
Bersamamu, Tanpa Rasa ; tiga
“Ibu mau pulang sekarang?”
Anjani berhenti melangkah. Ia tatap wanita setengah baya yang ia percayakan untuk mengurus rumah pribadinya dengan sorot tajam tak suka. “Saya nggak suka lho, kalau ditanya tentang sesuatu yang udah jelas-jelas kelihatan,” tegurnya tegas.
“Maaf, Bu,” Bu Darsih hanya bisa menunduk.
Menyugar rambut panjangnya yang kali ini berwarna gelap dengan potongan shaggy layer yang tipis di ujung-ujungnya, Anjani menghela. “Kalau ada apa-apa, hubungi saya atau Lolita.”
“Baik, Bu.”
Anjani akan berbalik pergi, namun ia teringat sesuatu yang belum ia sampaikan pada asisten rumah tangga tersebut. “Oh, ya, awasin si Mbak yang baru itu, ya, Mbok. Walau saya bisa pantau dari cctv, tetap aja, saya butuh report langsung dari Mbok. Saya mau tahu kinerja dia.”
“Siap, Bu. Nanti seperti biasa, saya akan laporan ke Ibu setiap malam.”
Anjani hanya mengangguk, kini ia sudah mantap meninggalkan rumah ini.
“Jan?”
Tanpa menoleh, Anjani terus melangkahkan kakinya ke depan. Ia sentuh ujung-ujung rambutnya dengan frustrasi. Sungguh, ia lelah terus berpura-pura begini. Tiap kali akan kembali ke rumah suaminya, ia harus mengganti penampilan agar laki-laki itu berpikir bahwa ia memang pergi untuk bekerja. “Gue nggak suka ujung rambut gue,” keluhnya saat Lolita sudah berada di sebelahnya. “Apa nama salon kemarin?”
Membuka ponsel, Lolita tak pernah absen mencatat nama-nama tempat yang disinggahi oleh Anjani tiap kali mereka pergi. Tujuannya jelas, bila Anjani menyukai tempat itu, maka bisa dipastikan bahwa ia akan meminta datang ke sana sewaktu-waktu. Namun, bila Anjani tidak menyukainya, Lolita harus segera memblacklist tempat itu. “Art Salon and Spa,” ia sebutkan nama salon tersebut.
“Ck, Art apaan?” cibir Anjani yang segera meminta jepitan untuk menguncir rambut yang membuatnya sebal. “Layernya terlalu tipis. Bikin ujung rambut gue kelihatan runcing banget. Gue nggak suka.”
“Sip,” Lolita segera memasukan tempat itu ke dalam list, bad recommend. “Kita balik sekarang ‘kan? Makan siang di rumah atau di mampir ke resto dulu?”
“Makan di rumah aja. Tapi, bikinin tumis daging brokoli dong. Gue pengin makan nasi kali ini,” pinta Anjani seraya masuk ke dalam mobilnya. “Gue selalu nggak bisa makan tiap ke sini,” gumamnya menghela berat. “Dan itu, bikin gue depresi.”
Membiarkan roda-roda mobil membawanya meninggalkan rumah dua lantai tersebut, Anjani memandang bangunan tersebut lamat-lamat. Hingga sampai di ujung pagar tinggi yang sudah terbuka, ia turunkan kaca mobil. Meminta supir melambat, ia ingin menatap balkon kamar yang terletak di lantai dua tersebut lama.
Mengikuti arah pandang Anjani, Lolita menarik napas sejenak. Mengempaskan punggung, ia pun memejamkan mata. “Andai segala halu yang ada di dunia ini bisa terwujud, apa yang paling lo ingin wujudin, Jan?”
Menutup kaca mobil, Anjani meraih kacamata hitam yang ada di dalam tas. Mengenakannya sebentar, lalu melipat kedua tangannya di dada. “Gue mau ngidupin Galang lagi. Gue mau minta dia ngebawa gue sejauh-jauhnya dari jangkauan Hartala. Andai ini masih dalam imajinasi, kalau bisa gue pengin seluruh keturunan Hartala binasa. Gue nggak peduli walau dia sebaik Kalingga atau pun mertua gue sendiri. Karena tiap kali nama Hartala terlintas, gue selalu merasa Tuhan nggak pernah adil sama gue.”
“Kalau setiap keturunan Hartala binasa, berarti Shanza termasuk di dalamnya, ya?”
Anjani terdiam sejenak. Kembali, ia buang pandangan ke sisi luar jendela. Dengan rahang mengerat, ia tipiskan bibir menahan sesuatu yang meledak-ledak di dada. “Bukannya, dia memang nggak seharusnya ada?”
Anjani hanya mengungkapkan fakta. Tetapi entah kenapa, hatinya langsung merasa tersiksa. Ia benci perasaan ini. Dan sialannya, Tuhan seakan menginginkan dirinya berada dalam keabadian penyiksaan.
“Gue nggak kelihatan kejam ‘kan?”
Ia kejam.
Anjani tahu hal itu.
“Lo tahu betul sebutan apa yang cocok untuk lo ‘kan, Jan? Nah, simpulin sendiri, ya? Gue nggak mau nyebutnya di mulut gue,” timpal Lolita tanpa beban. “Berapa tahun, ya, Jan? Udah tiga tahun kita main kucing-kucingan gini. Dan gue nggak tahu sampai kapan lo sanggup bertahan.”
Anjani pun tidak tahu.
***
“Oh, udah pulang?”
Anjani melengos. Tak ingin bersitatap, ia fokus saja mengunyah makanan.
“Wah, sambutan yang sangat hangat, Darling,” dengkus Tama yang memutuskan bergabung bersama istrinya di meja makan. Ia meminta kopi dan sandwich saja untuk menu sarapan. Sempat mengernyit ketika menyadari bahwa sepagi ini Anjani sudah menyantap nasi. “Besok-besok, bisa deh minta buatin nasi kuning buat sarapan sama chef kamu,” ungkapnya menyindir.
Anjani tak mampu menahan dengkusannya. Ia sudahi makan paginya karena tak berselera lagi menghabiskan nasi goreng di piringnya.
“Kok udahan? Baper? Awas lho, jadinya malah laper,” ledek Tama dengan tampang menyebalkan.
“Kenapa sih, kamu udah secerewet ini pagi-pagi?” sunggut Anjani kesal.
Sambil mengangkat bahu, Tama menyeruput kopinya. Ia tidak akan bertanya kapan istrinya kembali ke rumah. Empat tahun terikat bersama, membuatnya tahu betul bahwa sang istri tak mungkin baru pulang pagi ini. Anjani memiliki kebiasaan aneh bila sudah pulang ke rumah setelah keluyuran sekian minggu. Ya, itu, mengurung diri di kamar hingga berjam-jam. Dan Tama tak pernah menegurnya. Ia biarkan saja.
Ck, menyebalkan sekali ya, hidup Tama ini.
Jelas-jelas, ia adalah pemilik rumah. Namun, ia akan selalu menjadi orang yang tak tahu apa-apa tentang keberadaan orang-orang di rumah ini.
“Moodku terlalu bagus pagi ini. Jadi, aku perlu ngebuat moodku buruk sebelum pergi bekerja,” ujar Tama santai.
“Dasar orang aneh,” cebik Anjani yang malas mengomentari lagi. Namun ia teringat sesuatu. Cepat-cepat melipat kedua tangannya di atas meja, ia tatap suaminya dengan pendar jenaka. Sepertinya, apa yang akan ia katakan bisa membuat mood pria itu buruk. “Sugar baby yang kamu pelihara udah mulai ngelunjak. Dm aku di sosmed dan terang-terangan nanya soal kamu. Kenapa sih? Kamu udah berhenti nafkahi dia? Jangan dong, untuk pura-pura terlihat kaya di social media, perlu dana.”
Menghentikan kunyahannya, Tama menatap Anjani tajam. Lihat ‘kan? Betapa Anjani terlalu mahir membuat moodnya berantakan dalam sekali libasan.
Mencaci maki wanita itu dalam hati, Tama berusaha santai. Toh, ia juga punya balasan yang tak kalah mematikan untuk wanita tersebut. Tenang saja, nanti akan Tama katakan. Karena sekarang, lebih baik mereka saling mempermainkan. “Bisa tolong sebut namanya?” Tama merekahkan sedikit sudut bibir. Sengaja, ia ingin mengejek istrinya. “Terlalu banyak yang aku pelihara. Sampai-sampai, aku selalu lupa nama mereka,” ia kunyah kembali sandwichnya. “Tapi, kalau cuma sekadar nama sih, aku juga kadang nggak ingat. Spill fotonya aja, mungkin aku bisa ingat dia itu yang mana. Yang suka di atas atau di bawah.”
“Bajingan, Ratama,” desis Anjani geram.
Tama tertawa tanpa beban. “Serius, Jan, kamu berhasil bikin mood aku berantakan. Yok, lagi,” kekehnya penuh kemenangan. “Kita butuh banyak konfrontasi pagi ini, Jan. Buat ngeganti dua minggu kamu kelayapan.”
“Aku kerja!” bantah Anjani keras.
Ekspresi Tama seketika berubah kembali. Kali ini sarat akan cemooh. Ia tatap Anjani dengan satu alis terangkat. Bibirnya berkedut menahan geli yang menggelitik. Tatap remeh, tetap ia sematkan untuk istrinya. Setelah mengunyah habis sarapan, ia beralih meraih kopinya. Meniup sebentar sambil menghidu aromanya, Tama sengaja memancing kemarahan Anjani sampai level tertinggi kalau bisa. “Kerja? Defenisi kerja di kamu dan di aku sama nggak sih? Soalnya defenisi kerja di aku tuh, menghasilkan uang. Nah, kalau kamu sepertinya justru menghamburkan uang, ya?”
“Tama!”
“Apa?!” balas Tama sambil menggebrak meja. “Kerja di mana, hah? Runaway mana yang kamu ikuti? Event apa yang contact kamu? Atau majalah bohongan mana lagi yang minta kamu jadi covernya?”
Melotot mendengar pertanyaan beruntun dari sang suami, Anjani mengepalkan tangannya kuat. “Kamu ngikutin aku lagi?”
“Aku nggak sudi buang-buang uang buat ngikutin aktivitas kamu yang nggak penting itu,” jawab Tama cepat. “Jadi, ke mana aja kamu selama ini? Ngilang dengan alasan fashion show. Pergi dengan alasan pemotretan. Apa sih yang kamu lakuin, Jan? Melihara brondong?”
Anjani seketika bungkam.
Matanya mengerjap dua kali, ia perlu memastikan bahwa apa yang ia dengar dari suaminya bukanlah delusi dari betapa frustrasinya ia menyimpan segalanya sendiri. “Kenapa kamu bisa nyimpulin semua itu?” ia tak akan mengaku dengan mudah.
“Jadi, kamu beneran punya peliharaan?”
“Tama!” Anjani mengeraskan suara.
“Apa sih? Dari tadi teriak mulu,” balas Tama santai. “Kamu juga nggak pernah ada buat agensi yang kamu dirikan. Sampai-sampai, head manager kamu ngehubungin aku buat nanyain keberadaan kamu yang sama sekali nggak bisa dihubungi. Kamu lupa ya, briefing staf kamu supaya nggak ngadu apa-apa ke aku?” sindir Tama tanpa ampun. “Kamu selingkuh?”
“Aku bukan kamu,” bibir Anjani menipis. Kemarahan terlihat begitu pekat di wajahnya yang pagi ini belum mendapatkan polesan apa pun. Kulit putihnya yang terbiasa tampak pucat bila ia tak mengenakan pewarna bibir, kini memerah menahan amarah. “Aku bukan kamu.”
“Oh, jelas,” Tama menjawab tak gentar. Gesturenya masih sesantai sebagaimana ia bersikap. Seringai tipis di ujung bibir, biasanya mampu membuat dirinya tampak dua kali lebih menjengkelkan. Dan itulah, yang ingin ia perlihatkan pada Anjani. “Aku nggak pernah bilang ke orang-orang kalau aku kerja tapi ternyata aku keluyuran nggak jelas. Aku juga nggak pernah pura-pura jadi korban padahal aku sendiri bajingannya.”
Dua hari yang lalu, Tama dihubungi oleh staf Anjani di agensi permodelan yang didirikan istrinya itu beberapa tahun lalu. Kepala manager langsung yang menghubungi Tama. Tengah kelimpungan mencari Anjani yang tak bisa dihubungi. Hingga akhirnya, Tama memutuskan menyambangi perusahaan istrinya tersebut.
Dan apa yang ia temukan di sana membuatnya tercengang.
Anjani tidak memiliki jadwal apa pun sejak agensi itu didirikan. Tak juga terikat kontrak pada event-event fashion, bahkan Anjani pun tak pernah lagi didaulat menjadi cover untuk majalah-majalah berbau keglamoran.
Walau teramat penasaran, Tama mencoba meredam keingintahuannya itu. Tak sudi mengerahkan anak buahnya tuk menyelediki, Tama biarkan saja Anjani melancarkan kebohongannya. Tama pikir, ia mampu diam saja. Namun, Anjani terlampau mahir memanaskan kegilaannya.
“Well, gimana sekarang rasanya ketahuan main gila, Jan? Suka? Marah? Atau ngerasa makin gila?” tawa Tama membahana. “Ngebohongin suami dosa lho, Jan. Nggak takut masuk neraka?”
Dengan rahang mengerat kaku, Anjani menancapkan emosinya pada sosok yang menikahinya empat tahun ini. Membiarkan riak darahnya mendidih, Anjani menyukai bagaimana emosi itu membakar akal sehatnya pelan-pelan. “Bahkan hidup yang aku jalani sekarang pun udah terasa di neraka. Jadi, aku nggak peduli lagi sama dosa.”
“Ck, sombong,” celetuk Tama dengan senyum penuh ledekan. “Tapi, ya, okelah,” ia menganggukan kepala. “Nggak masalah,” senyumnya mengembang lebar. “Setelah ini, tolong kasih aku jadwal kebohongan kamu selanjutnya, ya? Biar aku bisa siap-siap.”
“Berengsek kamu, Tam!” tak mampu menahan kemarahannya lagi, Anjani melempar Tama dengan gelas berisi jus jeruk miliknya yang masih tersisa setengah.
“Apa-apaan sih kamu, hah?!” bentak Tama begitu pakaiannya basah. Beruntung saja, ia dapat menghindari gelas yang melayang ke arahnya. Namun nahas, gelas tersebut hancur berkeping-keping menyentuh lantai. “Udah gila?!”
“Iya!” seru Anjani yang telah termakan emosi. “Bertahun-tahun hidup sama kamu, bikin aku gila!”
“Kamu pikir cuma kamu yang ngerasain hal itu?! Kamu pikir cuma kamu yang tersiksa?!”
Tama benci bila harus berteriak-teriak seperti ini. Ia terlampau menyukai peran menjadi si badung yang hidup tanpa perasaan. Ia nyaris tidak pernah marah pada siapa pun. Tetapi sekali lagi, Anjani merupakan pengecualian untuk semua itu.
“Andai ada opsi cerai dalam pernikahan sialan ini, aku pasti pilih itu sejak lama, Tam.”
Benar.
Seharusnya mereka bercerai saja ‘kan?
Namun sekali lagi, kontrak biadab harus membuat mereka terkurung seumur hidup dalam neraka ini.
***
Heiii, ini adalah part baru dari yang terakhir kali aku publish di wattpad yaaaa
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
