Penyesalan Suami: Mengejar Cinta Istri (Bab 3)

2
0
Deskripsi

Namaku Ayra Zahra Amira, usiaku 19 tahun. Aku ingin bercerita, setahun yang lalu aku sangat bahagia karena menikah dengan pria dewasa yang selama ini aku kagumi. Namanya Barra Hanif Widjaja, usianya 35 tahun saat ini. Namun, sayangnya pernikahanku dengannya terjadi karena paksaan serta perjodohan keluarga, dan aku tahu jika Kak Barra tidak pernah mencintaiku.

Tapi, apakah aku salah jika mencoba membuat suamiku jatuh cinta padaku? Agar pernikahan kami yang ada di atas perjanjian tidak berakhir dengan...

Bab 3. Aku Ini Suamimu, Ayra!

***

Mana sosok Ayra yang selalu berkata dengan lembut, teratur intonasinya, tidak pandai banyak berkata, kalau berbicara pasti sopan dan ada rasa sungkan serta hormat pada Barra? Bukan seperti ini!

 

Darah pria itu mendidih, bergolak dan semakin membenci gadis itu. Ia pun beranjak dari kursi dengan kasarnya. “Kamu ini benar-benar tidak sopan! Mentang-mentang kamu hilang ingatan lantas dengan semena-menanya bersikap seperti itu padaku!” Nada suara Barra naik satu oktaf menguasai ruang yang ditempati oleh gadis itu.

Ayra baru saja ingin memejamkan mata merasa terganggu, terpaksa ia kembali menatap pria itu.

“Om, gak capek apa dari tadi bentak-bentak aku, mending periksa tensinya dulu. Aku takut sejak tadi marah-marah ... eh tau-taunya darting, bisa-bisa stroke loh Om kayak pasien di sebelah, mana masih muda, ganteng pula.” Begitu santai sekali ia menghadapi pria itu, hingga wajah Barra pun memerah.

Daud dibuat mengelus dada, sepertinya akan ada pertarungan yang semakin sengit. Dan, untuk pertama kalinya bagi Daud melihat tuannya bisa berlama-lama bicara dengan Ayra, biasanya paling lama hanya 10 menit, selebihnya gadis itu akan ditinggal begitu saja oleh Barra.

“Aku bukan penjual perempuan! Aku ini suamimu, Barra Hanif Widjaja, Ayra!” Akhirnya Barra menyebutkan kata suami dalam keadaan emosi.

Tercenunglah gadis itu, tenggorokan terasa tercekat, perutnya pun bergolak tak jelas. Ia pun kembali terduduk seraya mendelikkan matanya berulang kali.

“S-Suami,” gumam Ayra begitu lirih, lalu tak lama ia terkekeh pelan. Gadis itu baru teringat dengan cerita Vivi jika ia telah menikah dan menceritakan kisah pernikahannya sesuai apa yang pernah Ayra ceritakan padanya, hanya saja sahabatnya tidak menunjukkan foto pria yang telah menikahinya.

Barra dan Daud sama-sama mengerutkan keningnya, heran. Mengapa Ayra tertawa? Apa karena efek amnesia?

“Kenapa kamu tertawa?” tanya Barra seraya melangkah mendekati sisi ranjang.

Gadis itu mengangkat wajahnya, berusaha mengontrol rasa lucu yang menggelitik isi perutnya. Kemudian menatap penuh rasa penasaran dengan sosok pria yang baru saja menyebutkan ‘suami’

“Om ini ternyata bisa melawak juga, lucu loh! Ngaku-ngaku sebagai suami, setahu aku yah kayak pasien di sebelah, yang namanya suami itu pasti ada di samping istrinya, gak seperti Om yang tiba-tiba datang kayak kuntilanak. Waktu aku siuman aja boro-boro aku lihat Om, malah yang aku lihat itu hanya wajah dokter sama perawat. Jadi jangan bilang Om itu suami aku, lagian kok aku bisa ya nikah sama Om seseram dan setua ini. Pasti waktu aku nikah sama Om pakai pelet nih,” cetus Ayra tanpa berpikir panjang lagi. Andai saja ia ingat saat pernikahan mereka berlangsung, justru Ayra sangat bahagia meski hanya sehari saja, selanjutnya rumah tangganya bagaikan isi kulkas dan panasnya api kompor gas.

Barra mengepalkan kedua tangan menahan diri agar emosinya tidak semakin memuncak, dan mengapa pula ia mau meladeni gadis yang tidak ia cintai itu. Seharusnya tengok sebentar lalu kembali meninggalkan seperti yang ia selalu lakukan pada Ayra.

“Sejak tadi kamu itu membanding-bandingkan aku sama pasien sebelah! Apa perlu bukti kalau aku ini suami kamu, dan pernikahan kita tidak pakai pelet!” bentak Barra tidak suka dibanding-bandingkan.

Gadis itu menggeleng cepat, bibir merah mudanya yang masih suci dan tidak pernah disentuh oleh Barra melengkung tipis. “Tidak perlu dibuktikan, aku bisa menebak jika Om hanya suami di atas kertas, bukan suami yang mencintaiku sebagai istrinya,” tebak Ayra. Ketika ia berkata seperti itu seakan ada dorongan yang hadir begitu saja, tanpa mengingat sesuatu.

Rahang kokoh Barra mengatup, tatapan dari bola mata yang indah itu seakan sedang menyelusup ke dalam jiwanya tanpa permisi. Ia pun mendesis seiringan membuang tatapannya ke arah jendela kamar.

“Cepat sembuh, urusan kita belum selesai,” ujar Barra dingin, kemudian ia bergerak memutar balik badannya lalu melangkah menuju pintu.

“Jangan pernah menyebut kata ‘suami' jika pada akhirnya Om meninggalkanku,” balas Ayra penuh makna dibalik kalimatnya.

Langkah Barra sempat berhenti ketika mendengarnya, hanya saja ia tidak kembali menolehkan wajahnya. Ayra meratapi punggung pria itu seakan penuh luka saat melihatnya.

“Daud, nanti kamu ingatkan Dokter Aries untuk berikan dia obat yang terbaik biar ingatannya cepat kembali. Bisa-bisanya dia tidak ingat dengan suaminya sendiri!” perintah Barra sebelum mereka berdua meninggalkan Ayra seorang diri.

“Baik Tuan,” jawab Daud dengan ujung matanya melirik ke arah Ayra. Di benaknya ada rasa kasihan pada gadis itu, hanya saja ia tidak bisa berbuat apa pun.

Ayra menatap kepergian pria itu, lalu kedua tangan mengusap dirinya sendiri. “Kenapa aku ingin menangis?” gumam Ayra penuh tanda tanya, hanya saja ia tidak ingin mencoba mengingat apa pun.

***

Setelah kejadian pertemuan yang telah sekian bulan tidak bertemu, Ayra kembali berjuang memulihkan dirinya dan sudah tentunya di temani sahabat sejatinya.

“Jadi suamimu datang juga, menjengukmu?” tanya Vivi semakin penasaran usai Ayra bercerita.

“Mmm,” gumam Ayra mengangguk seraya menyeruput jus alpukatnya.

“Kamu lihat sendiri di atas nakas ada susu, buah, kue yang diantar kurir demi aku bisa mengingat semuanya. Dan dia juga bilang ada urusan yang belum kami selesaikan, jadi dia menginginkan aku segera ingat. Memangnya aku ini otak CPU komputer, bisa direset ulang, atau dimasukkan data biar pada inget sama semua kejadian,” gerutu Ayra, lalu menarik napasnya dalam-dalam.

“Bisa-bisanya aku nikah sama pria model kayak begitu ... cih,” lanjut kata Ayra.

Vivi mengulum senyum tipisnya. “Akhirnya Ayra comeback dengan setelan awalnya. Ini yang aku inginkan darimu. Bukan seperti Ayra yang sempat berubah. Lupakan cintamu pada pria yang bernama Barra itu, dan perlu aku ingatkan jika kamu pernah cerita jika pernikahanmu sudah satu tahun maka Barra akan menceraikanmu. Nah, mungkin ini yang dia maksudkan.”

Kening Ayra mengernyit. “Cerai?” Tiba-tiba kepalanya terasa berdenyut.

“Yap, bercerai dan pernikahanmu sudah satu tahun lebih tiga bulan. So, mumpung kamu hilang ingatan, jadi gak masalahkan kalau kamu iyakan saja.”

Pikiran Ayra menerawang ke mana-mana, teringat jika ia tidak pernah dianggap oleh keluarga papanya, karena ia hanyalah anak yang dilahirkan dari seorang pelakor. Masih untung saat mamanya meninggal papanya mau mengambil dan mengurusnya walau tidak ada kasih sayang yang ia rasakan dari seorang papa. Lantas, jika ia bercerai dengan Barra akan tinggal di mana? Siapa yang menampungnya? Apakah ia punya simpanan uang untuk bisa membiayai hidupnya? Atau ia harus mengemis dengan papanya meski ia harus menghadapi kejamnya nenek lampir.

“Vivi, kalau aku cerai kira-kira bisa dapat duit gak? Kalau dapat duit maulah aku buru-buru cerai aja, dari pada ngadepin si Om kayak setan itu.”

Vivi menepuk keningnya sembari tertawa kecil. “Ya bisalah Ayra, suami kamu itu pengusaha, kaya raya, tinggal sebutin berapa milyar pasti dikasih apalagi dia sendirikan yang menginginkan berpisah sama kamu.”

Gadis itu tersenyum lebar dengan mengerlingkan matanya. “Oke, kalau begitu nanti aku mau minta sebanyak 20 milyar ... ha ... ha ... ha.” Otak Ayra mulai oleng, Om Barra.

***

Mohon dukungan Kakak Readers, jangan lupa klik subcribe agar tidak ketinggalan bab selanjutnya. Dan tinggallan komentarnya, makasih banyak, Lope-lope sekebon jeruk 🍊🤗♥️

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Penyesalan Suami: Mengejar Cinta Suami (Bab 4)
1
0
Namaku Ayra Zahra Amira, usiaku 19 tahun. Aku ingin bercerita, setahun yang lalu aku sangat bahagia karena menikah dengan pria dewasa yang selama ini aku kagumi. Namanya Barra Hanif Widjaja, usianya 35 tahun saat ini. Namun, sayangnya pernikahanku dengannya terjadi karena paksaan serta perjodohan keluarga, dan aku tahu jika Kak Barra tidak pernah mencintaiku.Tapi, apakah aku salah jika mencoba membuat suamiku jatuh cinta padaku? Agar pernikahan kami yang ada di atas perjanjian tidak berakhir dengan perceraian.Ternyata aku sangat lelah, dalam setahun aku berjuang sendiri, suamiku tidak pernah menatapku meski kami tinggal seatap, hingga pada suatu haria akhirnya aku mengetahui siapa calon istri yang sebenarnya sebelum Kak Barra terpaksa menikah denganku. Wanita itu adalah orang yang sangat membenciku!Ya Allah, lumpuhkan'lah ingatanku, buanglah rasa cinta ini yang pernah hadir untuk Kak Barra, suamiku.***Sebelum baca jangan lupa subscribe, minta bintang limanya, dan jangan lupa tag love-nya. Thank you so much, lope-lope sekebon jeruk.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan