
Bab 8 sampai 10 gratis. Sama seperti di KBM App.
Blurb
Pernah menjadi korban rudapaksa membuat Puspita trauma. Orang-orang sekitar menyebutnya wanita gila sehingga mereka enggan mendekat.
Puspita terasingkan, bahkan tak jarang mendapat cemoohan. Semua orang seperti ganti meremehkan dan lupa siapa yang jadi korban.
Akan tetapi, di antara banyaknya orang yang bersikap tak acuh, ada sosok pria yang berharap bisa mendekat dan menjadi bagian dari hidupnya. Bisakah Puspita menerima?
Bab 8
Seminggu di rumah selepas perawatan di rumah sakit, Pak Iwan belum bisa beraktivitas banyak. Beliau masih sering tidur dibanding lainnya. Puspita yang senantiasa menjaga, sementara Arum tetap sekolah layaknya pelajar lain.
Tidak beda jauh dengan Puspita yang perhatian penuh, Raka pun menjenguk setiap hari. Dia ke toko tidak lama, lalu sisa waktunya dihabiskan di rumah Puspita untuk menemani Pak Iwan mengobrol.
Seperti sore ini, pria itu datang selepas asar dengan menenteng dua kantung kresek bening. Dia masuk rumah setelah mengucap salam dan melihat keberadaan Pak Iwan di ruang tamu.
“Saya bawakan rawon, Pak. Bapak mau yang lain?”
Pak Iwan menggeleng sembari tersenyum. Pria itu menepuk kursi sebelah agar Raka duduk. Setelah kemauannya dituruti, Pak Iwan berucap, “Kamu ini selalu repot. Jangan lupa kalau di rumah kamu punya ibu. Dahulukan ibumu dan keluarga dulu, Nak Raka, sebelum tetangga.”
“Bapak juga saya anggap keluarga.”
Senyum Pak Iwan awet di wajah yang mulai berkeriput itu. Beliau lantas memanggil Puspita yang ada di belakang.
“Iya, Pak. Bapak butuh sesuatu?”
Raka melirik Puspita, tetapi perempuan itu selalu menganggapnya tak kasat mata. Kadang kala, hati Raka menggerutu karena diabaikan, tetapi menyerah pun dia tidak mau.
“Duduk sini, Nduk, Bapak mau ngomong.”
Puspita terdiam. Dia menoleh pada Raka, tetapi sahabat kecilnya itu mengedikkan bahu pertanda tak tahu.
Tidak ingin membantah atau mengecewakan, Puspita menurut dan duduk di samping Pak Iwan di sisi lain.
Satu tangan Pak Iwan menggenggam tangan putrinya. Beliau lantas memandang cukup lama sehingga membuat Puspita heran.
“Ada yang salah sama aku, Pak?”
Pertanyaan Puspita dijawab gelengan. Pak Iwan menarik napas, lalu tersenyum tipis. “Umurmu sudah mau kepala tiga, Nduk. Bapak juga sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Boleh nggak kalau Bapak minta sesuatu dari kamu?”
Dua alis Puspita nyaris tersambung mendengar ucapan ayahnya. Perkataan Pak Iwan pasti bukan masalah sepele karena terlihat jelas keseriusan saat beliau bicara. Dengan keraguan yang ada, Puspita berusaha bertanya hati-hati, “Bapak mau apa?”
Senyum masih terukir di bibir, Pak Iwan melanjutkan kata-katanya, “Bapak pengin lihat kamu nikah. Menikahlah sama Nak Raka.”
Puspita refleks menarik tangan. Dia menatap tajam pada Raka, tetapi pria itu terlihat kebingungan. Raka juga tidak tahu jika Pak Iwan akan berucap demikian.
Puspita kembali melihat Pak Iwan. “Pak, aku udah bilang ini soal kemarin-kemarin, kan?”
“Nduk, mau, ya?”
Bibir Puspita berkedut menahan kalimat penolakan. Dia pilih mengalihkan pandangan ke arah lain dan enggan menatap Pak Iwan maupun Raka. Beberapa kali Puspita membuang napas.
“Pita, Bapak tahu ini sulit. Tapi nggak selamanya Bapak bisa menemani kamu dan Arum. Nak Raka satu-satunya lelaki yang masih bisa Bapak percaya buat jaga kamu ke depannya.”
Puspita bergeming. Dia enggan bicara lagi. Bukan karena ada Raka di sana, melainkan hatinya tengah berperang melawan rasa sakit. Tiada kepercayaan yang bisa Puspita berikan lagi pada makhluk berjenis lelaki kecuali pada keluarga, bahkan sekalipun pada Raka yang setiap hari terus berinteraksi.
Suara air mendidih dari dapur menjadi pengalihan pembicaraan. Puspita pamit ke belakang dan tak ingin mendengar apa pun tentang pernikahan. Dia bertekad tak akan menikah karena yakin masih bisa hidup meski tak ada laki-laki yang menemani.
Selepas kepergian Puspita dari ruang tamu, Pak Iwan meminta bantuan pada Raka untuk ke kamar. Memaksa Puspita tidak akan menemukan solusi, justru sebaliknya yang didapat.
“Bapak istirahat. Saya pamit pulang, ya.”
“Makasih, yo, Nak. Maaf kalau sikap Pita buat kamu nggak nyaman.”
“Saya nggak pernah ambil hati soal itu, Pak.”
Pintu kamar ditutup, Raka menuju dapur dan ingin berpamitan sekaligus mengantar rawon yang masih di meja tamu. Tiba di sana, secara kebetulan Puspita sedang menoleh sehingga tatapan keduanya bertemu.
“Pita, aku ….”
“Mau pulang? Pulanglah. Besok nggak perlu ke sini. Kamu bikin Bapak ngarep sama kamu.”
“Apa maksudmu?” Raka mendekat karena merasa terusik dengan ucapan Puspita. Dia taruh rawon ke meja makan.
Perempuan berkaus merah muda itu melirik sedikit, lalu bersikap tak acuh kembali. “Kamu nggak perlu mengaruhin Bapak buat nikahin kita, Ka. Aku nggak ada niat nikah sama siapa pun.”
“Astaghfirullah, kamu fitnah aku, Pit?” Raka baru paham apa yang sedang dibahas sahabatnya itu.
“Enggak juga. Lagian kalau nggak ngelakuin itu kenapa marah?”
“Pak Iwan gitu karena sayang sama kamu. Beliau khawatir sama kamu, sama Arum. Kenapa jadi salahin aku?” Nyaris saja Raka meninggikan suara, tetapi berhasil meredam dan mengendalikan diri agar Pak Iwan tidak sampai mendengar pertengkaran tersebut.
“Aku nggak nyalahin kamu, Ka. Tapi curiga kenapa Bapak tiba-tiba ngomong gitu? Kemarin-kemarin nggak ngomong apa pun. Tapi aneh setelah kamu tiap hari ke sini mendadak mau jodohin kita.”
“Apa yang salah kalau kita menikah, Pita?” Raka mundur dan menyenderkan diri ke tembok. Pria itu melipat dua tangannya ke perut.
“Jangan pura-pura bodoh, Raka. Kamu bisa dapet perempuan lebih baik dariku. Aku ini udah nggak pera—”
“Aku penginnya sama kamu. Aku nggak peduli sama apa yang udah kejadian.” Raka kekeh. Ucapannya santai dan lembut, tetapi penuh penekanan seolah enggan dikalahkan.
“Aku nggak bisa.”
“Apanya yang nggak bisa?” Raka menyela begitu cepat hingga membuat mata Puspita terbuka lebar. Pria itu melanjutkan, “Apa karena aku ipar dari Dendi?”
“Raka! Jangan sebut nama itu!”
Melihat Puspita mulai emosi, Raka hendak menenangkan. Namun, sahabat kecilnya itu justru berteriak dan mengusir. Mau tak mau, dengan langkah berat, Raka akhirnya keluar dan kembali ke rumah sendiri.
***
Malam hari selepas magrib dan waktunya makan malam, Bu Lasmi terus memperhatikan Raka. Ada yang berbeda dari putranya sehingga mengundang rasa heran.
“Raka,” panggil Bu Lasmi lirih.
Raka yang sedang melamun gelagapan. “I–iya, Buk. Kenapa?”
“Kamu ngelamun terus Ibuk lihat. Ada apa to, Le?”
Raka menggeleng. Dia mulai menyendokkan makanan dan mengisi perut.
Bu Lasmi tak lega mendengar jawaban Raka. “Raka, ada masalah sama Pak Iwan?”
Perhatian Raka mengarah penuh pada ibunya. Dia taruh sendok ke piring, baru menjawab, “Bukan sama Pak Iwan, Buk. Tapi sama anaknya.”
Kening Bu Lasmi mengerut tanpa sadar. “Siapa? Arum apa Pita?”
“Pita.” Pengakuan begitu mudah keluar dari mulut Raka. “Dia marah dan ngira kalau Raka ngehasut Pak Iwan buat atur perjodohan.”
“Maksudnya piye, to, Le? Ibuk nggak paham.”
Sebelum bercerita panjang lebar, Raka menarik napas kuat-kuat. Kemudian, dia bercerita tentang obrolan bersama Pak Iwan di rumah sakit hingga obrolan sore tadi dan mengenai kemarahan Puspita.
Bu Lasmi diam selama mendengarkan. Beliau baru merespons saat Raka berhenti. “Nak, perempuan itu seperti kaca. Sekali jatuh dan pecah, nggak bakal bisa utuh dan kembali seperti biasa. Begitu juga hati Puspita. Dia pernah mengalami kejadian tragis, tentu saja bukan hal mudah buat menerima laki-laki di hidupnya. Sabarlah. Salat istikarah dan doa sama Allah, kalau memang Pita jodohmu nanti juga akan ada jalan.”
________
BAB 9
“Raka kenapa jarang ke sini, yo, Nduk.”
Puspita menoleh ke belakang. Hanya beberapa detik, setelahnya kembali sibuk mencuci piring. “Sibuk mungkin, Pak. Tokonya rame.”
Pak Iwan terdiam dan mulai membenarkan apa yang dikatakan Puspita. Lagi pula, jika dipikir, Raka juga punya kehidupan sendiri. Tidak mungkin sahabat putrinya itu akan terus mengunjungi hanya untuk mengobrol.
Beberapa hari sejak tawaran pernikahan ditolak Puspita, Pak Iwan tak lagi membahas hal tersebut. Beliau khawatir terlalu menekan Puspita dan justru membuat sedih. Sekalipun harapan itu begitu besar selagi masih hidup, tetapi yang menjalani putrinya sehingga tidak ingin memaksa.
Suara salam dari luar membuat lamunan buyar. Bersama dengan Puspita, Pak Iwan menengok ke arah depan. Dibantu Puspita pula, beliau keluar karena ingin tahu siapa yang datang.
Tiba di ruang tamu, senyum Pak Iwan mulai terbit begitu melihat siapa yang datang.
“Nak Raka, sini masuk, Nak. Baru aja Bapak kepikiran kamu.” Puspita membantu Pak Iwan duduk. Kemudian, perempuan itu pamit kembali ke belakang.
Raka mendekat dan bersalaman, setelahnya baru duduk. “Gimana kondisi, Bapak? Hari ini jadwalnya kontrol, kan? Saya antar, Pak.”
“Loh, kamu malah tahu Bapak waktunya kontrol.”
Raka tersenyum samar seraya mengangguk.
“Bapak mau-mau aja asal kamu nggak sibuk, Nak?”
“Enggak, Pak. Ini tadi ke toko dari pagi. Raka inget kalau Bapak waktunya kontrol, jadi pulang sekalian ambil mobil dari sana. Kita ke rumah sakit jam berapa?”
“Dokternya praktek sore. Nanti abis asar saja, Nak Raka. Kamu bisa istirahat dulu.”
“Saya bisa istirahat nanti malam, Pak. Hari ini nggak capek, kok.”
“Nak Raka ini, kan, bosnya. Masa bisa capek juga?”
Tawa Raka kembali terdengar. Dia tahu Pak Iwan sengaja menggoda. Namun, itu bukan masalah karena lebih baik Pak Iwan demikian daripada larut dalam kesedihan karena sakit.
Sore menjelang dan azan asar sudah berkumandang. Raka bergegas menuju musala untuk salat sebelum nanti mengantar Pak Iwan ke rumah sakit. Dia sudah mandi dan wangi, maka dari itu selepas salat bisa langsung berangkat.
Waktu dipakai beribadah tidak lama, Raka segera kembali ke rumah untuk siap-siap. Ketika keluar dari kamar, Bu Lasmi menghampiri dan membuat langkah Raka berhenti.
“Kamu tadi, kok, tumben bawa mobil toko, to, Le? Emang mau ke mana?”
“Nganter Pak Iwan kontrol, Buk.”
“Oalah gitu. Kamu sudah akur sama Puspita?”
Raka menggeleng lemah mendengar pertanyaan Bu Lasmi. Hampir seminggu dirinya sengaja menjaga jarak dari Puspita, tetapi perempuan itu tetap terlihat baik-baik saja dan tidak peduli. Entah dengan cara apa agar Raka mampu meluluhkan hati anak tertua Pak Iwan itu.
Melihat wajah Raka berubah muram, Bu Lasmi buru-buru menghibur. “Yowes, yowes. Nggak perlu dipikir terus. Kamu kalau bantu itu yang ikhlas. Puspita baik atau enggak sama kamu, Ibuk pesen kalau itu nggak memengaruhi hati kamu.”
“Iya, Buk. Raka tulus bantu Pak Iwan. Bukan karena Pita.”
“Yowes kalau gitu berangkat sana. Biar dapat nomor urut lebih awal.”
“Nggih, Buk. Raka pamit.”
Mobil mulai melaju perlahan menuju rumah sakit. Pak Iwan duduk tenang di samping Raka, sementara Puspita di belakang sendirian.
Kondisi Pak Iwan memaksa Puspita harus sering keluar dan berinteraksi dengan banyak orang. Beruntungnya, perempuan itu tidak terlihat keberatan dan masih bisa mengendalikan diri.
“Bapak lama banget nggak ke area kota sini. Sekalinya ke sini kok, yo, pas ke rumah sakit.” Memasuki kawasan Kota Magetan, Pak Iwan berucap.
Raka menoleh sepintas lalu kembali fokus. Dia tersenyum tipis. “Rumah kita jauh sama kota, Pak. Wajar aja jarang ke sini.”
“Ajak Bapak ke alun-alun, Nak Raka, habis ini. Kamu nggak buru-buru, kan?”
“Nggak, kok, Pak. Tadi sudah pamit Ibuk kalau nganter sampean.”
Perjalanan itu diisi obrolan ringan antara Pak Iwan dan Raka. Sementara itu, Puspita yang ada di belakang awet membisu sampai di rumah sakit. Di ruang tunggu pun, Puspita banyak diam dan tidak memedulikan Raka.
Pak Iwan sempat merasa ada yang janggal antara putrinya dan Raka. Akan tetapi, beliau tak ingin membahas hal tersebut di tempat umum.
Lantaran menunggu dokter tiba dan antre sesuai nomor, Pak Iwan berada di rumah sakit sampai dua jam lamanya. Ketika pulang, hari sudah gelap bahkan menjelang isya. Pak Iwan mengurungkan kemauan untuk ke alun-alun kota karena dirasa sudah terlalu lama di luar. Lagi pula, beliau tak enak dengan Bu Lasmi serta Arum yang sama-sama menunggu di rumah.
Jarak baru tertempuh seperempat dari waktu perjalanan, tetapi hujan mulai turun tanpa diduga. Puspita sempat bernapas lega karena pergi diantar mobil sehingga tak membiarkan sang ayah basah. Perempuan itu menengok spion dan ingin melihat Pak Iwan. Namun, secara kebetulan justru tatapannya bertemu dengan Raka.
Puspita memalingkan wajah. Dia kembali melihat jalanan dari balik jendela. Hujan cukup deras dan memburamkan pemandangan yang ada.
“Bapakmu tidur.” Raka mulai memberi tahu. Sejak tadi, pria itu sama-sama bersikap tak acuh, tetapi pada akhirnya memilih lebih dahulu membuka obrolan.
Puspita melirik sekilas tanpa memberi jawaban apa pun. Raka yang ada di depannya hanya bisa menghela napas.
Menit berganti yang ada hanya keheningan. Raka tak suka menyetel musik di mobil sehingga sejak tadi tak ada istilah lagu sebagai teman perjalanan. Dia terus fokus mengemudi tanpa berniat mengajak Puspita bicara lagi.
“Bapak nanyain kamu terus dari kemarin.”
Suara Puspita memecah kecanggungan. Raka melirik dari spion kecil di atas kepala, lalu menjawab, “Kamu bisa nelfon aku kalau ada apa-apa.”
“Bukan itu mau Bapak.”
Raka terdiam, tetapi telinga senantiasa mendengar.
“Kamu masih pengin nikah sama aku, Ka?”
Mobil langsung berhenti bertepatan lampu merah. Raka menatap spion kembali cukup lama di mana Puspita juga menatap ke arah tersebut. Pria berkaus hitam polos itu bertanya, “Kamu terima aku, Pit?”
“Demi Bapak. Bukan yang lain.”
Jawaban Puspita membuat Raka tersenyum masam. Pria itu hampir saja bahagia karena mengira cintanya terbalas, tetapi nyatanya argumen Puspita menghancurkan harapan lebih awal. Ingin kesal, tetapi Raka tak berhak. Alhasil, hanya jawaban “oh” yang diberikan sebagai respons.
“Dateng ke rumah besok malam buat ngobrolin ini sama keluarga kita. Malam ini biar aku ngomong sama Bapak dulu.”
____
BAB 10
“Kamu serius, Nduk?” Pak Iwan begitu antusias mendengar pengakuan Puspita. Sempat terkejut tadi karena tiba-tiba putrinya mau menikah dengan Raka. Padahal, Pak Iwan sudah mulai berusaha memupus harapan.
Puspita mengangguk. “Aku juga pengin lihat Bapak seneng.”
Jawaban Puspita sedikit ambigu. Sebenarnya, perempuan itu mau atau terpaksa? Alhasil, senyum Pak Iwan langsung hilang. “Pita, kamu bilang pengin lihat Bapak seneng, tapi gimana sama kamu sendiri?”
Puspita terdiam. Tatapannya langsung dipindah ke sisi lain dan tidak lagi menghadap Pak Iwan. Namun, saat merasa elusan lembut di kepala, dia kembali memperhatikan sang ayah. “Pak, Bapak juga tahu sejak kejadian itu, aku nggak tahu gimana rasanya seneng. Aku cuma melanjutkan hidup, Pak. Nggak ada ambisi buat apa pun, apalagi buat hidup bahagia. Selama Bapak seneng, jangan pikirkan soal gimana aku.”
“Nduk, Bapak nggak mau egois.”
“Bapak nggak egois, kok. Aku percaya sama Bapak. Kalau menurut Bapak, Raka itu baik, aku percaya kalau dia memang baik.”
“Pita, jangan memaksakan diri kalau kamu nggak pengin nikah, Nduk. Bapak siap temani kamu sampai sisa umur Bapak nanti.”
Puspita meraih telapak tangan Pak Iwan lalu menyembunyikannya di genggaman. Dia tersenyum tipis. “Aku nggak maksain diri, Pak. Aku juga pengin jadi anak berguna yang nggak nyusahin Bapak terus.”
Tatapan Puspita membuat Pak Iwan terenyuh. Pria paruh baya itu mengusap kepala Puspita dengan lembut. “ Kamu nggak pernah nyusahin Bapak. Sudah jadi tanggung jawab Bapak sebagai orang tua menghidupi kamu dan adikmu. Jangan pernah mikir begitu, nggak baik.”
Puspita terdiam. Dia hanya menanggapi dengan senyuman.
Pak Iwan kembali menasihati, “Tapi Pita, perlu kamu tahu kalau sudah nikah, baktimu ada pada suamimu. Kamu harus nurut kata suami selama itu perintah baik dan nggak melanggar aturan agama. Tenang saja, masih ada Arum yang nanti ngurusi kebutuhan Bapak.”
Puspita enggan setuju karena niat dia menikah bukan sepenuhnya untuk memikirkan keadaan diri sendiri. “Nanti aku bilang sama Raka kalau abis nikah, aku tetap pengin ngurusin Bapak. Arum bentar lagi kuliah, Pak. Pasti dia ngekost.”
Benar kata Puspita, Pak Iwan lupa jika Arum sebentar lagi lulus. “Tapi, Nduk.”
“Bapak nggak perlu mikir aneh-aneh. Raka pasti mau, kok. Aku juga ada permintaan lain lagi, nggak cuma itu.”
“Soal apa?”
“Nanti Bapak juga tahu. Sekarang mau siap-siap dulu buat suguhan nanti malam, Pak.”
Puspita beranjak, Pak Iwan tak menahannya karena hari sebentar lagi sore. Puspita bilang Raka datang setelah isya, maka masih ada waktu beberapa jam untuk beres-beres dan membeli sesuatu.
Azan Isya mengundang Raka ke musala. Dia sempat menoleh ke rumah Puspita, tetapi tidak ada siapa pun yang keluar. Pintu masih terbuka, tetapi ruang tamu terlihat sepi. Mungkin semua orang ada di ruang tengah.
Empat rakaat salat berjamaah dilalui Raka. Pria itu sempat disapa tetangga, Pak Rahmat, pemilik toko pupuk langganan warga.
“Ndak ke Solo lagi to, Nak?” Turun dari undakan tangga musala secara bersamaan, Pak Rahmat kembali mengajak Raka mengobrol.
“Mboten, Pak. Di rumah aja sekarang.”
“Ooh.” Pak Rahmat manggut-manggut sambil membersamai langkah Raka pulang. “Apa mau nikah? Kok, tiba-tiba pulang?”
Raka berhenti sejenak, lalu lanjut berjalan. Dia sempat kaget mengapa Pak Rahmat bertanya demikian padahal jarang bertemu. Sembari tersenyum sungkan, putra Bu Lasmi itu menjawab, “Belum, Pak. Doakan saja.”
Obrolan itu terpaksa berhenti karena rumah Pak Rahmat lebih dahulu dilewati. Sebelum menyebrang jalan, beliau berkata pada Raka, “Kalau sudah ada niat mau nikah, disegerakan lebih baik, Nak Raka.”
Raka mengangguk dengan senyum di bibir.
“Rini juga belum punya calon, kok.”
Senyum Raka langsung pudar perlahan, tetapi Pak Rahmat tidak menyadari dan beliau langsung pamit menyeberang.
“Astaghfirullah.” Tangan refleks mengusap dada, Raka lanjutkan langkah karena harus segera bersiap agar tidak terlalu malam saat bertamu. Sampai di rumah, ternyata ibunya sudah sangat rapi.
“Ayo, siap-siap, Le,” kata Bu Lasmi sembari sibuk menyiapkan barang bawaan.
“Nggih, Buk. Sebentar Raka ganti baju dulu.”
Tiba di rumah Puspita, Pak Iwan langsung keluar. Beliau tersenyum ramah dan menyambut Raka serta Bu Lasmi. Tidak lama setelah dua tamu itu duduk, Puspita keluar bersama Arum. Namun, belum sampai ikut duduk, Arum ke belakang lagi mengambilkan minum serta beberapa hidangan.
Pak Iwan sempat mengobrol basa-basi dengan Raka maupun Bu Lasmi. Mereka bertetangga puluhan tahun, sehingga ada banyak obrolan yang dijadikan bahan pembicaraan. Ketika dirasa cukup, Raka mengutarakan maksud kedatangan.
“Bapak pasti sudah tahu maksud saya datang kemari sama Ibuk.”
Tanggapan Pak Iwan berupa senyum hangat. Beliau mengangguk. “Ya, Nak Raka.”
“Bapak ridha kalau saya menikahi Puspita?”
“Ya, Nak Raka. Tapi semua keputusan kembali pada Puspita dulu. Kamu tanya saja sendiri.”
Perhatian Raka pindah pada Puspita. Perempuan bergaun bunga daisy itu membalas tatapan cukup lama. “Pita, gimana?”
Puspita tersadar. Dia menarik napas dalam, lalu memberanikan diri menjawab. “Raka, ada beberapa syarat yang pengin aku ajukan sebelum benar-benar menikah.”
Kening Bu Lasmi spontan berkerut, demikian pula Raka. Akan tetapi, pria itu lebih baik segera bertanya daripada sibuk dalam keheranan. “Apa, Pit?”
Puspita kembali menghirup oksigen lebih banyak, lalu diembus pelan. “Raka, kalau kita nikah, aku masih pengin ngurus bapakku.”
“Nggak masalah, Pita. Aku bisa bantu kamu juga.”
Pak Iwan tersenyum mendengar jawaban Raka. Kemudian, Puspita melanjutkan lagi, “Aku nggak bisa tinggal di rumahmu. Aku nggak bisa sering-sering interaksi sama Mbak Dinar.”
Bu Lasmi kaget mendengar permintaan itu, tetapi Raka mencoba menenangkan dengan menggenggam tangan beliau. Putranya itu terdiam cukup lama sambil memandang. “Gimana, Buk?”
“Le, ini ….”
“Raka nggak akan lanjut kalau Ibuk nggak ridha.”
Puspita segera menyela melihat keraguan Bu Lasmi. “Buk, maaf kalau permintan Pita agak aneh. Tapi Pita punya alasan. Pita selalu inget hal buruk waktu itu kalau lihat Mbak Dinar, Buk.”
Bu Lasmi memberi perhatian pada satu per satu orang yang ada di ruang tamu tersebut. Dimulai dari Pak Iwan sebagai tuan rumah, Puspita, Arum, lalu terakhir putranya sendiri. Ada rasa iba menyelip saat melihat Raka, Bu Lasmi tahu seberapa ingin Raka menikahi Puspita.
Setelah istighfar dan mengucap bismillah, Bu Lasmi akhirnya setuju atas syarat yang diajukan. Tak tega jika harus melihat putranya patah hati karena tertolak restu. “Ibuk nggak pa-pa. Masih banyak tetangga kanan kiri kalau misal butuh apa-apa waktu kamu nggak ada.”
“Ibuk nggak perlu khawatir. Pita nggak ngajak Raka pindah jauh. Paling cuma pindah tinggal di sini nemenin Bapak.”
Penjelasan Puspita membuat Bu Lasmi lega. Bibir ibu dua anak itu melengkung tinggi menyetujui.
Urusan itu akhirnya selesai, semua orang yang ada di rumah kembali mengobrol santai hingga tiba di jam sepuluh malam, Raka serta Bu Lasmi pamit.
“Makasih, ya, Pak Iwan, Nduk Pita, Arum. Masakan kalian selalu enak.”
Arum merasa senang dapat pujian. Gadis belia itu tersenyum lebar lalu ikut mengantar ke depan.
Raka pamit bersama Bu Lasmi, tetapi langkah pria itu terhenti saat Puspita menahan kemeja bagian tangan. “Kenapa, Pita?” tanya Raka dengan suara pelan, sementara Bu Lasmi sudah jalan lebih dahulu dan nyaris menyeberang.
“Ka, ada satu lagi hal yang belum aku omongin.”
Raka memutar tubuhnya menghadap Puspita secara utuh. “Apa? Soal mahar?”
Puspita menggeleng. Dia mendongak, menyelami tatapan Raka yang begitu dalam. Bibir merah muda itu ragu untuk mengungkap kemauan, tetapi tidak bisa pula ditahan dan menimbulkan salah paham nanti. Secara hati-hati dalam mengutarakan, suara Puspita masuk telinga Raka. “Raka, aku … nggak bisa menuhin hak kamu buat urusan ranjang kalau kita nikah.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
