Tuan Putri dan Cowok Bayaran - CHAP 6 - 7

0
0
Deskripsi

Chap 6 : Kencan Ru (3)

Chap 7 : Pertemuan Pertama

 

6. Kencan Ru (3)

“Eh!” Ru kaget dengan aksi Jen. Ia langsung berusaha bangkit. Bisa gawat ini kalau diteruskan.

Namun wanita ini cepat cepat mendorong tubuhnya sehingga Ru kembali terbaring di kasur empuk ini.

'Gawat. Gawat. Gawat. Kak Jen beneran deh. Bisa kebablasan ini. Dikira aku cowok jadi-jadian apa? Aku kan cowok betulan yang punya nafsu juga,' batin Ru sambil menahan diri.

“Kenapa Ru? Kok panik?” goda Jen. Jen sengaja bergerak gerak di posisi sensitif ini, sehingga memperparah kepanikan pria ini.

“Sudah cukup ya. Aku… aku…”

Jen merasa terhibur melihat ekspresi Ru yang panik. “Tidak perlu ditahan kalau tidak kuat. Ayo lakukan. Kau tau kan aku juga sudah bukan perawan. Aku tidak keberatan kok.” Rayu Jen, sengaja makin menggoda. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Ru, dan...

"Cup." Wanita tiga puluh tahunan itu mengecup pipi pria berseragam sekolah itu. Bahkan setelahnya, Jen bersiap membuka kaos pendek yang dipakainya. Sengaja.

“Ti-Tidak. Tidak. Tidak.” Ru memejamkan matanya saat melihat wanita di depannya ini seperti mau beraksi lebih.

"Jangan kak. Bisa bahaya ini."

'Blush' wajah pria ini juga makin memerah. Mungkin karena keadaan yang makin panas.

Jen makin menahan tawanya. Pria di depannya ini memang menggemaskan, mirip seperti anak kecil yang polos.

"Tidak... Tidak... Jangan...," racau Ru sambil memposisikan tangannya di depan dada, seperti posisi berjaga-jaga. Dikiranya Jen mau menyerangnya mungkin ya.

Jen tertawa tanpa suara melihatnya. ‘Ck ck ck... Kau hebat juga bisa menahan semua ini. Kalau pria lain, ugh pasti sudah kalap. Aku kan sudah pengalaman dengan pria lain. Kau memang anak yang baik Ru.’ Jen jadi merasa tak tega mengerjai Ru lebih lanjut.

Perlahan Jen bangkit dari posisinya. Sebenarnya ia memang hanya ingin menggoda saja sih. Ia juga sudah beberapa kali mencoba menggoda Ru. Tapi pria ini belum pernah jatuh pada godaannya. Padahal Jen berharap pria ini jatuh tergoda. Ru itu tipe pria impiannya.

Jen duduk di samping Ru, mengusap usap rambut halus pria itu.

"Jangan..." Ru masih meracau sendiri dengan mata tertutup.

"Iya... iya.. Aku berhenti nih," balas Jen.

Benar saja, Ru merasa tidak terjadi apa apa lagi setelah itu. Sepertinya keadaan sudah aman. Tidak ada sentuhan sentuhan panas lagi selain usapan di rambutnya.

Perlahan Ru membuka matanya dan mengedipkan mata beningnya. Ru menghembuskan napas lega melihat keadaan yang tampaknya sudah normal.

“Maafkan aku ya.” Jen memeluk Ru. Pria itu kaget dan hanya terdiam, tidak membalas pelukan itu.

“Aku tak akan berbuat terlalu jauh, seperti syarat kencanmu sedari awal. Maafkan aku ya?”

Ru akhirnya mengangguk pelan di pelukan Jen. “Tapi jangan ulangi lagi… atau aku akan…” Ru berhenti sejenak.

“Akan apa?” Jen penasaran dan kini melepas pelukannya.

“Akan mem-black list mu dari daftar kencanku,” lanjut Ru.

Jen langsung merengut. “Yah jangan begitu! Aku janji kok. Janji!” Jen malah jadi kecewa. Jangan sampai deh Ru mem-black list nya. Ia masih ingin dekat dengan adik kecil tampan yang menggemaskan baginya ini.

Ru berdiri dan merapikan rambut serta seragamnya. Suasana hening sejenak, cenderung awkward. Sebelum akhirnya Jen mengingat sesuatu.

“Ah, aku punya hadiah untukmu!”

“Tidak dengan hadiah lagi…,” jawab Ru cepat. Ia seperti trauma dengan hadiah dari Jen.

“Ini bukan hadiah yang aneh aneh kok. Ini oleh-oleh! Ya ini oleh-oleh! Ini aku beli sewaktu liburan ke luar negeri minggu lalu. Kau tau kan minggu lalu aku berlibur.” Jen berjalan ke arah lemari bajunya dan mengambil beberapa paper bag dari dalam lemari.

“Ini dia oleh-oleh untukmu!” kemudian Jen menyodorkan paper bag itu ke arah Ru.

Ru terbelalak melihat paper bag dengan merek merek terkenal itu. "Ini semua untuk ku?"

Sekilas, dapat terbaca merek baju, sepatu, parfum, dan masih banyak lagi. Semuanya merek internasional yang terkenal mahal. Totalnya ada sekitar enam atau tujuh kantung.

“Iya!” Jen mengangguk.

Ru merasa tidak enak. “Oleh-oleh nya banyak sekali. Aku ambil ini saja ah.” Ru mengambil satu kantung dan meninggalkan yang lainnya. Ia tau harga semua barang ini mahal-mahal. Tapi kalau langsung mengambil semuanya, ia merasa seperti tak tau diri.

“Eits, ambil semuanya. Ini kan oleh-oleh."

Ru masih diam, tampak berpikir.

"Kalau kau tidak mau… hmmm... “ Jen memutar otaknya supaya Ru mau menerima pemberian darinya.

“Aha! Anggap saja ini ucapan terima kasih karena sudah mengajariku selama ini. Kau bisa merasakan kan kalau kemampuan bahasa asingku makin bagus? Ini membantuku berkomunikasi dengan para investor, supplier, dan partner bisnisku. Aku juga jadi makin percaya diri. Bisnisku jadi ikut berkembang. Kau tau perusahaanku sedang ekspansi ke luar negeri. Ini sangat membantuku,” cerocos Jen.

Jen kembali menyodorkan semua kantung kepada Ru.

"Ayolah. Ini oleh oleh sekaligus ucapan terima kasih." Jen menegaskan sekali lagi.

Ru berpikir beberapa saat sebelum akhirnya meng-iyakan. “Baiklah. Terima kasih.” Ia pun mengambil semua pemberian dari Jen.

*

Ru duduk di apartemen kecilnya dengan membawa mi cup instant sebagai menu makan malamnya. Hari ini cukup mengagetkan dan melelahkan. Untung saja berakhir dengan aman.

"Pfiuh..." Ru menghembuskan napas lega sambil menyelonjorkan kakinya.

Ru memandang ke arah ujung kamarnya, di mana ia menaruh semua hadiah yang dibawanya pulang dari rumah Jen. Ia belum sempat melihat semua isinya. 

Ru sebenarnya sangat senang. Namanya dapat hadiah, siapa yang tidak senang? Sudah gratis, eh barang mahal pula.

“Sayangnya, hadiah-hadiah ini bukan uang… Aish….,” ucap Ru sedikit kecewa. Mau bagaimana pun, ia lebih menyukai uang daripada barang.

Sambil menunggu mi instannya matang, Ru mengecek lagi jadwal kencannya di minggu ini, yang rupanya sudah penuh. Yah sebenarnya tidak seratus persen jadwal kencan sih. Ada juga jadwal les. Ru masih mengambil beberapa job menjadi guru les privat. Tapi memang tarif kencan jauuuh lebih tinggi.

Nah, jika jadwalnya penuh, itu berarti pundi-pundi uangnya akan bertambah juga. Ru tersenyum senang.

Saat sedang membayangkan pundi-pundi uangnya yang akan bertambah, Ru mendengar bunyi notifikasi dari handphone nya. Rupanya itu adalah notifikasi transferan dari Jen yang masuk. 

Senyum Ru makin lebar.

Memang, tak ada yang lebih menyenangkan saat melihat angka bertambah di saldo tabungannya.

‘Slurrrp’ Ru makin semangat menyeruput mi instannya. Hanya makan mi instan di apartemen kecil ini sudah terasa membahagian saat melihat uang transferan masuk ke rekeningnya.

*

*

7. Pertemuan Pertama

Harapan Lenn untuk segera angkat kaki dari HS High pada akhirnya masih jauh dari kenyataan. Bahkan sudah hampir seminggu ia ‘terpenjara’ di sekolah ini. Setiap hari dihabiskannya dengan penuh kekesalan. Lenn akan marah-marah jika dipaksa berangkat sekolah. Ia hanya sedikit melunak saat jam pulang tiba. Namun pada keesokan paginya, Lenn akan kembali marah-marah.

‘Sial!’ seru Lenn dalam hati saat membereskan buku-bukunya. Padahal dirinya sudah senang saat bel pulang yang dinanti-nantikannya berbunyi. Sudah cukup dirinya tersiksa dan berpura-pura membetahkan diri di sekolah ini. Hari kelima ini bahkan sama buruknya dengan hari-hari sebelumnya.

‘Di mana aku menaruh buku musik itu?’ Lenn mencoba mengingat-ingat. Sepertinya terakhir kali ia membawa bukunya ke ruang musik saat pelajaran musik tadi pagi.

‘Apa masih di ruang musik?’ Lenn kembali mengingat-ingat. Tapi ke mana pun ingatannya, ia yakin bahwa bukunya tertinggal di ruang musik.

‘Ugh, kalau bukan karena hari ini ada jadwal belajar piano di istana, aku tak akan mau mengambil buku itu,’ lenguh Lenn di dalam hari.

‘Apakah tak ada seseorang yang bisa aku suruh? Aku malas ke ruang musik.’ Lenn berusaha mencari bantuan. Namun hasilnya nihil. Lebih tepatnya, Lenn tak bisa menyuruh seseorang.

Lenn sempat menelepon Ken untuk minta bantuan, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh sang asisten.

Lenn terpaksa harus berjalan jauh ke gedung sebelah, ditambah naik tangga 3 lantai. Ia mengutuk ruangan musik yang terletak jauh dari kelas pelajaran terakhirnya ini. Mana gedung sekolah ini cukup besar pula. Lift nya juga cuma ada di gedung utama saja. Tapi Lenn malas jika harus memutar ke gedung utama demi naik lift. Lenn tidak mau menyusuri lapangan sepak bola yang besar itu. Jaraknya akan lebih jauh.

Lenn berjalan sambil terus mengumpat di dalam hati.

“Hei kamu.”

Perjalanan Lenn terhambat akibat panggilan dari suara yang dibencinya. Suara ini terdengar familiar di telinganya, nada ketus dan galak.

Lenn memandang benci ke arah sang pemilik suara. Lenn kesal. Kok bisa sih di sekolah sebesar ini, ia selalu bertemu dengan orang menyebalkan yang satu ini?

“Rok mu. Sudah ditegur tapi masih saja pendek. Apa kau tak punya telinga?”

Lenn menarik ujung bibirnya. “Sepertinya kamu sengaja mengikuti aku ya. Jangan coba-coba cari masalah denganku deh.”

“Enak saja mengikutimu. Aku baru dari pelajaran musik, sekarang mau pulang. Kamu sendiri kenapa pulang sekolah malah jalan ke arah sini? Pintu keluar kan di sebelah sana,” bantah Giz sambil menunjuk arah sebaliknya. Mereka berdua rupanya bertemu di lorong menuju ruang musik. Tinggal beberapa meter lagi Lenn memang sampai di ruangan yang dimaksud.

“Bukuku ketinggalan. Sudah ya, aku sedang tak mau berdebat denganmu,” jawab Lenn sambil ngeloyor pergi.

Buru-buru pamit sepertinya jurus yang jitu untuk memutus pembicaraan mereka yang bisa berakhir dengan adu mulut. Lenn lagi malas meladeni orang. Untungnya, Giz hanya menggerutu saja dan kembali berjalan ke arah berlawanan.

*

‘Tung tung ting’

“Eh?” Lenn bisa mendengar ada sayup-sayup suara alunan piano begitu ia membuka pintu ruangan musik. Ruang musik ini cukup besar. Ada ruangan lobi kecil dulu sebelum ada ruangan-ruangan kelas berderet di pinggir, sesuai dengan alat musik yang ada.

‘Sepertinya ada yang sedang bermain piano,’ batin Lenn.

Semakin mendekat, Lenn bisa mendengar lebih jelas lagu yang dimainkan. Kalau tidak salah, ini lagu yang ia pelajari tadi saat pelajaran musik.

‘Pasti anak tingkat dua juga,’ tebak Lenn.

‘Tap tap tap’

Lenn berusaha melangkah masuk tanpa suara. Ia mendorong pintu pelan-pelan. Untunglah pintu kelas piano ini adalah pintu dorong yang tidak perlu kau ditekan dulu handle-nya. Jadinya, bisa meminimalkan suara yang terdengar.

Lenn bisa melihat punggung seorang murid pria sedang memainkan piano. Anak itu tampak sudah lancar. Jika dimainkan lancar begini, lagu ini terdengar indah. Lenn merutuki dirinya yang tidak punya bakat musik sama sekali. Tapi sedetik kemudian, Lenn balik merutuki pelajaran musik yang menurutnya tidak perlu ia pelajari.

‘Untuk apa sih aku buang-buang waktu belajar musik? Lebih baik aku belajar politik… ekonomi…. Aku kan akan mewarisi tahta ayahanda.’

Lenn kembali mengendap-endap tanpa suara. Pandangannya tersapu ke seluruh ruangan. Rupanya dugaan Lenn benar. Bukunya berada di atas meja di belakang murid ini.

Supaya tidak mengganggu murid ini, Lenn pun kembali melangkah dengan sangat pelan, mengendap-endap mirip pencuri.

‘Bruk’ sayangnya, di saat tinggal sedikit lagi berhasil mengambil bukunya, Lenn malah menabrak kaki meja.

“Eh?” Murid yang sedang bermain piano itu pun berhenti dan segera menengok ke arah sumber suara.

Pria itu tampak kaget melihat ada seseorang yang datang tanpa disadarinya. Ekspresinya terlihat lebih kaget lagi saat mengetahui bahwa yang datang adalah sang tuan putri.

“Aku hanya ingin mengambil bukuku. Kau lanjutkan saja lagi main pianonya,” jawab Lenn.

Pria itu masih memandang Lenn dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Mereka berdua pun saling berpandangan sesaat. Menurut Lenn, murid pria ini punya wajah yang lumayan tampan, mirip seperti tokoh pria di serial cantik yang suka ia baca. Tapi, standar Lenn mengenai pria kan tinggi. Kalau yang seperti ini sih masih biasa saja menurutnya. Ehem…

Sedangkan di sisi lain, pria ini tau benar wanita di depannya ini adalah tuan putri yang dibicarakan teman-temannya. Dia memang belum pernah bertemu Lenn di sekolah. Nah, kalau bisa memang tidak usah bertemu.

Isi kepala pria ini langsung memikirkan keluarganya. Rasa benci dan emosi dengan keluarga kerajaan mendadak muncul lagi gara-gara melihat Lenn.

Lenn sendiri lama-lama ikut kesal karena pria di depannya ini malah memandanginya dengan pandangan yang entahlah Lenn juga bingung.

“Kenapa liat-liat?! Tidak sopan tau. Dasar aneh,” labrak Lenn. Ia mengambil buku musik yang dimaksudnya sambil melabrak pria di depannya ini.

“Harusnya kau memberi salam, tidak cuma diam saja. Semua orang di sekolah ini sama saja,” lanjut Lenn dengan ketus.

Begitu mendengar ucapan Lenn, murid pria ini berdiri dari kursi pianonya. Ia merasa gerah dan tidak betah se-ruangan dengan sang putri. “Ternyata benar kata teman-teman, sifatnya jelek sekali,” ucap nya pelan sambil berlalu dari hadapan Lenn.

“HEH! Apa yang kau katakan? Coba bilang sekali lagi kalau berani?!” Teriak Lenn marah saat pria itu telah berjalan cepat meninggalkan ruangan ini.

“Jangan dikira aku nggak dengar ya. Awas kamu…” Lenn kesal. Tapi percuma saja, pasti si murid pria yang sudah berlalu ini tidak mendengarnya.

“Sial, aku belum sempat membaca namanya. Tapi aku akan ingat wajahnya. Lumayan cakep sih. Tinggi pula…. Aku belum pernah melihatnya. Mungkin dia anak kelas sebelah.”

“Hah! Sudahlah! Tak ada waktu memuji orang tidak sopan seperti dia!”

*

“Anda sudah mendapatkan bukunya?” tanya Ken saat sudah berada di mobil.

“Aku tak percaya harus balik berjalan jauh ke ruang musik hanya demi buku ini,” omel Lenn.

Ken hanya melenguh pelan mendengar keluhan Lenn. Sudah biasa bagi Ken untuk mendengar cerita Lenn. Begitu masuk dan duduk nyaman di mobil, Lenn akan otomatis membuka mulutnya untuk menceritakan keburukan hari ini dari A sampai Z.

‘Tapi ya, jika kali ini tuan putri bersedia mengambil buku di ruang musik yang katanya jauh itu, maka bisa dibilang itu sebuah kemajuan besar bukan? Siapa tau tuan putri ada niat untuk belajar,' batin Ken.

Ken akan mengingat-ingat dan mencatat ini di laporannya. Akhirnya, hari ini ada hal baik juga yang bisa dicatatnya.

*

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tuan Putri dan Cowok Bayaran - CHAP 8 - 9 - 10
0
0
Chap 8 : Tidak Butuh TemanChap 9 : Seribu Kali LipatChap 10 : Rahasia Ru
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan