Balada niki Niko : -1 Is Me

3
2
Deskripsi

            “Kelas ini dikutuk!”, siur aku dengar gosip itu setiap hari. Perihal kelas yang ku tempati saat ini adalah bekas latar adegan pembunuhan. Lima tahun lalu empat siswi ditemukan tewas mengenaskan disini. Polisi menemukan banyak senjata disekitar mayat-mayat mereka. Pak polisi geleng-geleng kepala, bukan sebab kenyataan bahwa si pelaku tidak meninggalkan jejak apapun tapi sebuah kenyataan pahit bahwa si pembunuh tak pernah melarikan diri. Nahas mereka...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dwi Sukma : 1. Si Kuning yang Bisu
0
0
Prolog                Pada jaman ini hiduplah seorang ratu. Berparas cantik, berperangai halus, berkrama tinggi. Namun sayang-sayang sang ratu punya satu kecacatan. Beliau adalah seorang yang bisu. Seorang yang sulit menjelaskan isi dan raungan hatinya, seorang yang lebih memilih untuk menyimpan semua dukanya sendiri. Dia yang selalu merenung melihat bulan, menulis dalam sunyi, menghayal dalam sepi. Hanya karena sosok brengsek laki-laki pengecut yang berani mencuri hatinya. Dulu ia kasmaran bak dunia hanya milik berdua tapi kini ia merana karena yang di damba punya lain cerita. Cerita yang tidak ada sang ratu di dalamnya, cerita yang datang menyiksa sang ratu setiap malam. Sepi, sunyi, sedih.                 “Oh… tuhan mengapa kau beginikan aku. Oh tuhan… mengapa engkau anugrahkan rasa bila nyatanya takkan pernah bersama. Oh tuhan… mengapa hidupku ini terus kau siksa. Tapi oh tuhan… meskipun merana hidupku harus bahagia”. Tangis sang ratu setiap malam.-Si kuning yang bisu                Pagi ini begitu damai, matahari bersinar lembut, angin bergoyang sejuk. Damai menenangkan sampai semua itu hancur akibat gamparan teman sebangkuku yang juga memaksaku untuk bangun. “kampret!” pikirku. Enak saja dia ganggu tidur emasku. Tak taukah dia setiap malam  bak intan yang tak mau aku sia-siakan untuk tidur.                “Wok. Pelajaran udah selesai. Yuk kekantin” celetuk Olin yang langsung menarikku ke luar kelas. -                 Manusia adalah makhluk sosial. Mereka cenderung berkumpul dan nongkrong. Kantin adalah salah satu spot terbaik bagi mereka, kau akan temukan apa saja disana dari sebungkus nasi, seikat es, secuil gimbal, bahkan seembrek gosip panas terbaru. Alkisah terdengar dari mulut-mulut lelaki -yang ternyata  tidak kalah licin dari perempuan- menyebar gosip keangkeran sekolah ini. Menurut kabar angin setiap jam 12 malam, bagi setiap insan yang ingin tau arti dunia lain silahkan berbondong-bondong kesini. Tepatnya di kelas tiga (itu kelas ku coy) dari dinding-dindingnya akan kau dengarkan tangis yang memilukan, tangis yang sepi bahkan tanpa suara. Yah… itu cuma gosip aku juga tidak percaya tapi malam itu, ketidak percayaanku berubah.                “Huaahhmm….” Aku menguap lebar, kubebaskan semua beban kantuk ini. Tak kusangka kali ini tidur emasku tidak ada yang menggangu tidak Olin bahkan pak guru, mungkin mereka mafhum atau terlalu kesal membangunkan koala sepertiku. Aku bersukur awalnya tapi menyesal akhirnya gara-gara kelakuan tidurku aku kini ketiduran di kelas sampai malam.Krieeet….                Suara pintu berdering memaksa pertahanan mental di tubuhku aktif, jantungku berdebar, keringat dinginku menetes, bulu romanku berdiri. Tak kusangka di dalam sekolah tengah malam sangat menakutkan, gelap dan sunyi. Tak heran banyak film horror mengusung tema hantu di sekolah. Kini aku adalah pemeran utamanya dan sosok yang meng-krieeet pintu itu adalah hantunya.                Hitam.                Tak jelas apakah sosok itu adalah bayangan dari seseorang atau asap bandel yang tak mau menyatu dengan udara. Yang kutau dia hanya mematung diam seakan mengawasiku. Aku tak mau ambil resiko, kusadari ilmu ghoibku tak sebanding dengannya. Satu-satunya pilihan paling aman adalah kabur lewat cendela disebelahku. Keringatku makin deras mengalir entah ini keringat dingin atau panas karena berpikir jalan kabur. Aku akan mati pikirku entah karena takut atau bocor di empedu yang sedari tadi menahan pipis bangun tidurku. Aduh… sialan, nih penampakan gak tau ada emergency apa?. Ah masa bodoh, aku menghadap cendela dan bersiap-siap melompatinya kalau sosok ini terusik dan mengejarku aku tak masalah, paling tidak aku akan mati terhormat sebagai pria yang berusaha tidak ngompol di kelas. Namun sebelum tanganku menyentuh cendela dan bersiap melompat suara perempuan menyegahku. Suara itu pilu nan sadis tak bisa di pahami tapi ngilu mengiris hati, seakan ia adalah bocah bisu yang merengek pada ibunya. Arrrgh… sumpah aku tak tahan entah karena suara tak berbahasanya atau perasaan kasihan di hatiku. Kututup telingaku dengan sekuat tenaga tapi gagal suara itu seakan terkirim kepikiranku, mataku terpejam, alisku mengkerut. Suara itu kian tinggi frekuensinya bagai bocah itu pakek mic dan dengan ria menyanyikan tangisannya. Dasar tak hafal lagu anak-anak.                “Sudah jangan menangis….” Ratapku pelan entah pada siapa. Seketika semua berubah hening. Sepi dan lenggang. Aku melongo melepaskan dekapan tangan di telingaku. Saat ku buka mataku aku menangkap sesok silau dipintu. Ya bayangan hitam pekat yang kukira makhluq halus itu kini menjelma bersinar silau bagai penampakan malaikat. Berlahan ia menghampiriku seperti melayang. Aku sendiri hanya terpaku tak sanggup mengerti. Yang aku tau cahaya silau kekuningan itu membentuk sebuah buku melayang tanpa benang atau sulap, terbuka di hadapanku, membalik beberapa halaman sendiri kemudian berhenti pada satu halaman kosong. Satu halaman kosong itu dengan ajaib memunculkan suatu demi satu huruf yang berbaris membentuk kalimat yang bisa dibaca.                “T..o..l..o..n..ng” pessyiuuuuu….. seketika tubuhku tersiram cahaya kuning dari buku itu, menelan seluruh tubuh dan penglihatanku. -                 “Ya Tuhan… mimpi apa aku ini, pasti ini akibat dari kebanyakan tidur di kelas. Insyaf John, mungkin entar malam aku stop dulu nobar animenya…” gerutuku sambil membangunkan tubuh letih ini. Mimpi tadi seakan benar-benar nyata. Memang sedikit aneh tapi aku rasa itu lebih nyata dari pada pohon-pohon hijau menjulang rimbun yang ada didepan mataku, lebih nyata dari deru kicauan burung-burung ini, atau lebih nyata dari aroma hutan hujan tropis yang berpadu oleh semilir angin dan sejuk rindang yang tengah aku rasakan ini. Wait the menit, ini aku dimana……?. Bukan mimpi. Telah aku cubiti pipi dan tanganku hingga aku rasakan sakit sendiri. Dapat kupastikan hijau rumput dimataku adalah nyata. Otakku error memperoses kemungkinan logis. Kesimpulannya adalah aku seperti tokoh cerita fiksi yang mungkin karena pengarangnya lagi sedeng membuatnya menulis hal gila dengan menerbangkan aku kesebuah dunia lain. Mungkin… GRUUUUK! Perutku ambil bagian menyuarakan opininya. Bahkan iklan energen mengingatkan kita kalau tidur 8 jam sama dengan sehari puasa. Jelas kini lambung sepi pengunjung dan meminta jatah untuk tumbal.                “Haduh… lapernya…” gerutuku pada kenyataan.                “Sama”                “OLIIIIN….!” Tak kusadari disampingku tengah berbaring pemuda berambut hitam bermata ikan mati ini.GRUUUUUKKK! Sekali lagi perut kami melarang kami berpikir hal lain selain makanan. Ditengah kemelasan kami menyeruak dari semak-semak seekor sosok kuning kecil bermoncong jedir, tengah acuh lewat di depan kami. Dia tak tau kalau dia salah jalan dan kini ia tepat di depan dua hewan buas haus daging.                “Lin itu apinya tolong dijaga ya. Kurang satu bumbu lagi ini” kataku pada Olin yang kemudian ia balas dengan satu oke. Kini tangannya tengah memegang sebuah bambu yang ia dekatkan pada mulutnya dan digunakan untuk mengatur jilatan api. Sementara aku sedang asik mengupas bawang, memotong sayur dan menguleknya pada batu. Sungguh alam begitu kaya, dengan dibekali pengetahuan pramuka saat SMP kami sudah hampir bisa mengatasi krisis makanan. Sayang tak ada pisau di hutan ini jadi hal-hal seperti mengupas bumbu aku lakukan dengan kuku jari. Cukup praktis sayang tidak bisa kita pakai untuk menyembelih, jadi sosok kuning itu kita panggang aja langsung. Yah itung-itung sekalian biar bulunya kebakar dan hilang, toh kita lagi dalam kondisi darurat                “Qweeek qweeek qweeek….!”                “Lin itu bebek udah mateng belom?” tanyaku pada olin yang ia balas dengan menambah kayu pemanggang dan membuat jago merah menari lebih ganas                “Qwek qwek qwek qwek qwek!!!!”                “Tinggal dikit John. Mana bumbunya. Kurang yahut bos kalau gak ada itu” sambar Olin sambil menahan ilernya yang membanjir.                “Iya sabar ini juga mau datang” balasku yang siap menghampirinya dengan segenggam ulekan bumbu-bumbu. Tak kusadari kita tengah disergap dengan mata merah yang telah mengepung kami.                “QWWWEEEEK!” menggelegar bagai induk bebek yang marah. Seakan terkomando dari sudut semak-semak melompat para sosok kuning-kuning, lebih besar dari yang tengah kami panggang, bongsor setinggi kami. Dengan berzirah besi di dada, berhelem bak kesatria eropa jaman Renaisen. Menghunus tombak-tombaknya kepada kami. Aku dan Olin menenggak ludah, kami mengangkat tangan tanda menyerah. Seekor perwakilan dari bebek-bebek tentara itu melepaskan ikata bebek kuning kecil yang seharusnya akan menolong perut kami. Dengan haru kedua sosok kuning itu saling berpelukan bagai tim sar yang habis menyelamatkan nyawa seorang diculik.                “Qweeeeeeeeeeek!” tegas bagai komando, seketika seluruh bebek yang menodongkan tombak kearah kami menurunkannya. Membuka jalan bagi bebek yang paling besar, paling garang dengan sebuah lencana bintang di zirah dadanya. Ia menatap tajam pada kami berdua. Satu matanya yang terluka sayatan belati itu seakan menguliti kami. Sungguh kami yakin bebek dengan warna bulu kuning radak coklat ini adalah komandan pasukan bebek.                “Qwek qwek qwek qweeek. Qwek qweek qwek qweek?” ini ngomong apa lagi bebek, seandainya sekarang aku lagi main film seharusnya ada subtitlenya kan.                “Mohon maaf tuan. Kami bukanlah orang yang dikirim penyihir itu” mantap Olin menjawab qwekan komandan bebek yang baru kusadari adalah pertanyaan.                “Qwek qweeek qweeek qweek qwek…!” seperti tak percaya komandan bebek itu makin keras menyembur kami. Menyisakan aku yang puyeng karena tak menangkap perbedaan di tiap qweknya.                “Maaf tuan. Sesungguhnya kami hanya dua orang musyafir yang tengah lewat…”                “Qwek!. Qwek qweek qweek qwek, qweek qwek qwek!” ini bebek ngomong apa udah nyembur sekarang motong bicara lagi.                “Hm… sungguh ini hanya salah paham tuan. Saudara tuan itu sebenarnya cuma kita ajak main saja. Saat kami duduk-duduk disini, kami melihat saudara kecil tuan tengah berjalan dengan langkah yang kelelahan. Tuan tidak tau, sesungguhnya di daerah kami ada suatu terapi pegel linu dan kelelahan yang menggunakan medium api unggun untuk obatnya”                “Qwek qwek?” komandan bebek mulai menghalus. Mungkin dia percaya dengan alasan gila Olin. Nice job bro.                “Benar tuan. Pertama kami memilihkan kayu-kayu khusus yang jika dibakar bisa memunculkan aroma terapi, selanjutnya kami racikkan rempah-rempah khusus yang bisa menghilangkan racun dan memperkuat tubuh. Kalau tuan tidak percaya disamping saya adalah seorang ahli rempah-rempah bersertifikat di daerah kami” Olin melirikku sambil mengedipkan matanya, tanda aku harus ikut ambil peran dalam sandiwara gila ini.                “Yang dikatakan teman saya ini benar adanya tuan. Saya sendiri telah mendapatkan sertifikasi dari rumah padang, depot Asih Lamongan, Purnama foundation, bahkan dari asosiasi Sedap dan Wings food” gimana Lin bagus kan peranku. Kulihat Olin menepuk jidatnya.                “Qwek, qwek qweeek?”                “Oh ya setelah apinya siap dan rempah-rempahnya jadi kami…. Em.. kami…” Olin kehabisan ide. Sekarang adalah giliranku untuk menyambung sendiwara ini.                “Setelah kita olesi dengan rempah-rempah, jangan lupa untuk membolak-balik bebeknya di atas api supaya matangnya merata. Oh ya apinya sendiri juga tidak boleh besar atau kecil loh. Harus tepat kontinyu di derajat 80. Memang agak lama tapi kalau matang daging bebebeknya bisa empuk dan bumbunya mampu meresap sempurnah, sungguh menggugah nafsu makan” ludahku menetes tak sadar karena kelaparan ini.                “QWEEEEEKKKKK……!” seakan orang yang mengumpat karena kesandung, komandan bebek kesetanan dan langsung menyuruh meringkus kami. Dengan paksa kami ditangkap, diikat pada sebatang tongkat dan di panggul seperti hewan buruan.                “Mereka akan membawa kita kemana?” bisikku pada Olin yang di panggul di depanku. Matanya masam menatapku seakan akulah penghancur rencana epiknya. Olin menghembuskan nafas kemudian berkata.                “Sepertinya kita akan dibawa menghadap ratu mereka untuk di adili” -                 Ajaib ditengah rimbunya pohon bringin, berbagai macam sulur, dan tingginya rumput hutan, berdiri sebuah istana megah dari batu. Berukir akar, daun, sulur, dan bunga. Besar menjulang seperti istana raja-raja Indo jaman dahulu. Makin lengkap dengan hadirnya beberapa penjaga bebek batu besar yang menghiasi istana ini. Kokoh, keras meski disana-sini tengah di tenggeri lumut. Ikatan panggulan kayu kami di lepas kemudian kami digiring menuju aula dalam istana. Aula itu luas, berubin batu putih halus seperti keramik. Cendela-cendela menghiasi atap kanopinya mempersilahkan cahaya surya menyinari ruangan itu. Disekelilingnya adalah pilar-pilar batu, tegak menopang dengan berbagai macam ukiran, mereka berbaris melingkar menyisahkan ruang tengah aula yang lenggang, disanalah kami di giring dan di dudukkan seorang perajurit bebek di belakang kami. Sempat aku berpikir untuk menendang KO moncong sialan bebek itu kemudian merebut tombak di tangannya. Aku tidak ingin sombong tapi saat SMP aku sering dipanggil ke BK kerena berantem. Tapi maaf saja bukan aku korban atau pelakunya. Aku ikut berantem sebagai pemisah saja yang akhirnya kena tonjok dan ditinggal kabur saat ada guru BK yang datang. Aku melirik sekilas pada Olin, bagai punya telepati sepertinya Olin mengerti rencana nekatku. Kami mengangguk pelan berbarengan, niatnya setelah anggukan ketiga kita mulai keroyok nih mahkluq kuning. Dua anggukan, aku mempersiapkan mentalku. Anggukan ketiga dan.. tetet tetet tetet teteeeeet……! Suara terompet mengurungkan niatku. Dari balik pilar di depan samping kananku terlihat dua bebek yang meniupnya, pakaian mereka unik, memakai sehelai kain menyilang dada dan bertopi dengan bulu di atasnya. Tak habis keherananku dari dalam pintu besar megah merah berhias emas itu mencuat sebuah gulungan karpet, panjang menggelinding menuju tengah aula di depanku. Dari atas karpet merah bersulam emas itu muncul sosok anggun yang mengenakan mahkota. Bersanding epic dengan dua pembantu bebeknya yang memegangi gaun panjangnya. Gaun kuning panjang itu membungkus elok tubuh seorang gadis. Iya dia bukan bebek tapi dia adalah ratu bebek. Ratu bebek duduk anggun di kursi singgasanahnya. Kursi itu garang terukir di batu namun beralas bantal merah, sungguh sosok itu sangat anggun. Rambut hitamnya yang dibiarkan bergerai cantik, hiasan kepala dari bunga-bunga segar, lengkap dengan sebuah kain kuning transfaran yang menutup kepalanya, diatasnya terpasang gagah mahkota emas berbatu delima dan rubi. Sang ratu tajam menatapku. Mengukir bola mata hitamnya di mataku kemudian entah karena eyeshidu hijau kuningnya atau lentik bulu matanya, tatapan itu jauh masuk meresap padaku langsung tenggelam menuju hatiku. Ratu memandang Olin dan dengan malas menggerakkan tangannya untuk menahan dagunya, sambil bersandar pada singahsananya ia mengisaratkan kepada bawahanya. Jari dan telunjuknya bergerak memanggil. Seakan telah faham dengan perintah ratunya bebek di belakang kami ber-Qweek dan dari belakang kami pulalah masuk mesin besar beroda dari kayu yang membentuk sebuah engsel pintu. Bedanya di ujung atas kayu itu dipasang pisau besar yang bisa di kerek dengan tali. Aku bukan ahli sejarah tapi dapat kupastikan itu adalah alat pemenggal kepala. Di ujung maut, aku gelisah menatap Olin yang sedari tadi tetap diam memandang sang ratu entah karena berfikir keras atau linglung dibuatnya.                “Yang mulia, dengan kemurahan anda perkenangkanlah saya untuk berucap berkata sebelum diri ini kupersembahkan pada nyonya” Olin lantang berucap pada sang ratu, entah ide gila apalagi yang akan dia lakukan tapi setelah sekian lama aku bisa percaya pada Olin. Seperti apapun situasinya otak encer gilanya selalu menemukan jalan kabur. Putri bebek mengernyitkan matanya ragu menatap wajah datar Olin kemudian mengisaratkan Olin untuk berdiri berbicara. Olin berdiri                “Yang mulia, demi nama tuhan yang maha pengampun lagi maha adil, saya siap diambil nyawa saya kapanpun sesuai keinginan nyonya. Namun izinkanlah hamba menyampaikan permohonannya”                “Qweeek!” penjaga di belakangku marah. Seakan ia mengatakan bahwa Olin tak sadar posisi berani berbicara seperti itu pada ratu. Sang ratu sendiri sepertinya lagi males dan membutuhkan hiburan. Dengan isyarat tangannya ia menyuruh bebek di belakang kami diam, kemudian isyarat tangan lainnya mempersilahkan Olin untuk bicara kembali. Ini ratu saking malesnya ngomong atau dia bisu.                “Ampun yang mulia. Bila yang mulia bisa mengalahkan hamba dalam adu tangan metal, dengan senang hati hamba siap dipancung bahkan dikuliti hidup-hidup tak apa. Tapi jika dalam permainan nanti yang mulialah yang kalah saya memohon kemurahan hati yang mulia dan dengan lapang membebaskan hamba dari hukuman ini” mantap Olin mengajukan kesepakatannya. Ia terlihat lihai berdebat dan cukup tenang dengan wajah poker face-nya itu. Ratu mengganguk dan mengisyaratkan Olin mendekat untuk memulai permainan itu, permainan yang menentukan hidup kami.                “Olin… hati-hati” ratapku melas pada si otak gila. Olin Cuma mengangguk penuh ketenangan. Aku mempercayai orang ini dia tidak akan kalah.Olin maju tepat di hadapan ratu, sementara ratu masih malas terduduk di singgasananya. Tangan kanannya yang tidak ia gunakan menahan dagunya bergerak cepat membentuk simbol-simbol, beberapa gerakan aneh tak bisa kupahami. Olin didepannya hanya mengangguk pelan. Aku yakin si otak air ini sudah hafal berbagai macam bahasa dan simbol, semua termasuk bahasa bebek atau isyarat orang bisu.                “Yang mulia ratu. Dengan penuh kerendahan hati aku ingin katakana bahwa yang tengah kau lihat dengan matamu itu bukanlah semua isi didepanmu. Jika kau pejamkan matamu kemudian kau buka mata imajinasimu, akan kau lihat banyak hal yang tak bisa di raba matamu” jelas Olin entah ia belajar dari mana. Olin mengeluarkan jari tangan kanannya mantap teracung pada sang ratu. Menempatkan punggung tangannya ke atas, menekuk jari tengah dan manisnya. Menyisahkan jari telunjuk, kelingking, dan jempol yang menunjuk kesamping. Dengan sedikit ragu sang ratu meniru pola tangan kanan Olin.                “Yang mulia, dihadapan mata anda memang adalah tiga jari saya. Tapi jika yang mulia juga melihatnya dengan mata imajinasi anda, anda akan melihat seekor gajah besar dengan gading dan belalai dari jompol saya, seorang kesatria berzirah yang memegang pedang pada jari telunjuk saya, dan segerombol semut merah ganas pada jari kelingking saya” ratu kelihatan kebingungan dengan kata-kata Olin.                “Yang mulia, tutup mata anda” kata Olin lembut yang kemudian dengan ragu di turuti oleh sang ratu.                “Sekarang buka mata imaji anda” bwoooosh… seakan pintu besar terbuka. Cahaya keluar dan menerangi seluruh mata sang ratu, kini di pandangan ratu, ia melihat seekor mamot besar berbulu coklat lebat bergading panjang dan berbelalai gagah tengah berdiri di kiri depan Olin. Didepan Olin ada seorang kesatria berzirah putih seperti pasukan perang salip tengah garang bersiap dengan menghunus pedang dengan kedua tangannya. Sementara di sebelah kiri Olin hadir seekor semut merah kecil yang hampir tak kelihatan. Sang ratu terkagum, terbangun dari malasnya seakan menemukan hiburan baru, kini ia memandang tangan kananya sendiri, ia melihat dari kelingkingnya menyeruak semut hitam raksasa, dengan dua antenna panjang dan dua capit besar siap menerkam dan memangsa apapun yang ada di depannya. Dari telunjuknya hadir bebek kekar tegak, berpakaian perang lengkap memegang pedang besar dengan kedua sayapnya, matanya garang memusuhi setiap didepannya. Dari jompolnya menjelma sosok besar putih dengan gading dan belalai gajah, bersayap garuda, bertubuh singa separuh kuda dan bermahkota emas. Sang ratu terkesan. Matanya berbinar penuh ketakjuban.                “Hahaha… dasar.. norak” ejek Olin dengan sadisnya, mulutnya menyeringai matanya menyipit meremehkan. Ia seakan memandang bocah yang dengan lugunya menemukan mainan baru, mengintimidasi dan merendahkannya.                “Jangan dengarkan ratu… kau seratus kali lebih baik dari si otak gila itu” teriakku mendukung ratu yang sedikit tergoncang dengan intimidasi Olin. Eh kenapa aku jadi nyemangatin si ratu. Masa bodoh yang ku tau hanya pihak tertindaslah yang harus di bela.                “Ok… jadi ratu norak coba kau serang aku dari manapun” tantang Olin penuh kesombongan. Dikarenakan jarang ada orang asing, sang ratu jadi sedikit takut pada Olin. Pada seringai liciknya, pada mata tajam mengejek itu.                “Oh… aku lupa. Hahaha.. ratu norak… kau bahkan tidak tau peraturannya kan?. Kukuku… baiklah aku dengan baik hati akan menjelaskannya. Dengar ya… singkatnya tiga makhluq di depan kita ini adalah moster yang kita kendalikan, tiap moster punya kelebihan dan kekurangan akan mosterlainnya. Ringkasnya telunjuk atau manusia akan menang melawan semut tapi akan mati melawan gajah, kelingking atau semut akan menang melawan gajah tapi akan mati melawan manusia, sementara jempol atau gajah akan menang melawan manusia tapi akan mati melawan semut. Gampang kan…? jangan bilang peraturan sederhanana seperti ini saja kau tak mengerti heh…. Hahahaha!” Ledek Olin penuh penghinaan pada ratu. Ratu semakin ragu melangkah, ia sadari di depannya kini bukan tahanan biasa ia adalah iblis.                “Jangan dengarkan ratu kau pasti menang. Jangan menyerah!” hatiku tak tahan ledekan Olin pasti menyayat hatinya.                “Oh ya aku lupa. Kau hanya bisa menyuruh satu moster menyerang satu moster lainnya tiap giliran. Masing-masing satu moster tersisa kita kan beradu dan dari merekalah kita akan tau pemenangnya. Suadah mengerti… ok serang aku ratu norak…!” ratu makin ragu dibuat Olin, beliau kehilangan kepercayaan dirinya. Dia takut mengambil keputusan. Namun yang paling ia takutkan adalah menatap wajah si brengsek Olin itu.                “Yang mulia….!” Tidak sang ratu akan kalah sebelum bertarung, mentalnya sudah down.                “Qwek qwek…….!” Bebek?. Mengetahui ratunya tengah kesulitan, segenap makhluq berbulu kuning ini gempat gempita menyemangati sang ratu.                “Qwek qweek..!”                “Qwek qweek..!” entah apa artinya tapi dari qwek tak jelas itu aku dapat merasakan semangat mereka. Semangat yang mereka kirimkan pada ratu yang patah arang.                “Ratu… qweeek qweeek….!” Aku bersatu dalam gempat gempita itu. Terus mengalun bersahut sahutan, belulang kali kami bergabung berqweek dan menyemangati sang ratu. Seakan terisi oleh qwekan kami ratu yang tadinya tertunduk kini mulai berdiri. Matanya bersinar tajam tak takut lagi pada sosok di depannya. Kini dia siap melawan Olin.                “RATU………!” seketika ratu menyuruh semut hitam raksasanya untuk menyerang gajah mammoth Olin. Dwaaaar! Semut raksasa itu menerjang dan menyapit mammoth Olin sampai tewas. Mammoth itu entah kenapa kemudian hancur meledak. Menghamburkan berpuing-puing kilauan seperti kaca. Olin menekuk jari jempolnya.                “Sekarang giliranku. kesatria serang bebek menyebalkan itu!” seketika kesatria berzirah perak Olin melesat dan menebas pendekar bebek ratu, bebek itu terpotong dan berlahan mati. Kemudian seperti mammoth Olin, bebek itu meledak. Membuat puing-puing imaji berhamburan.                “Ugh….” Ratu menyilangkan tangannya menahan gelombang ledakan pendekar bebeknya. Ia kemudian menekuk telunjuknya. Ratu kelihatan bingung, yang dia ingat peraturannya manusia hanya akan menang melawan semut. Jadi seharusnya kesatria Olin dan pendekar bebeknya akan saling seimbang.                “Hahaha… kau bingung ya ratu norak. Perlu kau tau dalam pertarungan ketiga monster peraturan menang kalah itu hanya berlaku jika moster kita berdua tinggal satu-satu” kempret sungguh licik kau Olin, kau sengaja membuat ratu bingung dengan menyembunyikan beberapa aturan. Tapi sang ratu tak kendor, qwek-kan kami telah mengakar dalam hatinya, membuat ia tegak berdiri tak ragu lagi.                “Hak….!” Pekik ratu sambil mengacungkan tangannya mantap, dari samping kirinya gajah bersayap ratu menerjang dan menyeruduk kesatria perak Olin. Sepertinya ratu sangat dendam karena pendekar bebeknya dibunuh oleh kesatria itu. Dwaaar! Pecahan imaji kembali meledak, menghembuskan angin besar yang kemudian di tahan Olin dengan tangannya.                “Skak mat” bisik Olin. Ratu tidak sadar tapi langkahnya tadi sangat keliru, tidak dari awal langkah ratu benar benar salah. Tepat setelah gajah jadi-jadian itu menubruk dan menewaskan kesatria Olin. Tiba-tiba semut raksasa ratu mati dan meledak. Seakan tidak peduli, ratu kembali mengacungkan tangan kanannya menyuruh gajah bersayapnya menyerang satu-satunya moster Olin.                “Sayang sekali akulah pemenangnya” kata olin pelan sambil tersenyum lebar. Ratu baru menyadari bahwa moster meraka masing-masing tinggal satu, semut kecil Olin dan gajah singa bersayap ratu. Menurut peraturan semut akan mengalahkan gajah. Dwaaaaar! Gajah bersayap yang berada di depan ratu meledak dan mementalkan ratu kembali terduduk pada singasananya. Ratu telah kalah. -                 “Jadi begitulah. Menurut kesepakatan kita, jika aku yang menang maka artinya aku bebas dari semua hukuman” pahit memang ratu telah ditindas dan dikalahkan dengan memalukan tapi aku juga harus bersyukur itu artinya kami berdua telah bebas dari hukuman mati. Meski kesal aku harus berterima kasih pada Olin.                “Olin kau berhasil…! Sekarang kita bebas” sorakku pada teman gilaku ini. Sekali lagi dari otak gesreknya kita bisa lolos dari maut. Aku ingin berdiri dan memeluknya tapi bebek penjaga di belakangku ber-qweek dan memaksaku tetap duduk. Eh..?                “Maaf John tapi kesepakatan kami adalah kebebasanku. Untuk kebebasanmu sendiri maaf tapi kau harus berusaha sendiri juga” sumpah akan aku tonjok muka datarmu itu Olin….!. Sialan kukira teman ternyata bajingan, kini harapanku hanya ada pada ratu. Ratu tolong aku. Kutatap melas sang ratu. Meski kami tidak kenal tapi kami telah saling bersatu dalam semangat qweek. Aku yakin ratu pasti mengerti.Ratu kembali duduk dengan tenang di singgahsananya. Setelah menghembuskan nafas panjang, wajah dan tatapannya kembali malas seperti sedia kala. Berlahan ia memandangiku, kemudian dari tangan kanannya mengacungkan telunjuknya bergerak menyilang di antara lehernya. “keeeghhhttt…!” mati aku. Bebek di belakangku mafhum dan berlahan-lahan menbawaku menemui mesin kematian. Sebentar lagi kepalaku akan terpotong dan tergelinding di tanah. Habislah sudah… tapi… tapi… sungguh demi tuhan aku tak mau mati. Inilah kesempatan akhir dan ide gila ini kebetulan lewat di otakku.                “Oh…. Yang mulia……!” kaget oleh lengkingan suaraku yang aku paksakan sengebas mungkin ratu dan bebek algojo ini diam menatapku.                “Sungguh ternyata engkau adalah seorang ratu yang tak menghargai sejarah dan bahasa” mata bebek algojo memerah, seakan tidak terima ratu kebanggaannya dihina. Adapun sang ratu Cuma kembali mengenyitkan mata kepadaku, tangannya mengisyaratkan untuk menahan kelakuan berutal yang akan dilakukan bebek algojo di belakangku. Kesempatan sepertinya aku kini tau kelemahan sang ratu. Iya kelemahan itu adalah hiburan.                “Mengapa anda seorang ratu cantik  berpendidikan sampai salah mengenali saya?” masa bodoh dengan tatapan tak terima para bebek aku lanjutkan sikapku layaknya seorang bangsawan. Aku berdiri dan menempatkan tangan kananku pada dadaku dan tangan kiriku pada punggungku, aku membungkuk rendah pada ratu bak salam-salam bangsawan.                “Ketahuilah saya adalah Syahbruzun…” entah itu nama bangsawan atau apalah aku tak yakin. Kini aku berada pada ambang kematian, otakku bingung mencari nama yang cocok.                “Qweek?” seperti bertanya siapa itu?. Aku mendongakkan tubuhku, membusungkan dadaku dan berjalan pelan menghampiri sang ratu.                “Saya adalah pendongeng ulung yang selalu berpindah-pindah mengelilingi dunia. Misi saya adalah mencari dongeng-dongen dari seluruh negri, kemudian menceritakannya pada anak-anak di negri lain” mendengar kata dongen alis sang ratu terangkat, entah itu pertanda heran atau tak percaya.                “Maka sungguh sangat kejam baginda yang dengan semena-mena menbunuh ikatan sejarah dan bahasa yang di bawa dongeng-dongeng hamba…” ratu tersenyum kecil, seperti yang kukira ia mengerti sastra dan sastralah satu-satunya senjataku kini.                “Yang mulia. Dengan melihat kedermawanan sastra maukah yang mulia mengampuni nyawa saya” Bwoook! Tangan kanan ratu tiba-tiba menghajar sisi singgasana. Ratu sepertinya menganggap percobaan pembunuhan dan pemakannan kami bukan sebagai kejahatan biasa. Seakan tak merasa sakit tangan kanan ratu kembali bergerak, dengan cepat ia membentuk simbol-simbol dan sialnya lagi aku tidak mengerti.                “Hey anak muda. Jangan harap aku akan mengampunimu dikarenakan anugrah bahasa. Perlu kau ketahui sekian tahun aku menjadi ratu di negri ini tidak ada seorangpun yang bisa membuat aku senang. Jika kau ini benar-benar seorang pendongeng sejati, mendongenglah dan buat aku terhibur” kata Olin menerjemahkan gerakan isyarat ratu. Kau memang kampret tapi kau tetap adalah temanku Olin…                “Baik saya terima” aku tidak yakin apakah dongongku nanti akan banyak menghibur sang ratu tapi dalam urusan dongeng-mendongeng janganlah kau remehkan aku. Dulu aku tumbuh dan tinggal dibelakang kasir sebuah toko, setiap malam saat toko sepi ayahku selalu menceritakan sebuah dongeng. Dongeng yang jelas terekam dalam ingatanku dan terpatri sebagai kenangan indah dihatiku. Aku tidak akan kalah.                “Alkisah hiduplah seorang mbok rondo, ia mempunyai anak lelaki namun tidak di sekolahkan karena itu seluruh kota mengenal dan memanggilnya Joko Bodoh…!”Dung tak ting tung, tuk tang ting tung, tuk tang ting tung, tingtung tungtung tungtung, tungtung tungtung, tinting tung tung tung tung, dor!. Bunyi gamelan memulai kisah ini.                “Suatu hari karena merasa anaknya sudah besar dan dirinya sendiri sudah terlalu tua sang mbok rondo memanggil anaknya Joko Bodoh untuk bicara. Ehem..” aku menyeting nada suaraku menjadi perempuan tua.                “Nd-nduk… emakmu ini sudah tua… mbok yo kamu itu segera cari istri. Mbokmu ini udah pengen putu nduk….”                “Simbok rondo sadar bahwa usia anaknya sudah cukup dewasa, dirinya sendiri juga tidak tau kapan sang maut mampir untuk menjenguknya. Ia hanya tak mau memusingkan jatah hidupnya yang ia inginkan sekarang hanyalah menggendong seorang bayi yang menjadi darah daging anaknya, hatinya kan tentram dan hidup anaknya akan lebih sejahtera. Ehem..” aku mengubah suaraku se-ngebas mungkin, memunculkan sosok suara seorang pemuda cukup usia.                “Mbok… baik. Baik akan aku usahakan keinginan mbok. Tapi mbok anakmu ini sungguh tak tau masalah wanita, lalu seperti apakah wanita yang mbok kehendaki?”                “Joko Bodoh memang tak sekolah dan terkenal bodoh tapi tetap ia tak bodoh bertata krama kepada ibunya. Ia memang tak pintar tapi ia tak ingin sebodoh malinkundang”                “Nduk… jika kamu ingin mencari wanita yang akan kau jadikan istri, carilah wanita yang pendiam, tidak banyak omong, tidak suka mencela atau menggosip, tidak suka mengomel dan terima apa adanya”                “Berbekal dengan petunjuk ibunya itu Joko Bodoh pun pergi mencari mantu idaman ibunya itu. Tak kenal lelah ia menjelajah keseluruh desa kepojo-pojok pasar, kelereng-lereng sawah dan ke plosok-plosok hutan tapi sampai ia tiba di sungai pojok desa tidak ia temukan wanita yang memenuhi harapan ibunya. Bagaimana mereka lulus kriteria, setiap wanita yang Joko Bodoh sapa selalu membalas sapaannya, ada yang menjawab sekenanya ada yang kepo menanya kabar padanya. Sungguh tak memenuhi keinginan ibunya. Semua wanita di desa ini tidak ada yang pendiam, semuanya crewet. Haduh… lalu dimanakah harus aku cari wanita impian ibuku, sungguh sang Joko Bodoh tak mau mendurhakai ibunya, ia berpantang pulang sampai mendapatkan wanita itu. Pulang membawa mantu atau berpulang saja diriku, seperti itulah yang dipikirkannya. Sampai ia mendapati seorang wanita yang bersandar pada batu di tengah sungai. Wanita itu kalem memandangi sungai, kulitnya terlihat halus dan putih, sungguh sangat cantik. Dalam hati Joko Bodoh sungguh berharap wanita inilah yang akan menjadi istrinya tapi ia tetap teguh bertahan pada petuah ibunya. Jika wanita ini ternyata menyahut dan membalas salamnya maka tak ada daya Joko Bodoh harus kembali mencari lagi. Satu sapaan, namun sang wanita tidak menyahut, mungkin suaranya kurang keras pikir Joko Bodoh. Maka ia mengulanginya hingga dua tiga kali. Tapi tetap sang bidadari masih diam memandang air sungai. Hati Joko Bodoh seperti melambung tinggi kesurga. Tak disangka harapan kecilnya tadi telah menjadi kenyataan. Maka dengan segera ia hampiri sang pujaannya itu di tengah sungai. Mbok takkan kecewa bahkan saat aku pondongpun wanita ini begitu menerima. Ia bahkan tidak keberatan sedikitpun.                Rumah Joko Bodoh sendiri terletak di sisi sungai jadi sebenarnya ia tak terlalu jauh dari rumahnya. Setelah tiba di rumah, Joko Bodoh lalu mendudukkan wanita pujaannya itu di kursi ruang tamu, sungguh dia adalah wanita kalem nan lembut. Matanya sayu menunduk, duduknya anteng tak banyak tingkah, dan yang paling peting dari semua itu adalah dia dari tadi tidak bersuara. Sangat diam, kalem dan teriman. Pasti mbok senang. Mboook!. Joko Bodoh memanggil mboknya yang tengah masak di belakang rumah. Saat menemui anaknya si mbok kaget karena hidungnya mencium bau yang amat busuk dari ruang tamu ini.                “Ini loh mbok… mantu idaman si mbok. Kalem, pendiam, neriman lagi… ayo mbok Joko sudah kepingin kawin” bangga Joko Bodoh sambil memperkenalkan pujaan hatinya ini pada si mbok. Simbok yang ingin berkenalan dengan wanita itu mengurungkan diri dan mundur menjauh.                Nduuk… kok cah ayumu ini baunya kayak tape mambu sih…? gerutu simbok sambil menutup hidung dengan kedua tangannya.                “Haduh… mbok gak boleh ngomong gitu. Si mbok sendiri kan yang pesen kalau berkawan sama orang itu jangan dilihat dari tampangnya, jangan dicium dari baunya tapi di raba hati dan prilakunya. Memang bau cah ayu ini sedikit tidak wangi tapi mbok dipandang dulu tingkah lakunya, idaman simbok toh?”                “Haduh nduuuk… nduuuk… dimana-mana kalau ada orang baunya udah busuk kayak begini, berarti orang itu sudah mati, sudah jadi mayat, lah kalau kamu ketemu mayat yo jangan di bawa pulang, dibuang lah kekali nduk…” gerutu ibu Joko Bodoh menasehati anaknya. Joko Bodoh mafhum dengan kebodohannya, kini ia akan ingat-ingat nasihat terbaru ibunya. Setelah mebuang si cah ayu yang ternyata adalah mayat yang hanyut di sungai. Joko Bodoh kembali kerumahnya untuk istirahat, maklum berjalan blusukan di desa seharian telah menguras staminanya. Kebetulan saat tengah duduk-duduk di ruang tamu, melintaslah simbok yang ternyata habis makan semur jengkol didapur. Di depan muka anaknya entah karena sudah kendor atau apa tiba-tiba dari pinggul simbok menyerempet sebuah angin dengan suara Preeeeeeet!bul seketika semerbak bau busuk di muka Joko Bodoh. Joko Bodoh menghirup nafas panjang, menaksir dengan ingatan low kapasitasnya, membanding-bandingkan dengan bau busuk lainnya. Akhirnya Joko Bodoh menemukan satu kesimpulan. Simboknya sudah berbau busuk, itu artinya simboknya telah mati, dan orang mati tak seharusnya ada di ruang tamu, ia harus di buang kesungai. Sedih rasanya bagi Joko Bodoh, tak dia sangka simbok yang begitu mencintainya telah meninggal sebelum ia mewujudkan cita-citanya punya cucu. Maaf si mbok tapi orang mati tidak boleh ada di dunia orang hidup tak peduli simbok meronta dan memakinya bodoh tapi Joko Bodoh tidak akan salah menunaikan kata-kata ibunya lagi. Maka dibawalah simbok di panggulan Joko Bodoh dan dengan satu tarikan nafas ia melempar si mboknya di sungai                “Pancen bodoh…!” jerit simbok yang telah terjebur di sungai. Sungguh merana kini Joko Bodoh telah menjadi yatim piatu, sungguh lenggang hidup ini tanpa kahadiran seorang ibu. Ditengah ratapannya ia terkentut.Tuuuuut…!Joko Bodoh kembali mencium bau busuk itu. Iya itu bau orang mati dan kini ia dapati bau itu berasal dari dirinya sendiri.                “Hore aku sudah mati. Si mbook aku datang!”Jbyuuuurdan terjunlah Joko Bodoh itu ke sungai menyusul simboknya. Tamat” -                 Dengan tamatnya dongengku, maka tamat pulalah upaya terakhirku. Keberanianku menciut, sama ciutnya dengan kedua mataku yang tak berani memandang wajah sang ratu. Bukan karena aku takut jatuh hati padanya, aku akui aku sidah jatuh hati tapi bukan itu. Ekpresi sang ratulah penentu segalanya, akankah ia tersenyum bersamaku atau cemberut sebagai tanda akhir leherku.                “Kh-khahahahaha….! Hahaha.. khahahaa… ah… hahahaha.. apa-apaan itu, emang ada bocah sebodoh itu. Khahahaha…!” ratu terpingkal-pingkal dengan gilanya. Kini aku tau dongengku sangat buruk, ia telah mengubah ratu lugu pendiam jadi sama sedengnya dengan keadaan pikiran Olin yang gila.                “Hahaha… dongengmu menarik. Iya.. iya. Khahaha… iya, kamu bebas” ratu masih terjebak dalam tawa histerisnya. Mungkin dongeng itu mujarab jua, kini kudapati sang ratu mulai bisa bicara lagi tapi yang lebih membahagiakanku atas segalanya adalah kata kebebasan. Sungguh tuhan yang maha esa juga maha kuasa…!, haru aku bersyukur. Aku melirik, mulut Olin pun menggulung senyum padaku. Ternyata si kampret ini juga ikut senang dengan kemenangan teman yang baru saja ia tinggalkan ini. Aku alihkan pandanganku pada sang ratu. Aku juga bersyukur, kini sang ratu jutek nan judes bisa tertawa lebar dengan histerisnya. Aku salah nilai sepertinya, ratu sebenarnya adalah anak yang asik di ajak berkawan.                “Ratu-“ sapaku ramah tapi kataku terputus ketika aku sadari perubahan mendadak itu. Selang semili detik saat tak aku perhatikan, kini aku rasakan suatu aura gelap dari diri sang ratu. Senuyumnya hilang, mata berbinarnya minggat, dinginnya kambuh, judesnya datang. 180 derajat, kini ratu kembali menjadi ratu bisu judes dengan pandangan malasya lagi. Seakan merasakan ancaman dari aura gelap yang tiba-tiba muncul, Olin yang tadinya berada di samping sang ratu refleks melompat dan mundur ke arahku.                “Apa yang terjadi Olin?” tanyaku penuh keheranan. Aku harap si otak serba tau ini mampu menjawab misterinya.                “Ini buruk. Aku punya firasat tidak enak. Bahkan aku juga tak tau” kata Olin datar sambil melipat alisnya. Rahangnya mengeras, mungkin ini adalah awal dari situasi baru yang tak terduga.                Krieeet… suara dua pintu di belakang menyadarkan lamunan kami. Refleks aku berbalik. Yang  keluar dari dalam pintu besar yang kini silau kulihat karena membawa cahaya surya ikut masuk adalah suatu suara.                “Itu adalah kutukan penyihir!. Kalian berdua tidak akan bisa menghilangkannya!” suara itu tegas meski berumur. Siapakah dia?. Aku yakini beliau adalah lansia. Aku senang ada manusia lain di antara para muncong kuning ini.                “Siapakah engkau wahai ki sanak?” aku dan Olin refleks bertanya pada sosok misterius itu.                “Kalian tak perlu tau namaku! Itu tidak penting..” suaranya tambah bijaksana. Aku sangat yakin sosok inilah yang akan membawa peran besar dalam menghadapi kondisi dunia asing ini kedepan. Akhirnya ada orang yang benar-benar bisa di andalkan.                “..yang lebih penting, apa ada yang bisa bahasa bebek?” baru kusadari sosok bijak itu tengah diikat di kayu dan di pondong oleh dua bebek. Ternyata dia juga gak guna! Sesal kami sempat menaruh harap pada orang tua itu. Ia belum tentu mampu selamat dari hukum penggal apalagi menyelamatkan kami dari kebingungan.                “Qweek! Qwek qwek qwek qwek” seperti melaporkan sesuatu, salah satu bebek yang membawa kakek PHP itu ber-qwek sambil menggiring si kakek ketengah aula, tempat aku dan Olin berdiri.Ratu sendiri kelihatan sudah cukup bosan. Mengurus dua tersangka gila saja sudah menguras tenaga, apalagi yang ketiga.                “Hoam….” Ratu menutupi mulutnya dengan tangan kirinya. Sepertinya tenaga ratu benar-benar terkuras. Ia dengan malas menggerakkan tangan kanannya lagi. Membentuk banyak simbol yang jelas tak kumengerti sama sekali. Sepertinya bisunya kambuh lagi. Sang ratu kemudian menatapku lamat-lamat. Mata itu sangat indah, meski aku melihat kegelapan masih dalam mengukirnya. Aku yakin sang ratu kembali lagi sebagai sosok apatis dan acuh tapi bukan berarti dongengku tak ada artinya. Ratu tersenyum kecil dan itu cukup membuat pipiku memerah. -                 “Aku akan menemui kakek itu di penjara. Mungkin saja ia punya informasi penting” kata Olin sambil berlalu menutup pintu. Hari sudah malam untungnya kami sudah mengatasi masalah makanan dan tempat bernaung. Sebagai hadiah atas hiburan kami tadi siang, sang ratu mempersilahkan kami untuk tinggal di istanya. Serasa tamu terhormat, kami bahkan dilayani dan diberi makanan orang kaya. Meski aku tau masih ada banyak mata yang tak terima dengan perlakuan spesial kami. Sebut saja mereka adalah komandan bebek dengan mata mengerikannya itu atau beberapa perajurit yang menangkap kami. Ah… masa bodoh, yang penting perut kenyang hati senang. Yang menjadi masalah sekarang adalah kurangnya informasi. Dimana kami? Kenapa kita disini dan bagaimana? Bagaimana kita keluar? adalah sedikit kegundahan kami kini. Kakek misterius tadi mungkin bisa menolong kami dan si Olin pintar tapi sedeng itu sudah menanginya. Harusnya aku tenang tapi tidak melakukan apapun bukan gayaku. Yah daripada sumpek di kamar mending aku jalan-jalan, mungkin saja aku bisa menemukan wangsit.                “Arggggg…!” ditengah perjalanan suara itu datang lagi. Makin pilu saja, bahkan sampai mendengung. Kepalaku…! Kepalaku mau pecah, aku yakin bocah dipikiranku lagi main mic dengan volume max, tak berhenti di situ semakin aku berjalan semakin seperti sound sistemnya tepat di telingaku. Arrrgggggg…..! aku akan gila itu pasti, bahkan tangan dan kakiku mulai memukul dan menendang tak karuan.                “DIAM HOY..!” bruuuak……!, tendangku pada pintu besar dihadapanku. Mahonlah saudara-saudara maklum. Bahkan orang sakit gigipun akan mesah-mesoh tak terkendali. Ajaibnya setelah pintu didepanku terbuka, suara itu berhenti. Seperti bocah mic nakal itu kaget karena ketahuan, dan memang aku tengah menangkap basah seseorang.                “Ratu?” terkejut aku melihat sosok ditanah dalam ruangan yang terkejut memandangku. Pupil matanya mengecil karena kaget, dibawah matanya adalah sungai air mata. Ratu tengah menangis dan aku mematung memergokinya canggung.                “Hey..” sapaku menghilangkan kecanggungan. Sayang gagal, wajah ratu berlahan memerah bagai kepiting rebus, ia sedikit memekik dan seketika melempariku dengan apapun yang bisa diraihnya. Sulit menghindari lemparan ganasnya. Setelah tergampar dua gelas dan hampir saja dihajar kendi, aku kabur menutup pintu kamarnya dan bersembunyi di belakang pintu. Aku yakin tadi ratu sedang berusaha mengangkat lemari, telat sedetik saja aku akan jadi lebih rata lagi.                “Ehem… ratu..” sapaku dengan harap dapat menurunkan keceanggungan ini. Ratu hanya diam. Ia bersandar pada pintu dibalikku sambil mengatur wajahnya. Ia pasti sangat malu.                “Ratu serius tolong buka pintunya” aku menggedor pintu, memaksa masuk tapi ratu menahan pintu ini dari dalam.                “Emm…” suara ratu seperti tak mau diganggu, seakan ia menyuruhku pergi dan melupakan yang kulihat tadi. Maaf ratu tapi aku tak bisa, pintu ini akan aku buka dan memang harus ku buka.                “Buka pintunya ratu. Jangan bersikap egois, biarkan aku masuk!” aku mulai tak sabar. Semakin kuat gedoranku semakin sengit ratu menahan pintu.                “Em.. emm…..!” ratu semakin keras kepala. Wajahnya semakin memerah, entah itu karena marah atau ekspresi malunya.                “Ratu emergency ratu… buka hoy! buka!” aku tak tahan. Entah terlupa akibat kondisi perut yang berdemo atau kondisi nyawa yang terancam tadi siang, kini ia datang kembali. Datang meminta haknya dengan paksa. Ia pereman kini memalakku dengan sangat kasar. Ia tak meminta apapun, ia hanya ingin keluar!.                “Ratu kumohon buka pintunya. Aku tak tahan lagi! Tolong pinjami aku toiletmu” memalukan memang, berbicara masalah ekskresi lelaki di hadapan wanita. Tapi aku tak punya pilihan lagi. Aku tak mau ia keluar ditempat yang tak pantas. Sungguh aku lebih baik mati daripada diteriaki sebagai pengompol.                “RATU….!”-                Aku mendengar suara air tersiram dan masuk hilang entah kemana. Sungguh damai berpadu dalam suasana malam lenggang yang indah. Ditemani sang bintang pemalu yang sadar tengah aku intip saat bermesraan dengan bulan. Ia tak sadar aku tidak terlalu jelas melihatnya, tidak jelas karena letak candela kecil toilet ini cukup tinggi dari tempat duduk surgawi. Ah… aku takkan pernah melupakan kejadian memalukan ini. Mau tidak mau aku harus mengakui, aku baru saja merengek minta pipis di depan wanita. Sial.                Tok tok. Pintu didepanku terkotok. Itu pasti ratu, yah peru diketahui kini aku sedang menggunakan toilet didalam kamarnya. Sepertinya dia ingin berkomunikasi. Sayang aku tak mengerti bahasa tangan atau sandi morse jadi pembicaraan antar kami mungkin susah.                “Kau ingin bicara?” dia diam. Harusnya sudah ku ketahui, bahkan sudah aku singgung di awal halangan komunikasi kita.                “Baiklah. Gampangnya, aku akan ajukan pertanyaan jika kamu ingin menjawab iya berikan aku satu ketukan, kalau kau ingin menjawab tidak beri aku dua ketukan. Kau faham?”                Tok                “Jadi apa yang ingin kau bicarakan? Apakah ini tentang aku yang tak sopan karena datang padamu di tengah malam dan dengan paksa memintamu untuk mempersilahkanku menggunakan toiletmu?” aku sudah mengatakannya dan aku sadar betapa bejat dan cabulnya aku kini.                Tok tok. Pfft…                “Hoy hoy kau tertawakan. Iya makasih, makasih aku memang memalukan!” tuhan apunilah hambamu ini…                “Jadi. Kenapa kau menangis?”                Tok tok                “Jangan bohong aku tau jelas birunya sungai mata dan merahnya pipimu tadi”                TOOOOK! TOOOOK! Sepertinya dia marah. Kayaknya dia tipe yang akan marah saat kau mengungkit masa lalunya.                “Ehm.. apa kau punya semacam riwayat penyakit?” aku mulai kepikiran dengan perubahan besar moodnya tadi pagi.                Tok tok                “Lalu kenapa tadi pagi kau bisa berubah derastis. Saat ditengah tertawamu aku merasakan sesuatu yang amat buruk menyeruak keluar, lalu saat itu tawamu berhenti dan kau semacam menjadi orang lain” tak ada ketukan, mungkin dia sendiri tak tau. Aku mulai prihatin, jika benar apa yang dikatakan si kakek misterius itu. Perkara bisunya ratu adalah masalah yang sangat serius. Asal kau tau ratu, dulu aku juga pernah seperti itu. Aku mngenal aura itu, aku akrab dengan ekspresi itu. Jadi karena itu ratu..                “Sepertinya kau tengah mengalami situasi yang sulit. Jadi ratu, bolehkah aku membantumu?” aku yakin sang ratu sangat keget. Aku sudah siap menerima dua tok keras yang kemudian mungkin di barengi dengan lemparan sebuah lemari. Tapi aku tak boleh menarik kata-kataku, entah apapun yang terjadi.                Tok… TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK! TOK!                “Hoy hoy! Serem hoy! Iya.. pasti akan kubantu, tapi hentikan terror ketukan ini dulu!” -                 “Menurut informasi yang kudapatkan saat menyik- maksudku mengintrogasi kakek itu, di daratan utara tinggal seorang penyihir sakti mandraguna. mungkin dia tau cara keluar dari dunia gila ini” pagi-pagi sekali Olin melapor padaku. Sementara aku sendiri tengah mempersiapkan bekal di ranselku. Beberapa baju hangat, makanan dan air tak lupa kubawa. Kata Olin dari kata si kakek, dataran utara adalah negri dengan iklim dingin. Aku sendiri tak tau petualangan gila apalagi yang akan segera kita hadapi tapi kini, aku dan Olin telah siap menjelajah negri utara tersebut. Demi mencari cara kembali kedunia kami, yang pastinya saat ini ada ulangan kimia dan aku tak mau nilainya ancur seperti nilai fisikaku. Serta demi untuk memenuhi kata-kataku pada sang ratu. Kami berangkat. Bersambug….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan