Bersamamu, Tanpa Rasa ; 4

603
41
Deskripsi

Bersamamu, Tanpa Rasa ; empat

warning!!

bacalah sewaktu kalian lagi nggak ngejalanin puasa yes. 

hahaha apaaa bgt yes warningnya. tapi, ya, gitulah. ada ulala dikit-dikit. takutnya kalian misuh-misuh sama aku kalo nggak diingetin wkwkwk

*** 

Tama senang menjadi berengsek.

Orang-orang di sekitarnya pun tahu sebajingan apa dirinya. Namun sialannya, mereka hanya menanggapi dengan seringai. Lalu memaklumi semua kenakalannya. Buat Tama kian menjadi-jadi saja, karena merasa apa yang ia perbuat akan selalu dapat pemakluman. 

Sebagai cucu pertama dari pengusaha kaya, Hartala Wiyama, kiprah Tama di dunia bisnis tidak akan pernah sebanding dengan nama besar kakeknya. Tetapi, tetap saja orang-orang yang mengenalnya lewat nama keluarga, kerap menaruh hormat walau mereka tahu betul tingkahnya.

Cap sebagai suami yang tak setia untuk istrinya pun sudah menjadi rahasia umum. Hanya saja, tak ada yang berani menudingnya terang-terangan. Ia diketahui banyak bermain perempuan. Menjadi satu-satunya bajingan keturunan Hartala, nyatanya ia tetap disegani. Dan sekali lagi, orang-orang memaklumi ketidaksetiaannya dengan beranggapan laki-laki seperti dirinya bebas melakukan apa saja.

Tetapi, orang-orang itu tidak tahu saja mengapa ia harus repot-repot menyalurkan kebutuhan padahal di rumah ia memiliki istri cantik tanpa cela. Empat tahun menikah, seharusnya ia sudah mengenal tiap jengkal kulit istrinya. Mengetahui sentuhan mana yang membawa wanita itu ke surga. Atau paling tidak, ia telah hafal jerit dan desah Anjani di bawah kuasanya. 

Namun semua hanya angan-angan berengsek semata. Faktanya, seujung kuku pun Anjani tak pernah tersentuh olehnya. Jangankan menyentuh kulit punggung wanita itu tanpa busana, kecupan yang pernah ia layangkan hanya bentuk formalitas saat mereka menikah dulu. Demi menyenangkan photographer yang sudah dibayar mahal oleh kakeknya. Memanipulasi tiap undangan bahwa mereka adalah dua anak manusia yang bahagia. 

Fuck! Terus!” perintah Tama sambil memejamkan mata.

Ia duduk tanpa busana di sofa kamar hotel yang telah ia sewa. Selebar kedua tangannya terentang di sandaran sofa, sebesar itulah ia memberi celah pada wanita yang mengulum kejantanannya di bawah sana. 

Bila di rumah, ia memiliki Anjani yang enggan disentuh. Maka di sini, ia menerapkan peraturan untuk tak menyentuh siapa pun. Ia yang memegang kendali penuh atas permainan. Ia enggan berciuman. Ia tak mau membungkuk demi jilatan. Di sini, ia yang harus dipuaskan.  

Shit! Lebih cepet,” erangnya dengan kedua tangan terkepal erat. Ia harus sampai dengan cepat, supaya tidak membuang-buang waktu. Ada meeting yang ia kejar siang nanti. Namun pertikaian dengan Anjani tadi benar-benar membunuh moodnya. “Sial! Ah, iya! Begitu …” sebelum nanti bertemu sang kakek, Tama wajib memanggil kembali seluruh kesantaiannya yang terbuang percuma karena meladeni Anjani di rumah. “Fuck!”

Ia buka matanya.

Dan kini, napasnya terengah.

 Mengulurkan sebelah tangan, Tama meraup rambut panjang wanita yang tengah memerangkap kebutuhannya. “Lebih cepet!” hal itu jelas sebuah perintah. Bukan permohonan. Karena Tama tak pernah memohon pada tiap jalang yang ia bayar. 

Well, ia memilih memanggil pelacur-pelacur berpengalaman yang tahu betul bahwa pekerjaan mereka adalah memuaskan pelanggan. Ia benci pelacur baru yang masih malu-malu dan butuh foreplay lama demi menaikan nafsu. 

Lagipula, ia mencari pelacur yang bisa melayaninya. Sebab, ia tak akan mau melayani mereka. Ia harus menyalurkan kebutuhannya. Ia sama sekali tak peduli bila wanita-wanita tersebut tidak mencapai kenikmatan yang sama dengannya. Karena, itulah pekerjaan mereka. Pelanggan tidak memiliki tanggung jawab untuk menyenangkan mereka. 

Di luar sana, ia dikenal sebagai Ratama Narayan yang gampang bergaul dengan siapa saja. Namun di sini, di tempat ia melucuti tiap kain yang melekat di tubuh, ada ego setinggi langit yang ia pelihara. Membuatnya tampak angkuh ketika menyuruh seorang wanita merangkak utuh. Menjadikan dirinya sosok dingin saat kebutuhan akan bersetubuh membelenggu. Tetapi tak masalah, tiap orang selalu memiliki sisi tergelap dalam hidupnya.

Dan di sinilah, Tama meletakkan sisi gelap itu.

Pada tiap dinding-dinding kamar hotel yang tak punya telinga, ia paksa dirinya berlakon layaknya pria yang keluar dari neraka. Padahal, semua yang terjadi di sini merupakan akumulasi dari kekesalannya pada istrinya.

Demi Tuhan, ia ingin mencekik wanita itu sampai mati.

Karena Anjani Wilhelmina adalah sebenar-benarnya neraka dalam hidup Tama.

“Anjani berengsek!”

Dan ia mendapatkan klimaks hanya dengan memikirkan kebenciannya pada sosok itu.

 

***  

 

“Opa nggak mau nikah lagi?”

Tama kontan meringis begitu mendapat hadiah pelototan dari kakeknya. 

“Ya, maksud aku tuh ‘kan, baik, Opa,” imbuhnya mencoba membela diri. “Daripada Opa gabut di rumah sendirian. Kan Opa bisa hepi-hepi sama istri baru. Aku yakin banget kok, Oma nggak bakal cemburu,” lanjut Tama tanpa beban.

Ngomong-ngomong, neneknya sudah meninggal lebih dari setahun yang lalu. Berhubung kakeknya tidak dekat dengan cucu-cucu serta cicit-cicitnya, rumah besar yang di tempati oleh sang kakek, kini benar-benar sunyi. Para penghuninya pun hanya pekerja di rumah itu saja. Untuk anak-anak kakek dan neneknya, semua sudah memiliki rumah masing-masing.

“Kalau Opa pengin nikah lagi, bilang aja sama aku. Nanti, aku deh yang bakal coba seleksi calon Oma baru yang paling oke buat Opa.”

Ck, berisik sekali sih kamu?”

Eh?

Sepertinya, Tama sudah pernah mendengar komentar bernada seperti itu, ya?

Tapi di mana?

Oh, iya, di rumahnya.

Tentu saja, lisan yang keluar dari mulut Anjani yang menyebalkan.

Halah, Tama tak akan sudi memikirkan Anjani.

“Kamu tahu, kenapa Opa panggil kamu ke ruangan Opa sekarang?”

Tama tahu.

Tetapi, ia akan pura-pura tidak tahu saja.

“Ratama?”

Ck, demi Tuhan, Tama ingin sekali bergantian menyebut nama kakeknya dengan nama menyebalkan seperti itu. 

“Hartala?”

Ah, tapi, pasti akan berbuntut panjang.

Sudahlah kemarin ia mangkir ke kantor dengan alasan bad mood yang tak berkesudahan. Bila ia macam-macam detik ini, ia bisa dikirim kembali ke Kalimantan atau Sulawesi atau suka-suka kakeknya saja bila sedang kumat kesalnya.

“Aku kena diare kemarin, Opa.”

Lalu gebrakan meja, membuat Tama meringis.

“Oke-oke, aku ngaku. Aku berantem sama Anjani. Makanya, aku lupa datang ke social charity itu,” ia hela napas sebentar. “Sorry, Opa. Bulan depan masih tetap ada ‘kan? Tenang aja, nama Opa bakal tetap harum—”

“Ratama!”

Ya, ampun, apalagi sih?

Sambil mengusap wajahnya, kali ini Tama berusaha duduk manis di sofa ruangan kakeknya yang didominasi warna hitam. Ck, jiwa-jiwa iblis memang seperti itu. Sementara sang kakek yang kondisi kesehatannya makin menurun semenjak neneknya meninggal dunia, masih tampak angkuh di kursi kebesarannya. “Ya, Opa?” ia mengubah ekspresinya menjadi seorang cucu yang patuh. 

“Kamu bilang ke mertua kamu kalau istri kamu sudah membohongi kamu selama ini?”

Mengangkat sebelah alis, Tama menatap kakeknya dengan kening berkerut. “Opa tahu?”

Decak dari sang pengusaha itu pun terdengar nyaring. “Kamu mau membuat saham milik istri kamu di perusahaan orangtuanya berkurang?”

“Maksudnya, Opa?”

“Karena laporan kamu ke orangtua Anjani, hari ini mereka menggelar rapat internal keluarga. Sepuluh persen saham milik Anjani di perusahaan keluarganya, terancam berkurang.”

Demi Tuhan, hanya karena saham itu?

Astaga.

Kakeknya ini benar-benar.

Mengendurkan ikatan dasinya yang tiba-tiba saja terasa mencekik, Tama pun menarik napas. “Jadi, semua ini cuma gara-gara nilai saham, Opa?”

“Cuma?” Hartala membalas dengan tatapan tajam. “Kamu bilang ini cuma gara-gara nilai saham?” 

Ya, terus?

Masa karena nilai mata uang?

Eh, tapi, kalau untuk kakeknya, nilai saham dan nilai tukar mata uang sama pentingnya. Sudahlah, Tama siap dicerca lagi.

Tama mencoba bersabar. Ia mengeluarkan mimik playing victim andalannya “Jadi aku harus gimana, Opa?” suara rendahnya dibarengi dengan desah penuh makna. Ekspresinya mengindikasikan bahwa ia adalah korban yang tersiksa. Sangat manipulative sekali. “Ternyata selama ini Anjani ngebohongin ak—”

“Apa kerugian yang kamu dapatkan dari kebohongannya itu?” potong Hartala cepat. “Nggak ada ‘kan? Jadi, kenapa kamu harus repot-repot melapor pada mertuamu kalau Anjani sudah tidak aktif lagi menjadi model beberapa tahun ini? Apa kamu dirugi ‘kan?” 

Eh?

Ini apa sih maksud kakeknya?

Tapi tunggu dulu.

Sepertinya, Tama mencium aroma kejanggalan di sini. 

Hm, ia tatap kakeknya itu lamat-lamat. Hingga satu kesimpulan berdenting kencang di kepala.

Sial! Nih orangtua pasti udah tahu dari lama deh, gerutunya dalam benak sendiri.

“Opa udah tahu kalau Anjani bohongin kita selama ini?”

Seperti biasa, Hartala pasti akan memberikan jawaban yang tak pernah memuaskan. Karena setelah pertanyaan Tama berkumandang, kakeknya hanya mendengkus saja.

Benar-benar tipikal kesombongan yang hakiki.

Dasar tua bangka!

Tak peduli pada harga kesabaran yang konon katanya tak lagi disubsidi pemerintah, Tama nekat membeli stok sabar itu banyak-banyak. Maklumlah, bila berhadapan dengan kakeknya, mereka harus menyediakan stok kesabaran. Sayang saja, tadi Tama lupa membawa miliknya. 

Please, Opa, jujur aja deh. Opa udah tahu lama ‘kan, kalau Anjani bohong?”

“Dibanding menanyai Opa, kamu seharusnya bertanya hal itu ke istri kamu. Kenapa dia membohongi kamu selama ini? Tapi yang lebih penting, kamu juga harus bertanya, kenapa dia harus berhenti dari karir modeling yang begitu dicintainya. Apa kamu sudah lakukan itu, Tama?”

Mana sempat, keburu emosi jiwa raga.

“Kamu punya uang dan kekuasaan untuk mencari tahu hal itu, Tama. Pergunakan. Pergi, dan cari tahu semuanya.”

Andai kakeknya buta, Tama sangat berniat untuk merotasikan bola mata. “Orang kaya itu suka nggak jelas pola pikirnya, Opa. Barang kali, Anjani juga berpikiran sama,” ucapnya asal. Namun setelah melihat sang kakek melotot, Tama buru-buru menambahkan. “Tapi Opa tenang aja, sekacau apa pun pola pikir Anjani, aku bakal berusaha cari tahu kok,” dengan repot-repot, Tama turut menyematkan senyum kecil. 

Apa tadi kata kakeknya?

Menggunakan uang dan kuasa yang ia miliki untuk mencari tahu alasan Anjani membohonginya?

Ck, Tama tak akan pernah melakukannya.

Anjani sudah cukup menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang suami. Saat ini, ia tak akan peduli, pada apa pun yang dilakukan wanita itu di luar sana. 

 “Udah selesai ‘kan, Opa? Kalau gitu, aku pamit ke ruanganku, ya, Opa?”

Sebelum ia makin muak membicarakan kekesalannya pada Anjani, ia wajib menyudahi pertemuan dengan kakeknya. 

“Tama?”

“Ya, Opa?”

“Cari tahu.”

Kening Tama berkerut. “Cari tahu?”

“Tentang Anjani. Sebelum kamu menyesal.”

“Baik, Opa.”

Sambil berbalik menuju pintu, Tama mengeratkan rahang. 

Menyesal?

Menikahi Anjani saja, sudah termasuk penyesalan yang harus selalu ia maki setiap hari. 

Jadi, apa lagi yang harus ia sesalkan?

 

*** 

 

Yang baca Bening sama Berharap Indah, pasti terus bertanya-tanya kapan kakek Hartala menuju keabadian. 

tapi, pembaca Terikat pasti tahu betul apa yang terjadi di masa depan hahaha

ya begitulah bebi-bebiku sekalian. 

aku tetap nulis di wattpad kok. cuma mau nyoba aplikasi baru ini dulu buat post ongoing. kan biasanya aku ngepost yang udah tamat aja di sini. jadi, ya, anggap aja tester yes wkwkkwkk

yang nungguin Dream Partner season 3 sabarudin yes. aku baru nulis 1 part untuk season itu hahaha. waktunya sempit bgt kayaknya buat begadang. mungkin abis lebaran deh baru aku kebut yes. 

okelah semuanyaa, kita nikmati dulu, yes kisah ini. see u kalian semuaaaa

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bersamamu, Tanpa Rasa ; 5
670
49
Bersamamu, Tanpa Rasa ; lima
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan