Kupu bayang

0
0
Deskripsi

Sebuah Misteri Jiwa ( cerita ini masih dalam pengembangan ) sebelumnya saya ingin menilai kemampuan saya dalam membuat novel , ini adalah tugas sekolah , saya harap anda dapat memberikan kritik dan saran untuk novel yang saya buat terimakasih selamat membaca

Di balik dinding tua kampus yang suram, tersimpan rahasia yang nyaris terlupakan. Arka—mahasiswa jenius yang dikenal tertutup dan nyaris tak bersosialisasi—hidup dalam bayang-bayang masa lalu yang membakar, secara harfiah dan emosional. Tiga...

Judul kupu bayang

Ada hari-hari tertentu dalam hidup yang tak pernah hilang, meski waktu berusaha menyeretnya ke balik kabut ingatan. Hari itu—hari ketika langit retak dan waktu berhenti di hadapan gedung yang terbakar—selalu kembali dalam mimpi burukku.”

> – Rania, tiga tahun setelah kejadian –


---

Langit sore menggantung mendung di atas kampus tua yang kini hanya menyisakan sayup kehidupan.
Rania melangkah perlahan di lorong gedung administrasi, tangan kirinya menggenggam sebuah dokumen pindahan. Hatinya tak tenang, bukan karena birokrasi, tapi karena tempat ini—tempat yang pernah menjadi saksi bisu tragedi yang tidak semua orang mau mengingat.

Rania telah kembali. Setelah tiga tahun menjauh.
Setelah tiga tahun menyimpan luka, pertanyaan, dan perasaan yang tak pernah sempat terucap kepada seseorang.

Arka.

Seseorang yang pernah membuatnya bertanya apakah kesepian bisa begitu kuat hingga menjadikan seseorang seperti hantu hidup.
Ia masih mengingat betul ekspresi Arka waktu itu—di depan gedung yang terbakar, matanya kosong, dan tubuhnya berdarah.

Dan seseorang lainnya... yang kini tak diketahui keberadaannya.

Ravindra.

RUANG KOSONG DI KEPALAKU

Ada suara yang tak pernah benar-benar hilang dari telingaku.

Jeritan. Kaca pecah. Dan napas seseorang yang tersendat pelan saat tubuhnya terbakar oleh sesuatu yang tidak seharusnya menyentuh kulit manusia.

Itu bukan mimpi. Tapi ingatan yang berjalan bolak-balik, seperti rekaman rusak yang terus terulang di kepalaku. Dan di tengah kekacauan itu, hanya satu nama yang terdengar jelas.

Mira.


---

Langit di luar jendela asrama terlihat kelabu, seperti hari-hari biasanya. Aku tinggal di lantai tiga gedung tua yang nyaris tak dihuni siapa pun. Dindingnya lembap. Saluran air sering macet. Tapi aku menyukai tempat ini—sepi, jauh dari orang-orang yang menatapku seakan aku kutukan berjalan.

Aku menyeduh kopi tanpa gula, membuka buku catatan tua berisi rancangan lama. Ide-ide yang dulu kugarap bersama... mereka. Sekarang, semua hanya potongan berdebu dari masa lalu.

Kusentuh halaman yang ada coretan tangannya. Ravindra. Tulisannya condong ke kiri. Tegas. Pemimpin sejati, orang yang dulu kupandang... dan kini, kuanggap musuh.

Aku mengangkat pandanganku ke papan di dinding. Foto lusuh Mira tertempel di sana, satu-satunya yang tersisa dari kamar kos lamaku sebelum kebakaran itu menghabiskan semuanya.

Mira tak seharusnya ada di sana hari itu. Tapi dia datang, untuk melihat hasil kerjaku, seperti biasa. Untuk memberiku senyum yang bisa menenangkan neraka sekalipun.

Dan justru di neraka itulah ia kini tertidur. Koma. Tiga tahun sudah. Dan aku masih hidup, menghitung ulang setiap kemungkinan kesalahan, setiap jalan alternatif yang seharusnya kuambil.


---

Aku berjalan menyusuri lorong kampus. Hujan baru saja reda. Genangan air mencerminkan langit, seperti menertawaiku. Perpustakaan hampir kosong. Tapi aku tak datang untuk membaca. Aku menuju ruang arsip bawah tanah—tempat laporan lama dan dokumentasi proyek disimpan.

Petugas mengenalku, atau lebih tepatnya, takut padaku. Ia tidak bertanya, hanya menyerahkan kunci dan kembali menunduk.

Di ruang arsip, aku membuka satu kotak tua. Bau jamur dan kertas basah menyambutku. Di antara dokumen-dokumen rusak, kutemukan satu berkas dengan lambang universitas. Proyek "Zerowave"—nama hasil kolaborasi antara aku, Ravindra, dan... Dwianto.

Namanya membuat perutku mual.

Kubuka halaman demi halaman, mencocokkan catatan dengan ingatanku. Ada yang hilang. Ada bagian yang dicoret. Tapi sesuatu menarik perhatianku—stempel verifikasi. Tanggal dan nama peninjau: DWIANTO, L.

Kenapa dia yang memverifikasi? Bukankah—
Langkah kaki.

Aku menahan napas. Lampu di ujung lorong redup. Ada bayangan di balik kaca pintu.

Tak menunggu lama, aku memasukkan berkas itu ke dalam tasku dan keluar. Langkahku cepat tapi tak panik. Setiap suara langkah di belakangku membuat jantungku berdegup keras.

Kupilih jalur memutar. Keluar dari pintu samping, menembus lorong tua menuju bagian kampus yang sudah tak dipakai. Aku tahu cara menghilang. Aku sudah ahli dalam itu.


---

Di kamarku, malam semakin pekat. Aku duduk di depan dinding penuh foto dan catatan. Garis-garis merah menghubungkan wajah, gedung, dan tanggal. Di tengah-tengahnya: satu flashdisk kecil, hitam, tak bertulisan.

Masih terkunci. Masih tanpa jawaban.

Aku menyalakan komputer. Layar menampilkan sandi yang belum bisa kubuka. Tapi malam ini, aku mulai memahami pola pikir mereka. Aku mulai melihat celah di balik kata-kata yang mereka ucapkan dulu.

Aku menggenggam flashdisk itu.

> "Jika kau pikir aku gila, itu karena aku tahu lebih dari yang boleh diketahui."
—Kalimat itu pernah diucapkan Ravindra padaku. Kini kalimat itu terdengar seperti peringatan.


---

Ada ruang kosong di kepalaku. Tempat dimana ingatan itu harusnya lengkap. Tapi mungkin... ruang kosong itu bukan karena aku lupa.

Mungkin karena seseorang telah mengambilnya dariku.

Dan aku akan mengambilnya kembali.

SUARA DARI MASA LALU

Ada satu ruangan di kampus ini yang selalu dihindari orang-orang. Ruang penyimpanan lama di lantai bawah gedung B. Gelap, lembap, dan berbau besi berkarat. Tapi bagiku, tempat seperti ini bukan mengerikan. Justru di tempat beginilah kebenaran biasanya disembunyikan.

Aku berdiri memandangi rak-rak besi yang berderit. Jemariku menelusuri punggung-punggung berkas, hingga akhirnya kutemukan satu map tua dengan label hampir hilang: "Proyek Kolaboratif Tahun Awal: Departemen Sains & Teknologi Terapan." Tahun di stempelnya: 2019—tahun yang mengubah segalanya.

Kukeluarkan dokumen dan duduk di lantai berdebu. Di antara laporan teknis dan salinan notulen, sebuah kertas lusuh jatuh. Bukan laporan, melainkan secarik memo tulisan tangan:

> "Aku tak pernah bermaksud menyakiti siapa pun. Tapi semuanya jadi salah sejak dia datang. Maafkan aku, Mira.
—R."

Tanganku membeku. "R"... Ravindra?

Sebelum bisa berpikir lebih jauh, suara pintu berderit membuatku refleks menyembunyikan kertas itu. Langkah kaki mendekat.

"Arka?"

Suara itu... Rania.

Aku mendongak. Ia berdiri di ambang pintu dengan napas tersengal. Tangan kirinya memegang sesuatu—sebuah kotak kayu kecil, usang dan terkunci.

"Aku... menemukan ini di kamar lama kak Ravindra waktu aku pulang kemarin. Ini... milikmu, katanya," ucapnya ragu.

Kutatap kotak itu. Tak ada tulisan, tak ada nama. Tapi ukiran kecil di bagian sisinya—pola gelombang dan angka samar di bawahnya—membuat dadaku sesak. Pola itu pernah kugambar sendiri. Waktu itu, bersama Ravindra... dan Mira.


---

Kami kembali ke kamarku. Rania duduk di sudut, diam namun gelisah. Aku mengeluarkan alat kecil dan membuka kunci kotak dengan teknik yang kupelajari sendiri. Di dalamnya: sebuah flashdisk, dan selembar foto kusam.

Bukan foto biasa—sebuah siluet. Dua orang, berjalan membawa kotak besar... dan jerigen.

Foto itu buram, tapi siluet mereka tak asing. Salah satunya tinggi, berdiri kokoh. Yang lain agak membungkuk, seolah ragu. Di bagian bawah foto, noda gelap kecoklatan membekas... darah?

Tenggorokanku terasa kering. Tiba-tiba, semua jadi terlalu nyata.

"Arka..." Rania mendekat. "Kau tahu siapa mereka?"

Aku menatap foto itu lama. Dalam pikiranku, potongan-potongan ingatan mulai menyatu seperti puzzle. Tapi suaraku hanya berbisik:
"Aku tahu... Dan aku harap aku salah."


---

Malam itu aku tak tidur. Kubuka flashdisknya—masih terkunci. Kata sandi diperlukan. Tapi aku tahu ini bukan sembarang password. Ini diciptakan oleh seseorang yang sangat mengenalku. Mungkin Ravindra.

Tiba-tiba, petunjuk muncul di benakku: tanggal pameran pertamaku. Saat di mana semua orang datang, termasuk Mira. Hari yang seharusnya menjadi kebanggaanku… sebelum semuanya terbakar.

Kuketikan tanggal itu. Salah. Tapi kemudian kupikirkan kembali—tidak hanya tanggal... Ravindra lebih suka bermain kode emosional.

Kucoba satu kombinasi aneh: "BURNED2020"—gabungan trauma dan tahun. Salah lagi.

Dan saat hampir menyerah, aku melihat bagian bawah kotak. Tertulis halus dengan pensil:

> "Yang tak sempat kukatakan saat kau menangis sendirian di lorong malam itu."

Air mataku menetes. Itu adalah malam ketika aku kehilangan Mira. Dan kalimat itu... adalah kata sandi terakhir yang bisa kupikirkan.

Kutulis: “IMIRAFORGIVEYOU”
Flashdisk terbuka.

Layar laptop menampilkan satu file video.

Aku menahan napas, dan menekan play.
 


BUNGA UNTUK MIRA

Hujan turun perlahan, membasahi kaca jendela taksi yang membawa kami ke Rumah Sakit Brawidya. Rania duduk di sampingku, diam, menatap keluar. Di pangkuanku, sebuket bunga lili putih—kesukaan Mira sejak kecil. Bunga yang dulu selalu ia gambar di pojok buku catatannya, entah kenapa.

Aku tak tahu kenapa kakiku melangkah ke sana lagi hari ini. Mungkin karena flashdisk itu. Mungkin karena foto berdarah itu. Atau karena rasa bersalah yang tak pernah benar-benar mati.

Lorong rumah sakit sepi. Hanya suara mesin infus dan langkah suster yang beradu dengan lantai. Kamar Mira tetap sama: Unit Perawatan Intensif 2B. Nomor itu sudah kuhafal lebih dari nama ayahku sendiri.

Aku membuka pintu perlahan. Di dalam, tubuh mungil itu masih terbaring diam. Selang menempel di hidungnya. Wajahnya tenang, seperti sedang tidur panjang. Tapi luka-luka di tangannya belum sepenuhnya hilang, meskipun telah bertahun.

Rania berdiri di belakangku, tidak banyak bicara. Namun aku tahu, dari caranya melihat Mira, ia mulai mengerti siapa Mira untukku.

"Dia... cantik," ucap Rania akhirnya.

Aku hanya mengangguk. "Dia bukan hanya cantik. Dia... satu-satunya orang yang tahu caraku berpikir sebelum aku mengatakannya. Dia bisa membaca diagram seakan itu puisi. Dan saat semua orang menganggapku aneh, Mira bilang aku istimewa."

Kutaruh bunga itu di meja kecil dekat ranjang. Tanganku menyentuh punggung tangan Mira—dingin tapi tetap hidup.

"Aku yakin dia masih mendengar," ucapku pelan.

Rania mendekat. Ia melihat ke sekeliling kamar, matanya tertumbuk pada sebuah bingkai kecil di meja sisi lainnya.

"Arka... Ini?" Ia menunjuk bingkai itu.

Kupandangi. Foto lama. Aku, Mira, dan... Ravindra. Kami bertiga berdiri di depan gedung tua yang kini tinggal abu. Mira memeluk dokumen proyek kami. Aku tersenyum kikuk. Ravindra tampak menatap ke arah lain. Aku tidak ingat siapa yang memotret kami hari itu, tapi aku ingat suasananya—penuh harap, sebelum semuanya berubah jadi reruntuhan.

Di bawah bingkai, sesuatu menonjol—sebuah kertas terlipat.

Kuraih pelan dan membukanya. Tulisannya pudar, namun masih terbaca:

> “Jika aku tak bangun, biarlah kebenaran tetap hidup. Jangan biarkan mereka menutupinya lagi.”
—M

Hatiku berdebar. Tulisan Mira. Tanganku gemetar menggenggam kertas itu. Rania membaca di sampingku, mulutnya sedikit terbuka.

"Apa maksudnya…? Siapa mereka?"

Aku menatap Mira. Wajahnya tenang, tapi dunia di sekeliling kami berguncang pelan. Seperti suara kecil dari masa lalu… akhirnya terdengar lagi.

Aku tak tahu siapa yang menaruh catatan ini. Tapi aku tahu satu hal:

Mira tahu sesuatu. Dan jika dia pernah mencoba memperingatkanku—maka aku tak akan membiarkan usahanya sia-sia

Rania----- 

Langit masih diguyur hujan ketika kami meninggalkan rumah sakit. Arka memilih diam, menyusuri trotoar dengan langkah berat. Aku mengikutinya dari belakang, mencoba memahami apa yang berputar di kepalanya. Tapi sebenarnya... aku juga sibuk dengan pikiranku sendiri.

Aku tahu Arka menyayangi Mira. Dari cara dia menyentuh tangannya, dari getar suara ketika menyebut namanya. Bahkan dari cara dia memeluk diam luka yang belum sembuh, tanpa meminta orang lain mengerti.

Tapi... aku juga melihat kebaikan itu saat dia menolongku waktu aku jatuh dalam proyek awal kami dulu. Aku ingat jelas caranya memaparkan ide dengan sabar, meski aku kesulitan mengikuti. Dan aku—secara bodoh—mulai berharap, mungkin aku juga bisa menjadi seseorang yang penting untuknya.

Kami berhenti di halte bus, dan Arka duduk sambil menatap lurus ke arah jalan.

"Aku tahu kau menyayanginya," kataku, pelan.

Dia menoleh, seakan baru sadar aku masih di sana. Tak ada penyangkalan dari wajahnya, hanya kejujuran yang sunyi.

"Aku bahkan tidak tahu... apakah dia masih ada," katanya. "Tapi kalau dia pernah mencoba memberitahuku sesuatu sebelum semuanya terjadi... maka aku harus tahu."

Aku mengangguk, meski hatiku terasa berat.

"Aku akan membantumu," ucapku akhirnya.

Dia menatapku. Kali ini lebih lama. Ada sesuatu di matanya—entah itu rasa terima kasih, atau hanya kelelahan dari semua luka yang belum selesai.

Dan aku pun tahu, bahwa perjalananku dengannya bukan akan mudah. Tapi... jika ada sedikit tempat untukku di antara bayang-bayang masa lalunya—aku akan tetap di sana.

Sementara itu Di sebuah desa kecil Dimana ravindra sekarang berada

BAYANG-BAYANG API

Aku tak pernah menyukai cermin.

Sejak tiga tahun lalu, wajah yang kulihat di sana tak lagi sama. Ada luka yang tak terlihat—tapi terasa. Dan setiap kali aku menatap bayanganku sendiri, yang kulihat hanya satu hal:

Aku pengecut.

Hari itu, saat gedung terbakar, aku ada di sana. Aku tahu rencana Dwianto, aku tahu ada yang tak beres dengan jerigen di tangannya. Tapi aku hanya diam. Aku pikir dia hanya ingin mengancam, membuat panik, menciptakan kekacauan kecil agar proyek Arka gagal total.

Aku salah.

Dan kesalahanku membuat Mira terjebak di sana. Membuat Arka kehilangan segalanya. Membuat universitas hancur—secara harfiah dan citra.

Aku masih bisa mengingat dengan jelas api yang menjilat langit malam. Suara kaca pecah. Teriakan. Dan tanganku yang gemetar saat menarik lengan Arka, memaksanya keluar dari puing. Tapi Mira… Mira tak sempat kuselamatkan. Karena aku terlalu sibuk menyelamatkan hasil karya Arka, seolah itu bisa menebus dosaku.

Setelah kejadian itu, aku menghilang. Bukan karena takut pada hukum. Tapi karena aku tahu, yang paling parah menghukumku adalah diriku sendiri.

Sekarang aku tinggal di desa kecil, di pinggiran kota. Menjaga toko kelontong milik seorang ibu tua yang tak banyak tanya soal masa laluku. Di sinilah aku mencoba menjadi orang lain. Menjadi 'Vindra' si penjaga toko, bukan Ravindra si penghianat diam.

Setiap malam, aku menulis di buku kecil—catatan pengakuan yang tak pernah kuberani kirimkan pada Arka.

Dan pagi ini, dunia memberiku tamparan lain.

Sebuah koran tua yang dibungkus dengan barang belanjaan menampilkan wajah yang sangat kukenal.

Dwianto Prawira—namanya tercetak tebal.

> “Pemuda Jenius Kembangkan Teknologi Ramah Energi dari Proyek Eksperimental Tahun 2022, Siap Diluncurkan Bulan Depan.”

Proyek itu… proyek kami.

Atau lebih tepatnya, milik Arka. Aku hanya membantu mengawasi jalur produksi. Dan Dwianto? Dia hanya menyusupkan nama di akhir-akhir presentasi, karena relasinya dengan sponsor universitas.

Dan kini dia akan mematenkan semuanya?

Tanganku mengepal.

Sudah cukup.

Mungkin aku pengecut waktu itu. Tapi aku masih hidup. Dan selagi aku masih hidup, aku harus melakukan sesuatu. Bukan demi Mira. Bukan demi Arka. Tapi demi penebusan yang selama ini kutolak untuk kuhadapi.

 – ISYARAT YANG TAK ASING

Malam mulai turun ketika Arka dan Rania duduk di ruang kerja kecil di rumah tua peninggalan keluarga Rania. Hujan mengetuk lembut atap seng, menciptakan irama yang menenangkan sekaligus menegangkan. Arka membuka buku catatannya, mencoba menyusun kembali petunjuk dari flashdisk yang belum terbuka itu.

Tiba-tiba, suara ketukan pintu pelan terdengar.

Rania bangkit, dan menemukan sebuah amplop cokelat tergeletak di ambang pintu. Tidak ada pengantar, hanya tulisan tangan kecil di bagian depan:

“Untukmu, dari yang tidak pernah pergi.”

Arka langsung merasa ada sesuatu yang tak biasa. Ia membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya terdapat secarik kertas bergaris dengan tulisan tangan yang rapi, namun samar:

> "G3dong tua. Lantai 3. Jam 7:23 malam.
Jangan sendiri.
Jangan terlambat.
'Sundial 59'."

Dia menatap tulisan itu lama. Ada sesuatu yang mengetuk ingatannya.

“Sundial 59…” gumamnya.

“Apa maksudnya?” tanya Rania.

Arka menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Itu kode. Aku, Ravindra, dan Mira dulu punya cara khusus untuk menandai waktu ketika sesuatu penting terjadi dalam proyek. ‘Sundial 59’ merujuk pada titik waktu kami berhasil pertama kali menyalakan reaktor mini kami—di jam 7:23 malam, di gedung tua fakultas.”

Rania tertegun. “Kau pikir ini dari... Ravindra?”

“Ya. Dan hanya kami bertiga yang tahu kode itu. Tapi kenapa dia baru mengirimkan ini sekarang?”

Rania menggigit bibir. “Kita harus datang.”

Arka mengangguk. Tapi hatinya mulai terasa berat. Jika ini benar dari Ravindra, maka segalanya akan berubah. Tidak ada lagi tempat untuk diam. Tidak ada lagi waktu untuk sembunyi.

Dan mungkin—semua rahasia akan terbongkar, satu per satu.

ISYARAT YANG TERTINGGAL

Malam menyelimuti bangunan tua fakultas seperti jubah duka. Langkah Arka dan Rania bergema pelan di antara lorong-lorong berdebu. Petunjuk yang mereka terima bukan sekadar waktu dan tempat, tapi sebuah teka-teki.

Arka menggenggam kertas kecil yang ia temukan di dalam buku lamanya—buku catatan proyek yang sudah bertahun-tahun ia abaikan. Di sana, tertera tulisan samar:

> “Di tempat waktu berhenti, aku sembunyikan suara yang hilang.
Titik nol dua kali, dan di sanalah kau dengar aku.”

“Ini milik Ravindra,” gumam Arka.

Rania mengerutkan kening. “Apa maksudnya titik nol dua kali?”

Arka merenung sejenak, lalu tersenyum tipis. “Jam dua belas malam. Titik nol dua kali. Dan ‘waktu berhenti’... itu mungkin ruang observatorium lama.”

Mereka mengubah arah. Bukan ke lantai tiga seperti dugaannya, tapi menuju ruang observatorium kecil di atap yang sudah lama tak digunakan—tempat di mana dulu Arka dan Ravindra sering bekerja hingga larut malam.

Sesampainya di sana, hanya ada rekaman suara tersembunyi dalam pemutar kaset tua. Arka menyalakannya.

Suara Ravindra mengalun, berat dan tertekan.

> “Jika kamu mendengarkan ini, maka aku sudah gagal untuk bertemu langsung.
Tapi aku tahu kamu tak pernah berhenti mencari jawaban.
Jangan percaya yang kau lihat, Arka.
Tidak semua bukti bicara jujur.
Tidak semua orang bicara demi kebenaran.”

Arka menggenggam erat pemutar kaset itu, sementara Rania memegang bahunya.

Namun dari kejauhan—bukan dari gedung itu, melainkan dari luar pagar universitas—Victor tengah duduk di atas motornya, sedang merokok dan membaca laporan lama yang ia ambil dari ruang penyimpanan bawah tanah kampus.

Matanya berhenti pada satu nama: Arka Pradipta.

Dan satu foto kusam dari rekaman CCTV lama: dua sosok membawa jerigen di malam kebakaran—terpotong setengah, tapi cukup jelas menampilkan siluet yang mirip Ravindra.

Victor menyipitkan mata. “Kalian mulai bergerak, ya…?”

Dia tidak tahu pasti di mana Arka berada malam ini. Tapi firasatnya kuat: misteri ini belum mati. Dan ia akan mulai menyusuri jejak itu, satu per satu.
 

CELAH KECIL DI DINDING YANG TEBAL

Arka tidak pernah benar-benar percaya pada siapa pun. Bahkan dirinya sendiri terkadang terasa seperti teka-teki yang tak ingin ia pecahkan. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa... tidak sendiri.

Mereka duduk berdua di ruang bacaan kecil milik Arka. Lampu meja menyala temaram. Hujan masih turun, tipis-tipis, memantul di kaca jendela seperti melodi pengiring.

Rania sedang menata berkas-berkas tua milik Arka, memilah catatan tangan dari proyek masa lalu. Ia memperhatikan setiap goresan pena, setiap sketsa rancangan alat yang pernah jadi mimpi besar Arka. Ada kagum yang tak bisa ia sembunyikan di matanya.

“Aku heran kenapa kau menyimpan semuanya dengan begitu rapi,” katanya, tersenyum kecil.

Arka mengangkat bahu, lalu meliriknya. “Mungkin... karena aku takut lupa siapa aku kalau semua ini hilang.”

Rania menoleh padanya. “Atau karena kamu masih percaya pada sesuatu, bahkan ketika kamu bilang kamu tidak percaya siapa pun.”

Arka menatapnya beberapa detik, terdiam. Biasanya, komentar seperti itu akan ia anggap sebagai penghakiman. Tapi tidak sekarang. Ada ketulusan dalam nada suara Rania—bukan ingin tahu, tapi ingin mengerti.

“Kenapa kamu tetap di sini, Rania?” tanyanya pelan. “Kenapa repot-repot ikut terlibat dalam semua ini?”

Rania menunduk sejenak, menggulung lengan bajunya, lalu menunjukkan sebuah gelang lusuh berwarna biru muda.

“Dulu... aku pernah melihat kamu membantu anak yang jatuh di halaman kampus. Kamu diam-diam menyelipkan perban di tasnya. Waktu itu aku sadar, kamu bukan orang yang dingin. Kamu hanya tidak tahu caranya bicara.”

Arka tercengang. Ia tidak menyangka ada seseorang yang memperhatikan momen kecil yang bahkan sudah ia lupakan.

Rania tersenyum. “Itu hari di mana aku mulai kagum sama kamu. Sekarang... mungkin giliranku bikin kamu percaya bahwa kamu gak harus sendiri selamanya.”

Untuk pertama kalinya, dinding di dalam diri Arka retak sedikit. Ia tak mengatakan apa-apa. Tapi malam itu, ia membuatkan teh untuk Rania—tanpa diminta. Isyarat sederhana, tapi cukup untuk menyampaikan satu hal:

Kepercayaan sedang tumbuh. Perlahan. Tapi nyata.
 

Disisi lain kegelapan

CAHAYA DALAM BAYANG-BAYANG

Pagi itu, udara terasa seperti dilapisi baja tipis—dingin dan menekan. Victor berdiri bersandar di jendela kantor bawah tanah milik Dwianto, mengamati layar kamera pemantau yang ia pasang diam-diam di beberapa titik universitas.

“Kau terlalu tenang,” katanya tanpa menoleh.

Dwianto menyalakan rokoknya perlahan. “Tenang adalah bentuk tertinggi dari kendali, Vic.”

Victor melemparkan satu foto ke atas meja. Gambar buram, diambil dari kejauhan—menunjukkan Arka dan Rania berdiri di depan ruang observatorium.

“Dia sudah mulai membaca ulang kode-kode lama. Itu berarti dia mendekat ke... Ravindra.”

Dwianto menatap foto itu lama. Lalu tertawa kecil. “Akhirnya si introvert itu bangkit juga.”

“Jangan remehkan mereka. Rania bukan gadis bodoh. Dia tahu banyak hal yang seharusnya tidak dia tahu. Dan Arka... dia punya ingatan yang terlalu tajam untuk dilupakan begitu saja.”

Dwianto bangkit dari kursinya dan memutar layar monitor ke arah Victor. Di situ tampak peta bangunan kampus dan tanda merah di beberapa lokasi—termasuk satu titik di luar kota.

“Ada sinyal lama dari Ravindra,” ucap Dwianto dingin. “Tapi aku akan pastikan mereka tak pernah bertemu.”

Victor melipat tangan. “Kau akan apa?”

Dwianto mendekat, menatapnya lurus. “Buat kebocoran palsu. Sebarkan jejak rekaman manipulasi ke dalam sistem, biar terlihat seperti Ravindra ingin menjebak Arka. Aku ingin Arka ragu pada temannya sendiri.”

Victor tampak ragu. “Dan kalau gagal?”

“Kalau gagal,” Dwianto tersenyum miring, “aku akan bawa cerita ini ke media. Jadikan Ravindra sebagai buronan yang mencuri hasil riset dan membakar gedung. Lalu aku jadi pahlawan yang menyelamatkan warisan ilmiah sekolah ini.”

Hening sejenak. Victor akhirnya mengangguk. “Aku akan mulai gerakkan orang-orangku. Tapi kau harus tahu satu hal...”

“Apa?”

“Kalau Mira sadar, semua akan hancur. Termasuk kamu.”

Wajah Dwianto mengeras sesaat, tapi senyumnya kembali muncul seperti tidak terjadi apa-apa.

“Kalau begitu,” bisiknya, “pastikan Mira tetap tidur.”


JEJAK YANG TERHALANG

Langit mendung menggelayuti kampus tua seperti kain hitam yang belum dicuci. Arka duduk di bangku taman belakang perpustakaan, berhadapan dengan Rania. Di hadapannya, secarik kertas dengan peta lokasi lama tempat penyimpanan berkas arsip internal kampus.

“Gedung B-12,” gumam Rania. “Tempat arsip lama. Kalau Ravindra pernah kirim data atau surat resmi, itu pasti disimpan di sana.”

Arka mengangguk. “Tapi kenapa tiba-tiba akses ke sana dibekukan?”

“Pihak universitas bilang renovasi,” jawab Rania, menekankan ironi di suaranya. “Padahal minggu lalu aku masih bisa masuk.”

Sebelum mereka sempat mendiskusikan lebih jauh, seseorang mendekat pelan—seorang mahasiswa berbadan kurus, mengenakan sweater abu, dengan mata tajam dan tenang.

“Kalau kalian butuh akses ke B-12... sebaiknya hindari jalur utama,” katanya. “Lorong bawah dari lab psikologi bisa tembus ke sana.”

Arka menoleh. “Siapa kamu?”

“Gema. Gema Wiratama,” ucapnya ringan. “Kebetulan aku pernah bantu dosen mengarsipkan data di sana. Lorong itu cuma dipakai teknisi. Tidak dijaga.”

Arka masih menatap Gema curiga, namun Rania bertanya lebih dulu, “Kenapa kamu ingin membantu kami?”

Gema menatap keduanya satu per satu, lalu mengeluarkan selembar potret kecil dari dompetnya. Foto tua—tampak dirinya dan seseorang lain tersenyum, dengan gedung kampus di latar belakang.

“Itu kakakku. Dulu asisten riset di proyek besar Dwianto. Dia hilang setelah kebakaran tiga tahun lalu.”

Diam.

“Namanya Bayu. Tapi namanya gak pernah disebut di berita. Gak ada yang mau membahasnya. Aku ingin tahu... apa yang sebenarnya terjadi.”

Arka tak berkata apa-apa. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasakan sesuatu yang familiar dalam tatapan Gema: kesepian dan kemarahan yang sama.

“Kalau kau bohong...,” kata Arka pelan.

“Aku gak akan datang sendiri ke dua orang yang sedang dikejar bayang-bayang,” Gema menyela. “Aku gak bodoh.”


---

Malamnya, ketika mereka bersiap menyusuri lorong menuju gedung arsip, seseorang diam-diam memantau dari kejauhan.

Victor.

Ia mengangkat ponselnya, mengirim pesan singkat.

> “Mereka sudah bergerak. Dan mereka tak sendirian.”
 

DOSA YANG TERENDAP

Lorong sempit di bawah kampus tua berbau besi dan tanah basah. Cahaya senter dari ponsel Rania menyoroti dinding yang penuh lumut, sementara suara langkah mereka bergema hampa. Arka di depan, Rania di belakangnya, dan Gema membawa peta jalur dari ingatannya.

“Kalau kita belok ke kanan, kita akan sampai ke ruang bekas arsip internal. Tempat Bayu terakhir ditugaskan,” ujar Gema pelan.

Begitu mereka membuka pintu besi yang berkarat, udara dingin menyergap. Ruangan itu dipenuhi tumpukan dokumen, sebagian besar berdebu dan rusak. Tapi di antara tumpukan itu, mereka menemukan sesuatu yang lain—sebuah kotak kayu dengan label "Proyek A-07/B".

Arka membuka isinya perlahan. Di dalamnya, ada bundel laporan teknis... dan sebuah buku catatan kulit.

Gema mengenali tulisan tangan di sampulnya. “Ini milik kakakku...”

Di dalam buku itu, ada catatan harian Bayu—tentang proyek mereka bersama Dwianto, yang ternyata bukan sekadar riset teknologi kampus biasa. Dwianto diam-diam menggunakan proyek itu untuk mengembangkan sistem manipulasi data digital—termasuk simulasi jejak eksperimen, manipulasi laporan laboratorium, dan editing rekaman.

Bayu sempat menulis:
"...Aku menemukan ketidaksesuaian antara hasil uji yang aku buat dan laporan yang Dwianto kirim ke dekan. Dia menghapus data aslinya... dan memasukkan hasil manipulasi. Aku takut... sangat takut. Tapi aku harus melaporkan ini setelah semua bukti lengkap.”

Catatan terakhir berhenti di tanggal seminggu sebelum kebakaran.

Rania memucat. “Jangan-jangan... dia dibungkam.”

Tiba-tiba, suara derit pintu terdengar. Mereka membeku.

Langkah kaki mendekat.

Seseorang menyusup ke lorong itu.

Mereka bertiga buru-buru bersembunyi di balik lemari arsip. Dari celah rak, Arka bisa melihat sekelebat tubuh besar dengan senter menyapu ruangan—bukan penjaga kampus biasa. Orang itu tidak mencari berkas, dia sedang memastikan tidak ada yang melihat sesuatu yang seharusnya tidak dilihat.

Setelah orang itu pergi, mereka pun keluar perlahan. Tapi di dinding belakang ruangan itu, ada sesuatu yang baru—bekas tangan berdarah, seperti seseorang mencoba meninggalkan tanda.


---

Keesokan harinya, kampus diguncang berita kematian seorang teknisi lab tua yang dikenal akrab dengan Bayu—bunuh diri, katanya. Tapi Gema tahu pria itu tak pernah terlihat depresi. Ia baru saja menghubungi Gema dua hari lalu—mengatakan ia masih menyimpan backup data milik Bayu.

“Dwianto sedang menyingkirkan semua yang terhubung ke masa lalu,” kata Gema, matanya tajam.

Dan Arka tahu: sebelum mereka sampai ke Ravindra, mereka harus membuka lapisan kejahatan ini—satu per satu.

Karena kini, bukan hanya soal Mira. Ini soal korban yang tak terdengar, dan kebenaran yang terkubur bersama darah.


JALAN YANG TIDAK ADA KEMBALI

Hujan belum berhenti sejak tadi pagi. Langit seolah ikut berduka.

Arka berdiri di depan rumah Gema, memegang payung hitam. Rania berada di sampingnya, mengenakan sweater tebal dan wajah yang lebih muram dari biasanya. Setelah peristiwa di lorong arsip, mereka tahu: tak ada lagi jalan kembali.

Pintu dibuka perlahan. Gema tampak lelah. Matanya merah, pipinya basah, dan tangannya memegang foto kakaknya—Bayu.

"Masuklah," katanya pendek.

Mereka duduk di ruang tamu kecil, hanya ditemani suara rintik hujan dan jam dinding yang berdetak lambat. Foto-foto lama Bayu terpajang rapi di rak. Salah satunya—Bayu berdiri di samping Dwianto, keduanya tersenyum, seperti tak ada luka yang pernah terjadi.

"Dia bukan cuma kakak," gumam Gema. "Dia satu-satunya orang yang percaya aku bisa jadi lebih dari bayangan orang lain."

Arka mengangguk perlahan. Ia tahu rasa kehilangan itu.

"Mulai sekarang," Arka berkata tenang, "kita harus bergerak. Tapi kita tidak bisa gegabah. Dwianto punya kekuatan, uang, dan dia tahu cara memutarbalikkan kenyataan."

Gema menatapnya dengan mata berkaca. “Apa kau punya rencana?”

Arka membuka tas kecil yang dibawanya. Ia mengeluarkan beberapa dokumen hasil fotokopi dari buku catatan Bayu, salinan email lama, dan foto-foto dari flashdisk misterius yang pernah ditemukan Rania.

“Ini semua bisa jadi fondasi. Tapi belum cukup. Kita perlu tiga hal: informasi, pengamanan, dan cara untuk membocorkan fakta ke publik tanpa bisa dibungkam.”

“Informasi bisa kita dapat dari penyelidikan digital. Aku punya koneksi,” kata Rania pelan, “tapi pengamanan dan penyebaran… kita butuh strategi matang.”

Mereka bertiga saling pandang. Ini bukan lagi sekadar pembalasan. Ini peperangan diam-diam.

Arka menatap meja yang penuh dengan berkas, lalu berkata:
“Kita sebut ini Operasi Bayangan. Setiap gerakan kita harus sunyi, tetapi berdampak.”


---

Malam itu, mereka mulai menyusun struktur:

Arka memegang pusat data dan analisis.

Rania menangani infiltrasi sosial—mengumpulkan kabar, menjalin hubungan diam-diam.

Gema akan menyelidiki orang-orang yang dulu dekat dengan Bayu dan proyek A-07/B.


Di tengah-tengah perencanaan, ada jeda.

Rania menatap Arka. “Kau... yakin kita bisa melawan orang seperti Dwianto?”

Arka memandang ke luar jendela, ke langit yang pekat.

“Dulu aku berpikir semua bisa diselesaikan dengan logika. Tapi ternyata, kadang yang lebih penting adalah... siapa yang berani mengambil langkah pertama.”

Rania tersenyum tipis.

Dan di malam itu, di bawah atap yang basah dan bayang-bayang masa lalu, mereka membentuk sesuatu yang lebih dari sekadar tim. Mereka menjadi satu suara yang tak ingin dibungkam.
 

BANTUAN DALAM SUNYI 

Zona Waktu: Tiga hari setelah kematian Bayu. Lokasi: Sebuah kamar kos tersembunyi di kota kecil.

Ravindra menatap langit-langit kamar kosnya yang gelap dan pengap. Tangannya memegang koran usang—judul kecil di pojok bawah halaman mencuri perhatiannya:

"Mahasiswa Berprestasi Ditemukan Tewas di Asrama. Dugaan Bunuh Diri."

Bayu.
Satu-satunya teman yang pernah ia percayai penuh sejak peristiwa tiga tahun lalu.

Seseorang telah menyingkirkan Bayu—dan Ravindra tahu itu bukan kebetulan.
Setiap orang yang pernah terlibat dalam “Proyek Arka” mulai menghilang, satu per satu.

Dan ia tahu siapa dalangnya. Dwianto.


---

Zona Waktu: Beberapa hari sebelumnya. Lokasi: Sebuah kantor pribadi mewah di kampus.

Dwianto berdiri di balik kaca besar, memandangi langit kampus dari lantai empat. Di tangannya, sebuah map berisi dokumen investigasi pribadi. Foto-foto. Catatan transfer uang. Jejak aktivitas Ravindra yang telah diselidiki diam-diam.

“Temukan dia. Sebelum Arka melakukannya,” ucapnya kepada Victor yang berdiri di belakang, setengah tertunduk.

“Dan jika Ravindra sudah bicara?” tanya Victor, hati-hati.

Dwianto berbalik, menatap tajam.
“Pastikan dia tidak akan sempat.”


---

Zona Waktu: Malam yang sama. Lokasi: rumah Gema

Sementara itu, di rumah Gema, Arka dan Rania sedang duduk berdampingan. Di antara mereka, potongan dokumen yang tidak lengkap—berkas riset yang rusak, ditemukan dalam amplop tanpa nama.

“Aku yakin ini bukan dari sembarang orang. Gaya pengetikan, formatnya… terlalu familiar,” kata Arka sambil mengamati detail. “Ini… seperti salinan dari catatan riset kita dulu.”

“Kalau begitu seseorang di dalam proyek itu yang memberikannya,” kata Rania.

“Ravindra,” jawab Arka lirih.

“Bagaimana kalau kita coba menghubungi dia lagi?”

Arka menggeleng. “Sudah. Nomornya tak aktif. Jejak digitalnya nyaris nihil. Seseorang menyembunyikannya.”

Gema masuk, membawa laptop. “Atau mungkin bukan dia yang bersembunyi… tapi dia yang disembunyikan.”

Mereka saling pandang. Hening menyelimuti ruangan. Rania lalu berkata, “Kita harus bergerak lebih cepat sebelum Dwianto menemukannya duluan.”


---

Zona Waktu: Keesokan pagi. Lokasi: Jalan sempit di dekat pasar kota kecil

Ravindra berjalan cepat dengan hoodie menutupi wajahnya. Ia merasa ada yang mengikutinya.

Langkah-langkah tak dikenal menggema di belakang. Bukan pembeli biasa. Bukan warga lokal.

Ia berbelok ke gang sempit, menyelipkan sesuatu ke balik dinding berlubang: sebuah kertas kecil, dilipat rapat, tertulis dengan kode angka dan nama samar.
Lalu ia berlari.

Di ujung gang, sesosok pria tinggi berbaju hitam berhenti, memandang lubang di dinding yang baru saja disentuh Ravindra.
Ia menyalakan alat komunikasi.

“Target terlihat. Dia sedang mencoba mengirim sesuatu.”

PETUNJUK DALAM KERAMAIAN

Zona Waktu: Dua hari setelah malam bersama Gema. Lokasi: Pasar Tradisional Kota Pinggiran

Langit pagi itu abu-abu. Gerimis ringan membasahi trotoar, menciptakan genangan kecil di sela-sela batu tua yang retak. Pasar di kota kecil itu riuh oleh teriakan pedagang dan aroma rempah yang tajam. Di tengah keramaian itu, Arka dan Rania berjalan menyusuri lorong sempit sambil berpura-pura berbelanja.

Rania mengenakan hoodie abu, menutupi sebagian wajahnya. Di tangannya, secarik kertas dari Ravindra — potongan kode samar:
RN-17.5 — SUDUT-BERLIAN / ME-8

“Saya rasa ini bukan sembarang kode angka,” gumam Arka sambil memandang sekeliling. “Kau lihat toko itu?”

Rania mengikuti arah pandangnya. Sebuah kios kecil bernama Sudut Berlian, terpajang lusuh di sisi utara pasar. Di depannya berdiri seorang pria tua sedang menata barang bekas di etalase.

Mereka mendekat, berpura-pura melihat-lihat. Di sudut meja, Rania melihat sebuah ukiran kayu kecil berbentuk setengah mata — seperti simbol aneh yang muncul di banyak dokumen lama proyek milik Arka dan Ravindra dulu.

“Pak, ini ukiran dari mana?” tanya Rania, suara gemetar.

Pria tua itu menatapnya. “Itu… dititipkan seseorang seminggu lalu. Katanya, jika ada yang bertanya tentangnya dan menyebut ‘ME-8’, aku boleh menyerahkan ini.”

Ia membuka laci kayu di bawah meja dan mengeluarkan sebuah amplop kecil dengan segel merah.
Rania menerimanya dengan tangan bergetar.

Saat mereka menjauh dari kios dan berbelok ke gang sepi, Arka membuka amplop itu perlahan. Isinya:

Sepotong peta kecil dengan lingkaran di satu wilayah terpencil

Satu potong kertas berisi kalimat tulisan tangan:


> “Aku tidak bisa muncul sekarang. Tapi aku mengawasi. Jangan percaya pada apa yang terlihat. Jangan datang sendirian.”
– R

Dan di balik kertas itu, tertulis samar dengan tinta pudar:
“Mereka mulai menghapus kami.”

Rania terdiam lama. Wajahnya pucat. Arka meletakkan tangannya di bahu Rania dengan lembut.

“Itu tulisan Ravindra. Aku mengenal caranya menyusun huruf...”

Rania menunduk. Matanya berkaca. “Jadi dia hidup... Dia benar-benar hidup...”

“Dan dia sedang dikejar,” bisik Arka. “Kita harus segera pergi ke titik di peta ini. Tapi dengan hati-hati. Jika Dwianto tahu lebih dulu—”

Tiba-tiba dari kejauhan, seorang anak kecil yang berlari menyenggol bahu Rania. Saat itu, selembar foto kecil terjatuh dari saku anak itu. Arka memungutnya. Foto usang, berwarna pudar.
Victor. Bersama dua orang asing — satu di antaranya mengenakan lencana institusi.

Arka dan Rania saling pandang. Kebetulan? Atau… bagian dari pengawasan?
 

JEJAK YANG TERCIUM

Zona Waktu: Hari yang sama, lokasi berbeda – pinggiran desa dekat batas kota

Ravindra berdiri di balik tirai tipis, mengamati jalan tanah berlumpur yang sepi di luar rumah panggung kecil tempat ia bersembunyi. Suara angin menggoyang pepohonan, membawa aroma basah hujan semalam. Ia tak pernah merasa aman, bahkan untuk sesaat pun. Hidupnya kini bukan tentang hari esok, tapi tentang bisa bertahan satu jam lagi.

Di sudut meja kayu yang mulai lapuk, ada potongan koran yang sudah usang: wajah Dwianto, tersenyum lebar saat mengumumkan keberhasilan riset teknologi terbaru di hadapan media.

Ravindra mengepalkan tangannya. Di bawah senyum itu, tertulis hasil riset bersama yang dulu ia dan Arka ciptakan dengan susah payah. Semua dicuri. Semua dimanipulasi.

Suara motor terdengar dari kejauhan.

Ia segera meraih tas kecil di bawah ranjang, mengambil flashdisk duplikat yang ia simpan untuk berjaga-jaga. Itu satu-satunya bukti yang menghubungkan Dwianto dengan konspirasi besar, termasuk manipulasi data dan kebakaran gedung tiga tahun lalu.

Lalu terdengar suara—ketukan halus di pintu belakang. Bukan pintu depan.

Seketika tubuh Ravindra menegang.

Ia menyusup ke balik dapur, mengambil pisau tumpul yang ia siapkan hanya untuk pertahanan. Ketukan berubah menjadi ketukan tiga kali cepat, dua kali lambat. Sebuah pola aneh.

Ia diam.

Lalu suara terdengar, rendah dan berat, nyaris seperti bisikan:

> “Kami tahu kau ada di sana, Ravindra. Waktumu habis. Serahkan apa yang kau simpan.”

Ravindra menggigit bibirnya. Itu suara Tama, salah satu anak buah Dwianto yang dulu ia lihat di lab rahasia universitas.

Tama tak sendiri. Dari celah papan kayu, Ravindra bisa melihat bayangan tiga orang. Satu dari mereka menyalakan rokok, sementara satu lainnya meletakkan sesuatu di tanah—botol kaca berisi cairan bening.

> “Kau tidak akan keluar dari sini hidup-hidup, kalau tidak menyerahkan rekamannya.”

Ravindra tahu dia tak bisa melawan langsung. Ia merogoh kantong jaket—mengeluarkan potongan kertas kecil yang bertuliskan sesuatu dalam sandi lama. Itu salinan kode yang pernah ia kirim ke Rania dan Arka.

> “Jika aku tertangkap, kalian harus temukan mereka sebelum mereka menemukan aku.”

Ia menatap flashdisk itu sejenak, lalu menyelipkannya ke dalam kantong tersembunyi di bawah lantai papan.

Langkah kaki mendekat. Lantai depan berderit pelan.

Ravindra menarik napas dalam, menyiapkan dirinya untuk kabur lewat jendela kecil di belakang. Tapi sebelum itu, ia mengucapkan satu doa singkat—dan berharap orang-orang yang pernah ia sakiti… kini bersedia menyelamatkannya.

 
Beberapa hari setelah mendapatkan amplop terakhir, Arka dan Rania kembali ke pasar kecil di kota pinggiran—tempat mereka dulu membeli kertas dan tinta untuk proyek riset. Kali ini, tanpa alasan yang jelas, Rania merasa tertarik pada penjual buku tua di ujung pasar. Ia merasa seperti pernah melihat sesuatu di sana—sebuah kenangan samar dari masa kecil bersama kakaknya.

Rania mendekati kios buku itu. Saat membolak-balik buku tua dengan tulisan tangan usang, ia menemukan secarik kertas terselip. Bukan sekadar kertas biasa—itu halaman jurnal dengan tulisan tangan Ravindra. Di pojoknya tertulis:

> “Kamu sudah sampai sejauh ini, Rania. Kadang, jawaban tidak ditemukan di puncak menara—tapi di antara bisikan-bisikan sunyi tempat kenangan disimpan.”

Di bagian bawahnya tertulis:
“Warung Ibu Lestari – Jalan Anyelir No. 17”

Arka dan Rania terdiam. Itu adalah warung langganan mereka saat masih bersama Ravindra, tempat yang dulu mereka kunjungi ketika bertiga bekerja lembur.



Bayangan yang Mengikuti

Langit sore mendung saat Arka dan Rania sampai di Jalan Anyelir. Di antara deretan rumah tua dan pepohonan yang menguning, terlihat papan kayu lusuh bertuliskan “Warung Ibu Lestari.” Warung itu kecil, sederhana, dan tampak hampir tak terurus—seperti disimpan dari waktu ke waktu.

Mereka melangkah masuk dengan perasaan asing namun akrab. Ibu Lestari, wanita tua dengan kerudung pudar, menyambut mereka dengan tatapan mengenal.

> “Rania...? Sudah besar kau… Kau dulu sering kemari, sama kakakmu dan si anak pendiam satu itu…”

Rania tersenyum canggung. “Kami… mencari kakakku, Bu. Ravindra. Apa dia ke sini?”

Ibu Lestari menghela napas. “Dia mampir… mungkin seminggu lalu. Titip sesuatu untuk kalian berdua.”
Dari bawah meja, ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil—di atasnya terukir lambang bunga anyelir, simbol yang hanya mereka bertiga pahami.

Namun sebelum Arka membuka kotak itu, suara lonceng pintu warung berdentang. Seseorang masuk. Langkahnya pelan. Nada sepatunya berat. Rania menoleh… dan wajahnya menegang.

Victor.

Ia seolah terkejut melihat mereka di sana. Tapi senyum kecil segera terbentuk di bibirnya—senyum yang tidak sepenuhnya ramah.

> “Wah… kebetulan sekali. Kalian juga suka tempat terpencil, rupanya.”

Arka langsung berdiri, mencoba menyembunyikan kotak itu di balik tubuhnya. Tapi Victor tak tertarik pada benda itu. Matanya hanya menatap Rania. Lalu bergeser ke Ibu Lestari.

> “Warung ini… tempat nostalgia ya? Sayang, nostalgia sering membuat orang lupa kalau ada yang mengawasi dari jauh.”

Keheningan menegang. Arka bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Mereka belum tahu apa yang Victor tahu, atau apa yang dia cari. Tapi satu hal pasti: ini bukan kebetulan.

Victor merogoh kantongnya perlahan, lalu meletakkan secarik kertas di meja.

> “Kalian pikir kalian mengejar kebenaran. Tapi hati-hati… karena kadang, kebenaran mengejar kalian lebih dulu.”

Lalu ia berbalik dan pergi, meninggalkan suara pintu yang tertutup pelan… dan ketegangan yang tidak ikut menghilang.
 

Retakan di Tengah Bayangan

Langit telah gelap ketika mereka meninggalkan warung itu. Hujan tipis turun, membasahi tanah dan menyelimuti jalanan dengan aroma tanah yang getir. Mereka berjalan tanpa kata menyusuri gang sempit menuju penginapan kecil tempat mereka menginap. Kotak kayu masih erat di tangan Arka, namun pikirannya jauh lebih berat dari benda itu.

Sesampainya di kamar, Arka meletakkan kotak itu di meja dan duduk di tepi ranjang. Rania menyusul, menatapnya dalam diam. Tapi Arka tak menatap balik. Ia justru menunduk, mengusap wajahnya yang penuh keringat dingin.

> “Kita tidak boleh teruskan ini,” katanya akhirnya, suaranya serak namun tegas. “Apa yang kita lakukan… sudah melewati batas. Ini bukan hanya soal mencari Ravindra atau mengungkap kebenaran. Ini… bisa membunuhmu, Rania.”

Rania terdiam. Ia menunggu, berharap Arka akan melanjutkan dengan sesuatu yang lebih ringan. Tapi tidak ada.

> “Kamu lihat sendiri siapa yang muncul tadi. Victor. Kalau dia ada di sana, itu berarti Dwianto tahu langkah kita. Kita diawasi. Diikuti. Aku nggak bisa biarkan kamu terus dalam bahaya.”

Rania menatap Arka dengan luka di matanya. “Jadi… maksudmu, aku mundur dan biarkan kamu hadapi ini sendiri?”

> “Iya,” jawab Arka lirih. “Lebih baik begitu.”

Suasana hening. Rania berdiri perlahan. Suaranya bergetar saat akhirnya ia bersuara, “Arka… kamu bilang percaya padaku. Tapi setiap kali semuanya mulai sulit, kamu selalu ingin menjauh.”

> “Ini bukan soal kepercayaan,” tukas Arka cepat. “Ini soal keselamatanmu. Kamu bukan aku. Kamu nggak terbiasa hidup dalam bayang-bayang seperti ini.”

> “Tapi kamu lupa satu hal,” ucap Rania, kini dengan nada lebih tajam. “Aku di sini bukan karena aku harus. Aku di sini karena aku ingin. Aku ingin bantu kakakku, dan aku ingin bantu kamu—karena aku percaya kamu butuh orang lain, meskipun kamu nggak pernah mau mengakuinya.”

Arka menunduk. Kata-kata Rania menancap dalam. Tapi ia tetap diam.

> “Kalau kamu benar-benar ingin aku pergi, aku akan pergi,” kata Rania, matanya basah. “Tapi bukan karena aku takut. Karena kamu tidak membiarkanku ada.”

Ia mengambil jaketnya, lalu melangkah ke luar kamar. Pintu tertutup pelan, tapi gema emosi yang tertinggal seolah membantingnya berkeping-keping.

Arka tetap duduk diam. Dadanya sesak, seolah ada dua suara di kepalanya yang saling bertarung: satu meminta melindungi, satu lagi meminta percaya.

Dan di atas meja… kotak kayu itu masih belum terbuka.

 

__

JEBAKAN DI BALIK JANJI

Hujan turun di malam yang dingin, membasahi jalanan sempit di sekitar kampus yang kini hampa. Arka berjalan sendiri, pikiran terombang-ambing antara rasa bersalah dan kekhawatiran akan masa depan. Di balik bayang-bayang, ia merasa seolah-olah selalu diawasi, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda: sebuah janji yang seharusnya memberinya harapan.

Di sebuah kafe kecil yang redup, Gema sudah duduk menunggu. Wajahnya tampak ragu, namun matanya menyala oleh kilatan ambisi yang baru. Hanya beberapa hari yang lalu, ia menerima sebuah undangan resmi—dengan nama alias yang tak pernah ia duga—untuk bergabung dalam sebuah proyek “inovatif” dari pihak yang dipercaya memiliki kekuatan besar di dunia riset. Tawaran itu terselubung kemewahan dan kesempatan besar, yang seolah menjanjikan jalan keluar dari kesendirian dan keraguan dirinya.

Saat Arka tiba, Gema berdiri menyambut dengan senyum yang terpaksa. “Arka, senang akhirnya kita bisa bertemu. Kau pasti sudah dengar tentang proyek ini?”

Arka menatapnya tajam, seolah mencoba membaca di balik kata-kata. “Kau berubah, Gema. Aku tahu kau punya ambisi, tapi proyek ini… rasanya seperti dipenuhi janji manis yang tidak mungkin ditepati. Dapatkah kau jelaskan lebih lanjut?”

Gema menunduk sejenak. “Aku… aku juga bingung. Tawaran itu datang dari pihak yang punya reputasi tinggi. Mereka ingin mengeksplorasi teknologi baru, riset yang katanya bisa merevolusi bidang kita. Mereka menggunakan nama ‘NovaTech Research’ sebagai payung. Aku pikir, dengan bergabung, aku bisa membawa perubahan, dan—” Suaranya tertahan, sedangkan matanya berkaca. “—aku percaya bahwa ini bisa menjadi titik balik bagiku.”

Di sudut ruangan, Arka mendengarkan dengan hati-hati. Di balik kegembiraan Gema, Arka merasakan sesuatu yang tidak beres. Ia teringat pesan-pesan samar sebelumnya, jejak-jejak yang menunjukkan bahwa proyek besar itu memiliki sisi gelap—sebuah rancangan yang seolah dirancang untuk menjauhkan mereka dari kebenaran dan menenggelamkan suara-suara yang berani mencari.

“Gema,” ujar Arka pelan, “aku tahu keinginanmu untuk maju. Tapi kau tidak bisa terbuai oleh iming-iming itu. Ada banyak hal yang belum kita pahami tentang siapa yang sebenarnya berada di balik proyek ini.”

Gema menatap Arka, raut wajahnya bergeser antara kebimbangan dan keberanian. “Arka, kau terlalu skeptis. Aku hanya ingin percaya bahwa ada kesempatan untuk mengubah keadaan.”

Sementara Arka dan Gema tengah terjebak dalam percakapan yang tegang, di luar kafe, seseorang sedang menyelinap di antara kerlip lampu jalan. Victor, yang selama ini bergerak di balik layar, telah mendengar setiap kata. Ia mengakses ponselnya, mengirim pesan singkat kepada Dwianto yang kini telah bersiap dengan rencana rahasia.

Pesan itu berbunyi singkat:

> “Gema sudah terpengaruh. Proyek NovaTech sudah memasuki tahap awal. Siapkan langkah selanjutnya.”

Dalam sekejap, Dwianto merespons dengan dingin:

> “Pastikan Gema mendekat. Jangan sampai Arka dan Rania tahu. Setelah itu, kita mulai menyingkirkan gangguan mereka.”

Kafe itu menyimpan keheningan yang mencekam. Arka, yang sejak tadi memperhatikan reaksi Gema, menyadari sesuatunya mulai bergeser. Ia merasakan ada kekuatan besar yang mencoba memisahkan mereka—menciptakan jarak yang akan membuat kebenaran semakin sulit untuk tersampaikan.

“Gema,” ujar Arka, “aku minta kau pikirkan lagi. Ini bukan tentang ambisi pribadi, tapi tentang keselamatan kita semua. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam skema besar yang tidak pernah aku setujui.”

Gema terdiam. Suasana kafe yang semula penuh harapan kini berubah menjadi medan pertarungan batin. Sementara hati Gema terpaut antara mimpi yang menjanjikan kemajuan dan rasa was-was karena peringatan keras Arka, Victor dan Dwianto sedang merencanakan langkah selanjutnya di balik bayang gelap dunia riset yang penuh tipu daya.

Retakan Halus dan Langkah Diam

“…Kau pikir aku bodoh, Arka?” suara Gema bergetar. “Aku ikut bersamamu sejauh ini, bahkan kehilangan banyak hal… tapi ketika akhirnya aku melihat secercah jalan untuk membuktikan bahwa aku bisa juga berdiri sendiri—kau justru menuduhku akan menyerah begitu saja pada jebakan?”

Arka terdiam. Ia tahu Gema sedang terluka, bukan karena proyek itu semata, tetapi karena kepercayaan di antara mereka mulai retak. “Bukan itu maksudku, Gema. Aku hanya—”

“Tidak, Arka,” potong Gema, nada suaranya dingin. “Kau tidak pernah benar-benar percaya padaku, bukan?”

Di balik kaca kafe yang berkabut, Rania memperhatikan mereka dari kejauhan. Ia tidak ingin menguping, tapi sorot mata Gema yang kecewa membuat hatinya ikut mengencang. Ia tahu betul, inilah celah yang sedang ditunggu oleh musuh mereka—Dwianto hanya butuh satu retakan kecil, dan ia bisa meruntuhkan semuanya.

Rania meraih ponselnya, menuliskan catatan singkat:

> Langkah 1: Lacak riwayat proyek NovaTech.
Langkah 2: Dekati Gema tanpa konfrontasi.
Langkah 3: Ciptakan kembali kepercayaan.

Ia tahu Arka lebih cenderung menggunakan logika dan data, sementara Gema adalah sosok emosional yang butuh diyakinkan dengan keyakinan dan perasaan. Maka Rania memutuskan, ia sendiri yang akan bergerak.

Tak lama setelah Arka keluar dari kafe, Rania menghampiri Gema. Ia tidak langsung membahas proyek itu, hanya duduk dan memesankan teh hangat.

“Kadang, Arka bisa terlalu keras,” ucap Rania lembut, membuka percakapan. “Tapi aku tahu dia hanya takut kehilangan. Kita semua sedang takut kehilangan.”

Gema menunduk. “Aku cuma… ingin punya pilihan, Ran. Aku lelah jadi bayangan kalian.”

“Aku mengerti.” Rania tersenyum tipis. “Tapi jika proyek ini betul-betul penting bagimu… bagaimana kalau kita investigasi sama-sama? Bukan untuk Arka, tapi untukmu sendiri. Bukankah lebih baik kau tahu kebenarannya sebelum menyerahkan semuanya?”

Gema terdiam. Keraguannya masih ada, tapi kata-kata Rania membuka celah baru. Celah yang bisa menjadi jalur penyelamatan—bukan hanya bagi Gema, tapi bagi misi mereka secara keseluruhan.

Sementara itu, di markas tersembunyi milik Dwianto, Victor menyampaikan perkembangan:

> “Gema mulai goyah. Arka dan Rania terlibat konflik kecil. Tapi kita belum bisa menyerang. Kita tunggu—sampai Gema berpihak penuh pada kita.”

Dwianto menyeringai. “Beri mereka waktu untuk hancur dari dalam.”
 

Jejak yang Tersisa

Beberapa hari setelah pertemuan di kafe, Rania dan Gema memutuskan untuk menyelidiki proyek yang ditawarkan Dwianto. Rania berpura-pura mendukung keinginan Gema sepenuhnya, sembari mengarahkan pencarian ke jalur yang lebih aman dan jujur.

Penyelidikan mereka membawa mereka ke sebuah nama: Yasmin Alifah—mantan kekasih Bayu, dan salah satu mahasiswa jenius dalam bidang teknologi etika dan keamanan data. Yasmin sempat menghilang dari dunia akademis setelah kabar kematian Bayu menyebar.

Gema memutuskan untuk menemuinya lebih dulu, tanpa memberitahu Arka. Saat ia tiba di sebuah perpustakaan komunitas kecil di pinggiran kota, Yasmin sedang merapikan rak-rak buku usang.

“Yasmin?” tanya Gema ragu.

Wanita itu menoleh, matanya tajam dan penuh kewaspadaan. “Siapa kamu?”

“Aku... teman Bayu. Juga... teman Arka. Kami sedang menyelidiki sesuatu yang mungkin berhubungan dengan kepergian Bayu.”

Yasmin menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kalau kamu datang karena proyek NovaTech... jangan percaya mereka.”

Gema menegang. “Kamu tahu soal itu?”

Yasmin mengangguk. “Bayu sempat curiga dengan percobaan manipulasi data yang dilakukan diam-diam oleh Dwianto. Aku masih menyimpan beberapa berkasnya. Tapi... Bayu mati karena terlalu dekat dengan kebenaran.”

Ia menyerahkan sebuah map kecil berisi hasil investigasi pribadi Bayu. Di dalamnya ada catatan yang mengindikasikan bahwa NovaTech adalah proyek “cuci tangan”—hasil riset Arka dan Bayu yang dialihkan agar Dwianto bisa mengklaim semua sebagai miliknya, sekaligus mengubur segala kegagalan etis yang pernah mereka lakukan.

Gema merasakan perutnya mual. Ia mengingat kembali kata-kata Arka. Ia mungkin terlalu cepat kecewa. Tapi...

“Aku butuh waktu, Yasmin. Aku... tak tahu siapa yang bisa kupercaya.”

Yasmin menatapnya dengan lembut. “Kalau kau benar-benar peduli pada kebenaran, kau akan tahu ke mana harus melangkah. Jangan jadi seperti aku—menyesal karena terlambat.”


---

Di tempat lain, Rania sedang diam-diam memeriksa kembali pesan-pesan lama Bayu di laptop lama milik Arka yang berhasil ia perbaiki. Ada sebuah pesan tersembunyi, dengan format terenkripsi sederhana. Ketika Rania berhasil membukanya, hanya satu kalimat yang muncul:

> “Jika kamu membaca ini, itu artinya aku gagal. Tapi mereka belum menang.”

Rania terdiam. Matanya memanas.

Ia tahu, ini baru permulaan dari badai besar.
 

Jejak yang Ditinggalkan Bayu

Suasana koridor fakultas teknik terasa asing bagi Yasmin. Sudah hampir dua minggu sejak Bayu ditemukan tak bernyawa, dan kini ia kembali bukan sebagai mahasiswa, melainkan sebagai pencari kebenaran.

Di tangannya, surat tua dengan goresan tinta hitam masih terlipat rapi. Isinya sederhana, namun berat:
"Yang kau cari ada di berkas tua ruang arsip fakultas teknik. Tapi tidak semuanya milik Dwianto."

Yasmin menyusuri lorong sempit menuju ruang arsip. Kunci kombinasi yang diganti tiap semester ternyata masih menggunakan sandi lama. Ia memasukkan tanggal kelahiran Bayu—dan pintu berderit terbuka.

Rak-rak besi berkarat menyimpan dokumen berdebu, seakan waktu sengaja membiarkannya terlupakan. Ia mencari label "Proyek Energi Mandiri 07-A", kode yang pernah disinggung Bayu sebelum menghilang.

Sampai akhirnya—ia menemukannya.

Map cokelat dengan cap buram bertuliskan "RAHASIA – MITRA INDUSTRI LENTERA KORP". Di dalamnya, catatan eksperimen Arka, konsep dasar yang pernah dipresentasikan ke kampus, dan salinan memo internal—salah satunya berbunyi:

> “Penelitian Arka memiliki potensi mengganggu investasi sektor energi fosil. Jika perlu, arahkan ulang proyek dan kendalikan sumber manusianya melalui pendekatan loyalitas—gunakan Dwianto.”
— Dr. Adrian Thalib, Konsultan Energi, Lentera Korp.

Yasmin terdiam. Dwianto bukan dalang utama. Ia hanyalah alat—dimanfaatkan oleh perusahaan besar untuk membungkam ide-ide yang dianggap mengancam.

Ia segera keluar dari ruang arsip dengan nafas memburu, lalu menghubungi Rania menggunakan akun email anonim. Di dalam emailnya, ia menulis:

> "Rania, aku tahu kamu bersama Arka. Aku menemukan sesuatu. Bayu tidak bunuh diri—dia tahu terlalu banyak. Temui aku di taman bawah menara jam, pukul 5 sore. Jangan bawa siapa pun."


---

Sore itu, Menara Jam Kampus

Rania berdiri gugup sambil memandang jam tua yang berdentang pelan. Saat Yasmin muncul dengan ransel lusuh dan mata lelah, ia tahu ini bukan pertemuan biasa.

"Aku tahu siapa yang sebenarnya membunuh Bayu," bisik Yasmin, menyerahkan map kepada Rania.

"Ini bukan hanya tentang Dwianto. Mereka membiayai proyek, lalu mencurinya. Saat Bayu ingin bicara, mereka buat dia terlihat gila… lalu menghilang."

Rania membuka map. Matanya membesar melihat memo dan catatan. Ia merasa ngeri—bukan karena kebohongan Dwianto, tapi karena ada sesuatu yang lebih besar, lebih kejam, dan lebih tersembunyi.

"Rania," ucap Yasmin lirih. "Jika kita melawan mereka, kita mungkin akan hancur. Tapi kalau kita diam… Arka bisa jadi orang berikutnya."

BAB KHUSUS: Kabut di Balik Menara

Gedung Lentera Korp – Lantai 47, Jakarta

Cahaya remang menembus kaca kantor mewah dengan pemandangan kota yang mulai gelap. Di ujung ruangan, Dr. Adrian Thalib duduk tenang, jari-jarinya mengetuk permukaan meja kaca. Di hadapannya, tiga pria bersetelan rapi menatap layar yang menampilkan wajah-wajah yang selama ini mereka amati: Arka, Rania, Yasmin, dan… Ravindra.

"Proyek E-07 akan jadi wajah kita ke publik bulan depan," ujar salah satu pria, yang diketahui bernama Jonathan—Direktur Strategi Media Lentera Korp.

"Dan bocah-bocah ini mulai menyadari sesuatu yang tidak seharusnya mereka tahu," sahut pria lain, sekretaris eksekutif bagian keamanan internal.

Dr. Adrian mengangguk. "Karena itu kita harus gunakan opsi lunak dan keras sekaligus."

Ia menekan tombol di bawah meja. Pintu terbuka. Dwianto masuk, wajahnya kusut. Tak ada lagi ketegasan seperti dulu—yang tersisa hanya kecemasan dan rasa terjebak.

"Pak Adrian… saya sudah mencoba mengarahkan mereka. Tapi Ravindra—ia menghilang. Arka dan Rania sulit dikendalikan. Dan kini mereka mulai menggali tentang Bayu—"

"Karena kau ceroboh," potong Adrian tajam. "Kau berpikir bisa main dua sisi. Tapi ingat, tanpa backing kami, kau hanyalah dosen tua yang punya reputasi busuk."

Dwianto menunduk.

"Berikan kami hasil uji coba itu. Jangan ganggu jalur promosi kami. Dan tentang Arka—kami akan urus sendiri. Dengan atau tanpa cara yang kau sukai."

Jonathan menambahkan, "Kami sudah menyiapkan tim PR untuk memutar balik narasi, jika diperlukan. Tapi kita juga akan menyebarkan skandal kecil: bahwa Arka menjual data riset ke pihak asing. Kita framing sebagai pengkhianatan mahasiswa idealis yang haus popularitas."

Dr. Adrian berdiri. Ia berjalan mendekati jendela dan memandang langit Jakarta.

"Jika kita gagal, dunia akan tahu bahwa energi masa depan tak layak dikuasai oleh pemuda-pemuda emosional. Tapi jika kita berhasil… maka dunia akan tahu nama Lentera Korp sebagai penemu energi abadi."

Ia menoleh ke Dwianto.

"Kau pilih berdiri di sisi mana, Dwianto?"

Dwianto tak menjawab. Tapi di dalam benaknya, kekacauan mulai membesar. Ia tak pernah mengira bahwa persekutuan ini bisa sejauh dan segelap ini.


---

Sementara itu – Ruang Server Lentera Korp

Di ruangan tersembunyi di lantai bawah tanah, seorang teknisi muda bernama Laras—diam-diam mencuri data log rekaman internal perusahaan. Ia adalah salah satu murid Arka dulu, yang kini bekerja di Lentera Korp karena beasiswa internal.

Malam itu, saat semua orang sibuk membicarakan uji coba, Laras menemukan folder rahasia dengan nama: "Bayu: Sequence Terminated".

Ia menelan ludah. Di dalamnya, tersimpan rekaman percakapan antara Bayu dan Dr. Adrian—dua hari sebelum Bayu dinyatakan bunuh diri.

"Jadi kamu menolak penawaran kami, Bayu?"

"Aku tak bisa. Riset ini bukan milik kalian. Ini tentang masa depan."

"Terlalu buruk, Bayu. Kami sudah siapkan segalanya… termasuk bagaimana cara dunia mengingatmu."

Klik.

Laras memandangi layar dengan jari gemetar. Ia tahu, hidupnya berubah malam itu. Dan mungkin, ia harus memilih keberanian… atau keselamatan.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Langkah Yang Hilang V 1
0
0
(B / Sinopsis Singkat)“Langkah yang Hilang” adalah kisah tentang kehilangan, luka, dan keberanian untuk membuka hati kembali.Alya, seorang wanita muda yang dulu penuh ambisi, kini hidup dalam bayang-bayang trauma. Setelah kecelakaan yang membuatnya lumpuh—akibat pengkhianatan dari orang yang paling ia percaya—dunia terasa mengecil. Ia menjauh dari segalanya: pekerjaan, cinta, bahkan dirinya sendiri.Hingga hadir Rio, pria polos dan ceria yang datang tanpa janji apa-apa. Bukan dengan kata-kata manis, tapi dengan kehadiran yang konsisten. Rio bukan pahlawan. Ia sendiri masih belajar memahami hidup, dan kadang terlalu mudah goyah. Tapi justru di situlah letak kekuatannya: ia manusia biasa, yang memilih untuk tetap tinggal meski tidak diminta.Bersama, mereka bukan mencoba menyembuhkan masa lalu—melainkan belajar hidup dengan luka itu, tanpa membiarkannya jadi penjara.Sebuah kisah romansa modern tentang dua jiwa yang tersesat, dan menemukan arah dalam satu sama lain.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan