Belati Dalam Warna Senja #CeritadanRasaIndomie

7
5
Deskripsi

Aku benar-benar merindukannya. Sungguh! Demi melihat senyumannya kembali, aku berani mempertaruhkan apapun.

Dalam cahaya senja, sebuah belati menjadi saksi bisu kenekatan hati manusia karena cinta. 

Tahun 3033

Senyuman itu terlukis samar di hadapanku. Makin lama makin samar.

"Bangun Pak tua! Mentari telah terbit, cari makan sekarang! Jangan buat kesibukan kami bertambah karena harus mengubur mayatmu!"

Serentetan ocehan membuyarkan bayangannya dari mimpiku disertai tendangan ringan di kaki. Aku meringkuk. Berusaha terus terpejam agar bayangan yang terurai itu kembali menyatu untuk mengobati rinduku. Tapi sialnya, hanya kelamnya kenyataan yang menampakkan diri.

Hatiku perih. Aku merindukannya.

Sangat ingin rasanya kutimpuk segerombolan laki-laki yang mengganggu mimpiku itu dengan sepatu butut di kaki.

Huh! Tenang saja, aku belum mau mati! Karena jika itu terjadi, aku takkan pernah lagi melihatnya. Tempat kami pasti akan berbeda. Dia makhluk suci, sedangkan aku adalah pendosa.

Perlahan raga yang telah usang ini bangkit dari lantai terowongan yang dingin dan berdebu. Beberapa tubuh manusia lain masih tidur di sekitarku, entah masih hidup atau tidak. Sementara puing-puing bangunan semakin menumpuk di mana-mana. Dan udara berkabut oleh debu.

Distrik Karumbu semakin bobrok menuju kemusnahan. Tapi aku harus bertemu kembali dengannya, sebelum menjadi debu bersama Distrik ini, satu-satunya Distrik yang masih tersisa di belahan timur bumi. Tak ada lagi negara-negara yang terhimpun dalam PBB. Hanya ada tanah ini, yang juga hampir musnah ditelan polusi dan krisis kehidupan.

Aura kejahatanku mulai menguar. Bersiap mengumpulkan barang-barang berharga demi satu barang yang mampu menghubungkanku dengannya yang kurindukan.

Mata melirik ke sekeliling. Meneliti gerak-gerik orang yang memungkinkan sedang menyimpan barang yang bernilai sebagai alat tukar dengan makanan atau barang lain yang menjadi kebutuhan.

Seharian penuh berkeliling, tapi tak ada yang layak menjadi target. Tak ada orang yang berjalan menuju Maxsuar, satu-satunya tempat barter di Distrik ini, yang zaman dulu disebut warung, kantin, kios, atau apalah.

Semua orang hanya mengais-ngais puing bangunan, berharap mendapatkan barang berharga yang mungkin telah tertimbun.

"Ck!" Aku berdecak kesal.

Payah! Hari ini benar-benar payah!

Terpaksa akhirnya aku ikut mengais tanah hitam yang bercampur dengan arang dan limbah sembari mata tetap mengawasi orang di sekitar, siaga untuk merebut penemuan mereka.

Beberapa diantaranya tampak menjauh, mereka mengenalku sebagai perusuh Distrik.

"Oh come on! Bukan cuma aku pendosa di zaman ini. Kalian juga pendosa! Kalian menutup kemunafikan dengan satu kalimat yang bullshit! Milikku hak ku milikmu hakmu? Cuih...!" Aku meludah penuh kebencian. 

"Motto bullshit!" teriakku lagi sambil melempar sebuah botol bekas.

Orang-orang itu menatapku tak senang. Peduli amat! Mereka tak membawa keuntungan untukku.

Hingga senja memerah, aku masih tak menemukan apa-apa. Padahal kemarin-kemarin masih dapat sepatu kulit butut, sendok antik, dan yang paling epic adalah sebuah pigura kayu. Tinggal satu barang lagi, aku pasti akan berhasil menukarnya dengan sesuatu yang sangat ku inginkan.

Perutku mulai terasa perih. Ini hari ketiga perut ini tak terisi dengan makanan. Hanya air dari sumur umum yang keruh dan bau.

Dari arah jarum jam 9, muncul laki-laki bertopi bulu hitam yang tak lama ini sering tidur tak jauh dari tempatku. Aku tak tahu namanya. Tak ada yang tahu nama satu sama lain, karena tak pernah ada obrolan. Semua hidup nafsi-nafsi  dan saling curiga. 

Tapi aku ingat laki-laki itu karena ia hidup berdua dengan putra kecilnya.

Mataku tak luput dari tubuh kurusnya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan di balik mantel hitam lusuh itu. Apa ia menemukan sesuatu? Selama ini laki-laki itu tak pernah mendapatkan barang yang sangat berharga, hanya cukup ditukar dengan roti kering berjamur.

BRUK!

Saking gugupnya, laki-laki itu tersandung sesuatu dan tersungkur di tanah.

Netra ini seketika membelalak. 

"Itu... itu," gumamku tak percaya hingga suara terasa tercekat di tenggorokan. 

Sesuatu terlihat dari balik mantel pria paruh baya itu, walau penglihatanku tersamarkan kabut debu, tapi aku yakin. Ya, itu barang yang kudamba selama ini. Indomie. Makanan yang bisa mengantarku bertemu dengan seseorang yang sangat kurindukan.

Aku terhenyak. Mata ini menatap Indomie penuh hasrat.

Menyadari ada mata yang sedang memperhatikannya, laki-laki itu tampak panik. Cepat-cepat dia bangkit dan menutup Indomie dari pandanganku. 

“Hah!” Bibirku tertarik sinis. Seharusnya dia memang sangat panik, karena nyawanya kini seperti telur yang berada di ujung tanduk.

Hati ini berubah buas. Aku harus mendapatkan Indomie itu. Harus!

Tanpa pikir panjang aku mengejarnya. Tangan dengan cepat merogoh saku celana, mengambil belati yang selama ini menjadi alat untuk mengancam korbanku. Laki-laki itu terus berlari, berusaha sekencang mungkin untuk menjauhiku.

Ia melompati puing dan kerangka-kerangka besi berkarat yang menjadi penghalang dengan kalang-kabut, hingga ia kembali tersungkur.

Aku menyeringai. Dan tanpa buang waktu segera menerkam dari belakang. "Serahkan barang yang ada dalam mantelmu sekarang!" ancamku sembari meletakkan mata belatiku di lehernya.

"Ba-baiklah," jawabnya tergagap dan tanpa perlawanan.

"Bagus!" bisikku senang. Akhirnya bisa dengan mudah mendapatkan Indomie.

Laki-laki itu merogoh saku dalam mantelnya. Aku segera mengencangkan belati ke lehernya untuk berjaga jika sampai ada perlawanan. Tangannya kemudian mengeluarkan sebungkus roti berjamur yang bau apeknya langsung tercium.

Oh! Ternyata laki-laki ini ingin bermain-main denganku.

"Bukan itu! Berikan aku Indomienya!" geramku marah.

Ia mendengus.

"Huh! Sampai mati pun aku tak akan menyerahkannya," desisnya.

Lalu tangannya tiba-tiba bergerak menyikut  rusukku dengan sangat kuat.

"Akhh!" teriakku sakit. Hingga tangan yang memegang belati menjadi lengah.

Pria itu cepat-cepat menepis belatiku dari lehernya. Lalu bangkit dan kembali berlari dariku.

Aku menggeram dengan rahang yang merapat. Tak akan kubiarkan ia lari membawa pergi Indomie yang sudah di depan mata. Jika ia mengatakan tak akan memberinya sampai mati, maka aku akan membuatnya mati!

Sekuat tenaga aku mengejar laki-laki itu, lalu menghujamkan belatiku di punggungnya.

**

Aku membawa Indomie dengan harapan yang telah begitu nyata di depan mata. Harapan untuk bertemu dengannya. 
Masih terbayang dalam ingatanku, mata bundar dan jernihnya begitu penuh harapan menatap kepulanganku di waktu senja kala itu.

"Dapat indomienya, Pa?"

Aku mengangguk dengan senyuman. Hari itu, hari ulang tahun putraku. Ulang tahunnya yang ke-6.
Aku telah berjanji untuk memberikannya Indomie sebagai hadiah. Bahkan aku bisa membarter satu dus roti kering dari hasil menabung barang penemuanku selama ini.

Namun, sesuatu yang naas terjadi.

Seorang perampok bertopeng tiba-tiba datang dan memaksaku menyerahkan semua simpanan makanan itu untuknya. Aku menolak. Dan pergulatan yang hebat terjadi.

"Papa!" teriak putraku ketakutan.

"Jangan mendekat, Sayang! Cepat sembu..." Kata-kataku terputus saat bogem mentah laki-laki itu menghantam wajahku.

"Jangan sakiti papaku!" Suara kecil putraku berteriak memohon.

Namun perampok itu sama sekali tak berbalas kasih. Ia terus menghajarku hingga babak belur, padahal ia telah berhasil mengambil satu dus roti, tapi masih menginginkan Indomie yang kudekap erat untuk hadiah putraku.

Dengan air mata yang mengalir di pipi putraku mendekat, berusaha menarik baju laki-laki yang menghimpit tubuhku yang telah terjerembab di tanah.

"Lepaskan Papa...." isaknya. Lagi-lagi memohon.

CRASS!!

Dengan beringasnya penjahat itu melayangkan belatinya ke tubuh mungil putraku.

Malaikat kecilku tergeletak tak lagi bersuara.
Aku berteriak. Aku meraung. Meraung memanggil namanya, nama yang kuberikan sendiri saat ia baru lahir ke dunia.

Namun mata bening yang basah oleh rinai air mata itu tak lagi berkedip.

Perampok itu tampak ketakutan melihat hasil perbuatannya. Lalu meninggalkan belati yang telah berlumur darah putraku di tanah. Dan membawa lari semua makanan kami, termasuk Indomie.

"Akh!" pekik ku sembari membekap dada yang terasa sesak, rasa yang selalu ku alami saat terkenang masa itu.

Aku harus segera menjerang air untuk merebus Indomie Kuah Rasa Kaldu Ayam ini. Hanya moment saat menikmati Indomie yang mampu membawaku kembali ke momen indah saat bersama putraku untuk sesaat. Momen dimana kami menikmati mi instan selera kami ini berdua. Seleraku, putraku, dan selera semua orang.

Aromanya yang kuat mampu mengembalikan bayangannya secara utuh dari kenanganku. Seperti melihat Hologram, bayangannya nyata walau tak bisa ku sentuh.

"Paman, lihat papaku tidak?" Sebuah suara nyaring khas anak kecil bertanya dari belakang ku.

Tubuh ini seketika menegang. Itu putra dari laki-laki yang telah ku habisi nyawanya.

"Ti-tidak, memangnya Papa mu kemana?" jawabku gugup.

Senyuman yang sumringah mengembang di wajahnya yang bulat. Anak kecil ini sepertinya berusia 10 tahun. Tubuhnya gembul, pertanda papanya sangat memenuhi kebutuhan pangannya.

"Papa mau barter hadiah ulangtahun untukku."

"Oh... Kalau begitu kau tunggu saja sampai dia pulang. Kalau sudah lapar, kau bisa ke sumur umum untuk mengisi perut," ujarku sembari cepat-cepat menghindarinya.

Anak kecil itu menurut, ia kembali duduk di tempat biasanya ia tidur, tak jauh dari tempatku.

Aku urung mengambil Indomie dari balik mantelku, lalu duduk memeluk lutut dengan perasaan tak menentu. Kepala ini terbayang wajah putraku, namun kemudian berganti dengan wajah anak kecil itu.

Hingga senja diredupkan oleh malam, kami masih duduk dalam posisi yang sama.

Satu hari berlalu. Anak itu tak mau beranjak dari tempat duduknya. Juga tak ingin minum di sumur umum. Tubuhku sendiri pun semakin lemas. Ini hari ke empat perut ini tak terisi makanan.

Dadaku semakin terasa sesak. Serasa ada yang menekan dan menghimpit di  bagian jantung. Dengan langkah tertatih aku menghampiri dan duduk di sampingnya.

"Apa papaku telah tiada?" bisiknya dengan bibir yang kering.

Aku mencoba menjawab di tengah nafasku yang semakin pendek-pendek.

"Ya, papamu telah tiada. Kamu harus bisa hidup sendiri. Ini ... Ini Indomie untukmu, masaklah sedikit-sedikit dan teruslah hidup. Di tempatku biasa tidur ... aku menguburkan barang berharga. Ambillah untukmu," ujarku dengan suara terputus-putus. Sementara penglihatan ku semakin buram dan berkunang-kunang.

Setelah terdiam dalam waktu yang lama, anak laki-laki itu kemudian mengambil Indomie dari tanganku.

"Paman tunggu sebentar, aku akan memasaknya untuk kita berdua."

Beberapa saat kemudian aroma Indomie merebak di sekitarku. Gurih, dan menggugah selera.

Tiba-tiba bayangan putraku muncul. Tidak, kali ini tidak seperti hologram, tapi benar-benar nyata.

Rautnya bersih dan bercahaya. Ia tersenyum, kemudian meraih tangan kananku.

"Paman? Apa Paman punya sesuatu yang tajam?" Suara anak kecil itu sayup-sayup terdengar.

Dengan sisa tenaga, aku merogoh saku untuk mengambil belati dengan tangan kiri ku.

"Aku butuh sesuatu untuk memotong ... Wah ini belati papaku, telah lama ia kehilangan belati ini. Ah, kalau tak salah saat pertama kali ia membawa pulang Indomie dan satu dus roti kering. Katanya, dia barter dengan belati yang sangat berharga ini."

Kata-kata anak laki-laki itu masih terdengar samar. Tapi aku tak peduli, karena malaikat kecilku ada di sini. Menggenggam tangan ini, dan membawaku terbang bersamanya.

TAMAT

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Dejavu Rasa #CeritadanRasaIndomie
3
2
Dalam sebuah perang, seorang prajurit tiba-tiba mengalami kejadian aneh. Sebutir peluru yang melesat ke arahnya berhenti mendadak di depan mata. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan