
Deskripsi
Baginya musim liburan berakhir hari itu. Di bawah cuaca sore yang labil, berjejer taksi dengan para supir memancing. Pintu kedatangan bandara Radin Inten II, melihat Pena yang menarik koper besar membuatnya rentan dimangsa. Salah satu dari mereka yang gigih dan mulut yang persuasif berhasil menyeret Pena masuk ke dalam taksinya. Niat memesan taksi online pun dikalahkan oleh bapak supir yang agresif.
Langit mendung namun tak kunjung hujan, mirip di hari almarhum kakeknya meninggal dua ribu empat lalu...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
MENCARI SUARA TINTA #02
1
0
Sebuah jeep abu-abu pelan masuk ke dalam area parkir terbuka. Milla yang mengendarai mobilnya. Wajah mengantuk kurang tidur. Setelah berhenti sempurna dan rem tangan naik, ia merebahkan kepala, bukan untuk istirahat. Rasa empuk di kepalanya sedikit mengurangi beban mental yang sudah hinggap sejak dua minggu lalu.Tiga ketukan di jendela mobil mengejutkannya. Sepasang suami istri di usia lima puluhan menyapa dengan tangan mereka. Sedikit senyum, tangan terburu membuka pintu. Milla keluar dengan lihai dan cepat, lalu mengecup tangan suami istri itu dengan keningnya.“Pagi om, tante.”“Udah dateng kamu, MIlla,” kata si suami.“Mata kamu kelihatan capeknya.”“Iya. Semalam habis begadang, tante. Ngerjain skripsi.”“Semalam kamu pulangnya lewat tengah malam, loh.”“Iya tante. Semalam sampai rumah sekitar jam satu. Terus dilanjut…”“Tante suruh kamu istirahat dulu, loh. Liat tuh mukamu. Lesu. Ibu kamu nanti jutek ke tante.”“Udahlah,” si suami memotong keluhan istrinya. “Harusnya kita terima kasih ke Milla sudah mau jagain Pena. Dia udah berkorban banyak, loh. Jangan diomelin.”“Iya, iya, pah. Yuk, kita udah hampir telat.”“Tolong jaga Pena, ya.”“Baik, om.”“Tolong, ya.”“Serahin ke Milla, tante.”Suami istri itu, ayah dan ibu Pena, pergi ke halaman parkir yang lebih dalam. Keduanya sudah rapi dengan pakaian kantoran mereka.Sekali Milla melirik jam tangannya.Dua puluh menit lagi.Setelah mereka tak terlihat lagi, dia segera mengambil tasnya dari dalam mobil. Berusaha santai, namun tetap cukup cepat, masuk ke gedung rumah sakit. Sudah hafal dia jalan ke ruang VIP yang dituju.Usahanya untuk rileks berhasil. Hatinya tentram melangkah.Sampai di ruangan, Milla melihat sahabatnya terbaring di ranjang rumah sakit. Rasa rileks itu hilang dan dadanya terasa berat. Langsung saja menuju meja di sisi seberang ranjang. Ada dua kartu tanda pengenal penunggu pasien. Setelah meletakkan tas di kursi, dia langsung menggantung tanda pengenalnya di leher.Dia menghampiri sahabatnya.“Pen. Penny… bangun dong. Penny…”Tak penuh, pelan, kelopak mata Pena terbuka. Pelan tertutup. Ekspresi datarnya terasa perih untuk dilihat. Baginya, ruangan itu gelap, bukan hitam pekat, siluet-siluet benda yang sulit terlihat, kabur di sana-sini dan mustahil untuk dibedakan.Kaki masih belum bisa digerakkan;dan mata yang sudah tak bisa melihat lagi.Pertama kali mendengar tentang keadaannya, menguping pembicaraan dokter dan orang tuanya, rasanya seperti ujung beling digosokkan ke telinga. Pena hanya diam, shock, dan pura-pura tertidur mendengarkan tangisan ibunya di pintu kamar.Sampai saat ini, dia masih belum bicara barang sepatah.Meski berada dekat dan mata terbuka, Pena tak mengikuti kemana Milla bergerak. Seperti sebuah patung dia diam. Berkali-kali Milla kecewa terhadap dirinya yang kurang peka, bukan, yang belum terbiasa dengan situasi. Sepatu kets murahan yang dikenakan kali itu cukup baik dalam meredam suara. Kemudian, dengan sengaja berjalan menghentakkan kaki kuat-kuat dan membuat suara yang cukup keras untuk dapat didengar dengan jelas. Barulah terlihat, wajah Pena yang mencoba mengarah ke arah suara langkah kakinya berada. “Penny, waktunya sarapan,” sudah ada set sarapan dari rumah sakit di meja samping ranjang. “Yuk,” dari samping, dengan hati-hati Milla membantu Pena duduk di ranjang. Bantal diletakkan di belakang, dihimpit punggung dan tembok. Nampannya sudah ada di pangkuan Pena--nasi dan empat pengiringnya, semua disajikan di dalam mangkuk plastik, juga dua air minum kemasan kecil dengan sedotan yang sudah dicolok. “Airnya di arah jam 10. Nasi pas di hadapan loe. Supnya di arah jam 1. Terus telurnya…” menuntun tangan Pena menyentuh mangkuk-mangkuk itu berada untuk membantunya mengingat letak-letaknya, menjelaskan apa-apa saja yang ada di sana.Dia sangat kenal Pena. Sahabatnya itu sangat tegar ketika ia tegar dan sangat rapuh ketika rapuh. Di masa kali itu, dia bisa merasakan kalau Pensa sangat ringkih. Apa saja bisa terjadi jika ia melakukan salah. Tak bisa memperlakukannya seperti biasa. Dan disinilah ironi muncul. Satu hal yang ia tahu sejak dulu: Pena tak suka dikasihani. Dia adalah makhluk mandiri. Baginya bakal geli jika apapun tidak dilakukan sendiri. Apapun dihantam demi menuruti kemauannya. Bahkan saat bertemu suatu kegagalan, dengan lantang dia menghadapinya dan bila seseorang mengasihaninya, itu sama saja dengan meludah ke wajahnya. Hal ini bukanlah hal yang sepele, bukan dalam tingkat sekedar harga diri. Sebuah hal yang esensial dalam kehidupan sosialnya, dalam menimbang keberadaannya di antara orang-orang. Dia akan sangat tersinggung, tapi keadaannya sekarang tak bisa membuatnya mengemban semua hal itu. Tentu saja dengan senang hati orang-orang terdekatnya bersedia untuk membantu dalam keadaannya yang sekarang. Apalagi di masa-masa awal setelah ia kehilangan penglihatannya. Tapi apakah itu langkah yang benar? Dua minggu ini Milla membantu Pena dalam keraguan. Sudah pasti dia yakin kalau merawat Pena yang sedang tidak dalam kondisi normal adalah benar. Tapi diamnya Pena memperumit semuanya. Ya, dengan baik Pena menerima semua perawatan dari orang-orang terdekatnya. Tentu saja ada rasa kasihan, bahkan dalam diri Milla dan dia tahu hal itu melukai harga diri Pena. Milla sudah berusaha membuat Pena merasa “mandiri” dengan membiarkannya melakukan beberapa hal sendiri--termasuk membiarkannya makan sendiri--berharap dapat membangun kepercayaan diri. Dia sudah melakukan apa yang bisa dilakukan.Bagaimana dengan Pena? Apa yang dipikirkannya? Apa yang sudah dilakukan Milla berhasil? Atau malah semakin membuat keadaan memburuk? Tak ada tanggapan dari Pena. Milla seperti berjalan di atas jembatan kaca, takut retak, dan pemandangan jurang mencekam di bawah menghantui.Dilema ini sudah seperti sebuah penyakit, dan bukan hanya menyerang Milla tapi juga orang tua Pena. Tentu mereka ingin selalu berada di samping Pena dalam keadaanya yang sekarang, tapi Milla berhasil meyakinkan mereka untuk berusaha beraktifitas normal. Bergantian untuk menjaga Pena. Milla yakin Pena tahu betapa orang tuanya sayang padanya meski mereka tidak disana menjaganya. Melakukan hal ini bukanlah memandang remeh keadaan Pena tapi memberinya ruang sendiri untuk pulih, sejalan dengan apa yang sedang Milla lakukan saat ini.Dia tak tahu apakah hal itu berhasil atau tidak. meskipun berusaha bersikap normal, tetap saja kekhawatiran melahapnya. Wajahnya sedikit terlihat stress. Setiap awan punya garis perak, untungnya Pena tak bisa melihat betapa kesulitan dia saat ini. Butuh suara Pena untuk melumerkan stress itu. Mengatakan hasil dari jerih payahnya. Jika baik, mungkin akan ada rasa puas; jika tidak, maka Milla bisa memperbaikinya. Apapun itu, sangat diharapkan.Namun usaha dua minggu ini tak berbuah.Beranjak dari sisi Pena untuk memberikannya ruang dan Pena mulai melahap sarapannya. Pindah ke kursi di seberang ranjang dan langsung menyalakan laptopnya. Tangannya tak bergerak, melayang di atas keyboard. Mata terpaku pada layar yang menampilkan setengah perjalanannya menyelesaikan proposal penelitian. Pembimbingnya telah memberi izin untuk mengurusi masalah skripsi tanpa harus bertatap muka, setidaknya untuk sekedar bimbingan. Milla orang yang sangat bertanggung jawab dan dia merasa ada beban berat di punggungnya karena harus meninggalkan kewajibannya sebagai mahasiswa. Ingin menghela nafas panjang namun terurung karena takut terdengar Pena; tak ingin dia tahu kegundahannya.Tak bisa fokus, akhirnya dia berhenti. Di bilah alamat ia memasukkan pencarian “assisting people with visual impairment”, menambah tab baru untuk mencari “emotional trauma after the accident”. Belakangan ini dia sibuk mengedukasi diri dengan hal-hal yang berhubungan dengan orang buta.Sekali melirik ke sudut layar, melihat waktu.Sepuluh menit lagi.Lirikannya naik ke wajah sahabatnya yang sedang mengunyah telur gulung. Lalu kembali ke layar laptop.Ada sebuah banner iklan besar di satu laman yang ia kunjungi. Bergambar pemandangan dan dinosaurus yang digambar menggunakan krayon untuk kampanye mainan bekas untuk anak yatim, yang membuatnya teringat dengan hobi sahabatnya, fotografi. Masih segar di ingatan, dulu di masa SMA, Pena sengaja kelaparan selama hampir satu tahun karena menyisihkan uang jajannya untuk membeli sebuah kamera mahal. Tujuan akhirnya bukanlah untuk menjadi juru foto profesional. Hanya iseng bermodal gairah. Pena suka traveling dan Milla sering menemani. Daripada tujuannya, Pena lebih suka menikmati perjalanannya. Kameranya mengabadikan momen di sana-sini, apapun itu. Lalu hasil fotonya ia coret-coret dengan spidol berbagai warna, seperti menambahkan tato di wajah orang-orang, atau menggambar jerapah di antara rumah-rumah. Kebanyakan anehnya daripada artistiknya.Dia tak memiliki bakat hebat akan hobinya mencoret-coret foto. Hasilnya bukanlah karya seni yang cukup artistik untuk dijual untuk menghidupi diri. Hobinya bisa lebih dibilang buang-buang waktu. Tak bermanfaat--menurut banyak orang. Kedua orang tuanya sudah seringkali menceramahinya untuk mengurangi kegiatannya itu dan lebih fokus dengan kuliahnya. Tapi Pena adalah juara nasional kategori orang paling ngeyel.Dia tak berhenti. Karena dia suka. Namun kini, dia harus.Lagi matanya melirik waktu. Bergegas mengeluarkan handphonenya dari kantong celana. Dengan rasa tak percaya diri memutar radio lewat handphonenya dan meletakkannya di meja samping ranjang Pena. Suara tergeletaknya berhasil memancing Pena yang masih mengunyah makanannya.Mereka tepat mendengarkan siaran stasiun lokal amatir yang sedang memainkan lagu-lagu mancanegara terbaru. Tak lama, suara penyiar menggantikannya.“Selamat pagi untuk rekan-rekan sebangsaku, selamat berjumpa lagi dengan LINEAR. Mungkin bagi anda yang sudah menjadi pendengar setia radio kami merasa asing… baru dan kaku dengan suara saya. “Saya bukan seorang penyiar… saya pun bukan seorang yang bekerja di belakang layar radio LINEAR. Hanya… seorang biasa yang permohonannya dikabulkan oleh teman-teman saya di sini. “Terima kasih.“Perkenalkan… nama saya… Tinta…”Pena terlihat tak bergeming, dan ekspresinya tak tertebak.“Ada seseorang… teman saya, yang ingin mendengar suara saya. Dia meninggalkan pesan untuk saya, yang mengatakan bahwa dia ingin bertemu dengan saya. Saya mendengar kabar bahwa dirinya sedang dalam keadaan yang kurang baik. Semoga keadaannya lebih baik secepatnya. Saya rasa dia belum punya kesempatan untuk membalas pesan saya meskipun saya menjawabnya. Karenanya saya memohon kepada kru LINEAR untuk memperbolehkan menyampaikan pesan saya… untuk Pena.”Mata Milla melirik wajah Pena yang berubah ketika mendengar namanya. Kapan terakhir kali ia mendengarnya. Sedangkan wajahnya sendiri menggambarkan hatinya yang was-was, untuk alasan yang berbeda. “Mungkin ada yang bertanya siapa saya… mungkin banyak yang sudah mengenal desas-desus tentang saya dan teman saya. “Sebagai balas budi, dengan kesediaan saya sendiri, sebagai gantinya, saya diberi waktu sepuluh menit menjadi penyiar untuk mengisi sebuah segmen singkat. Dalam sepuluh menit ini pendengar dapat mengirimkan pertanyaan tentang kami berdua… via twitter dengan menggunakan hashtag #PenaTinta dan mention akun resmi LINEAR… dan saya akan mencoba menjawab.”Ada jeda barang lima detik sebelum suara Tinta kembali terdengar.“Saya gak menyangka ada banyak pertanyaan yang masuk. Oke… pertanyaan dari @liandaraa: ‘kemana mba Pena? Apa kbrnya? Sudah lama nggak kelihatan di cafe. Apa mba Pena sdg sakit?’“Mmmm… Pena sedang dalam kondisi yang kurang baik. Mohon doanya, semoga lekas sembuh.”Lega perasaan Milla mendengar Tinta tak gamblang menyinggung kecelakaan yang dialami Pena. Bicara soal itu memang topik yang sensitif mengingat sifat sahabatnya itu.“@MabukTerus: ‘sering ngeliat tempelan Tinta dan mba Pena di dinding. Pingin kenalan lebih dekat, jadi ikutin instagram mba Pena. Tapi enggak pernah nemu instagramnya Tinta. Apa boleh diberitahu? P.S. semoga lekas sembuh mba Pena.’“Uhmmm sebenarnya saya memang tidak punya akun instagram. Maaf untuk itu. Terima kasih buat doanya.“@Rhidididi_: ‘mas Tinta anak UNILA bukan?’“Bukan, saya bukan mahasiswa UNILA... saya…”Laptop melekat di pangkuan Milla, menelusuri twitter mencari akun resmi radio yang sedang ia dengarkan. Di sana ada banyak pertanyaan-pertanyaan berbaris untuk dijawab. Nampaknya Tinta menyaring pertanyaan-pertanyaan yang ia bacakan. Untungnya tidak ada yang berbau negatif, namun tak sedikit yang berbau menjurus ke masalah romansa dan detail keadaan Pena sebenarnya. Membayangkan bahwa Tinta berhasil diberi segmen sendiri untuk menyampaikan pesannya kepada Pena lewat siaran radio karena ketenaran mereka berdua di kalangan pemuda di kota, rasanya kesan-kesan yang diberikan lewat pertanyaan-pertanyaan yang dipilihnya terasa loyo dibandingkan apa yang mungkin diharapkan dari pihak radio. Sepuluh menit pun berlalu begitu saja.“...ini adalah akhir dari siara saya hari ini. Terima kasih untuk doa dan dukungan dari para penggemar untuk Pena. Saya akan akhiri siaran saya hari ini dengan sebuah lagu untuk teman saya.” Wajah Pena masih tak berubah ataupun tertebak.Benar, pikir Milla, yang terpenting adalah pesannya. Melodi musik hadir. Milla mulai berekspektasi. Dari sepuluh detik awal, mereka sudah punya bayangan lagu apa yang akan dipersembahkan oleh Tinta untuk Pena. Namun apa yang terdengar keluar dari ekspektasi. Mungkin lagu semacam itu diputar di momen yang kurang tepat.Kita anak metalKita kalo joget sukanya mental-mentalTabrak sana-sini seperti kuda binalKita bisa lincah walaupun cuma pakai sendalHabis joget pegal-pegal…“What the f---” Milla kaku dan kaget untuk sesaat. Lirik jenaka lagu Project Pop itu terngiang di kepalanya, melucuti ekspektasi, seperti ditendang dan dipaksa lari telanjang di jalan tol yang ramai. Kenapa? Kenapa? Kenapa lagu ini? Apa hubungannya? Apa yang diharapkan adalah sebuah lagu yang memiliki pesan motivasional, dengan lirik yang serius tentang hidup, dan untuk bersikap positif. Dia tak mengerti apa yang Tinta coba sampaikan lewat lagu itu.Ini dunianya mereka berdua. Mungkin hanya Pena yang mengerti maksudnya.Lagunya berakhir. Pena tak bergerak, terpaku, telinga kanannya menghadap asal suara siaran. Tak ada lagi konten yang berhubungan dengan Tinta. Milla mematikan radio menunggu.Tak ada perubahan terlihat, setidaknya dari luar. Pena berbaring dan tak berkata apa-apa. Semua terasa kembali seperti sedia kala dengan wajah yang sama. Wajah Milla kecewa.
(BERSAMBUNG)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan