
Bab 4 Tiga Bersaudara
Jimmy berhasil mengorek keterangan dari Johan tentang Sarah setelah menyogoknya dengan jam tangan yang dia dapat dari sponsol waktu tampil main band di si sekolah waktu itu.
Gimana sih sebenarnya kehidupan tiga bersaudara itu saat di luar sekolah? Anak-anak sesekolah banyak yang penasaran, lho. Yuk, simak!
Bab 4 Tiga Bersaudara
Jimmy melihat Johan sedang tengkurap di kasur dan tengah asyik membaca buku komik kesukaannya. Dia kalau sudah baca komik susah dipisahkan dari dunianya. Benar-benar tak perduli dengan siapapun yang datang kepadanya dan persetan dengan apa yang dibicarakan kepadanya. Jimmy paling sebal melihatnya. Tapi demi sebuah informasi penting yang harus dia dapatkan maka ia yang semula diam di ambang pintu menerobos masuk ke kamar dan duduk di kursi belajarnya.
“Jo,” panggilnya.
“Hemmm,” sahutnya tanpa menoleh.
“Kamu kenal sama Sarah? Cewek baru kelas IPS 5?” tanyanya langsung.
“He em,” jawabnya singkat tanpa mengalihkan matanya dari bacaan di hadapannya.
“Emang dia ikut pecinta alam?”
“Heem.” Ia mengangguk dan mulutnya senyam-senyum bahkan mulai cekikikan oleh bacaan lucu di tangannya.
Jimmy dengan kesal mendekati tempat tidurnya dan memaksa dia menutup bukunya.
“Apaan, sih? Ngganggu aja!” protes Johan berguling ke dekat tembok sambil menyelamatkan bukunya.
“Aku serius mau tanya. Kamu berhenti sebentar bacanya kenapa?” ujarnya serius.
Johan menutup bukunya lalu duduk sambil menyandar ke tembok. “Kenapa? Ngapain kamu nanya-nanya si Sarah?” tanyanya dengan nada curiga.
“Kamu deket sama dia?”
“Emang kenapa?” ia balik tanya dengan masa bodoh.
“Aku dengar dari Deva katanya dia ikut pecinta alam dan dia deket sama kamu?”
“Deket apaan?” bantahnya.
“Kamu serius nggak lagi naksir atau pedekate sama dia?”
“Dia bukan tipeku. Kenapa? Kamu suka sama dia? Awas, ya, aku bilangin mami kalau kamu pacaran,” ancamnya dengan seringai di mulutnya.
Jimmy langsung membungkam mulutnya dengan mengulurkan sesuatu ke hadapannya. Johan secepat kilat meraih benda di tangannya.
“Apaan, nih?”
“Buka aja!”
Begitu membuka dan melihat isinya, Johan tercengang sekaligus takjub.
“Itu jam tangan anti air. Kamu pasti suka jam kayak gitu.”
“Benar ini buat aku?” tanyanya sedikit tak percaya. “Kamu dapat dari mana, Jim? Bagus, tahu!” ia jujur mengagumi benda itu bahkan langsung melingkarkannya di pergelangan tangannya.
“Dapat dari sponsor waktu pensi dulu.”
“Besok aku mau pakai ke sekolah, ah!”
“Berikan aku nomor dia!”
Johan menatapnya dan mencoba menyelidik wajah saudaraya itu dengan lebih seksama. “Kamu benar suka sama Sarah? Cewek kayak gitu?” tanyanya heran dan dengan nada mencemooh.
“Emang kenapa?”
“Nggak Indonesia banget, tahu! Rambutnya kayak rambut jagung, matanya kayak kelereng, trus kulitnya kayak …”
“Udah, buruan kasih aku nomor dia!” tukas Jimmy cepat.
“Iya, ntar aku kirimin nomor dia.”
“Awas jangan bilang-bilang mama!” pintanya mengandung ancaman.
“Apaan, sih?” tiba-tiba Sashi sudah nongol di ambang kamar.
“Sash, sini, deh! Aku bilangin,” Johan melambainya.
Jimmy tak mampu membendung bocornya rahasia dirinya ketika melihat Sashi mendekat ke arah Johan. “Kamu tahu, nggak, cewek baru di sekolah yang wajahnya bule?”
“Iya. Kenapa?”
Johan tertawa lucu. “Jimmy lagi pedekate sama dia,” ia membisik di telinga Sashi tapi dengan suara tawa yang meledak keras.
Sashi ikut tertawa. ”Bener, Jim? Kamu seleranya kok cewek kayak gitu, sih?”
“Emang kenapa?”
“Nggak apa-apa, sih,”
“Papinya orang Indonesia, maminya asli Amerika,” cerita Johan kemudian. “Keduanya meninggal, lalu dia di bawa ke Jakarta dan tinggal sama omnya sampek sekarang.”
“Iya, dia cerita gitu juga kemarin.”
“Tapi dia orangnya baik, kok. Solidaritas terhadap teman tinggi banget. Yang bikin aku kagum, dia benar-benar dimodalin kedua orang tuanya untuk jadi seorang pecinta alam. Perlengkapannya naik gunung lengkap banget. Dan dia setiap kali ikut kegiatan selalu mandiri. Nggak bergantung sama orang lain,” ungkap Johan
“Orang tuanya gimana? Sikapnya?”
“Baik. Ramah. Aku pernah tiga kali ke rumahnya. Tantenya yang sekarang jadi mama angkatnya aku lihat blasteran juga. Sama kayak si Sarah.”
“Apa si Sarah di rumah ngomongnya pakai bahasa Inggris?” tanya Sashi.
“Enggak. Ngomong biasa pakai bahasa Indonesia. Malah aku dengar kadang ngomong Jawa, deh. Kayaknya logatnya kayak mami. Kalian ingat mami kalau lagi marah-marah? Ya kayak gitu.”
“Tiga hari yang lalu, waktu aku mau latihan band aku nabrak dia.” cerita Jimmy mengenang kejadian tabrakan waktu itu.
“Trus?”
“Nggak apa-apa, sih. Dia cuma beset di lengan sama kakinya.”
“Trus kalian kenalan?”
Jimmy mengangguk malu-malu. Tapi sejenak wajahnya berubah. “Tapi heran setelah itu besoknya di sekolah dia sombong banget. Boro-boro negor, dia kabur begitu lihat aku. Aku heran, kenapa dia ya? Padahal habis kejadian tabrakan itu aku dan dia ngobrol lama.Kami kayak udah akrab.”
“Mosok?” Johan menopang dagu dengan tangan yang bertumpu di lututnya. Apa yang dituturkan Jimmy tentang Sarah kebalikan dari apa yang dilihatnya. Sarah orang ramah, suka bercanda dan kadang-kadang konyol dan nekad.
“Aku tadi di suruh mama manggil kalian. Buruan kalian turun!” Sashi seketika menyetop obrolan seruh itu begitu ingat pesan mamanya.
“Ngapain?”
“Suruh makan.”
Dan baru saja mulutnya berhenti ngomong, ketiganya mendengar teriakan sang mama di bawah. Obrolan itupun bubar.
Jimmy dan Sashi lahir kembar. Dan Johan lahir setelah mereka dan hanya berselisih setahun dari keduanya. Sejak TK, mama mereka selalu mendaftarkan mereka bersamaan ke sekolah yang sama. Mereka selalu diajarkan arti kebersamaan dan menekankan pentingnya saling menjaga, saling menyayangi dan saling peduli antara satu dengan yang lain. Karena itu di sekolah tidak saja mereka menonjol karena mereka pintar, tapi juga karena kekompakan mereka dalam keseharian.
Usai makan, meja makan berubah menjadi meja belajar bagi ketiganya. Sementara ketiga anak itu tekun belajar dan mengerjakan tugas kedua orang tua mereka duduk di sofa lain di ruang tamu sambil ngobrol. Tidak ada yang merasa aneh atau berlebihan dengan sikap mesra yang seringkali ditunjukkan papa dan mama mereka. Dalam keseharian keduanya memang selalu menunjukkan perasaan mereka lewat ciuman, rangkulan, atau genggaman tangan. Dan itu cukup menenangkan sekaligus menentramkan anak-anak itu di kala di luar sana banyak orang-orang tua dari teman-teman mereka sering cekcok, ribut lalu bercerai.
Jimmy mengambil laptop untuk mengerjakan sesuatu untuk tugas di sekolahnya. Ia sejenak membuka-buka file yang kebanyakan berisi pekerjaan papanya. Jimmy, Sashi maupun Johan seringkali dilibatkan mengerjakan proyek pekerjaan papanya di luar pekerjaan kantor berupa pengerjaan pajak-pajak dari perusahaan milik teman-teman papanya. Tapi yang paling sering turun membantu pekerjaan sambilan itu adalah Jimmy. Dan dari proyek itu papanya mendapat uang tambahan di luar gaji kantornya.
Waktu itu Jimmy menemukan kartu nama milik papanya yang sudah lecek, usang dan berdebu. Entah sudah berapa puluh tahun kartu itu bertahan dengan kondisinya. Di kertas kecil itu disebutkan sebuah pekerjaan yang dijabat papanya dan juga tertulis pula sebuah perusahaan. Accounting senior. Jimmy sempat heran kenapa papanya sekarang bekerja hanya sebagai staff di sebuah perusaah kecil? Papanya menjawab waktu Jimmy menanyakannya, bahwa perusahaan tempat papanya bekerja dulu sudah bangkrut.
“Trus, kenapa papa nggak melamar kerja sebagai accounting lagi? Bukannya papa sarjana akutansi?”
“Nyari pekerjaan sekarang susah, Jim. Meski papa sekarang bekerja di perusahaan kecil tapi gaji lumayan dan papa nggak terlalu sibuk kayak waktu masih jadi accounting. Di samping itu papa punya pekerjaan sampingan dari teman-teman papa.”
Papanya lulusan UI. Betapa hebat. Diam-diam Jimmy berharap dia juga bisa kuliah di tempat yang sama dengan papanya. Dengan jurusan yang sama. Dan dia juga bercita-cita menjadi seperti papanya. Menjadi seorang Accounting. Dan ia bertekad akan bekerja di sebuah perusahaan yang besar nantinya.
*
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
