
Sebuah cerpen tentang seorang pemuda yang hidupnya sedang terombang-ambing dan dia merasa terselamatkan setelah menyantap sepiring mie goreng di tengah malam.
Kini pukul dua malam dan Galih masih gagal memejamkan matanya. Dia merasa sulit tidur karena masih terus kepikiran oleh ucapan Rina, sepupunya, ketika dia tak sengaja mendengar gadis itu menyebut-nyebut nama Galih.
Sore tadi, sewaktu Galih baru saja mengangkati jemuran di lantai 2 dan sedang menuruni tangga, dia tak sengaja mendengar Bude Intan (kakak dari mendiang ayahnya) lagi menyuruh Rina untuk membeli meses buat taburan donat—bisnis makanan yang dijalankan oleh budenya. Namun, Rina mengeluh kalau dirinya sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah. “Kenapa enggak nyuruh Mas Galih aja sih, Ma? Dia kan nganggur, enggak ngapa-ngapain. Lagian, dia mau sampai kapan, sih, numpang di rumah kita?”
Galih terkejut akan hal itu dan tiba-tiba hatinya bagai tertusuk pisau. Meski begitu, dia sengaja berdiri mematung di tangga, tidak segera turun dan menunjukkan diri, apalagi marah terhadap Rina. Setelahnya, Galih pura-pura tidak tahu di depan mereka berdua dan berusaha menghapus kalimat jahanam itu dari ingatannya.
Galih paham bahwa Rina hanya mengutarakan fakta sebenarnya, tetapi entah mengapa nada bicara Rina terdengar seperti sedang mengejeknya. Mayoritas orang mengira jika seorang penganggur adalah manusia pemalas dan tak punya kesibukan, pikir Galih, padahal dia sendiri merupakan orang yang cukup sibuk. Tentu saja Galih sibuk melamar pekerjaan baru ataupun mencari pemasukan lewat kerja serabutan setelah dirinya terkena dampak pengurangan karyawan, sebab perusahaan tempat dia bekerja sebelumnya nyaris bangkrut akibat krisis pandemi.
Galih dirumahkan oleh bosnya tanpa memperoleh pesangon, bahkan gajinya bulan itu juga hanya dibayarkan setengahnya. Tragedi yang menimpanya itu jelas tak pernah terbesit sedikit pun di benak Galih. Dia telah bekerja sebagai operator penginput data selama tiga tahun dan sempat berpikir bakal betah menetap di perusahaan itu hingga belasan tahun ke depan lantaran suasana kantor dan gajinya amat memuaskan, tapi ada daya kini harus dihentikan secara paksa oleh keadaan.
Sudah 1,5 tahun berlalu dan Galih belum juga mendapatkan pekerjaan baru karena virus Corona sungguh mempersulit proses pencarian kerjanya.
Saat tabungannya sudah di ambang batas, kala itulah Bude Intan menawarkan bantuan dengan mengiriminya pesan WhatsApp: “Daripada kamu keluar uang terus buat ngekos, Lih, mending sementara ini tinggal aja sama Bude.”
Singkat cerita, Galih pun menyambut ajakan itu karena tak enak menolak kebaikannya.
Terkait apa yang dikatakan Rina, sebetulnya Galih baru menumpang selama tiga minggu di sana. Tapi mengapa ucapan sepupunya itu keterlaluan dan seolah-olah Galih telah menumpang selama berbulan-bulan? Malam itu juga dia bertekad agar bisa bekerja lagi dan segera keluar dari rumah budenya, lalu mencari indekos baru.
Pikiran Galih tentang keinginan bekerja barusan lantas menerbangkan ingatannya pada kejadian enam tahun silam yang kondisinya serupa.
*
Sekelarnya meliput acara peluncuran Indomie Goreng Kuah di Indofood Tower, Galih merasa malas untuk langsung pulang ke rumah kontrakannya. Ada beberapa pertanyaan yang terus mengganjal di hatinya selama di perjalanan menuju Stasiun Sudirman. Salah satunya: Apa iya aku bakal begini terus? Begini yang Galih maksud ialah keresahan akan pekerjaan yang cuma seorang freelancer. Sore itu, hidup Galih bagai sedang terombang-ambing.
Galih memikirkan bagaimana masa depan dia nanti jika penghasilannya terus-menerus tak menentu begini? Galih juga merasa dirinya tak ada bedanya dengan seorang penganggur. Akankah dia sanggup bertahan hidup? Ketika invois dari klien sering telat cair, begitu pula saat mendapatkan upah mingguan yang duitnya habis entah ke mana, akhirnya tak ada sedikit pun uang yang bisa dia tabung. Gajian selalu numpang lewat, pikirnya. Begini betul risiko menjadi seorang freelancer.
Galih mendadak kangen memiliki tabungan sekitar delapan digit di rekeningnya. Kala itu, dia bisa santai jajan sesukanya tanpa perlu pusing berhemat. Dia juga rindu bisa membantu perekonomian ibunya.
Terlalu banyak merenung di perjalanan, tak terasa kakinya telah membawa dia sampai ke tujuan. Galih kemudian berpisah bersama teman-teman sesama jurnalis lepas di Stasiun Sudirman. Mayoritas dari mereka menuju arah Depok atau Bogor, sedangkan hanya dia sendiri yang pulangnya ke Palmerah. Ketika sedang sendirian begini, kondisi hati Galih semakin gelisah, dan akhirnya dia memutuskan mampir ke musala untuk salat Asar.
Air wudu berhasil membuat pikiran Galih segar kembali. Jiwa Galih pun terasa lebih tenang setelah menunaikan salat.
Galih tak langsung mengenakan sepatunya. Dia kini masih berdiam diri duduk di teras musala sambil menyender ke tembok. Tak lama, di sebelah Galih duduklah seorang pria paruh baya berambut klimis, memakai kemeja biru telur asin, dan pantalon hitam—khas penampilan seorang pegawai kantoran. Pria itu mulai melepas sepatunya dan berjalan ke tempat wudu. Galih masih terus memperhatikannya sampai dia masuk ke musala, dan saat itulah Galih semakin rindu bekerja kantoran.
Galih lalu memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya perlahan lewat mulut. Dada Galih terasa lebih plong, seakan-akan bebannya ikut terbuang bersama karbon dioksida. Galih pun beranjak.
Sesampainya di Stasiun Palmerah, Galih bertemu banyak orang yang mukanya letih, tubuhnya beraroma parfum campur keringat, dan cara jalannya tergesa-gesa. Kapan aku bisa seperti mereka lagi, ya? Ternyata Galih masih saja kepikiran tentang bekerja kantoran.
Terlalu banyak berpikir tentang pekerjaan membuat perut Galih berbunyi. Dia merasa lapar, lalu menengok ke tentengan yang dibawanya: Indomie Goreng Kuah Rasa Ayam Bawang dan Soto masing-masing sebanyak tiga bungkus—bingkisan yang diberikan oleh sang penyelenggara acara. Galih langsung mempercepat langkahnya agar bisa segera memasak mi goreng tersebut.

Di hadapan Galih tersaji sepiring mi goreng kuah rasa ayam bawang dengan porsi jumbo. Galih memang sengaja memasak dua bungkus. Sawi hijau dan cabai rawit terselip di antara jalinan mi keriting, dan di atasnya tertabur kerupuk udang serta bawang goreng.
Sepiring Indomie Goreng ternyata mampu membuat Galih melupakan masalahnya, bahkan bisa menegaskan bahwa hidupnya masih baik-baik saja sekalipun statusnya hanya seorang pekerja lepas.
*
Galih spontan tersenyum kala mengenang momen itu. Setelah risau dengan status pekerja lepas, dia ternyata berhasil memperoleh pekerjaan tetap lagi. Itu membuktikan bahwa pasti ada jalan selama dia tidak menyerah.
Sialnya, baru saja Galih merasa baikan, suasana hening tengah malam lagi-lagi membuat dia refleks merenung tentang hidupnya. Ayahnya telah wafat sejak dia SMP, kemudian Ibunya menyusul sekitar setahun lalu akibat terpapar Covid. Dia merupakan anak semata wayang, sehingga tak punya keluarga kandung lagi. Meskipun hidup Galih tampak bebas dan menyenangkan karena tak ada orang tua yang mempermasalahkan kariernya, tetap saja terkadang menerbitkan kesedihan, bahkan perasaan hampa di dalam diri. Galih sesekali juga sempat kehilangan gairah hidup, sebab dia tak tahu kudu mencari uang buat siapa lagi selain dirinya sendiri. Andai ibunya masih ada, dia pasti punya alasan kuat untuk berusaha lebih keras.
Perut Galih saat ini tidak terlalu lapar, tapi dia jadi kepengin makan Indomie. Siapa tahu saja kegundahan di hatinya itu bisa segera lenyap setelah menyantap sepiring mi goreng.

Selama memasak mi goreng yang tergolong instan dan cuma memerlukan waktu 3-4 menit, Galih spontan tersadar bahwa dalam hidup ini sebetulnya tak ada yang benar-benar instan. Dalam memasak Indomie pun ada prosesnya: menyalakan kompor, mengisi panci dengan air dan merebusnya hingga mendidih, barulah memasukkan mi ke dalam panci. Selagi menunggu mi matang, dia perlu menyiapkan piring dan membuka bumbunya. Maka, Galih pun berkata kepada dirinya sendiri supaya lebih santai dalam menjalani hidup.
Hidup Galih jelas belum berakhir hanya karena dia telah kehilangan hal berharga (kedua orang tua dan pekerjaan). Toh, Galih saat ini juga masih berproses, bukan? Selama napas masih berembus dan aku belum kehilangan harapan, pikirnya, semestinya hidup tak perlu dibawa risau.
Sepiring Indomie Goreng rupanya masih mampu membuat Galih melupakan segala masalahnya dan bisa menegaskan bahwa hidupnya saat ini masih baik-baik saja.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
