadi.Anda rentenir? Ren bertanya dengan polosnya.Aih, gila!  Apa dia berpikir hidupku hanya dikelilingi orang-orang seperti dia?Jangan sembarangan bicara. Kau tidak lihat aku ini wanita terhormat? Diam-diam aku mengangguk mengiyakan. Gaya bicaranya memang terlihat sangat elegan.Apalagi saat melihat tangannya mengusap bekas cengkraman Ren. Sungguh berkelas. Putarannya teratur dan tidak asal-asalan.Memukul orang sembarangan. Apa itu namanya terhormat?Kau siapa? Apa kau penjaga keamanan di sini? Baguslah. Bilang pada gadis itu, jangan....Dia pacarku, Tante! Aku memotong ucapan mereka. Lalu refleks merangkul lengan Ren dengan erat. Laki-laki yang baru saja bersikap garang tadi mendadak diam terpaku.Pacar? Matanya menyipit.Iya. Bukankah anda menyuruhku putus dari Daryan? Aku tak ada hubungan apa pun lagi dengannya. Tadi malam dia memang datang. Tapi aku segera menyuruhnya pulang. Mana mungkin aku mengingkari kesepakatan kita. Aku bukan tipe orang yang suka ingkar janji. Anda bisa pegang ucapanku. Aku menjelaskan dengan lantang.Benarkah? Dia kembali melirik tanganku yang merangkul lengan Ren.Kurasa Ren menyadari situasi ini. Dia berdehem, dan mencoba menarik lengannya dari rangkulanku. Sungguh tidak bisa diajak bekerja sama.Aku mencoba menahan. Berharap situasi ini dapat membantu dan membuat ibunya Daryan percaya, lalu segera pergi dari sini. Namun lengan kekar pria ini tentu saja tak bisa kutahan. Sebentar saja dia berhasil meloloskan peganganku. Aku pasrah jika ketahuan.Namun tiba-tiba tangan itu kini telah jatuh ke pundakku. Kini tangannya yang berganti merangkulku dengan erat. Menarik tubuhku agar merapat ke bawah ketiaknya. Sialan!Tentu saja. Kami pacaran, ucapnya tegas. Aku akan menuntut anda karena telah melakukan tindak kekerasan. Ada CCTV di sana. Ren menunjuk ke sudut ruko dengan ibu jarinya ke belakang.Aku menelan ludah. Si brengsek ini benar-benar pintar memanfaatkan keadaan dan mencari kesempatan. Aku melotot, mendongak agar dia tahu aku marah. Namun sayang, pandangannya hanya lurus ke depan tanpa menoleh ke arahku.Dasar licik.Nyonya kaya raya itu berpikir sejenak. Napas dihembus secara perlahan. Lalu tersenyum sinis menatap kami.Begitu lebih baik. Gadis jalanan sepertimu memang pantasnya bersanding dengan preman seperti dia. Kalian sangat cocok. Jadi jangan lagi bermimpi yang bukan-bukan. Tarikan di sudut bibirnya membuat hatiku terasa sakit. Entah kenapa.Wanita itu kembali melirik tajam ke arahku. Lalu pergi begitu saja meninggalkan kami.Leherku sampai memanjang untuk memastikan bahwa mobil Alphard miliknya sudah menjauh, membawanya pergi dan tidak terlihat lagi.Dengan cepat aku melepaskan diri dan mendorong tubuh Ren agar menjauh. Namun tentu saja kaki jenjangnya tak bergeser sedikitpun. Terpaksa aku mengalah dan harus mundur. Aku mengusap bahu dan juga bagian tubuhku yang bersentuhan dengannya. Merasa tidak terima dengan sikapnya yang berlebihan.Cari kesempatan! pekikku. Dia hanya tersenyum, sembari membenarkan letak topinya.       ~~~~Aku kehilangan jejak. Daryan seolah hilang ditelan bumi. Sudah satu minggu ini tak ada kabar darinya. Pesan yang kukirim pun masih saja bercentang dua abu-abu. Dia sama sekali tak membacanya.Jujur, ada sesuatu yang hilang di sudut hati. Ini adalah konsekwensi yang harus kubayar karena menerima ide gila Daryan. Aku harus siap kehilangan teman, yang bahkan belum lama aku kenal.Teringat saat pertama kali ide gila itu tercetus dari mulutnya.Rasanya aku ingin mati saja, Yan. Hidup pun percuma jika seperti ini terus. Aku lelah menghadapi hutan-hutang Ayahku. Lunas yang satu, ada lagi yang lain. Bahkan surat rumah sampai dia gadaikan pada rentenir itu. Padahal hutang yang lama pun belum semua aku bayar. Aku mengeluh sambil mengacak rambut, frustasi.Pakai uangku saja. Bisa kau bayar kapan-kapan. Dia menyeruput bubble drinknya.Lalu apa bedanya dengan hidupku yang sekarang? Aku memainkan layar ponsel dan menscroll postingan-postingan dari beranda facebook yang lewat.Tapi aku tak akan menagih dengan kejam. Aku juga bukan rentenir.Aku hanya ingin bebas dari hutang. Kepalaku rasanya mau pecah jika ingat akan angka-angka sialan itu.Kalau begitu aku saja yang bayar. Kau tahu sendiri uangku sangat banyak. Tidak perlu kau ganti.Aku tertawa kecil. Anak orang kaya yang satu ini selalu berbicara tanpa memikirkan perasaan orang lain. Menganggap semua hal terlihat sepele. Dia pikir ratusan juta itu sedikit. Bisa diberikan dengan cuma-cuma tanpa rasa bersalah dari si penerima. Aku hanya menggeleng.Kini mataku tertuju pada postingan sebuah akun. Menarik. Jika aku melakukan hal serupa, mungkin dalam waktu dekat aku bisa mendapatkan uang dengan cara yang mudah.Yan.Hem.Menurutmu, aku ini menarik, tidak? Tiba-tiba saja aku ingin tahu pendapatnya.Daryan mengamati wajahku, kemudian matanya turun menyusuri bagian dadaku. Dia menelan ludah sampai di sana.Hish! Aku mendesis saat sorot matanya terlihat liar. Dasar mata keranjang.Tidak sama sekali.Apanya yang tidak? Kau pikir aku tidak tahu pikiran kotormu itu, ha?Maksudku, kau tidak menarik sama sekali.Heh? Dia bilang apa?Sebentar saja wajahku basah akibat semburan bobanya saat aku mengatakan ingin open BO di sosial media. Aku putus asa, hingga tak ada cara lain yang bisa mendapatkan uang seratus lima puluh juta dengan mudah.Harus berapa tahun lagi aku hidup dalam teror seperti ini. Jumlahnya tidak main-main. Uang yang harus aku bayar untuk menebus surat rumah dan juga hutang-hutang sebelumnya.Kau tidak menarik. Dadamu rata. Hargamu pasti murah. Jual aku saja.Dengan bodohnya aku mengagguk, mengiyakan. Mataku tak berkedip mendengar rencana konyol yang ia tuturkan. Aku pikir semuanya tak masuk akal. Tapi mengingat rencana gilaku untuk menjual diri tadi, kurasa tak ada salahnya menjadi gila sekali lagi.Ingat, ya. Dua minggu lagi. Belajar akting, seolah-olah kau takut kehilanganku. Jangan berhenti sampai di angka satu Milyar. Aku ini anak kesayangan. Uang keluargaku jauh lebih banyak dari itu.       ~~~ANAK ORANG KAYA (4)Aku menyerah. Aku merasa lebih membutuhkan Daryan dari pada uang. Jujur saja, sejak mengenalnya aku jadi punya tempat untuk bercerita. Frustasiku juga kadang menghilang jika mendengar kisah-kisah konyolnya yang ternyata lebih gila dari aku. Entah itu nyata, atau hanya karangannya saja untuk membuatku tertawa.Aku meremas amplop yang diberikan Ren tempo hari. Andai Daryan kembali, aku akan mengembalikan uang itu padanya. Tak peduli lagi pada hutang-hutang itu. Berapa lama pun waktunya, aku akan tetap membayarnya dengan keringatku sendiri.Aku menyesali semuanya. Kenapa aku serendah itu, menerima tawarannya untuk menukar pertemanan kami dengan uang.Kupikir semua hanya candaan saja. Tanpa kusadari kalau ibunya benar-benar membayarku untuk menjauhinya.Aku juga menyesal sudah mengusirnya malam itu. Andai kubiarkan dia tinggal dan mengerti tentang masalahnya, tentu dia tak akan mengabaikanku seperti ini.Aku bersalah. Keserakahan telah membutakan mataku. Menukar persahabatan ini hanya demi kepentinganku saja.Sedari tadi aku sudah mencari-cari di mana keberadaannya. Menelusuri satu persatu foto di akun instagram miliknya. Tak ada satu pun petunjuk. Dia hanya berbagi foto saat sedang sendiri. Tak ada keluarga, atau logo perusahaan yang menjadikan mereka kaya raya.Hari sudah malam. Seperti biasa aku menutup daganganku. Lalu kembali mengintip kembali akun instagramnya. Anak konglomerat memang lebih sering aktif di sana ketimbang akun facebook yang jadi kesukaanku. Dari sosial media saja pun perbedaan kami tampak mencolok.Eh? Kebetulan sekali. Dia baru saja mengupload sebuah foto sepuluh detik yang lalu. Tapi dimana? Sebentar, sebentar. Bukankah ini....Dengan cepat aku bersiap, lalu bergegas memesan ojek online. Menuju tempat dimana dia berada. Sedang apa dia di sana? Bersama siapa?Aku tak peduli. Dengan pacar atau pun calon istri, yang penting aku bisa bertemu dengannya. Meski ada ibu dan keluarga lainnya di sana, akan kukatakan bahwa aku lebih butuh dia dibanding uang ini.Aku berdoa, agar saat aku sampai nanti, dia masih tetap berada di tempatnya. Aku benar-benar berharap, kami masih bisa bertemu lagi.Bisa lebih cepat, Pak? Aku memohon pada driver.Aku sampai di depan Hotel berbintang lima. Sepertinya mereka melaksanakan acara di sana. Aku ingat sebulan yang lalu, Daryan pernah bercerita, bahwa kakak laki-lakinya akan melangsungkan pernikahan di gedung ini.Aku celingak-celinguk mencari ball room tempat diadakannya resepsi mewah. Hingga kulihat tempat yang sama persis saat Daryan berfoto tadi. Sendiri. Ya, hanya sendiri. Tak ada sepasang pengantin maupun keluarganya.Maaf. Undangannya mana? Seorang penjaga menahanku saat hendak memasuki area ruangan. Memandangi gaya berpakaianku dari atas hingga ke bawah.Aku mencari seseorang, ucapku, memohon.Tapi kau tetap tidak bisa masuk tanpa undangan.Tolonglah! Aku harus bertemu dengannya. Dia pemilik....Biarkan saja! Suara tengil itu tiba-tiba muncul dari arah belakang. Mataku berkaca-kaca saat menoleh ke arahnya. Perkiraanku salah. Dia tak ada di dalam. Entah apa yang dilakukannya di luar, saat acara berlangsung.Jika bukan di tempat umum, aku pasti sudah menerkam dan memeluknya.Dia bersamaku. Daryan mengangguk pada pria dengan postur tubuh seperti tentara itu.Daryan menoleh ke arahku, tanpa ekspresi. Setelan batiknya membuatku bingung bagaimana harus bersikap. Dia terlihat sangat gagah. Masihkah dia temanku yang seperti biasanya, atau kini dia malah marah dan ingin menjauhiku.Aku menggigit bibir bawahku, gugup. memainkan dan meremas jemariku sendiri. Pandanganku mengembun, menatap wajahnya. Wajah yang sudah tak kulihat sejak tujuh hari yang lalu.Kau kenapa? Dia mulai membuka suara.Dia bahkan tak bertanya kenapa aku bisa ada di sini. Wajahnya tampak tidak terkejut sama sekali. Tidak sepenting itukah aku di matanya? Jahat sekali.Kau kemana saja? Sama sekali tak menjawab pesanku. Aku bertanya tanpa basa-basi.Kau rindu padaku, ya? selorohnya. Senyum itu masih melekat di bibirnya. Aku mengangguk tanpa sadar. Dia tertegun.Aku yang biasanya acuh tak acuh dan menjaga gengsi, kini seperti sang pemuja yang tunduk dengan perasaanku sendiri. Aku memang serindu itu.Dia memutar lehernya menyisir sekeliling area.Mencari siapa?Kau sendirian?Ya. Bukankah aku memang selalu sendiri?"Pacarmu?Pacar? Kau benar-benar percaya kalau aku punya pacar? Aku menatap cengeng wajahnya.Memangnya tidak, ya? Dia mengusap belakang tengkuknya, tertawa cengengesan. Menggemaskan.Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Aku kembali berterus terang.Belum lagi dia menjawab, aku sudah menarik tangannya menjauh dari pintu masuk. Mencari tempat di sudut, yang tidak banyak dilalui orang. Dia menurut, dan dengan setia menuruti ajakanku.Kenapa harus di tempat umum seperti ini? ucapnya sambil mengikuti langkahku. Kalau kau mau, kita bisa memesan kamar.Hish. Aku menyentak tarikanku, agar ia tahu aku sedang tak ingin bercanda.Kau bilang rindu. Ayo kita tuntaskan di kamar.Daryan! Dia terkekeh geli.Aku berhenti di tempat yang aku rasa sudah cukup aman. Lalu merogoh slingbag, dan merogoh sesuatu dari sana.Ambillah! Aku menarik tangannya, dan memberikan amplop uang dari Ren. Menggenggam tangannya, agar ia tak bisa melepaskan benda itu. Dahinya mengernyit. Tahu apa yang sedang dipegangnya saat ini.Apa ini? Kau bilang sudah membayarnya. Dia terlihat khawatir.Aku tak mau. Aku tak butuh itu. Aku terlalu jahat karena telah menjualmu. Kembalikan uang itu. Dan teruslah datang menemuiku.May? Dia semakin mengernyit.Aku lebih butuh kau ketimbang uang itu. Jadi tolong, jangan menjauh. Tiba-tiba saja bulir bening itu jatuh ke pipiku. Entah kenapa, aku pun tak tahu.May? Lagi-lagi hanya namaku yang bisa dia ucapkan.Kalau kau ada masalah, datang saja. Kalau tak mau pulang jangan keluyuran kemana-mana. Kamarku masih muat untuk menampungmu. Kau bisa tidur sepuasnya di sana. Napasku naik turun karena terisak.Matanya tak berkedip memandangiku. Mungkinpun dia pikir aku sudah gila atau... sedang tergila-gila padanya.Jangan lagi mengacuhkanku, lirihku. Mengakhiri kalimat-kalimat yang ingin aku sampaikan sejak aku merasa kehilangan. Perasaan apa ini?Dia tersenyum kecil. Lalu membalik tanganku agar berada di bawah genggamannya. Kini amplop yang kuberikan tadi berbalik ke tanganku.Kau menolak? tanyaku setengah berbisik. Merasa kecewa atas sikapnya.Bayar hutangmu. Aku akan terus datang tanpa kau suruh.Aku tidak mau. Rentenir itu sudah berjanji akan memberiku kelonggaran. Aku tak perlu membayar sebanyak ini.Benarkah? Aku mengangguk.Kau tidak perlu khawatir. Aku tak akan mengeluh lagi padamu soal hutang-hutang itu. Kau jangan berpikiran yang aneh-aneh lagi, ya? Aku tak mau lagi menjualmu.Kau yang aneh. Ingin jual diri. Seperti ada saja yang mau.Iya, aku aneh. Cukup aku saja yang gila. Kau puas?   ~~~Usai mengajakku ke pesta, Daryan mengantarku pulang. Tadinya aku enggan untuk masuk ke dalam. Aku kehilangan kata-kata untuk menghadapi ibunya. Takut akan membuat keributan di tengah-tengah pesta akan amukan wanita itu.Namun Daryan bilang dia tak hadir. Saat aku bertanya, dia hanya tersenyum. Senyum yang tak bisa aku artikan. Seperti gurat kekecewaan tergambar di wajahnya. Entah ada apa dengan keluarga mereka. Sampai-sampai di acara sebesar ini ibunya tidak hadir. Orang tua macam apa yang tidak menghadiri pernikahan anaknya sendiri.Daryan hanya mengenalkanku pada kakak perempuannya saja. Selebihnya, aku tak tahu yang mana lagi keluarganya.Kami hanya makan di meja di sudut ruangan. Dia bilang agar aku tak malu saat mengambil makanan terlalu banyak. Alasannya masuk akal. Dia tertawa senang karena aku tak malu-malu melahap habis banyak menu di sana.*Aku kekenyangan, keluhku sambil mengusap perut. Dia terkekeh. Kami terus berjalan menuju lift untuk keluar.Bilang apa?Terima kasih.Hanya itu?Lalu aku harus bilang apa lagi?Tidak ingin memberikan sesuatu?Kalau kuberi uang, kau juga tidak akan mau.Aku tak butuh uang.Hem. Lalu?Bagaimana kalau menginap? Aku bisa memesan kamar President Suite untuk kita. Dia sedikit menunduk demi bisa membisikkan kata-kata itu ditelingaku.Hish. Aku mendesis.Mau?Daryan!Iya, iya. Aku hanya bercanda.       ~~~~ANAK ORANG KAYA (5)Uangnya sudah aku kembalikan, lapor Daryan.Ibumu bilang apa?Dia bilang kau plin plan.Mana mungkin. Aku tergelak. Itu pasti hanya karanganmu saja. Dia ikut tertawa.Seperti itulah Daryan. Selalu tertutup tentang bagaimana keluarganya. Tak banyak yang dia ceritakan. Menjawab pertanyaan yang kulontarkan pun hanya dengan senyuman dan kalimat-kalimat ambigu lainnya.Kalau dipikir-pikir, lebih banyak aku yang mengeluh dibanding dia. Semua permasalahan keluarga aku ceritakan padanya. Tak ada lagi yang aku tutup-tutupi. Bicara pada orang itu membuatku merasa nyaman.Sementara, pria berhidung mancung itu lebih banyak menutup rapat perihal siapa keluarganya. Yang dia ceritakan, hanya betapa kayanya mereka saja.Dari barang-barang yang dipakai, juga kartu-kartu yang aku juga tidak paham fungsinya apa, aku tidak berpikir kalau dia sedang mengada-ada atau sekadar mengarang cerita.Apalagi sejak bertemu ibunya. Juga pesta di hotel waktu itu. Semua nyata. Bukan khayalan atau sekedar kehaluan saja. Dia benar-benar dari keluarga kaya raya.Yan.Apa?Waktu itu, kau sengaja mengupload foto agar aku datang, kan? Aku memberi kesimpulan. Dia tersenyum kecil. Tak menampik.Bagaimana tidak. Dia sudah hafal jam berapa biasa aku menutup dagangan. Saat itulah dia memajang foto di instagram agar aku tahu dia dimana.Pemuda yang mengaku sebagai anak bungsu itu pasti tahu kalau aku sedang berusaha mencarinya melalui semua akun. Untuk itu dia memberi sebuah petunjuk. Pantas saja, tak ada gurat keterkejutan di wajahnya saat bertemu denganku di sana. Bahkan sepertinya aku sedang dinantikan.Kau sengaja menungguku, kan? Bagaimana kalau aku tidak datang?Kenapa? Karena sibuk pacaran?Yan!Iya, iya. Kau hanya pura-pura. Sudah ratusan kali kau mengatakannya.Malam itu, aku menceritakan tentang kedatangan ibunya. Juga tentang sandiwaraku bersama Ren. Tentu saja tanpa mengadu bahwa wanita yang telah melahirkannya itu sudah menamparku dengan keras.Pria itu terlihat tampan. Kau yakin tidak merasakan apapun saat memeluknya?Aku tidak memeluknya, Daryan. Dia yang mengambil kesempatan! protesku.Tapi tetap saja dia terlihat menarik.Tidak sama sekali.Bagaimana kalau dia menyukaimu.Amit-amit. Aku mengusap perutku seperti wanita hamil yang takut anak dalam kandungannya mirip dengan orang yang dia benci. Daryan terkekeh.Begitulah percakapan kami sepanjang jalan, saat Daryan mengantarku pulang. Aku juga bercerita bahwa laki-laki itu adalah Ren. Rentenir yang selama ini menagih hutang dengan garang padaku.Sekian lama mengenalku, mereka memang tidak pernah saling bertemu. Ren memang selalu begitu. Seperti pengamat yang selalu mengawasi gerak-gerikku. Tak pernah datang saat jualanku sedang ramai. Lalu tiba-tiba muncul dengan wajah garang dan selalu mengintimidasi saat aku sedang sendiri.Terkadang aku juga merasa ngeri. Takut jika dia akan melakukan tindakan kekerasan seperti debt collector pada umumnya. Untuk itu aku selalu bersikap kasar, agar dia tahu aku bukan wanita lemah yang bisa selalu ditakut-takuti. Meski sebenarnya rasa was-was itu memang ada saat melihatnya datang.Kesalah pahaman terjadi saat Daryan datang keesokan harinya. Sebelum turun dari mobil, dia melihat Ren duduk di depan booth container. Penampilannya sama persis seperti yang ibunya ceritakan.Gaya berpakaian Ren dan juga topinya membuat dia mudah untuk dikenali. Sebelumnya, tak pernah ada yang menghampiriku seperti itu selain Daryan. Karena itu dia mengambil kesimpulan, bahwa aku benar-benar telah berpacaran.Kupikir kau tak butuh aku lagi. Lagi pula, aku tak suka merusak hubungan orang. Kalau suatu hari kau punya pacar, aku tak akan mungkin datang lagi, rajuknya malam itu. Membuatku berpikir, laki-laki macam apa Daryan ini.Terdengar lemah sebagai seorang lelaki. Bahkan terkesan tak ingin berjuang, andai wanita yang disukai sudah ada yang memilki.Tapi kau sengaja memintaku datang.Itu karena aku tak ingin kau tersiksa karena merindukanku.Hish, Daryan! Aku memukul bahunya. Kesal.Dia kembali terkekeh.*Kalau ibumu datang lagi, aku harus bagaimana, Yan? tanyaku serba salah.Di satu sisi aku benci diintimidasi. Tak ingin diremehkan hanya karena aku miskin. Tapi di sisi lain, musuh yang harus kuhadapi saat ini adalah ibu dari temanku. Seseorang yang yang katanya membutuhkan aku di sela-sela rasa bosannya. Meski kenyataanya, akulah sebenarnya yang lebih membutuhkan dia.Dia menatapku tajam. Terlihat serius. Membuatku merasa tidak enak. Dia pasti berpikir kalau aku berusaha meminta izin untuk melawan dan bersikap kasar pada wanita yang paling disayanginya.Baiklah, ucapku pelan. Demi kau, aku akan diam saja saat ibumu marah-marah nanti. Kau tidak perlu takut akan keadaanku. Tetaplah datang. Aku tak akan kalah. Ibumu tidak akan berbuat macam-macam. Bila perlu, aku akan menjamunya dengan baik. Meracik boba terenak agar ibumu suka. Dia pasti akan mengerti, kau punya alasan kenapa sering datang kemari.Daryan memandangku tanpa berkedip. Tak lama terdengar suara tawa meledak dari mulutnya. Terlihat begitu terhibur dengan ucapanku yang panjang lebar dan tanpa jeda.Kau menertawakanku?Lihat wajahmu itu! Ia menunjuk-nunjuk mukaku. Kau terlihat begitu ketakutan. Kau bilang sering berteriak pada Ayahmu. Tapi sekarang, kau seperti bertekuk lutut pada ibuku. Kau begitu takut kehilanganku, ya? Dia semakin tertawa.Kau pikir itu lucu, ha? Aku bersungut. Setelah puas, ia menghentikan tawa. Lalu kembali memandangku.Kau tidak perlu khawatir. Uangnya masih ada padaku.Daryan? Aku menatapnya heran. Kenapa dia melakukan itu? Bukankah dengan mengembalikannya, bisa menaikkan harga diriku di hadapan nyonya besar itu? Tulus atau tidak, ibuku juga tak akan peduli padamu.Daryan! Mataku membesar ke arahnya.Yang penting aku sudah tahu, kalau hargaku jauh lebih mahal dari seratus lima puluh juta... di matamu.Daryan.... Dia selalu saja berhasil membuatku merasa terharu.        ~~~ Malam ini aku pulang berjalan kaki seperti biasa. Rasanya aneh. Akhir-akhir ini aku seperti merasa diikuti oleh seseorang. Sepanjang jalan aku terus berdoa dan membaca ayat apa pun yang aku hafal agar selamat dan tidak terjadi apa-apa.Kuharap aku salah, atau itu hanya bentuk paranoidku saja saking seringnya mendapat teror dari banyak lintah darat.Sebagian dari mereka tak muncul lagi karena aku sudah melunasi. Dengan nominal di bawah lima juta pun sudah terasa sangat berat. Apa lagi hingga puluhan juta yang aku tak tahu sampai kapan bisa lunas.Andai saat itu aku tak mengenal Daryan, harga diriku pasti akan berakhir di tangan pria hidung belang. Aneh, alih-alih memanfaatkan dan membeliku, dia lebih memilih menjual dirinya sendiri. Apa aku memang tak semenarik itu?Sesampainya di tempat kos, aku langsung masuk dan mengunci pintu dengan rapat. Lalu mengintip dari balik tirai jendela. Aku menghela napas, merasa aman. Tak ada penampakan seperti perasaanku. Aku mengintip sekali lagi guna memastikan. Namun sekelabat bayangan baru saja berlalu dari balik pohon jambu yang ada di depan pagar.Ya, Tuhan. Aku sedang tidak baik-baik saja.      ~~~~ANAK ORANG KAYA (6)Dering ponsel berhasil memaksaku untuk membuka mata. Dengan malas aku meraba benda pipih itu dari sela-sela bantal. Mengucek mata agar pandangan tidak kabur.Hari Minggu seperti ini aku memang meliburkan diri dengan aktifitas usaha. Selain ingin meluangkan waktu untuk beristirahat, omset pun jauh bekurang karena tak ada mahasiswa langgananku.Aku mengamati layar ponsel yang menyala. Ada nama Adit sedang memanggil.Ada apa? jawabku, dengan suara khas bangun tidur.Kak. Suaranya terdengar ragu.Apa?itu....Katakan saja.Motorku....*Ah, shit!Aku terus mengumpat sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah, aku langsung melepas helm berwarna hijau sekaligus membayar drivernya dengan terburu-buru.Adit terduduk lemas di sofa ruang tamu saat aku masuk. Wajahnya pucat seperti kehabisan darah. Berbanding terbalik denganku yang kini sedang naik darah.Mana Ayah? cecarku, meletakkan tas dengan asal ke atas sofa. Adit menggeleng.Sudah hampir seminggu Ayah tidak pulang, jawabnya penuh ketakutan.Tidak kau hubungi?Ponselnya juga tidak aktif.Kenapa baru bilang sekarang? Aku mengentakkan kaki dengan kesal.Aku tak ingin membuat kakak cemas.Memangnya sekarang aku tak cemas?Kupikir Ayah akan segera pulang.Berapa lama jatuh tempo yang diberikan?Dua hari. Jika tidak....Sialan. Ayahku selalu saja berulah. Menggadaikan BPKB motor yang biasa dipakai Adit untuk sekolah. Sebuah pesan masuk ke nomor Adit. Mengatakan kalau pembayaran sudah jatuh tempo dan harus segera dilunasi.Entah sejak kapan Ayahku meminjam uang. Surat kendaraan motor bebek Adit yang aku belikan pun, entah kapan hilangnya. Adit tak menyangka, atau mungkin lupa.Kau lalai! bentakku. Harusnya kau tahu bagaimana tingkah Ayah. Harusnya kau simpan dengan benar. Aku hampir menangis saking kesalnya.Maaf. Dia berucap penuh penyesalan.Bagiamana tidak. Hanya dua hari saja aku harus melunasi uang yang dipinjam Ayah. Jika tidak, satu-satunya motor adikku akan diambil. Sedang kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi.Tapi aneh. Kenapa Ren tak mengatakan apapun soal hutang Ayah yang satu ini. Malah kini nomornya dialihkan ke Adit.Brengsek! Kenapa semua keluargaku harus dia teror seperti ini.Sudahlah. Tak seharusnya aku marah-marah padamu, ucapku penuh sesal. Adit yang hanya mengenakan kaos tipis dan celana pendek itu hanya mengangguk.Remaja bermata sipit itu tampak sangat terpukul. Setelah malaikat yang telah melahirkan kami tiada, akulah satu-satunya tempatnya mengadu. Selalu menurut dengan apapun yang aku ucapkan.Selalu merasa cemas setiap kali aku bertengkar dengan Ayah. Andai aku egois, aku pasti akan membawanya pergi untuk tinggal bersamaku.Namun hati nuraniku masih juga tak sampai hati membiarkan Ayah sendiri. Setidaknya ada Adit yang mengurus makan dan juga pakaiannya.Ganti bajumu. Antar aku ke sana.        ~~~Lagi-lagi aku harus menginjakkan kaki di tempat penuh bunga ini. Sebuah ruko bertingkat tiga, dengan kedai kopi sebagai kedok usahanya. Kedai yang semua tamunya adalah laki-laki bertampang sangar dan terlihat pemalas.Aku dan Adit melewati orang-orang itu. Seperti biasa mata-mata nakal itu memandangiku dengan liar. Membuatku selalu merasa risih dan berpikir ulang untuk sering-sering kemari.Meski telah lama berhubungan, tak pernah sekalipun Ren meminta nomor ponselku. Kami hanya berinteraksi saat dia datang, atau aku yang menemuinya seperti saat ini.Pernah aku meminta nomor ponsel dan juga rekeningnya. Agar dia tak perlu sering-sering datang dan menakutiku. Bukannya memberi, dia malah bersikap kasar padaku.Aku yang berkuasa. Ikuti saja aturanku, ucapnya saat itu. Membuatku tak berkutik dan hanya bisa menurut.Di ujung tangga kami berpapasan dengan seorang pria paruh baya. Gayanya terlihat lebih urakan dari Ayahku. Dia juga pasti salah satu nasabah yang mempertaruhkan nasib di tempat ini.Tanpa mengetuk, aku langsung menekan handel pintu. Pria berkaos lengan pendek itu duduk bersandar dengan kaki menyilang ke atas meja. Wajahnya tak terlihat karena topi yang ditempel tuk nenutupinya.Ren! pekikku, sambil menggebrak meja.Dia spontan mengangkat topi dari wajahnya. Melihatku dengan rasa tak percaya. Memandangi aku dan Adit secara bergantian.Ada apa lagi? tanyanya heran.Kenapa kau masih meminjami Ayahku uang. Kau tahu sendiri Ayahku tak akan sanggup membayarnya. Pakai otakmu sedikit saja. Jangan hanya memikirkan keuntungan. Seperti biasa aku menyerangnya dengan kata-kata kasar tanpa berbasa-basi.Kau bicara apa? Ini masih terlalu pagi untuk memulai pertengkaran. Aku bahkan belum sempat sarapan. Dia masih berusaha bersikap santai.Kembalikan BPKB adikku. Akan kutransfer setengah dulu. Sisanya minggu depan. Aku langsung pada pokok permasalahan.Uang yang dipinjam Ayahku hanya tiga juta. Itu pun dengan janji hanya dua bulan, dengan bunga lima puluh persen. Tapi sampai saat ini Ayah terus mangkir dari waktu yang dijanjikan. Hingga bunga bertambah lagi lima persen sebagai denda.Rincian angka itu tertulis jelas pada pesan whatasapp yang diterima Adit. Selain menjamin surat itu, Ayah juga memberikan nomor Adit, kalau-kalau ponselnya tidak bisa dihubungi.Tentu saja Ayah melarikan diri. Dengan apa dia akan membayar hutang itu. Sedang dulu dia tahu semua hutangnya aku yang melunasi.Dahinya mengernyit, mencerna setiap ucapanku. Lalu merubah posisi duduk dengan punggung yang tegak.BPKB apa?Aku dan Adit saling menoleh. Apa mungkin bukan dengan Ren? Lalu rentenir mana lagi yang meminjami Ayahku uang?Dengan terpaksa aku menceritakan apa yang terjadi. Namun pria berambut lurus itu tetap menyangkal. Surat itu tak ada padanya.Hatiku benar-benar cemas. Harus berurusan dengan preman mana lagi keluargaku kini. Apalagi kini nomor Adit yang dia hubungi. Uang di rekeningku hanya ada dua juta. Itupun aku sisihkan untuk uang sewa lapak yang sebentar lagi mendekati perpanjangan. Sedang uang yang harus kubayar hampir mencapai lima juta.Tak mungkin kuserahkan motor Adit begitu saja. Motor bekas yang aku beli dengan susah payah. Rasanya aku sudah tidak tahan lagi dengan semua ini. Air mataku hampir saja tumpah jika tak menahan gengsi di depan preman ini.Berikan ponselmu. Ren menoleh ke arah Adit. Aku ingin melihat siapa yang mengirim pesan.Adit menoleh ke arahku, meminta persetujuan. Aku tak tahu apa itu berguna buat kami, tapi aku mengangguk menyetujui.Ren menyambut uluran ponsel dari Adit. Lalu melihat dengan seksama isi pesan itu. Mengangguk, seperti menemukan sesuatu. Ia mengembalikan ponsel itu pada adikku yang masih memucat karena cemas.Kau pulang saja. Aku akan mengurusnya. Aku dan Adit serempak menoleh. Tak mengerti dengan ucapannya.Ren lalu bangkit dan memakai topinya. Mengambil jaket denim yang biasa dipakainya dari sandaran kursi kantor yang dia duduki.Kau.... Dia menunjuk ke arahku. Ikut aku!Kemana? Aku menatapnya curiga.Kau ingin barangmu kembali atau tidak?Jelaskan dulu padaku. Aku tak percaya padanya.Kau tidak punya pilihan lain. Ikut aku, atau urus sendiri masalahmu!Dia meraih kunci dari atas meja, lalu melangkah keluar. Aku dan Adit mengikuti langkahnya yang tanpa penjelasan.Hei, kita mau kemana? Katakan dulu padaku. Jangan macam-macam. Kau tidak bisa seenaknya padaku. Aku menyamai langkahnya menuruni anak tangga.Dia sama sekali tak peduli, dan terus berjalan menuju keluar. Meraih helmnya saat sampai di halaman ruko, dimana motor besarnya terparkir.Ikut, tidak?Ulangnya lagi saat posisinya sudah sempurna di atas tunggangannya.Aku saja yang ikut. Adit menawarkan diri. Melihat wajah Adit yang sedari tadi tampak begitu cemas membuatku tidak sampai hati.Dia pasti merasa bersalah, dan takut aku semakin frustasi akibat kelalaiannya. Hingga mau tak mau harus nekat untuk percaya, bahwa hanya pria di hadapannya kini yang mampu menolong kami keluar dari masalah.Pulanglah. Tunggu aku di rumah, ucapku kemudian.Tapi, kak....Aku akan baik-baik saja. Aku kembali pasrah.Ya, pasrah. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Mengadu pada Daryan rasanya tidak mungkin. Karena mengeluh soal uang, aku hampir kehilangan dia. Dan aku tak mau lagi kejadian itu sampai terulang.Hatiku tulus ingin bersamanya. Tidak peduli seberapa kaya dan berapa banyak uangnya. Daryan tetaplah Daryan. Tanpa semua itu, aku masih ingin terus bersamanya.Aku memantapkan diri, memegang pundak Ren untuk menaiki footstep motornya yang tinggi. Duduk pasrah di belakang punggungnya. Mempercayakan semuanya pada pria yang kerap kali membuatku merasa takut.Sudah siap? Ren menoleh sedikit, agar bisa bicara padaku. Aku memutar bola mata, malas. Enggan tuk menyahuti.Ren menghidupkan mesin motor, menarik gas sebagai pemanasan. Lalu motor melaju, meninggalkan adikku yang masih berdiri terpaku menatapku.        ~~~ANAK ORANG KAYA (7)Motor melaju membelah jalanan. Tanganku sebentar-sebentar memegangi pinggangnya, lalu melepaskannya kembali sesuai laju kendaraan.Sulit bagiku untuk tidak berpegangan di situasi seperti ini. Caranya mengemudikan seperti sengaja mempermainkan dan memanfaatkan keadaan. Dasar pria mata keranjang. Hanya memikirkan kesenangan.Akhirnya kuputuskan menggenggam jaketnya saja. Memegangnya dengan kuat, tanpa berniat melepaskan lagi. Hampir setengah jam kami menyusuri jalan raya, hingga akhirnya sampai ke pinggiran kota.Motor memasuki halaman rumah bergaya minimalis. Membuatku berpikir, apakah ini rumah milik rentenir yang meminjami uang untuk Ayah. Sejauh ini rupanya, Ayah berhubungan dengan banyak orang seperti Ren. Dan anehnya, Ren juga mengenal mereka.Mana Bos-mu? Ren berjalan mendekati seseorang yang sedang menyiram tanaman. Lalu terjadi percakapan di antara mereka.Tunggu di sini! Ren memberi perintah padaku, lalu mengikuti langkah pria paruh baya itu untuk masuk.Dasar bodoh. Kalau aku harus menunggu di sini, kenapa dia harus repot-repot membawaku. Lalu apa fungsiku ikut bersamanya. Bukankah harusnya aku yang masuk ke sana, dan dia hanya mendampingi saja?Aku menunggu cukup lama. Lalu kulihat dia keluar dengan gaya jalan penuh wibawa. Benar-benar layaknya seorang preman yang tak kenal rasa takut. Tangannya memegang sebuah benda yang membuatku menarik napas lega.Ya, Tuhan. Dia benar-benar mengurus semuanya.Entah berapa banyak lagi bunga yang akan dia tambahkan agar aku bisa menebusnya. Aku tak lagi peduli. Setidaknya buku hitam Adit sudah aman di tangannya.Ambillah! Dia mengulurkan benda itu ke hadapanku.Aku hanya menatap, tak menyambut pemberiannya.Simpan saja. Akan kuambil saat melunasinya. Aku membuang muka.Bukankah memang seperti itu aturan mainnya? Aku tahu diri. Dia pasti menebus harta milik kami itu dengan uangnya sendiri. Otomatis membuat hutangku kembali bertambah.Tapi kemudian mataku kembali ke tangannya yang masih menggantung di udara, menunggu sambutanku. Ada luka dan juga memar di punggung buku jarinya.Apa yang terjadi denganmu? Mataku liar memandangi tangan dan wajahnya secara bergantian.Hanya olah raga pagi. Senyum seringai terukir dari bibirnya.Kau berkelahi?Apa pedulimu? Ambil ini! Seperti biasa dia selalu bersikap ketus. Aku akan menagih seperti biasa. Jangan pernah lagi datang ke ruko! ucapnya tegas.Tidak mau! Aku masih bersikeras. Sudah kubilang akan kulunasi dalam minggu ini.Terserah kau saja. Dia menyelipkannya ke dalam pinggang. Lalu kembali menaiki tunggangannya.Mau pulang, tidak?     ~~~Daryan tersenyum sembari menyesap bubble matcha latte. Aku mencuri pandang di sela-sela meramu takaran untuk pelanggan yang datang secara bergantian.Kalau aku menanam saham di usaha milikmu ini, berapa persen keuntungan yang aku dapat? tanya Daryan, saat aku sedang senggang.Kau punya banyak uang. Buatlah bisnis yang lebih besar, sahutku. Mengambil martabak manis yang dia bawakan sebagai camilan.Aku tak pandai berbisnis. Jadi harus mulai dari yang kecil dulu.Kenapa tak ikut mengurus perusahaan keluargamu?Ada Bara dan juga suami kak Erin yang membantu ayah di sana. Kurasa itu cukup. Aku ingin memiliki usahaku sendiri.Kau manja sekali. Harusnya kau bekerja di sana dulu. Jadikan sebagai pengalaman dalam memulai bisnis.Seperti aku. Saat aku masih sekolah pun, aku bekerja part time sebagai pencuci piring di warung bakso. Lalu melamar sebagai pelayan restoran setelah lulus. Pernah juga aku bekerja di toko pakaian dan juga sepatu.Sering juga ikut menjaga stand saat bazar berlangsung. Karena itu aku memberanikan diri memulai usaha dengan uang gaji yang aku tabung sedikit demi sedikit.Jadi tidak boleh?Keuntungan yang kudapat tidak sebanding dengan uang saku yang diberikan keluargamu. Kau ingin memonopoli aku, ya?Kalau begitu, biar kubeli saja usahamu. Dengan begitu kau akan menjadi karyawanku. Aku akan menggajimu lebih besar dari pendapatanmu saat ini. Bagaimana?Sinting! Aku mendorong bahunya.Hei, tanganmu berminyak, protesnya.Iya, iya. Aku tahu. Kau mau bilang kalau bajumu itu seharga booth container-ku, kan? Dia tergelak.Aneh saja rasanya melihat pria yang sudah hidup selama seperempat abad itu tak pernah sekalipun bekerja. Seperti pemalas yang hanya memanfaatkan harta orang tuanya saja.Teringat saat awal perkenalan kami dulu. Dia bilang kagum dengan kegigihanku. Meski baru berusia dua puluh tiga tahun, tapi aku sudah memiliki usaha sendiri. Di saat semua orang berbondong-bondong melamar pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, aku lebih memilih membuka usaha.Sudah kujelaskan padanya, kalau aku sudah lelah bekerja di bawah tekanan. Perintah dari atasan, dan juga majikan aku jadikan sebagai pengalaman. Memberi semangat dan juga motivasi, bahwa sekecil apa pun usaha yang kita rintis, tetap kitalah sebagai Bos-nya.Baiklah, Bos. Daryan tertawa mengejek. Seolah-olah sedang memberi penghormatan padaku.Aku ikut tertawa melihat kejujurannya. Hanya saja, banyak hal yang tak dia katakan dengan jujur padaku. Termasuk mengenai alasannya, mengapa tak ikut andil dalam perusahaan. Aneh, bukan?Yan?Apa?Aku mengamati wajah putih bersih itu. Tak sampai hati mengatakan apa yang ingin aku sampaikan.Kau mau bilang apa? Rupanya dia penasaran.Kau itu....Kenapa? Kau benci pria pemalas sepertiku, ha? Dia langsung bisa menebak isi dalam kepalaku.Sebagai teman aku hanya memberi saran. Ibumu menginginkan kau berjodoh dengan gadis yang sederajat. Tentu mereka juga harus berpendidikan tinggi dan juga profesi yang tidak sembarangan. Apa kau tidak malu dengan dirimu sendiri? Pengangguran?Daryan terdiam. Mulutnya yang sedari tadi mengunyah martabak isi kacang itu, langsung mematung dengan pipi yang menggelembung. Aktifitas mengunyahnya seketika terhenti.Jangan ikut campur! Itu urusanku. Wajahnya berubah serius.Aku hanya memberi tahu. Demi kebaikanmu. Setidaknya kau harus punya kegiatan yang berarti. Jika senggang, kau masih bisa main ke sini. Setiap profesi pasti memiliki waktu libur. Jangan sia-siakan masa mudamu. Harta warisan tak bisa menjamin kebahagiaan.Diamlah! Dia terlihat semakin berang. Kau mulai lancang. Aku terkejut mendengar ucapannya.Apa aku bersikap terlalu berlebihan?Kau marah? Aku mencoba membujuknya.Jangan terlalu lancang memasuki kehidupan pribadiku.Daryan... Aku....Aku tak suka! Dia langsung bangkit dan berdiri. Sepertinya benar-benar marah atas sikapku tadi.Dia pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan rasa kesal. Ternyata aku bukan siapa-siapa yang bisa dengan mudah memasuki kehidupan pribadinya. Membuatku menyesal dan harus mulai membatasi diri.Aku duduk terdiam, menyaksikan punggung datar itu menjauh dan hilang bersamaan dengan mobil mewah yang membawanya pergi.Maafkan aku, Daryan.*Pukul tujuh malam aku sudah bersiap. Sengaja menutup dagangan lebih cepat sejak sore tadi. Memenuhi panggilan yang aku janjikan pada seseorang.Aku keluar dari kamar kos setelah mendapat panggilan dari driver ojek online. Langsung duduk di boncengan dengan gaya menyamping. Menyesuaikan diri dengan rok pendek yang kini aku pakai.Motor matic melaju membawaku ke tempat yang sudah disepakati. Tak perlu waktu lama. Hanya sepuluh menit, aku sudah sampai di sebuah bangunan.Aku mengecek ponsel saat memasuki ruangan utama. Aula besar dengan banyak orang yang sedang mengantri menunggu giliran.[Aku sudah sampai.] Aku mengirim pesan pada seseorang.[Room 15C.] Sebuah balasan langsung masuk begitu pesanku terbaca.Aku menemui resepsionis di balik meja kerja. Dengan senang hati dia meminta rekannya untuk mengantarku ke tempat yang aku sebutkan.Menaiki tangga menuju lantai tiga. Melewati lorong panjang dengan cahaya temaram. Sesekali terdengar suara musik berdentam kuat saat melintas, dengan suara manusia mengisi vokalnya.Silakan. Pramusaji itu bersikap sopan saat kami telah sampai di depan pintu ruangan dengan nomor 15C.Aku mengucapkan terima kasih sebelum gadis yang kira-kira seusiaku itu meninggalkanku sendiri. Aku memegang handel pintu dengan jantung berdebar. Memantapkan hati, kalau ini adalah pilihan yang benar.Pintu terbuka. Dalam remang cahaya dan suara musik memekakkan telinga, aku melihat seorang pria paruh baya menyambutku dengan senyuman nakal.Ini kali pertama aku bertemu dengannya. Lelaki dari luar kota yang butuh teman untuk menemaninya bernyanyi di sebuah tempat karaoke.Hanya menemani dan membuatnya senang. Tak harus sampai ke hubungan yang macam-macam. Itu kata salah seorang teman yang mengenalkanku padanya. Tapi jika kau nekat, tentu bayaran yang kau dapat akan bertambah beberapa kali lipat.Aku tak punya pilihan lain. Pikiranku sudah buntu. Hanya tinggal besok saja janjiku pada Ren untuk menebus surat kendaraan Adit. Satu-satunya hal yang membuat remaja kesayanganku itu kembali tersenyum dan hilang dari rasa bersalah.Sedang mengadu pada Daryan tak mungkin lagi aku lakukan. Bahkan meminta maaf pun aku belum berani.Suara musik dipelankan. Laki-laki yang pantas kupanggil Bapak itu melambai dan menyuruhku mendekat. Dengan langkah pelan aku menurut.Duduklah, Maya. Pria dengan aroma parfum maskulin itu menepuk sofa di sebelahnya. Aku kembali menurut.Rileks. Suka lagu apa? Dia langsung melingkarkan tangan ke pundakku. Terlihat agresif, dan begitu terbiasa.Aku menahan napas. Risih sebenarnya. Tapi apa mau dikata. Nasib buruk ini harus aku hadapi sendirian. Meski di dalam hati aku merutuki ayah yang membuat hidupku jadi seperti ini.Om mau lagu apa? Aku bersikap semanis mungkin.Terserah. Asal jangan lagu kebangsaan, kelakarnya sambil tertawa.Lucu. Setidaknya hatiku yang meringis masih terhibur dengan leluconnya.Tak perlu terlalu kaku. Santai saja, ucapnya lagi. Aku mengangguk.Dia memberikan sebuah micropon padaku. Aku menerima benda itu, lalu menggenggamnya dengan kaku. Kulihat dia mengutak-atik touchscreen untuk memilih judul lagu yang dia ingin aku nyanyikan.Satu tangannya masih erat memegangi pundakku. Terasa kadang dia menekannya dengan gemas. Dan itu risiko yang harus aku terima.Aku hanya pasrah dengan tugas selanjutnya. Sambil menyunggingkan sebuah senyum agar laki-laki yang akan membayarku ini merasa senang.BRAKK!Tiba-tiba pintu dibuka dengan kasar. Aku dan pria hidung belang itu serempak menoleh. Menyaksikan seorang pemuda berdiri kokoh di depan pintu menatap tajam ke arah kami.Dia itu....    ~~~ANAK ORANG KAYA (8)Aku tahu Daryan tersinggung dengan ucapan lancangku. Sikapnya kembali seperti waktu itu. Sudah tiga hari sejak kejadian, batang hidungnya kembali menghilang.Bukan aku tak mau membujuknya. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kurasa dia bukan tipikal orang yang suka dipaksa. Dia butuh waktu untuk menerima dan mencerna kata-kata yang aku ucapkan. Sama sekali tak ada maksud untuk menjatuhkan mentalnya.Kupikir kami sudah terbiasa bicara secara blak-blakan. Aku pun tak pernah keberatan jika ia menyinggung nasib buruk dan juga ketidak sempurnaan dalam hidupku. Namun entah kenapa dia jadi begitu sensitif jika aku menyinggung soal keluarganya.Maka kubiarkan dia begitu saja. Berharap dia sedikit lebih tenang, lalu kembali menyuruhku datang untuk berbaikan. Aku akan menunggu saat hari itu tiba.Aku mengalah. Aku kembali bersalah. Daryan tak butuh nasihat dariku. Dia hanya butuh aku untuk mendengarkan. Percaya dengan apa pun yang dia ucapkan.*Udara siang terasa begitu terik. Seorang wanita dewasa muncul dan tersenyum ke arahku. Mataku menyipit. Seolah wanita itu mengenalku.Kau, pernah bekerja di Hot Star, kan? Wanita itu menyebut nama sebuah bistro.Aku tersenyum mengangguk. Kurasa dia salah seorang pelanggan tempat aku dulu bekerja sebagai waittress.Iya. Mau pesan apa? Aku memberikan daftar aneka rasa di kertas banner yang sudah aku laminating.Red velvet saja. Dia langsung memesan tanpa melihat daftar. Lalu duduk di kursi yang telah tersedia.Aku meletakkan cup beserta sedotan besar ke atas meja. Lalu ikut duduk bersamanya. Wanita dengan cat rambut berwarna kecoklatan itu tersenyum menyambut pemberianku.Kami terlibat percakapan tidak penting. Sampai akhirnya suara dering terdengar dari ponsel mahalnya. Indera pendengaranku menangkap dengan pasti apa yang mereka bicarakan. Wanita yang memperkenalkan diri sebagai Anyelir itu tak sungkan berbicara hal yang bukan-bukan di hadapanku.Dari situ aku paham. Apa pekerjaan, dan dari mana dia dapatkan semua barang-barang bermerk yang dia kenakan.Sampai ketemu nanti malam. Dia memutuskan sambungan, dengan sebuah kecupan nakal di layar ponselnya.Aku hanya diam tak bereaksi. Lagipula apa peduliku. Bukan ayah atau suamiku yang dia layani. Tak ada alasan bagiku untuk menasihati.Kalau kau mau, aku bisa mengenalkanmu pada seseorang, ucapnya santai.Dia seolah tahu apa yang aku pikirkan dari percakapannya tadi. Aku hanya menjawab dengan senyuman kaku.Menjual diri?Ternyata bukan aku satu-satunya yang gila di dunia ini. Selalu saja bermasalah tentang materi. Mungkin awalnya dia juga terpaksa karena sebuah alasan, hingga akhirnya begitu ketagihan.Kalau berubah pikiran, kau bisa hubungi aku. Dia berjalan meninggalkanku setelah kami saling bertukar nomor ponsel.*Malam ini aku kembali pulang seperti biasa. Berjalan kaki menuju kamar kos seorang diri. Lagi-lagi bulu kudukku merinding. Masih merasa kalau seseorang masih mengawasi.Aku menoleh ke arah belakang. Mencari jejak seseorang yang mungkin sedang membuntuti. Namun nihil. Semua orang bersikap biasa saja. Beberapa kendaraan masih lalu lalang. Hingga aku tak tahu apa ketakutanku itu nyata, atau hanya halusinasi saja.Aku kembali mempercepat langkah agar bisa sampai ke sana dengan selamat. Lalu kembali mengunci pintu dengan rapat.Aku menatap langit-langit kamar di atas kasur yang terletak begitu saja di atas lantai. Memikirkan ulang tawaran Anyelir siang tadi. Lalu ide gila yang kemarin sempat aku cetuskan pada Daryan, terpikir kembali.Setidaknya aku bisa melunasi hutang yang terbaru. Dengan begitu aku tak terlalu kehilangan muka dan harga diri di depan rentenir itu.Cih!Dia pasti menganggap dirinya sebagai pahlawan karena berhasil menyelamatkan motor Adit, adik kesayanganku.Aku menatap layar ponsel dengan ragu. Lalu memantapkan hati mencari nama Anyelir di sana.Maya? Dia langsung mengangkat panggilanku.Ya, Anyelir. Bantu aku.      ~~~~Mataku membesar melihat siapa yang datang. Dengan spontan langsung menepis kasar tangan pria hidung belang yang sedang merangkulku tadi. Aku langsung berdiri, menatap dia yang memandang kami penuh amarah.Siapa kau? Om Rudi _pria yang bersamaku_ ikut berdiri dengan emosi. Merasa terganggu dengan kesenangan pribadi yang akan kami lalui malam ini.Pemuda dengan ciri khas topi dan jaket denim itu langsung mendekat ke arah kami. Mataku membesar menatapnya dalam jarak dekat.Sedang apa kau di sini? ucapnya dengan nada mengerikan.Habis sudah harga diriku. Bahkan yang aku lakukan lebih rendah dari pekerjaannya selama ini. Pria ini pasti akan mencemoohku lebih parah lagi.Dia gadisku, ucap Om Rudi. Kembali meraih bahuku dalam rangkulannya. Aku hanya tertunduk pasrah. Tak berani menatap Ren karena malu.Tua bangka bajingan! Ren langsung menendang dengan beringas. Kaki panjangnya tepat mengenai perut om Rudi. Pria yang hampir sebaya dengan ayahku itu langsung terpental ke atas sofa. Dia merintih sambil memegangi bekas tendangan tadi.Apa yang kau lakukan? Aku berteriak histeris. Lalu berusaha membantu om Rudi untuk bangkit.Om Rudi sangat marah. Lalu mendorong tubuhku untuk menjauh.Berapa banyak lagi mucikarimu yang harus aku bayar, ha? Dia merutuki perbuatan Ren padaku.Aku menggeleng. Bahwa pria yang baru saja mengganggunya itu sama sekali tak ada hubungannya dengan kesepakatan kami.Jangan pikir, dengan begini aku mau membayar kau lebih mahal lagi. Masih banyak barang bagus yang masih bisa aku pilih. Dasar jalang!Tanganku mengepal mendengar kata-katanya barusan. Bukan hanya kehilangan kesempatan mendapatkan uang, tapi juga benar-benar terpukul dengan gelar yang baru saja ia sematkan.Ren kembali bereaksi. Kini tangannya menarik kerah kemeja om Rudi hingga terangkat dan berdiri.BUG!Satu dua pukulan mendarat bertubi-tubi. Hingga akhirnya om Rudi meminta ampun dengan wajah memelas.Takut? Ya. Siapa yang tidak takut berurusan dengan preman seperti Ren.Tubuh tinggi tegapnya, dengan kepalan tangan besar sebentar saja mampu merobohkan tubuh om Rudi yang hanya penuh lemak. Hingga Ren menghentikan serangannya dengan senyum menyeringai.Berhati-hatilah saat pulang. Kau bisa saja terbunuh di tangan orang-orangku. Masih terdengar suara ancaman Ren sesaat sebelum Om Rudi keluar ruangan sambil mengumpat sumpah serapah menyebut-nyebut namaku. Lalu terdengar bantingan dari pintu.Aku terduduk lemas sembari menutup wajah. Menangis. Meski tak tahu perihal yang mana membuatku begitu terpukul.Apa yang sedang kau pikirkan? Apa kau baru saja menjual diri? Ren kembali merutuk.Aku langsung bangkit dan berdiri. Menatap, lalu memberikan tamparan di wajahnya. Begitu keras. Hingga telapak tanganku begitu perih merasakannya. Luapan emosiku yang tak tahu harus marah pada siapa.Apa yang kau lakukan? Ren berteriak sembari memegangi pipinya.Suruh siapa kau ikut campur urusanku! Aku ikut berteriak. Sedang apa kau di sini? Dari mana kau tahu aku di sini? Apa selama ini kau yang selalu menguntit dan mengawasiku, ha? Kau memata-mataiku?Napasku naik turun menghadapi semua ini.Peduli apa kalau aku menjual diri. Apa urusannya denganmu. Bukankah kau ikut senang kalau aku bisa membayar hutang dengan cepat? lanjutku lagi.Dasar murahan! desisnya dengan gigi merapat. Apa kau tidak punya cara lain yang lebih terhormat, ha? Lagi-lagi dia berteriak. Sama sekali tak mau mengalah.Itu bukan urusanmu. Kau tidak punya hak untuk mengatur bagaimana caraku mencari uang. Kau dan aku sama-sama sampah, brengsek!Matanya membesar menghakimiku.Berapa kau menjual dirimu pada tua bangka itu?Kenapa? Kau pikir harga tubuhku tidak bisa menutupi hutang padamu? Kau merusak segalanya. Kau membuatku kehilangan kesempatan. Kau memang benar-benar brengsek!Aku tanya, berapa tua bangka itu membayarmu? Dia kembali berteriak. Kali ini dengan begitu keras. Mengulangi pertanyaan tadi.Cukup untuk menebus hutangku yang baru. Kenapa? Kau menyesal, karena sudah melepaskan sumber uang yang bisa kuhasilkan?Hanya segitu? Matanya menyipit, merendahkan. Baguslah. Jual saja dirimu padaku.A_apa? Aku tergagap dengan kata-katanya barusan.Kau tidak dengar? Akan kukembalikan surat motor adikmu. Bila perlu kubelikan yang baru. Kau puas? Bicara apa kau? Mataku membelalak mendengar ocehannya.Layani saja aku!       ~~~ANAK ORANG KAYA (9)Brengsek! Aku kembali mengayunkan tangan untuk memberi pukulan serupa di pipinya. Namun dengan mudah tangan ini tertahan oleh cengkramannya.Jangan sok suci. Kau sudah ketahuan! Dia menahan pergelangan tanganku dengan kuat.Lepaskan! Aku mencoba menarik diri. Namun masih saja tertahan dan tak mau terlepas.Terima saja tawaranku. Aku, ataupun bajingan tadi tidak ada bedanya. Kau hanya butuh uang, kan? Dia mendorong tanganku dengan kasar, hingga aku terhuyung dan jatuh ke atas sofa.Apa kau seputus asa itu, ha? ketusnya lagi.Sudah kubilang bukan urusanmu. Kau terlalu lancang ikut campur urusanku.Seketika aku teringat akan Daryan. Mungkin seperti inilah rasanya jika kau ketahuan punya kehidupan yang tak wajar. Langsung bersikap kasar untuk menutupi kelemahan.Ucapanku sama persis dengan yang dia ucapkan. Itu karena aku terlanjur malu jika seseorang tahu bahwa hidupku seburuk ini.Lalu apa yang terjadi dengan Daryan? Apa ada sesuatu yang membuatnya harus malu mengakui sesuatu padaku? Ada apa dengan keluarganya. Padahal semua terlihat sempurna di mataku.Kenapa aku tak boleh ikut campur. Setahun ini kau selalu berurusan denganku.Bukan berarti aku harus akrab denganmu.Kenapa? Kau bisa terlihat begitu dekat dengan pria yang belum lama kau kenal. Apa karena dia orang kaya? Kau ingin memanfaatkannya demi membayar semua hutang-hutangmu padaku?Mataku membelalak. Siapa? Daryan? Ada apa ini? Pria ini benar-benar mengawasiku?Mengerikan.Kau tidak punya hak mengatur dengan siapa aku berhubungan. Aku membuang muka, tak mau lagi melihat wajahnya.Dia berjongkok di hadapanku. Menyamakan tinggi tubuh agar sejajar denganku yang masih terduduk di atas sofa.Hubungan kalian tidak akan berhasil. Ibunya akan terus menyakitimu.Spontan aku menatap wajahnya. Mencoba menyelami arti ucapan dan tatapan mata itu. Pria ini, tahu bahwa wanita yang menamparku tempo hari adalah ibunya Daryan?Apa yang kau tahu? Aku menatap liar matanya.Berhenti berharap. Pria seperti itu hanya akan mempermainkanmu saja.Tutup mulutmu! Kau tidak tahu apa pun tentang Daryan. Jangan berani menjelek-jelekkan dia di hadapanku. Aku tak akan terpengaruh pada penjahat sepertimu. Daryan jauh lebih baik darimu. Kau hanya lelaki mesum yang hanya ingin memanfaatkanku. Dasar mata keranjang! umpatku kasar.Tentu saja mereka berbeda. Daryan sama sekali tak pernah mengambil kesempatan dengan kelemahanku. Malah berbalik dan lebih memilih menjual dirinya sendiri.Kau menyukainya? Sorot mata itu seperti... entahlah. Aku tak tahu.Aku tak perlu memberi tahukan apa pun padamu. Kau bukan siapa-siapa. Aku kembali memalingkan wajah.Kalau begitu layani saja aku! Dia menarik bahuku untuk mendekat. Namun dengan cepat aku kembali menampar wajah itu lagi.Menjauhlah! Jangan kurang ajar. Kau hanya laki-laki mata keranjang! Aku kembali berteriak.Dia terdiam. Kulihat pipi putihnya kini berubah kemerahan akibat dua pukulanku di tempat yang sama.Jangan berani menyentuhku lagi! Aku berucap tegas.Kenapa? Bajingan tadi juga melakukan hal itu padamu. Kau menikmatinya. Kau suka diperlakukan seperti itu, bukan?Tutup mulutmu, Ren. Kau sudah kelewatan. Mataku kembali menghangat. Merasa begitu rendah seperti sampah.Beginikah semua pria memandangku, kini? Hidup benar-benar tidak adil.Tuk ke sekian kalinya aku membuang muka. Tak ingin dia melihat raut wajahku yang sedang kacau karena ulahnya. Aku kembali menangis. Semua sudah tak tertahankan lagi. Hal yang seharusnya tak kulakukan di hadapannya. Dia pasti akan semakin berani mengintimidasi, karena nyatanya aku terlihat lemah dan serapuh ini.Menangis saja. Tak perlu gengsi. Dia menarik napas, lalu meletakkan bobot tubuhnya di sampingku. Menyandarkan punggung, seperti mencoba menenangkan diri. Atau lebih terlihat seperti mengekspresikan rasa lega.Apa dia senang melihatku tengah terpuruk seperti ini?Aku semakin hanyut dengan kesedihan. Tak peduli betapa malunya saat dia melihat semuanya. Aku sampai sesenggukan menahan sesak. Memuaskan diri dalam tangisan agar lega perasaan yang selama ini membuatku begitu lelah.Aku membenamkan wajah di antara kedua telapak tangan. Mencoba meredam suara yang hampir ingin kuteriakkan.Teriak saja. Luapkan semuanya! Aku menoleh, mendengar ucapannya.Ren menyentuh touchscreen di atas meja. Tak lama volume suara musik semakin membesar hingga memekakkan telinga. Andai orang di sampingmu sedang bicara, kau tak lagi bisa mendengarnya.Dia fokus menatap layar monitor, berpura-pura tak melihat apa yang sedang aku lakukan. Alunan lagu On My Way milik Alan Walker mengalun kuat, menenggelamkan suaraku hingga tak mungkin lagi dia dengar.Aku menangis sekencang-kencangnya hingga puas.       ~~~[Aku sakit.][Kau tak menjengukku?][Maaf soal waktu itu. Aku tak akan lagi bertanya.][Ini sudah satu minggu.][Kau sengaja membuatku rindu, ya?][Aku ingin sekali makan pizza jamur.]Beberapa pesan kukirimkan pada Daryan dengan tak tahu malu. Takut dia akan melupakan aku seiring berjalannya waktu. Kupikir dia dia pun sudah tahu tentang perasaanku.Lama aku menunggu, namun tak ada tanda-tanda dia akan membalas. Aku melempar asal ponsel, lalu menutup wajah dengan bantal.Hari ini aku memang tak membuka dagangan. Masih merasa lelah atas kejadian semalam.  *Samar terdengar suara ketukan dari luar. Aku membuka mata secara perlahan. Meraba ponsel untuk melihat jam berapa sekarang. Aku pasti tertidur nyenyak, saat sadar hari telah beranjak sore.Dengan malas aku bangkit, membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang. Di luar sana tampak raut wajah yang selama ini aku rindukan.Daryan? Aku membuka pintu dengan lebar. Dua box pizza menggantung di jarinya.Kau hanya pura-pura sakit. Aku tahu itu. Daryan masuk tanpa kupersilakan. Aku tersenyum kaku dan langsung menutup pintu.Tapi kau masih datang dan membawakan pesananku.Itu karena aku tak ingin kau benar-benar sakit karena rindu padaku. Dia meletakan buah tangan yang dia bawa ke samping kasur. Lalu merebahkan diri di sana.Aku menyambut pesananku tadi dengan antusias, lalu melahapnya dengan buas. Sedari pagi perutku memang belum ada terisi. Lapar sekali.Kenapa tak jualan? tanyanya lagi.Malas.Sudah banyak uang, ya?Hem. Hampir.Ibuku menawarimu uang lagi? sindirnya.Hish! Aku mencubit kakinya yang terjulur di depanku.Dia bangkit dan duduk menghadapiku yang sedang melahap roti khas italia itu.Baru kutinggal satu minggu, kau sudah punya bisnis yang baru. Ceritakan! Aku ingin tahu. Dia melipat kedua tangannya di dada. Menungguku bercerita.Tentu saja aku memberitahu semuanya. Mulai dari surat kendaraan Adit, kemudian perkenalanku dengan Anyelir. Ditutup dengan bagaimana kejadian akhir di tempat karaoke itu. Tanpa terasa empat potong pizza sudah berpindah ke perut, seiring dengan mulutku yang komat-kamit memberi keterangan.Segelas air putih tandas, mengakhiri informasi tidak penting tadi.Kau gila! decihnya. Kau benar-benar menjual diri? Matanya melotot memandangku.Tapi semuanya gagal karena rentenir itu.Jadi kalau dia tidak datang, kau akan terus melanjutkan hal konyol itu?Hanya menemaninya bernyanyi, Yan. Tidak sampai melakukan hal yang bukan-bukan.Kau percaya begitu saja? Apa kau yakin pria seperti itu akan puas tanpa melakukan hal yang tidak-tidak denganmu. Pintar sedikit, May. Tidak ada kucing yang menolak ikan, geramnya.Ada. Kucing manja sepertimu. Aku terkikik geli, nenutupi rasa perih.Aku serius, May. Harusnya kau bilang. Bagaimana jika....Kau tak mau membalas pesanku. Aku putus asa. Menurutmu aku harus bagaimana lagi?  Dia terdiam. Menatapku dengan teduh. Seperti sebuah penyesalan.Maaf, ucapnya pelan.Aku juga minta maaf. Aku mengerti kenapa kau marah padaku. Jika kau tak mau cerita, aku tak akan lagi bertanya.Kami terdiam cukup lama. Lalu hanyut dalam pikiran masing-masing. Aku menunduk, membenamkan wajahku ke atas lutut, dengan bahu bergetar.Kau... menangis? Suaranya terdengar berhati-hati.Aku tak menjawab. Makin terisak jika ingat kejadian semalam.Kau tidak apa-apa, May? Aku mengangguk pelan.Apa rentenir itu melakukan sesuatu padamu? Dia memaksamu melakukan sesuatu? Aku menatap wajahnya, menggeleng dengan kuat.Ren memang tak melakukan apa-apa seperti yang ia ucapkan. Dia mengantarku pulang tanpa bicara sepatah kata pun sepanjang jalan. Dia hanya diam, bahkan saat aku tak mengucapkan terima kasih, karena masih kesal.Kau yakin? Dia juga laki-laki, May.Kau dan dia sama saja. Di mata kalian aku memang sama sekali tidak menarik, bukan? Aku menyeka air mata di pipi dengan punggung tangan. Kau hanya butuh aku sebagai teman, sedang dia mengikutiku karena uang. Adakah yang lebih menyedihkan dari wanita sepertiku? Di mata kalian aku memang tak pernah berarti.Maya....Maaf. Lagi-lagi aku mengeluh.May.Iya, iya. Aku tak akan mengeluh lagi padamu. Kau puas?Maya!Ada apa lagi?Lunasi semua hutangmu. Jangan lagi berurusan dengannya! Aku tak suka.       ~~~ANAK ORANG KAYA (10)Memangnya kau pikir aku suka? Aku menantang ucapannya.Lalu kenapa kau kembalikan uang itu padaku?Dia menolaknya. Dia pikir aku meminjam pada rentenir lain.Itu sama sekali bukan urusannya.Entahlah. Mungkin semacam persaingan bisnis, jawabku seadanya.Jangan bodoh. Pria itu menyukaimu. Kau tidak sadar? Daryan memandangku kesal.Aku menarik sudut bibir sembari mengusap sisa air mata.Memangnya kenapa kalau dia menyukaiku? Kau keberatan? Aku berusaha memancing pengakuannya.Tentu saja aku keberatan.Kenapa?Dia terdiam. Tak langsung menjawab.Katakan Daryan. Katakan kalau kau cemburu dan tidak rela aku dekat dengan pria mana pun.Kau masih bertanya? Pakai otakmu sedikit saja. Giginya merapat menahan geram. Aku kembali tersenyum.Carilah pria baik-baik. Jangan hanya memikirkan materi. Tak selamanya uang membawa kebahagiaan, imbuhnya lagi, menasihati.Apa maksudnya ini? Kenapa dia malah menyuruhku mencari pria lain.Pria baik-baik seperti apa yang dia maksud? Aku meyakinkan diri. Senyum yang tadi menghiasi bibir, hilang sudah bersama retakan hati.Kalau ada pria yang kau suka, beri tahu aku. Aku akan bantu menilainya. Tapi kalau rentenir itu, jelas aku tak suka.Apa maksud Daryan mengatakan semua ini padaku. Tidakkah dia memilki perasaan itu? Lalu apa arti sikapnya selama ini. Tulus hanya ingin membantuku sebagai teman?Omong kosong.Berikan nomor rekeningmu. Biar aku transfer. Kali ini kau tidak boleh menolak lagi pemberianku.Tidak mau! ucapku ketus. Kau tidak perlu lagi memikirkan hutang-hutangku. Biar kubayar dengan caraku. Aku memalingkan wajah.Cara apa lagi, ha? Kau selalu begitu. Dia tak mau mengalah.Begini saja. Bagaimana kalau sekarang giliran Ayahku. Aku akan pura-pura diculik, lalu meminta tebusan. Pria dengan kaos lengan panjang itu menambahi.Hentikan, Daryan. Aku tidak mau.Dengar dulu! Tugasmu hanya menghubunginya. Lalu....Aku bilang hentikan. Aku merengek, menolak usulannya.Maya. Ayahku itu....Aku bilang hentikan! Aku mulai membentak.Dia terdiam. Sama sekali tak memikirkan bagaimana perasaanku. Yang dia ucapkan hanya ide gila baru yang membuat aku semakin terlihat tak berharga di matanya.Pulanglah, aku lelah. Aku membalikkan tubuh memunggunginya.Hei, kau yang memintaku datang, tapi sekarang kau mengusirku begitu saja. Dasar plin plan, ocehannya membuat dadaku terenyuh.   Sudahlah, kalau tidak mau. Ide itu memang terlalu berbahaya. Ayah dan Ibuku bisa saja melapor pada polisi. Dia tetap bersikap seperti biasa.Ah, bagaimana kalau....Cukup, Daryan! Aku kembali berbalik dan menantang matanya, mempertegas ucapanku. Berhenti bertingkah seperti itu. Kau seperti orang gila.Orang gila yang membuatku tergila-gila.Kami kembali saling terdiam. Terdengar suara gerakan dari tubuhnya, dan kini dia sudah berada di hadapanku. Sebuah senyum kaku tersungging dari bibir manisnya.Kau tidak ingat, May? Keputus-asaan kaulah. yang membuat aku menjadi gila.Kalau begitu jangan lakukan lagi. Cukup aku saja. Kau, kembalilah dengan kewarasanmu.        ~~~Dering ponsel kembali terdengar dari saku celana. Aku yang sedang duduk di dalam booth container langsung melihat siapa yang memanggil. Aku menghela napas saat melihat nama adikku di layar.Ada kabar tentang Ayah? Aku langsung bertanya, setelah menjawab panggilan.Tidak ada.Aku menarik napas kasar. Kami bahkan tak tahu bagaimana keadaan ayah sekarang. Sejak dia menghilang, tak ada satu pun petunjuk keberadaannya. Meski tanpa dia semua terasa aman, tapi tetap saja hatiku merasa cemas.Apa pun bisa terjadi pada ayah. Sesuatu yang buruk akibat melarikan diri dari hutang-hutangnya pada banyak lintah darat. Aku menggelengkan kepala, menepis pikiran buruk yang mungkin sedang menimpa orang tuaku.Jangan dipikirkan. Hidup kita lebih baik tanpa ayah. Aku berusaha menenangkan Adit, meski mulut ini harus berdusta. Pura-pura tidak peduli pada laki-laki tidak bertanggung jawab itu.Motorku sudah aman, Kak. Pria itu mengembalikan jaminannya padaku.Ren? Dia menemui Adit?Dia ke rumah? tanyaku cemas. Merasa kalau Ren mulai ingin meneror anggota keluargaku yang lain.Iya, kak. Dia sendiri yang mengantar.Kenapa kau terima? Aku bahkan belum membayar sepeser pun.Kakak tenang saja. Aku yang akan membayarnya. Suara Adit terdengar bersemangat.Kau dapat uang dari mana? Jangan macam-macam, Dit. Atau kupukul kepalamu itu. Sekolah yang benar! tegasku. Dia tertawa.Aku dapat pekerjaan, kak.Pekerjaan?*Lagi-lagi aku terpaksa menutup lapak dengan cepat. Singgah ke kamar kos sebentar, lalu keluar setelah pesanan ojek onlineku datang.Tas slingbagku terasa bergetar diiringi suara nada dering tanpa vokal. Aku yang berada di boncengan, meraih benda pipih itu dari dalam sana. Layar menyala dengan nama Daryan sedang memanggil.Aku tersenyum. Namun saat itu juga aku kembali memasukkan ponsel ke dalam tas. Aku lebih memilih mengabaikan. Tak ingin merasa kalau dia sedang rindu, lalu ingin mendengar suaraku.Motor jenis matic ini berhenti tepat di depan ruko. Aku menenteng sebuah bagpapper berukuran sedang yang aku ambil saat singgah ke kamar kos tadi. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan tatapan-tatapan liar pelanggan di sini.Aku kembali membuka pintu tanpa permisi. Dua orang menoleh secara bersamaan. Sepertinya sedang ada transaksi yang mereka lakukan.Ren melihatku, bingung. Lalu menggeleng, seperti lelah dengan sikapku. Tak lama lawan bicaranya pamit dan meninggalkan ruangan ini.Sudah kubilang jangan lagi kemari. Kau tidak dengar? Ren bangkit dari kursinya, berjalan mendekatiku.Aku langsung meletakkan kasar bagpapper yang kubawa tadi ke dadanya. Hingga mau tak mau tangannya segera menampung agar benda itu tak terjatuh.Dia mengintip ke dalam, memejamkan mata perlahan.Kau datang hanya ingin mengantar jaket ini? Matanya menyipit.Ya. Jaket denim yang dia pinjamkan malam itu.Lain kali jangan pakai rok pendek seperti ini. Kau bisa masuk angin! Dia beralasan, sembari memaksa mengikat lengan jaket ke pinggangku.Aku hanya diam tak menyahut, meski tahu itu hanya alasan agar pahaku tidak terlihat saat di boncengan.Kenapa kau melibatkan adikku? Cukup aku saja, jangan lagi menjebaknya, ucapku tanpa basa-basi.Omong kosong apa lagi ini?Kenapa kau menawari adikku pekerjaan? Sebagai apa? Kurir barang harammu? tudingku.Gila! Kau pikir aku orang seperti apa?Lalu apa maksudmu memberi adikku pekerjaan? Kau ingin menguasai seluruh keluargaku?Aku tak menawari. Dia yang memohon. Dia masih membela diri agar terlihat baik di mataku.Itu karena kau berikan surat motornya. Tidak bisakah kau bersabar sedikit saja? Aku yang akan segera menebusnya.Wajah adikmu begitu pucat saat kalian datang. Dia pasti ketakutan. Aku memberikannya agar kau tak lagi datang membuat keributan di sini.Kau selalu punya alasan. Aku memekik kesal.Kau memberikan semua jaminan sebelum aku membayarmu, apa kau tidak takut aku akan kabur dan meninggalkan hutang-hutangku? Aku menantang matanya.Kabur? Kau pikir bisa? Senyum seringai terukir dari bibirnya.Hish! Aku menggeram, mendorong dadanya. Dia hanya tertawa mengejek.Adikmu bahkan terlihat lebih ramah saat bertemu denganku. Dia berdecih.Itu karena dia belum tahu siapa kau sebenarnya.Lalu apa kau tahu bagaimana aku sebenarnya? Dia mengulangi ucapanku. Aku semakin kesal dibuatnya.Nada dering ponsel kembali terdengar dari dalam tas. Aku merogoh dan melihat siapa lagi yang memanggilku saat ini. Lagi-lagi Daryan. Dia pasti cemas karena tak menemukanku di lapak jualan.Daryan? Aku mengangkat panggilan agar dia tidak merasa cemas.....Apa? Dimana?....Kau gila, ya. Kenapa mengikutiku?Aku terkejut, karena nyatanya dia menyusulku ke tempat kos, lalu melihat dan mengikuti saat aku sudah menaiki ojek online. Itu sebabnya dia menghubungi saat di perjalanan tadi.Tunggulah. Aku akan turun. Aku bergegas hendak melangkah, sampai tangan itu tiba-tiba saja terkait di lenganku. Membuat langkahku jadi tertahan.Jangan pergi. Tetaplah di sini! Suara itu seperti sebuah perintah. Terdengar, meski tanpa menoleh ke arahku.Apa-apaan kau! Aku berusaha menepiskan pegangannya, namun bukan Ren namanya kalau harus mengalah begitu saja.Jangan lagi menemuinya.Kau gila. Kau tidak berhak mengatur urusan pribadiku.Kau tidak dengar ibunya bilang apa? Kau sama sekali tidak takut hidupmu dalam bahaya?Satu-satunya yang berbahaya buatku adalah kau! Aku kembali menyentak tanganku. Namun semua sia-sia. Tangannya tak beranjak dari sana.Ponsel kembali berdering. Daryan menghubungi lagi. Baru saja aku hendak menerima, benda pipih itu telah berpindah tangan dan sembunyi di balik pinggang Ren.Kau ini kenapa? Aku mulai berteriak. Dia hanya diam dengan tatapan dingin.Aku tahu siapa dia. Bagaimana latar belakang keluarganya.Apa yang kau bicarakan? Aku menatap liar pria berhidung mancung itu. Kau menyelidiki orang-orang di sekitarku? Kau membuatku takut, Ren. Aku berucap lirih. Bergidik ngeri.Kalau begitu jangan pergi. Akan kubuat kau merasa nyaman.Ren, pria ini....               ~ ~~~
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan