Menguji kesabaran Judhy.
πKapsul Penukar Jiwa Chapter 29π
πΒ MENGUJI KESABARAN JUDHY π
___
Β
π CHIKA sungguh kurang ajar. Dia benar-benar memanfaatkan situasi dengan amat baik. Selain bermanja pada Nyonya Kristin dan bisa membeli aneka buah di pinggir jalan, Chika juga tidak sungkan mengobrol dengan Krish.
Iya, Judhy seperti obat nyamuk di tengah kemesraan ketiga orang tersebut. Nyonya Kristin tampak begitu bahagia karena ocehan Chika yang dianggap sebagai kebohongan, padahal faktanya Chika sedang menceritakan kisah asli hidupnya.
"Bunda, makasih ya, buahnya. Dari dulu aku ingin sekali memakan buah naga, anggur, melon, terus ... mangga, salak, duku. Ah, pokoknya semua buah ingin sekali aku makan, dan Bunda dengan baik hati mau membelikannya untukku."
"Kau ini." Nyonya Kristin menggeleng bahagia. "Ada-ada saja. Bunda kan sering bawain buah, terus kita juga lumayan sering belanja bareng seperti ini, kau lupa?"
Chika meringis kikuk, lalu melihat sekilas Judhy di belakang, kemudian kembali menatap wajah wanita di hadapan. "Kalau begitu kita harus sering-sering seperti ini, Bun, supaya semakin akrab."
"Iya, deh .... Anak Bunda jadi berubah, tapi Bunda suka."
"Memangnya aku dulu bagaimana?"
"Ya ... susah diajak ngobrol. Terus ... kalau diajak berbelanja mukanya ditekuk, lalu ... pokoknya tidak ramah."
"Begitu, ya. Kalau begitu mulai sekarang, Bunda akan melihatku dengan versi yang terbaru."
"Bisa begitu, ya?"
"Bisa dong, Bun."
"Oke, deh." Perhatian Nyonya Kristin beralih ke Krish di belakang. "Tolong bawakan semangkanya, ya, Krish."
"Siap, Tan."
"Dan kau juga, tolong bawakan ini, ya." Chika ikut menyodorkan kantong plastik berisi buah salak, mangga, serta duku kepada Judhy, kemudian ditambah satu melon.
Hal itu jelas saja membuat Judhy menatap geram. Kalau saja tidak ada sang bunda dan Krish di sana, dia sudah memberi 'hadiah-hadiah kecil' untuk Chika.
"Aku juga bawa kali," ucap Chika menenteng satu kantong alpukat.
Enteng sekali mulutnya.
"Sekarang kita mau ke mana?" kata Nyonya Kristin pada Chika yang di matanya terlihat wajah Judhy.
"Kita taruh dulu buahnya ke mobil, Bun. Setelah itu ... makan baso kayaknya enak, Bun."
"Boleh. Ya sudah ayo, kita pergi sekarang."
Nyonya Kristin baru akan melangkah ketika Judhy memanggilnya. Gadis tersebut menunjukkan barang bawaan yang cukup merepotkan.
"Dek ...." Nyonya Kristin berkata lembut mengingatkan Chika yang kelewatan mengerjai Judhy.
"Sini, biar Bunda yang bawa melonnya." Wanita mengambil melon dalam dekapan Judhy.
Setelahnya, keempat orang masuk ke mobil. Buah yang tadi, disimpan ke bagasi. Nyonya Kristin duduk di depan dengan Pak Supir, sementara di belakang ada Judhy paling kanan, kemudian Chika, lalu Krish.
"Kau mau?" Chika menawarkan salak yang telah dikupas.
Krish menerimanya. "Makasih. Temanmu tidak ditawarin?"
"Ditawarin, kok, tapi pasti dia tolak."
Dan benar dugaan Chika, Judhy menolak semua tawarannya. Dari salak, duku, hingga roti yang dibawa dari rumah.
Diam-diam Krish dan Judhy saling melihat satu sama lain, kemudian keduanya buang muka.
"Sayang."
"Ya, Bun."
"Kita mau makan baso di mana?"
"Yang enak di mana? Aku ikut Bunda saja, deh."
"Mau yang di restoran atau pinggir jalan?"
"Terserah. Di mana pun itu, asal ada Bunda, semua makanan jadi terasa enak."
***
Mereka kini berada di restoran bakso. Tempatnya tidak terlalu mewah, tetapi cukup untuk membuat Chika berdecak kagum akan interior ruangan. Lampu berwarna oranye yang menggantung indah, meja-meja tertata rapi, serta pelayan yang begitu ramah mengantar mereka ke meja kosong.
"Silakan, dilihat menunya," kata sang pelayan memberikan buku menu.
Kelihatan sekali raut wajah Chika terkejut karena harga yang tertera. Gadis itu bahkan sampai meneguk ludah. Kalau bisa, dia ingin sekali balik kanan dan mencari warung bakso pinggir jalan.
Kesal, Judhy menendang kaki Chika di bawah meja. Judhy mengingatkan melalui tatapannya agar Chika tidak mempermalukannya di depan umum, ralat, maksudnya di depan Krish.
Sayangnya ...
"Uh ... ini ... harganya memang segini?"
... Chika malah tak mengindahkan peringatan Judhy.
"Iya, Mbak, harganya memang segituh."
"Uhm, Bunda." Judhy sengaja memanggil, tidak ingin Chika kelewat batas mempermalukannya.
"Iya, Nak Chika?"
"Aku ... boleh pesan apa saja?"
"Tentu, Sayang. Bunda yang mengajakmu, jadi kau juga berhak mendapatkan yang sama."
"Oke. Kalau begitu ...," balas Judhy melihat sang pelayan, "... aku pesan yang ini, ya, Mas." Judhy menunjuk satu menu dan satu minuman.
Awalnya Chika agak terkejut begitu tahu Judhy memesan yang paling mahal bakso seukuran kepalan tangan orang dewasa dengan harga kisaran 500 ribu, tetapi dia ikut juga.
"Orang kaya mah bebas," batin Chika.
Usai drama memesan bakso, tidak lama kemudian akhirnya keempat orang bisa menikmati makanan tersebut. Chika yang paling antusias menyantap bakso, kuahnya bahkan sampai diseruput untuk memastikan rasa sesuai harga.
"Ini ... empuk sekali baksonya," ucap Chika mengomentari. "Kuahnya juga hangat dan rasanya sangat pas. Lalu ... dagingnya, enak sekali. Seumur-umur aku baru pertama kali makan bakso seenak ini. Ya meskipun harganya sangat mahal, tapi sebandinglah sama rasanya. Kalau menurutmu, bagaimana, Krish?"
Krish sempat melirik Judhy, sebelum sepenuhnya menghadapkan wajah ke Chika. "Ini sangat enak seperti biasanya. Dan ... baso daging sapi yang sedang kau makan itu memang favoritmu di sini, Judhy, jadi ini bukan pertama kalinya."
"Benarkah?"
"Kau lupa?"
"Sepertinya."
"Kita memang tidak terlalu sering ke sini, tapi kalau ke sini, kau selalu memesan itu." Krish menunjuk bakso di hadapan Chika.
"Iya, Sayang. Kau suka sekali baso sapi yang ditambah sama irisan daging sapi."
"Begitu ya, Bun. Aku sungguh lupa. Tapi Bunda tenang saja, aku tidak sakit, kok. Dan ingatan itu ... ingatan itu pasti akan kembali."
"Kau ini." Nyonya Kristin menggeleng tak percaya, menganggap Chika hanya sedang bergurau.
Sementara di seberang, Judhy memberi tatapan maut pada seorang Chika. Sorot matanya begitu tajam seperti ingin menghabisi Chika saat itu juga.
Akan tetapi, Chika santai saja menanggapi tatapan tersebut dan lanjut menikmati hidangan.
Rupanya, belum selesai kesabaran Judhy diuji. Selama perjalanan pulang dari restoran, Chika malah tertidur dan ... mendengkur. Ditambah lagi, Chika sengaja menyandarkan kepala di pundak kanan Krish.
Sangat memancing.
"Kau benar-benar cari mati, Chik. Awas saja kau di sekolah nanti, aku pasti akan memberimu pelajaran," batin Judhy.
Ah, sial.
Sudah hawa di sekitar mendadak terasa panas bagi Judhy, malah ditambah pemandangan Krish menahan kepala Chika yang akan jatuh ke bawah.
Judhy berdeham, lalu buang muka sekilas saat Krish melihat ke arahnya.
"Kau sangat akrab dengan Judhy, ya?" kata Krish.
"Tidak," jawab Judhy ketus.
"Tapi kau bisa menginap di rumahnya, itu artinya Judhy menganggapmu berharga. Setahuku ... Judhy sangat pilih-pilih teman. Dan sejauh yang aku tahu, cuma Arin teman dekatnya."
"Kalau begitu aku tanya, apa kau sangat mengenal Judhy?"
"Lumayan."
"Kalau begitu seharusnya kau sadar, kalau orang yang sedang bersandar padamu itu, bukanlah orang yang kau kenal."
"Maksudmu?"
Judhy malah mengedikkan pundak cuek. "Pikirkan sendiri."
"Kalau aku amati sedari aku datang ke rumah, memang benar sikap Judhy sangat berbeda dari terakhir aku bertemu dengannya. Dan anehnya ... sikap Judhy yang kukenal, justru ada padamu."
Judhy merasa sedikit tersanjung karena Krish bisa berpikir ke sana. Meskipun setengah gengsi, Judhy tetap menggerakkan kepala untuk menoleh ke arah Krish.
Tatapan keduanya bertemu, saling mengunci satu sama lain.
"Meskipun wajah kalian berbeda, tapi kau sangat mirip dengannya. Ekspresimu, gaya bicaramu, dan ... sikapmu. Apa kalian sedang bertukar peran?"
"Maksudnya bertukar peran?"
"Aku tidak tahu apakah Judhy sudah bercerita tentangku padamu atau belum, tapi biar kuperjelas. Dulu, aku pernah menyatakan perasaanku padanya, talu ditolak. Jadi ... aku pikir sikap Judhy sekarang adalah salah satu cara agar aku berhenti menyukainya. Sayangnya dia tidak tahu, kalau aku sudah memilihnya, maka dia akan jadi satu-satunya."
Judhy mendengkus geli. "Kita masih remaja, dan bahasa cintamu itu terlalu berlebihan. Aku yakin, palingan di masa depan kau akan berubah pikiran."
Krish manggut-manggut. "Entah kenapa, aku senang mendengar itu darimu."
"Senang?"
"Iya, senang. Aku merasa benar-benar sedang bicara dengan Judhy. Judhy yang aku kenal."
"Memangnya, siapa yang kau lihat dariku? Judhy ... atau Chika?"
Krish kemudian menatap semakin lekat wajah Judhy yang di matanya adalah wajah Chika. Namun sepersekian detik, pemuda itu bisa melihat sosok Judhy dengan raut datar.
"Kau ...."
"Kalau aku katakan yang sebenarnya, kau pasti tidak akan mempercayaiku, bukan?"
Krish menggeleng tak percaya. "Tidak mungkin. Judhy tepat di sampingku, jadi kau bukan dirinya."
"Sayang sekali, kau bukan orang pertama yang mengatakan itu. Bunda pun mengatakan demikian. Semua orang tidak mempercayaiku. Ah, sudahlah! Memang salahku, karena akulah yang memaksanya untuk bertukar jiwa denganku."
"Bertukar jiwa?"
πππ
Kapsul Penukar Jiwa
Diketik: Selasa, 19 NovemberΒ 2024
Revisi: Jumat, 22 November 2024
Dipublikasikan: Sabtu, 21 Desember 2024 (10.30 WIB)
By Vr. Rain Okane
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi π₯°