Chapter 13
Nampaknya aku belum terlalu sanggup melihat kebahagiaan mereka, kusembunyikan wajahku di balik pintu, tidak sebelum mereka sempat melihatku. Kudengar suara teriakan Neli memanggilku senang.
“Neng!!!!!” teriaknya sebelum berlari menuju pintu kamarku yang masih terbuka.
Hatiku campur aduk, meski telah memutuskan apa yang akan aku lakukan saat bertemu dengan mereka, tidak semudah bayanganku saat mereka telah berada begitu dekat. Dengan senyum meringis aku menyambut pelukan sahabatku itu. Dia begitu ceria, wajahnya cerah dan bersinar, sedikitpun mungkin dia tidak memikirkan persahabatan kami yang dulu hancur, tapi masihkah persahabatan kami baik? Aku tak tahu.
“Hai, Nel. Apa kabar?” tanyaku setelah pelukan kami terlepas.
“Baik, Neng. Gw baik, lu sendiri gimana? Wajah lu terlihat kuyu.”
Wajah Neli murung saat mengatakan hal itu. Neli.. Neli.. Kamu tidak usah terlalu memikirkanku, aku baik-baik saja. Hanya saja sebulan ini memang hampir setiap malam aku menangis sebelum tidur, menangis untuk Liam.
“Aku baik, gak usah khawatir. Cuma kecapekan aja, habis liburannya main-main terus sih,” jawabku sembarangan. Biarlah Neli berpikir liburanku menyenangkan meski aslinya hanya kuhabiskan dirumah membantu mami membersihkan rumah dan menanam pepohonan di halaman.
“Syukurlah kalau lu seneng, Neng. Gw khawatir, gw gak bisa hubungin nomer lu. Rupanya lu serius ganti nomer ya? Gw pengen mampir tapi takut kalau lu bakal ngusir gw. Maafin gw ya, Neng. Kita masih bisa seperti dulu lagi kan, Neng?”
Tentu saja, Nel. Aku juga sudah malas hidup seorang diri tanpa teman, pacar atau orang-orang yang perduli denganku.
“Iya, Nel. Maafin aku juga ya sudah ngata-ngatain kamu,” kataku tulus. Kami lalu berperlukan dengan erat. Senang rasanya persahabatan kami bisa kembali seperti semula. Semoga tidak akan ada kecanggungan lagi di antara kami.
“Ehem...” kudengar suara Edo berdehem di belakang kami.
“Hai, Do,” sapaku padanya. Dia masih terlihat tampan seperti biasa meskipun rambutnya mulai panjang hingga keleher, bahkan cambang yang tumbuh tipis di samping dagunya membuat laki-laki ini terlihat semakin dewasa.
“Hai, Neng. Apa kabar?” tanyanya, kulihat senyum miris di wajahnya.
“Aku baik, Do. Kamu?”
“Gw juga baik.” lalu kami terdiam lagi.
Aku tidak tahu apakah Neli dan Edo sedang menjalin hubungan sekarang karena aku tidak ingin menebak, tapi bila mereka berdua datang dengan mobil yang sama dan tertawa begitu riang.. Mungkin saja mereka memang sedang jalan bareng. Aku turut bahagia untuk mereka..
Neli mencairkan kebekuan di udara, dia meminta Edo untuk duduk di kursi teras depan kamarku sementara dia masuk ke kamarnya meletakan barang-barangnya.
“Do, lu disini dulu ya. Gw mau mandi. Neng, lu udah makan? Kalau belum nanti kita makan bareng aja, gimana?” tanya Neli.
Aku mengangguk lemah. “Boleh,” jawabku.
Setelah Neli masuk ke dalam kamarnya, kupersilahkan Edo duduk di teras kamarku. Suasana cukup canggung karena kami hanya diam membisu seperti itu. Aku duduk di lantai pintu masuk kamarku sementara Edo duduk di atas kursi, lalu dia pindah untuk duduk di sampingku. Ruang pintu masuk itu hanya muat untuk kami berdua, dengan terpaksa tubuhku kugeser kesamping, memberi ruang untuk Edo duduk.
“Selamat ulang tahun, Neng.. Sori gw telat ngucapinnya. Semestinya perayaan ulang tahun lu meriah dan tak terlupakan. Gw merencanakan ultah lu bareng Neli, gw juga merencanakan bagaimana gw bakal ngelamar lu, jadiin lu tunangan gw saat hari ulang tahun itu. Saat lu lihat gw pegang dan cium tangannya Neli, gw cuma latihan sama dia gimana gw bakal megang dan cium tangan lu nanti. Gw salah, Neng. Semestinya gw gak ngelakuin hal itu bareng Neli. Gw gak ada maksud apa-apa. Sumpah demi mami gw, gw cuman sayang sama lu, Neng. Gw milih diam waktu si.. siapa sih namanya cowok itu? Adik istri bokap lu? Yang langsung seenaknya nuduh kalau kita udah putus? Pengen gw jontor aja mukanya waktu itu, tapi gw gak pengen lu makin salah pengertian sama gw, Neng. Dari Neli gw tahu lu udah salah paham sama kami, tapi memang ini salah gw, gw nyesel. Semestinya gw gak usah sok romantis pengen ngadain pesta kejutan buat lu, gw cuma pengen pesta ultah lu yang ke dua puluh satu ini menjadi kenangan indah lu, Neng. Maafin gw, justru sebaliknya yang gw lakuin ke elu.”
Mami.. Aku tidak tahu harus berkata apa demi mendengar penuturan Edo. Jadi selama ini aku telah salah paham? Selama ini Edo dan Neli tidak mengkhianatiku? Dan.. justru akulah yang telah mengkhianati Edo.. Aku dengan keegoisanku, tidak memberikan mereka menjelaskan, tidak memberikan mereka kesempatan yang sebenarnya hanya diperlukan sebuah niat memaafkan yang tulus dalam hati dan semua akan jelas.
Tubuhku tergoncang keras oleh isak tangisku. Semua yang kulakukan kini terlihat sungguh menjijikan. Satu pelajaran yang kudapat dari semua ini adalah jangan pernah dekat dengan laki-laki lain setelah baru saja putus dengan pacarku. Beginilah akibatnya, sebuah percintaan semalam yang merenggut kesucianku dan bahkan tidak jelas akan seperti apa hubunganku dengan laki-laki itu, dan kini Edo membuat pengakuan yang mengguncang seluruh cara pikirku sebulanan ini. Aku tidak mungkin berhubungan dengan Edo lagi setelah apa yang aku lakukan bersama Liam. Edo.. Kenapa sih kamu musti pakai acara sok romantis gitu? Kan semua jadi runyam. Hatiku menangis darah rasanya saat ini.
“Neng.. Maafin gw, bisa gak kita kembali seperti dulu? Seperti sebelum semua salah paham ini terjadi? Gw mencintai lu, Neng. Gw sungguh-sungguh. Cuman lu cewek yang pengen gw nikahin. Dan gw pengen nikahin lu secepatnya. Mungkin lu bakal takut setelah denger rencana gw, tapi gw serius. Gw gak punya sodara, Neng. Bokap gw udah tua, mami gw juga udah sakit-sakitan. Gw cukup mapan untuk membangun sebuah keluarga meski usia gw belum matang kata orang. Tapi gw cowok bertanggung jawab, Neng. Gw bersumpah demi Tuhan, demi mami gw, gw bukan tipe cowok yang suka selingkuh atau main mata. Gw gak akan ngecewain lu, Neng. Maafin gw ya, Neng.”
Edo menggenggam tanganku, lalu dikecupnya dengan bibirnya.
Aku tidak bisa menjawab Edo, bibirku bergetar, tidak ada suara yang sanggup kuucapkan. Edo.. Edo.. Kenapa.. Oh, Tuhan.. Semua berantakan hanya karena gairah semalam.
“Tapi, Do.. Kita sudah tak mungkin lagi kembali seperti dulu. Aku gak bisa, Do. Aku sudah gak pantes buat kamu, Do. Kamu terlalu baik untukku, aku.. Aku sungguh nggak bisa. Maafkan aku, Do.”
Kini air mataku benar-benar banjir membasahi pipi hingga jatuh ke leherku. Penyesalan memang selalu datang terlambat, aku tidak bisa menatap mata Edo saat ini, aku sungguh malu.
“Kenapa, Neng? Kenapa lu gak bisa? Apa perlu gw teriak biar seluruh dunia tahu kalau gw nyesel banget udah nyakitin hati lu? Gw rela, Neng. Gw sanggup lakuin itu, gw akan lakuin apa aja biar lu mau maafin gw, Neng. Maafin gw ya, Neng...” Edo memohon dengan sangat di sampingku, oh, mami.. Tolonglah aku.. Berikan aku jalan keluar yang terbaik untuk masalahku ini.
“Do.. Aku akan jujur sama kamu.. Aku udah gak perawan lagi, Do. Saat kita pisah, aku tidur dengan seorang cowok dan aku sudah kehilangan keperawananku, Do. Aku sudah gak ada muka untuk jadi pacarmu lagi, masih banyak cewek baik-baik yang pantas jadi pacarmu selain aku.”
Sungguh aku tidak berani menatap mata Edo sekarang, setelah pengakuanku yang pasti mengguncangnya. Tangan Edo yang menggenggam tangankupun kurasa tegang mencengkeram tanganku. Tuhan.. Maafkan aku karena telah melukai hati laki-laki baik ini.
Tapi perkataan Edo benar-benar mengejutkanku, entah dia bodoh atau terlalu baik atau keduanya aku tidak tahu.
“Gw gak perduli, Neng. Mau lu perawan atau enggak, gw tetep pengen nikahin lu. Gw juga bukan cowok baik-baik, Neng. Hanya karena lu nyerahin keperawanan lu sama cowok lain bukan berarti lu itu gak pantas, Neng. Bagi gw, lu itu masih suci, gw ngelihat sifat lu, Neng. Apa yang lu lakuin itupun karena kesalahan gw. Coba gw gak ngelakuin kesalahan bodoh ini, lu gak mungkin berbuat seperti itu. Gw bikin lu begini, Neng. Itu kesalahan gw dan maaf dari lu pun gak akan pernah cukup untuk gw ngurangin rasa bersalah gw, Neng. Lu jangan pernah mandang rendah diri lu, Neng. Bagi gw, lu wanita terhebat yang pernah gw kenal. Gw cinta lu, Neng. Maafin gw, ya..?”
Oh, mami.. Kenapa kata-kata Edo begitu manis? Bagaimana hatiku tidak luluh mendengarnya, tapi apakah boleh seperti ini?
Setelah pergi dari pelukan Liam kemudian aku jatuh ke dalam pelukan Edo? Bagaimana kalau Liam tiba-tiba muncul lagi dalam hidupku? Aku takut bila perasaan ku padanya akan muncul lagi, dan.. aku tidak tahu bagaimana perasaanku pada Edo saat ini. Ya, Edo adalah pria idamanku, dia dengan semua sifat dan kebaikannya yang baru terungkap setelah kesalah pahaman kami yang merusak segalanya. Apakah aku bisa mencintai Edo sebesar rasa cintanya padaku? Aku bingung, sungguh bingung. Lalu Edo mengecup pipiku, menghapus air mataku yang mengalir dengan ciumannya. Mataku terpejam, hatiku sedih memikirkan ini semua.
“Edo.. Apa yang kamu lakukan?” bisikku sedih. Wajah kami begitu dekat, untuk pertama kalinya wajah Edo sedekat ini denganku.
“Gw pengen nyium lu, Neng. Selama ini gw nahan perasaan gw, tapi sekarang gw gak bisa bertahan lagi. Gw pengen jadiin lu milik gw. Hanya milik gw.” lalu kubiarkan Edo mencium bibirku dengan mesra. Edo mungkin tidak berbohong saat mengatakan dia bukanlah laki-laki baik-baik. Dari caranya berciuman, aku tahu Edo telah memiliki pengalaman yang tak kalah banyaknya dengan Liam.
Ciuman Edo lembut, tidak mendesak, tidak terburu-buru. Dia menikmati setiap detik bibir kami menyatu. Lidahnya menyentuh bibirku dengan lembut, menghisap dengan pelan namun dalam. Edo.. Edo.. Kudorong tubuh Edo menjauh, khawatir orang-orang kos akan melihat kami berciuman seperti ini. Wajahku merah padam karena malu, sedang wajah Edo merah padam menahan gairahnya. Dia memandangku tanpa kedip, aku tahu apa yang dia inginkan, wajahnya nampak sama sayunya seperti Liam saat laki-laki itu menginginkanku di atas ranjang.
Tapi kemudian Edo mencium keningku lembut. Dia tersenyum padaku. “Jadi.. Kita baik lagi?” tanyanya.
Sejujurnya aku tidak tahu, apakah aku harus menerima Edo lagi. Meskipun permasalahan kami hanya karena salah paham, namun masalah yang muncul setelahnya sangat mengganjal hatiku. Dengan Liam.. Aku masih punya urusan yang belum kubereskan. Tapi sudah sebulan lebih Liam tidak berkabar atau menanyakan keadaanku sama sekali. Dia hilang ditelan bumi, apakah aku harus menunggunya? Sementara di sampingku ada seorang laki-laki yang mengaku begitu mencintaiku dan masih sanggup menahan gairahnya untuk tidak menelanjangiku saat ini juga. Sungguh jauh berbeda dengan seseorang di luar sana, yang tidak bisa menunggu sedetik pun untuk menyatukan bibir kami dan tubuh kami, meski tanpa dasar cinta.
Saat ini, hubungan yang kumiliki dengan Liam terlihat tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hubunganku bersama Edo. Bersama Liam aku tidak melihat sebuah masa depan yang cerah, sementara bersama Edo, aku bisa membayangkan sebuah keluarga yang bahagia dengan beberapa orang anak dan Edo akan menjadi seorang ayah yang baik dan bertanggung jawab serta sangat menyayangi istri dan anak-anaknya. Edo adalah suami dan ayah impian kendatipun usianya bukanlah usia yang aku inginkan. Tapi terlepas dari usianya, Edo memiliki sifat dewasa yang tidak dimiliki oleh laki-laki berusia dewasa kebanyakan. Edo.. Haruskah kuterima permintaanmu?
Dan aku mengangguk. Akhirnya aku memutuskan hubungan mana yang akan membawaku ke dalam kebahagian dan hidup yang nyaman, tenteram dan terbebas dari pengkhianatan, ya.. hidup bersama dengan Reynold Edo Suganda.
Chapter 14
Meskipun saat ini aku baru masuk ke semester lima kuliahku dan belum pernah mendapatkan tugas on the job training ke hotel-hotel, namun seorang teman sekelasku menawarkan pekerjaan part time dengan upah yang cukup menggiurkan. Dua ratus ribu untuk satu hari penuh, dari pagi pukul tujuh sampai malam pukul sepuluh. Memang gaji di dunia pariwisata tidak sebesar gaji pegawai negeri, namun bonus dan service yang menjanjikan bisa kami dapatkan bila tingkat occupancy hotel cukup tinggi.
Seperti pagi ini, pukul enam lewat lima belas Edo sudah mengetuk pintu kamarku, dia dengan senyum yang selalu terpasang di wajahnya menyambutku saat kubukakan pintu kamar kosku. Sudah dua minggu lebih kami jalan lagi, bahkan hubunganku dengan Neli sudah kembali seperti semula, semua salah paham yang pernah terjadi telah kami lupakan. Neli juga mulai PDKT dengan kakak kelas kami, teman Edo.
Edo mengantarkanku hingga pintu masuk depan hotel, dia berjanji akan menjemputku pukul sepuluh kurang dan memberikanku sebuah kecupan di pipi. Hanya sesekali Edo akan mencium bibirku, nampaknya dia masih sanggup bertahan, terkadang aku geli dibuatnya bila Edo menampakan wajah meringis menahan gairahnya. Dia lalu hanya akan menciumi keningku dan berbaring di atas ranjang menatap lekat-lekat pada langit-langit kamar. Begitulah Edo, dia manis sekali, kan?
Sudah pukul sembilan pagi sekarang, persiapan acara tempat aku bekerja paruh waktu menjadi waitress telah final. Kami sedang bersiap-siap untuk membawa masuk makanan ringan untuk di letakan di meja ruang ball room tempat sebuah seminar diadakan. Ruangan itu dipenuhi orang-orang dengan pakaian formal dan berjas putih, nampak sesekali beberapa orang dengan jas putih berkibar akan keluar masuk ruangan dengan tergopoh-gopoh menyiapkan bahan-bahan presentasi mereka sebelum semua peserta seminar memenuhi ruangan ini.
Ruangan ballroom hotel ini bisa menampung seribu orang peserta seminar yang telah dilengkapi dengan sound system, vas bunga raksasa, papan-papan reklame dari pabrik obat, karangan bunga dengan tulisan ucapan selamat dan sukses, spanduk-spanduk dengan produk nama obat-obatan, dan tak kalah papan dari gabus yang biasa dipasang saat pembukaan atau peresmian gedung, hotel dan sejenisnya. Sungguh seminar ini merupakan salah satu seminar terbesar yang diadakan di kota kami, begitulah yang diberitahukan oleh seniorku, dia pegawai tetap hotel ini.
Kini seminarnya sudah dimulai, kami pun sibuk mengisi ulang makanan dan minuman yang mulai berkurang. Saat-saat peserta seminar telah duduk kembali di kursinya, barulah kami dapat beristirahat sejenak melemaskan kaki yang mulai pegal. Seniorku bernama mbak Dewi, dia senang sekali berbicara dan mendiktekan perintah-perintah tanpa henti, namun demikian dia adalah pribadi yang menyenangkan. Mbak Dewi senang menjelaskan apa saja yang dirasanya perlu untuk dijelaskan, bahkan mungkin bila dia merasa langit biru tidak cocok ketika hatinya sedang mendung, mbak Dewi akan menjelaskan mengapa hal itu tidak cocok menurutnya.
Mbak Dewi mencoel lenganku, kali ini entah apa yang ingin dijelaskannya padaku lagi. Telingaku hampir sesak dengan informasi-informasi yang dijejalkannya sedari pagi. Dia tidak kelelahan berbicara rupanya meskipun wajahku sudah menunjukkan bagaimana bosannya aku mendengar penjelasannya, tapi kuusahakan sebuah senyuman miris di wajah untuknya.
“Neng, lihat deh...” katanya sambil menarik lengan bajuku.
“Ada apa sih, Mbak?” tanyaku bosan. Mataku mencari-cari ke arah yang dia tunjukan padaku.
Seorang laki-laki sedang berdiri di atas panggung, suaranya hampir tak terdengar meskipun sound system telah diperbesar suaranya hingga aku harus sedikit berteriak agar mbak Dewi mendengar pertanyaanku. Laki-laki itu dengan jubah putihnya yang berkibar sedang sibuk menjelaskan isi dari proyektor yang sedang ditayangkan di layar. Entah apa yang dia jelaskan, aku rasa seminar kali ini adalah acara rutin para dokter spesialis jantung untuk berkumpul dan membagi informasi tentang ilmu kedokteran terbaru dalam spesialisasi mereka.
“Tuh, lihat deh laki-laki di depan itu, kamu tahu dia siapa?” tanya mbak Dewi lagi.
Ya, mana aku tahu, memangnya aku dukun? Dengan sebal kucoba melirik lagi ke arah laki-laki itu, namun tubuhnya dihalangi oleh asistennya yang sibuk berdiri membawakan kertas-kertas yang dia perlukan untuk ditunjukan dalam proyektor. Wajahku merengut, tak sabar dengan informasi apapun yang ingin dijejalkan oleh mbak Dewi ke kepalaku lagi.
“Enggak tahu lah, Mbak. Emang mbak tahu?” tanyaku langsung, hanya agar dia segera menjelaskan apapun yang ingin dijelaskannya sedari tadi.
“Dia itu lho.. Direktur utama rumah sakit terbesar di kota kita, Neng. Tahu, kan? Rumah sakit yang baru berdiri setahun yang lalu. Orangnya cakep, pinter, kaya, udah gitu masih muda. Masak baru umur awal tiga puluhan udah punya gelar doktor dan spesialis? Keren, kan? Otaknya encer banget, bahkan lebih encer dari air,” kekeh mbak Dewi.
Aku tidak bisa menyembunyikan rasa takjubku mendengar penuturan mbak Dewi. Ada ya manusia sehebat itu? Pikirku. Meski aku hanyalah seorang calon mahasiswi fakultas kedokteran yang gagal, aku tahu untuk mendapatkan sebuah gelar sarjana kedokteran memerlukan waktu sedikitnya tujuh tahun. Belum lagi sekolah untuk meraih gelar spesialis, dan gelar doktor??? For sure?? Dan usianya baru tiga puluhan tahun?
Oh, tidak!! Pasti keluarga laki-laki itu sangat bangga padanya, istrinya pasti sangat senang memiliki suami seperti dirinya, bahkan mungkin istrinya juga adalah wanita yang pintar, berpendidikan tinggi. Terkadang mereka memang memilih untuk mencari pasangan yang sepadan dengan diri mereka, yah.. Begitulah dunia, kalau tidak sepadan tentu akan terjadi kesenjangan dalam hidup rumah tangga mereka. Apalagi kalau si istri lebih sukses, biasanya si suami akan minder dan itulah yang biasanya menjadi pemicu retaknya hubungan rumah tangga. Aku turut berbahagia untuk mereka, aku hanya bisa menatap iri dari kejauhan melihat kesuksesan orang lain dan berharap kesuksesan mereka memicuku untuk menjadi lebih baik lagi.
“Iya, Mbak. Hebat. Ada ya orang seperti itu? Aku kira hanya di ibukota aja orang-orang pintar berkumpul, rupanya di kota kecil seperti kota kita juga ada,” jawabku sembari tersenyum lemah. Aku membayangkan seperti apa hidupku sekarang bila aku berhasil lulus ujian masuk perguruan tinggi fakultas kedokteran waktu itu. Mungkin saja aku juga bisa seperti laki-laki itu.
Dengan sudut mataku kulirik laki-laki itu yang kini turun dari podium dan kembali ke kursinya di bagian depan peserta seminar. Acara kemudian diambil alih lagi oleh moderator.
“Baiklah, berikan tepuk tangan yang meriah untuk bapak direktur karena telah membagi ilmu terbaru mengenai spesialisasi kita hari ini. Untuk diketahui bersama, bapak direktur baru saja kembali dari Amerika pagi ini, kita sungguh mendapat kehormatan karena beliau langsung menghadiri seminar ini sebelum pulang kerumah, bahkan beliau lebih memilih untuk menemui rekan-rekan sejawat daripada mungkin seorang terkasih yang sudah menunggu beliau selama sebulan lebih ini. Benar begitu kan pak direktur?” celoteh moderator yang mendapatkan sorakan dan tepuk tangan meriah dari seluruh hadirin yang memenuhi ruangan ballroom ini.
Sungguh lucu bagaimana moderator itu menggoda orang dengan status tinggi seperti direktur itu, aku hanya bisa ikut tertawa karena memang apa yang dikatakan oleh moderator itu ada benarnya. Pastilah wanita yang menunggu laki-laki itu merindukan dirinya, sebulan katanya? Waktu yang cukup lama untuk ditinggalkan oleh orang yang dicintai.
“Baik.. Baik.. Maafkan saya pak direktur, itu tadi hanya sekedar bercanda. Semoga tidak dimasukkan ke dalam hati. Begitulah hadirin rekan-rekan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, seminar dari bapak direktur kita yang terhormat. Berikan tepuk tangan sekali lagi untuk bapak direktur kita, Dr. dr. William Andreas Renatha, Sp.Jp.”
Dan tepuk tangan riuh pun kembali bergema di udara. Sungguh laki-laki ini begitu dihormati di ruangan ini, benar-benar pria terhormat. Aku menghela nafasku, membayangkan gelar yang akan kuterima nanti saat jubah toga telah kupakai. Apa ya gelarku nanti? Hmm..
Part time job kali ini cukup membuatku kelelahan, kakiku pegal-pegal minta ampun. Untungnya besok sabtu, aku hanya kuliah setengah hari dan Edo akan mengantarkanku pulang ke rumah mami. Aku bisa beristirahat dalam perjalanan, Edo tidak akan keberatan meskipun aku tidak menemaninya mengobrol selama perjalanan. Ah.. Aku merindukan Edo.. Hatiku hangat bila mengingatnya, Edo.. laki-laki idamanku.
Edo telah menungguku di depan pintu keluar hotel, dia sedang duduk bersedekap di atas kap mobilnya. Dengan senyum khasnya, Edo memeluk tubuhku yang kelelahan.
“Aku bauk,” ujarku lemah. Aku benar-benar kecapekan, bekerja dua belas jam lebih dalam sehari rasanya terlalu berat untuk pemula sepertiku. Tapi bayaran yang kudapat cukup banyak, dan yang terpenting aku mendapatkan sertifikat yang bisa kupakai nanti untuk melamar pekerjaan. Inilah keuntungannya mengikuti kerja paruh waktu seperti ini, semakin banyak sertifikat yang kumiliki artinya semakin banyak pula pengalaman kerjaku dan semakin besar pula peluangku untuk diterima untuk bekerja di hotel pilihanku nanti.
Edo hanya tersenyum sembari mencium pipiku meskipun kukatakan tubuhku bau. Ya bau keringat dan anehnya Edo malah mengatakan aroma tubuhku seksi dan dia bergairah karenanya. Ah.. mami.. Edo mulai nakal, Mi...
“Lu udah makan, Neng? Apa kita mampir ke rumah makan dulu?” tanya Edo saat mobil meluncur pelan menuju kosku.
“Hoouaahhemm...” aku menguap, aku mengantuk. “Nggak usah, Do. Aku ngantuk banget, aku pengen cepet pulang trus tidur,” jawabku. Mataku sudah lima watt, aku hampir tertidur di kursi, perjalanan dari hotel ke kos juga tidak sebentar. Semoga aku tidak ketiduran, aku tidak ingin Edo menganggapku hanya memanfaatkannya sebagai sopir meski kenyataannya memang demikian. Hehe.. Maafkan aku, Do.
Pukul enam pagi, aku terbangun di atas ranjang yang empuk. Seprai yang kutiduri pun berwarna putih bersih dan wangi. Ini bukan ranjangku, ranjangku memiliki seprai berwarna hijau, aku ingat karena baru pagi tadi aku menggantinya dengan yang baru. Lalu dimana aku berada sekarang?
Akupun bangkit dari tidurku, kaget. Ruangan ini belum pernah kulihat sebelumnya, ini dimanaaa?? Lalu kurasakan tubuhku ditarik untuk tidur lagi. Siapa??
“Tidur lagi, Neng.. Gw masih ngantuk.” suara Edo!! Apa??!! Jadi aku ada dimana?? Kamar Edo? Ini menjelaskan mengapa dia berbaring disampingku. Dia bahkan bertelanjang dada, apakah kami..???
Kuperiksa pakaianku, masih utuh. Edo tidak melakukan apa-apa padaku, kan? Sebelum sempat mendapatkan jawabanku, Edo telah memeluk tubuhku, mencium bibirku mesra meskipun matanya masih terpejam.
“Jangan panik, gw gak akan buka mata kalau lu marah. Jangan marah ya, Neng. Gw liat lu tidur nyenyak banget, karena kos lu jauh, terpaksa gw bawa lu ke rumah gw, ehm.. Ini kamar gw, jadi gak akan ada yang ganggu kita disini.” Edo masih belum juga membuka matanya.
“Gak apa-apa, Do. Aku gak marah kok. Tapi kita.. gak lakuin apa-apa, kan?” tanyaku bingung.
Edo membuka matanya, dia tersenyum lagi. “Selamat pagi, Cinta.. Enggak, kita gak lakuin apa-apa.. Belum...” kekehnya yang membuat pipiku merona merah.
“Lu cantik banget, Neng. Gw pengen setiap hari liatin lu seperti ini, diranjang gw. Setelah gw lulus, kita nikah ya, Neng? Lu bisa lanjutin kuliah lu, gw gak akan maksa lu buat hamil, setidaknya gak sampai lu lulus. Kalau lu gak keberatan, lu bisa kerja di hotel keluarga, malah lu bisa ngurus semuanya langsung kalau lu gak pusing duluan,” kekehnya lagi.
Aku menahan nafasku demi mendengar ucapan Edo. Edo melamarku??? Mamiiii... Memang ada orang yang ngelamar di atas ranjang? Aku yakin penampilanku berantakan, kucel dan kumel, aku kan belum mandi sejak kemarin pagi. Bagaimana Edo bisa bilang aku cantik?? Duh mami, aku malu..
Seperti gadis remaja kututup wajahku, aku benar-benar malu. Aku tak tahu harus menjawab apa, bingung, senang, tapi.. aku juga sedih. Jauh di sudut hatiku aku masih mengingat laki-laki itu, aku tidak mungkin bisa melupakannya. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan bajingan berengsek itu? Dia telah mencuri hatiku dan aku tidak bisa memintanya kembali.
Edo membuka kedua tangan yang kupakai untuk menutupi wajahku darinya, didekatkannya wajah kami. Edo berbisik lembut, bisikannya membuat darahku berdesir. Ya, Tuhan.. Mengapa kisah cintaku begitu pelik.. Aku sungguh bimbang saat ini, apa yang harus aku lakukan? Tolonglah aku.. Berikan jawaban untukku..
“Neng.. Gw cinta lu. Wo ai ni. Aku cinta padamu. I love you.. Semua artinya sama. Semua menyatakan bahwa hati gw milik lu, Neng. Hanya elu. Will you marry me?”
Sekarang bagaimana aku harus menjawab pertanyaan ini? Bila aku menolak Edo, dia pasti berpikiran yang macam-macam. Tapi bila aku tidak menolaknya sekarang.. Aku takut.. Aku takut akan mengkhianatinya seperti dulu. Aku belum yakin dengan perasaanku, belum sepenuhnya. Karena aku tahu, rasa cintaku pada Edo belumlah seberapa dibandingkan rasa cintaku pada laki-laki berengsek itu. Aku menyukai Edo, sangat. Hatiku hangat saat bersamanya, tapi.. dengan laki-laki berengsek itu.. Hatiku sakit, hatiku begitu merindukannya. Rindu yang berbeda bila mengingat Edo. Tuhan, mengapa aku harus dihadapkan pada perasaan ini?
Liam.. Sebulan lebih sudah dia tidak mengabariku, bahkan setelah percintaan kami, dia tidak berniat untuk menghubungiku. Bahkan sebuah kabarpun tak ingin diberikannya. Bagaimana aku bisa berharap memiliki hubungan dengan laki-laki seperti dirinya? Tapi mengapa hatiku selalu menginginkannya? Mengapa hatiku berteriak dan meronta ingin melepaskan diri dari pelukan Edo dan berlari pada pelukan Liam?
Dengan menyesal kuberikan jawaban yang paling aman pada Edo. Dia kecewa, namun sekejap saja. Bibirnya kemudian masih tersenyum, meski hanya sebuah senyum miris, tapi dia mengerti. Edo sangat mengerti, bagaimana mungkin aku merasa perlu untuk berpikir dua kali untuk menjawab lamaran laki-laki di hadapanku ini? Edo begitu sempurna.. Tapi, mengapa sempurna saja tidak cukup untuk membuatku mencintainya??
Chapter 15
Aku akhirnya bolos kuliah, Edo mengantarkanku ke kos untuk mengambil barang-barangku sebelum kami pulang ke rumah mami. Tadi pagi aku bertemu dengan orang tua Edo, mereka memang tidak banyak bicara, terlihat sekali hubungan yang begitu buruk di antara mereka. Bahkan Om Victor segera pergi setelah melihat kami keluar dari kamar Edo. Edo tidak banyak berbicara pada papanya, mereka bahkan tidak saling menyapa, jelas sekali hubungan ayah anak ini sangat buruk. Tante Nancy, istri Om Victor, maminya Edo, wanita yang kutaksir berusia lima puluh tahun ini hanya duduk seharian di depan televisi, dia memang tersenyum padaku, namun hanya seperti itu. Dia juga tidak banyak bicara, Edo mengecup pipi maminya sebelum kami pergi.
Edo mengajakku sarapan bubur di sebuah kios langganannya, buburnya enak, tapi aku tidak begitu suka makan bubur, jadi sekarang perutku terasa mual. Aku tidak mengatakannya pada Edo, takut dia merasa tidak enak. Lain kali aku akan menolaknya bila dia mengajakku makan ke tempat itu lagi. Yikes.. Aku memang tidak suka bubur dari dulu.
Tubuh Edo menegang saat kami tiba di depan pintu gerbang kosku, aku menoleh pada arah tatapan mata Edo. Apa yang membuatnya tegang seperti itu??
Liam??!!! Dia dengan mobil CRV nya menghadang jalan masuk ke halaman kos. Edo menghentikan mobilnya di belakang mobil CRV hitam milik Liam, tanpa menungguku Edo turun dari mobil dan langsung menghadapi Liam. Apa-apaan?? Apa yang akan dia lakukan pada Liam? Apa yang akan mereka lakukan?? Oh, tidakk!! Tuhannn... tulung..tulungg...
Benar saja, Edo menghantam telak wajah Liam hingga pria itu tersungkur ke belakang. Oh, tidak.. kacamatanya pasti pecah lagi!! Ah, bodoh!! Kenapa aku lebih memikirkan kacamata miliknya?? Seharusnya aku histeris demi melihat hidung Liam yang mengucurkan darah segar. Jangan katakan kini tulang hidungnya juga patah??!!! Tidakkk!!! Edoo... hentikan... kamu akan membunuhnya.
Kubuka pintu mobil dan berlari ke arah mereka, teriakanku tidak mempan, dua laki-laki itu sama sekali tidak menggubrisku. Liam yang kini telah berdiri di atas kedua kakinya berbalik menghantam Edo di perutnya, lalu tinju kirinya melayang menghantam rahang Edo. JAB!! Giliran Edo tersungkur mencium paving dibawahnya.
Arghh!!! Tidak!! Bagaimana ini?? Kenapa semua berkelahi?? Aku kebingungan, jantungku berdebar kencang, aku benar-benar ketakutan. Mengapa mereka melakukan hal ini? Edo.. Mengapa dia memukul Liam tanpa alasan??
“Hentikan... hentikan!!” aku coba menengahi kedua laki-laki yang bersifat kekanak-kanakan ini. Bukannya melerai mereka, justru tubuhku kini menjadi bahan tarik-menarik keduanya. Oh tidak.. Aku mencari kematianku, aku sungguh bodoh.
“Lepaskan dia!! Dia milikku!!” teriak Liam memekakkan telingaku, darah masih mengucur dari hidungnya, mengotori kemeja putihnya. Kemeja yang dikenakan Liam tampak mengerikan dengan noda darah yang turun melewati lehernya. Liam..
Di sisi yang lain Edo tak kalah kuatnya menarik lenganku. Matanya berapi-api saat menegaskan kepemilikannya akan diriku. Hey.. aku bukan barang yang perlu kalian perebutkan. Aku bisa memilih kemana aku akan pergi, hentikan ini!!
“Lu yang lepasin. Neng milik gw. Gw akan nikahin dia, lu jangan ganggu Neng lagi, lu ngerti??!!” teriak Edo kencang. Orang-orang mulai menonton perkelahian ini. Nampak bisik-bisik diantara mereka, ada yang bersedekap, ada yang menunjuk-nunjuk, entah apa yang mereka gosipkan, dan bahkan ada yang mengambil foto kami bertiga, oh tidakkkk mamiii....
“Kalian hentikan, malu dilihat orang. Lepaskan aku... Kalian membuat tanganku sakit,” teriakku putus asa. Tak ada diantara mereka yang mau mengalah, Liam makin tersulut emosinya setelah mendengar pernyataan Edo yang mengatakan bahwa kami akan menikah.
Dengan sekali hentakan keras dan kakinya yang menendang tulang kering Edo, Liam menarik tubuhku ke arahnya. Dia mencengkeram bahuku dan tak ingin melepaskanku. Oh, tidak.. akan semakin parah bila dia tidak menjaga mulutnya dan mengatakan hal yang tidak perlu.
“Dia milikku!! Dia tidak akan menikah denganmu, Camelia... Dia sedang mengandung anakku,” aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku, begitu juga Edo dan beberapa orang yang menonton kami dari dekat.
TIDAAKKK!!!! Pria ini memfitnahku!! Aku tidak hamilll... Tidak mungkin aku hamil!! Iya, kan? Tidak mungkin, kan?? Argh.. akupun mulai meragukan jawabanku sendiri. Aku tidak berani memikirkan kapan terakhir aku mendapat periodeku, aku tidak berani. Bila jawaban yang kucari tidak sesuai dengan keinginanku maka aku akan frustasi, aku tidak mau hamil, tidak di usiaku sekarang. Aku baru dua puluh satu tahun.. Aku masih ingin menikmati kebebasanku, bukan merawat bayi.. oh, mami...
Wajah Edo langsung pucat pasi, dia terguncang. Yah, bagaimana tidak?? Dia pasti terguncang!! Akupun terguncang!! Dan Liam dengan wajah iblis nan culasnya tersenyum penuh kemenangan. Sialan, pria berengsek dan bajingan ini begitu senang dengan tipu muslihatnya. Mengapa dia datang lagi setelah melukai hatiku?? Apakah tidak lebih baik bila dia menghilang saja dan tak kembali, sehingga hidupku akan lebih aman, hatiku tidak akan kesakitan seperti ini karena merindukannya.
“...Bagaimana lu bisa tahu kalau itu anak lu?? Bisa saja Neng mengandung anak gw, kan?”
Kini aku menatap wajah Edo, mungkin wajahku sama pucatnya dengan wajah Liam. Kami sama-sama terdiam, sementara para penonton sekali lagi menahan nafas mendengar semua drama ini. Tubuh Liam menegang, cengkeramannya semakin kuat pada bahuku, cengkeramannya menyakitiku.
“Sakit... Lepaskan...” pintaku memelas pada Liam yang masih terguncang. Dia pasti tidak menyangka Edo akan membalikkan perkataannya seperti itu, Liam tidak bersiap untuk mendapat balasan seperti ini. Dia kalah.. lalu cengkeramannya mengendur kemudian terlepas, tangannya jatuh pasrah di samping tubuhnya. Liam mengusap hidungnya, darah telah berhenti mengalir, kini darah di wajahnya mulai mengental dan perlahan-lahan mengering.
Liam menatap wajahku dengan seksama, ada semacam ekspresi asing yang kulihat di matanya, dia terguncang, dia terlihat sedih, seperti orang yang tercabut semangatnya. Seperti orang yang tidak memiliki kehidupan. Lalu Liam masuk ke dalam mobilnya, tanpa mendengarkan penjelasanku atau menanyakan padaku kebenaran perkataan Edo, Liam menancap gasnya dan berlalu dari tempat ini. Suara ban mobil berdecit di kejauhan, aku hanya berdoa Liam tidak akan melakukan hal-hal yang akan disesalinya kemudian.
Edo mendekatiku, bibirnya robek, meski tak separah Liam, tapi wajahnya lumayan mengenaskan. Pipinya mulai terlihat lebam dan kemerahan. Nampaknya rahangnya cukup keras dihantam tinju Liam. Ahh.. Mengapa bisa serunyam ini? Bahkan yang tadinya kukira begitu pelik tak sepelik masalah yang sudah terjadi sekarang.
Ibu pengurus kos mengusir orang-orang yang sedari tadi menonton kami, mereka semua bubar, tidak lagi melihat tontonan yang masih ingin mereka simak.
“Maafin gw, Neng. Gw gak pengen dia ngambil elu dari gw. Dia.. apa laki-laki itu yang...” tanya Edo ragu-ragu.
Aku mengangguk, aku tahu apa yang ingin Edo tanyakan, sungguh memalukan bila sampai dia mengucapkan pertanyaan itu. Aku menghela nafasku, semua telah terjadi, aku tidak ingin Edo memakai kesalahanku untuk menghukumku. Bila dia tidak suka dengan apa yang telah aku lakukan di masa lalu, dia bebas untuk pergi. Dan dia memilih untuk tinggal, maka aku akan merawat yang bersedia tinggal.
Ku obati luka bibir Edo dalam kamar kosku, kami akhirnya memutuskan untuk pulang besok pagi saja ke rumah mami. Pipi Edo lebam dan bengkak, dia bahkan tidak bisa mengunyah makanan, kini pipi itu kuberi kompres air dingin untuk mengurangi bengkaknya, aku tidak tahu bila itu manjur, katanya sih manjur.
“Istirahatlah,” pintaku pada Edo, dia sedang berbaring di atas kasurku yang kecil. Ketika aku hendak berdiri, Edo menarik tanganku, dia merasa tidak enak karena telah membuat Liam salah paham.
“Maafin gw, Neng. Bi..bila benar lu hamil, gw masih tetap pengen nikahin lu, itupun kalau lu masih mau.. Gw gak akan maksa lu buat nikahin gw, apalagi bila lu merasa beban. Gw serahin semuanya ke elu, Neng. Cuman untuk sekarang, gw gak pengen dia dapetin lu, semisal lu beneran hamil anaknya dia, barulah gw akan lepasin lu.. kalau lu pengen sama dia,” wajah Edo menyiratkan kekhawatiran yang sangat.
Mami.. Bagaimana bisa ada laki-laki sebaik Edo? Dia bahkan masih bisa menerima meskipun bila mungkin aku hamil karena laki-laki lain, dia masih tetap ingin menjadi suamiku. Kurang baik apalagi Edo.. Beda dengan seseorang yang bahkan tidak ingin mencari tahu kebenarannya, sekalipun aku memang hamil dan Edo mengatakan bisa saja ini adalah anaknya, dengan fakta bahwa dia juga melakukannya denganku semestinya Liam tetap tinggal untuk menjelaskan semuanya.
Tapi dia malah pergi begitu saja, dengan wajah terguncang.. Akupun terguncang, Edo juga terguncang.. Bukan hanya dia yang tidak sanggup menerima kenyataan bila pun aku mungkin hamil. Liam.. kamu benar-benar mengecewakan, dan hatiku sakit karenanya. Aku terlalu berharap banyak darimu.. Sungguh sangat salah berharap dari laki-laki sepertimu, kamu datang dan pergi sesuka hatimu.. Ahh.. Liam..
Kutepuk tangan Edo yang masih menggenggam tanganku, dia terlalu khawatir hal-hal yang belum tentu benar. Bagaimana aku tahu bila aku hamil atau tidak?? Aku harus periksa ke dokter kan?? Atau.. membeli alat tes kehamilan? Tapi aku tidak mungkin membeli alat itu.. Apa kata petugas apotik nantinya?? Ahh.. masak aku suruh Edo untuk membelinya? Maukah dia??
“Do.. Daripada kita pusing, beli alat tes kehamilan aja, gimana?? Tapi kamu yang beli ya, aku..malu kalau harus beli,” kataku sembari menyembunyikan wajahku. Sungguh memalukan bila orang yang belum menikah membeli alat itu, pastinya petugas apotik akan mengernyitkan dahinya melihat pembelinya yang masih muda.
Edo mengangguk, dia menyanggupinya. Lalu dia hendak berdiri, “Eh, mau apa, Do?” tanyaku bingung.
“Lah, kan mau beli alat tes kehamilan lu bilang, Neng?” tanyanya ikut bingung.
Aku menggelengkan kepalaku, Edo.. Edo.. Kamu benar-benar deh.. “Nanti sore-an juga masih bisa kok, Do. Sekarang kamu istirahat aja, kalau udah mendingan nanti baru deh belinya, ya?” bujukku lagi. Edo pun tak membantah, dia kemudian berbaring dengan patuh di atas kasurku.
Fiuhhh... Hari yang sangat melelahkan hati dan jiwaku. Fisikku juga tak kalah lelahnya. Liam.. Dimana kamu sekarang?? Kenapa kamu kembali lagi? Apa yang ingin kamu katakan padaku? Apakah kamu merindukanku? Apakah kamu serius dengan perkataanmu? Bahwa kamu memperdulikanku? Bahwa kamu khawatir bila aku hamil? Bahwa aku mengandung anakmu? Oh, Liam.. Aku sungguh merindukanmu..
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰