This is How You Fall in Love Bab 1-5

0
0
Deskripsi

This is How You Fall in Love 

 

Karin terpaksa harus menikah dengan teman Marin, setelah adiknya itu memergoki Karin berciuman dengan Zack, sahabat Marin. Tidak, itu bukan ciuman. Itu kecelakaan.Marin yang terlalu overprotektif pada Karin, memaksa Zack bertanggung jawab menikahi Karin dengan alasan, ia mencuri ciuman pertama Karin.

Karin tak bisa menolak ketika Marin menuntutnya menikah agar ia bisa menikah dengan kekasihnya. Karena Marin tidak bisa menikah jika Karin belum menikah. Begitu aturan dalam...

Chapter 1

Accident 

 

“Kamu tahu nggak, hari ini aku sibuk banget? Aku harus nyelesaiin pesanan yang mau diambil minggu depan,” tolak Karin ketika adiknya mengajak jalan-jalan dan berbelanja sore itu. 

“Minggu depan masih lama,” balas Marin cuek.

“Ada dua gaun yang dia pesan,” sebut Karin.

“Suruh karyawan Kakak yang ngerjain.” Marin tak mau mengalah. 

“Marin ...”

No, no excuse. Kamu udah hampir dua bulan hidup sama kerjaanmu, Kak. Kamu bahkan pulang ke rumah cuma pas akhir pekan. Terakhir kita jalan bareng aja aku sampai lupa kapan,” gerutu Marin kesal. 

Jika Marin sudah protes mengenai hal seperti itu, Karin tak bisa mendebat. Karena selama belasan tahun, mereka hanya punya satu sama lain. Sejak pernikahan orang tuanya hancur ketika Karin duduk di bangku SMP dulu, ia dan Marin seolah tak punya orang tua. 

Papa menikah lagi, begitu pun Mama. Mereka berdua meninggalkan rumah, juga Karin dan Marin. Mereka sama-sama egois. Berpikir rumah dan uang akan cukup untuk mengurus anak-anak mereka. Sejujurnya, Karin bahkan enggan mengakui mereka sebagai orang tua. Jika bukan karena Marin ….

“Aku beresin ini dulu. Kamu tunggu di luar.” Karin mulai membereskan kertas-kertas desain yang berserakan di depannya, juga potongan-potongan kain berbagai jenis di mejanya.

“Oke!” seru Marin riang. 

Karin tersenyum kecil ke arah punggung Marin yang kemudian menghilang di balik pintu. Bagi Karin, senyum Marin adalah bahagianya. Dan kebahagiaan Marin adalah tujuan hidup Karin. Hanya itu yang ia punya sejak orang tuanya menghancurkan kebahagiaannya. 

***

“Kak Karin juga ikut? Tumben banget,” celetuk Zack ketika Karin masuk mobil bersama Marin. Pasalnya, kakak dari sahabatnya itu bisa dibilang paling anti pergi keluar. Bahkan, terakhir Zack melihatnya mungkin dua bulan lalu. 

“Terpaksa, Zack,” balas Karin sembari menarik rambut hitam sepunggungnya ke satu sisi leher. 

“Kalau bukan karena aku, kamu udah jadi manusia gua, Kak,” sambar Marin. 

Karin memutar mata, sementara Zack tersenyum geli. 

“Aku juga beberapa minggu ini jarang banget ketemu Kak Karin,” komentar Juno, kekasih Marin. 

“Makanya, sekarang aku ikut, kan?” Karin bersandar ke belakang. “Jadi, berhenti ceramah dan biarin aku tidur sebentar.”

Karin lantas memejamkan mata, menggerakkan kepalanya sesaat untuk mencari posisi yang nyaman. 

“Kamu ngebosenin, Kak,” ucap Marin agak kesal.

Karin masih memejamkan mata ketika membalas dengan gumaman cuek. 

Meski kesal, tapi Marin tak mengganggu Karin selama perjalanan. Namun, ia sengaja turun lebih dulu ketika mereka tiba di mall, lalu mengisyaratkan pada Zack untuk membangunkan Karin. Berikutnya, Juno melemparkan kunci mobil ke arah Zack. Tanpa sedikit pun merasa bersalah, Juno meninggalkan Zack dan pergi lebih dulu bersama Marin. 

Zack hanya mendesah pasrah memandangi kepergian Juno dan Marin. Meski ini bukan untuk pertama kalinya. Zack pernah beberapa kali menemani Karin yang ikut berlibur dengan Juno dan Marin. Tentu saja, pasangan menyebalkan itu akan meninggalkan Karin untuk berkencan.

Zack menatap wajah lelap Karin. Marin bilang, Karin terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga melewatkan jam tidur. Tak tega juga Zack jika harus mengganggu tidur Karin. Wanita itu tampak lelah. 

Zack baru saja memutuskan untuk menunggu hingga Karin terbangun, ketika wanita itu bergerak pelan. Zack memperhatikan bagaimana Karin lantas mengerjapkan mata. Sebelum iris cokelat gelapnya menatap balik Zack. Sentakan kecil di ulu hati Zack membuat Zack seketika memalingkan wajah. 

“Kita udah sampai?” tanya Karin dengan suara mengantuk. 

“Juno sama Marin udah duluan,” Zack memberitahu. 

Zack melirik Karin yang mengangguk seraya mengangkat kedua tangannya ke udara, meregangkan tubuh. Zack kembali memalingkan wajah ketika kemeja kerja Karin terangkat hingga menampakkan ….

“Ayo!” ajak Karin tiba-tiba.

Zack tak mengatakan apa pun dan hanya mengikuti Karin turun dari mobil, lalu menguncinya. Ia berjalan bersisian dengan Karin meninggalkan basement parkir. Didengarnya Karin menelepon Marin, menanyakan keberadaan Marin. Lalu, Karin mengomel, entah apa yang dikatakan Marin di seberang. 

“Dia bilang, kita disuruh jalan sendiri dan satu jam lagi ketemu di Green Café,” lapor Karin dengan nada kesal. 

Zack tersenyum geli. “Kamu kayak nggak tahu Marin aja, Kak.” 

“Aku tahu, tapi tetap aja, aku kesal,” gerutu Karin. 

“Trus, sekarang kita mau ke mana?” Zack berhenti membahas Marin untuk meredakan kesal Karin. 

Karin merengut. “Nggak tahu.”

“Mau lihat-lihat toko-toko bajunya?” tawar Zack. 

Karin mengembuskan napas kecil, lalu mengangguk. 

Zack memutuskan untuk memulai dari lantai bawah. Dalam perjalanan singkat itu, baik dirinya maupun Karin tak saling bicara. Namun, mata Zack tak luput memperhatikan setiap ekspresi Karin ketika melihat model-model pakaian di outlet-outlet mall itu. 

Sesekali, wanita itu mengernyit aneh, terkadang mengangguk-angguk, lalu menggeleng kecil. Entah apa saja yang terjadi di dalam kepalanya. Zack sering melihat Karin melamun atau menatap kosong setiap kali mereka bersama. Dan setiap saat, wanita itu tak pernah gagal membuat Zack penasaran. Bahkan hingga saat ini. 

***

Karin tidak terkejut melihat Juno menenteng beberapa tas belanjaan di sebelah Marin yang tampak riang. Seperti biasa, adiknya selalu tampak cantik. Rambut sebahunya dipotong asimetris dan diwarna brunette. Make up terangnya tak tampak berlebihan, malah semakin menonjolkan kecantikannya. Marin selalu tampak menakjubkan, apa pun yang ia kenakan. Adik kesayangannya itu punya kepercayaan diri yang menakjubkan. Bahkan mungkin, ia mengambil bagian Karin juga. 

Begitu tiba di meja tempat Karin dan Zack menunggu di Green Café, Marin langsung mengambil beberapa tas belanjaan dari Juno. Ia meletakkan masing-masing dua tas belanjaan di depan Karin dan Zack. 

“Ini apa lagi, sih?” protes Zack. 

Memang, ini bukan pertama kalinya Marin melakukan hal seperti ini. Dengan pekerjaannya sebagai kepala manajer di sebuah perusahaan besar, Marin tak pernah merasa sayang membuang uangnya untuk hal seperti ini. Karin tak bisa protes karena Marin berkata ini adalah hiburannya. Jadi, ia hanya membiarkan adiknya itu bersenang-senang. 

“Kemeja kerja sama dasi. Dan aku udah milihin yang serasi,” jawab Marin santai. “Aku udah nggak betah lihat dasi sama kemejamu yang nggak pernah cocok.” 

Zack berdehem, tampak agak malu karena diserang Marin seperti itu. 

“Trus, ini apa?” Karin menarik fokus Marin. 

Make up.” Marin tersenyum lebar.Yang terang. Punyamu warnanya pucat banget, Kak. Pantes aja kamu selalu kelihatan sakit.” 

Karin hanya bisa mendesah pasrah. Ini bukan hal baru. Terkadang Marin malah mem-bully-nya dengan lebih kejam lagi. 

She looks just fine,” celetuk Zack di sebelahnya. 

“Bahkan kamu nggak bisa tertarik sama dia, kan? Just fine dari mananya, coba?” debat Marin. 

Karin melirik Zack yang tampak salah tingkah. Ia menepuk bahu Zack. 

“Cuekin aja. Nggak usah didengerin,” ucapnya pada Zack. 

Zack menoleh pada Karin, selama beberapa saat menatap Karin lekat, sebelum tersenyum kecil. 

“Aku juga udah terbiasa sama adikmu yang kayak gini,” balas Zack. 

Karin mengangguk. “Beruntung dia punya sahabat seloyal kamu.” 

“Beruntung dia punya kakak sebaik kamu,” Zack kembali membalas. 

“Dan aku akan lebih beruntung lagi kalau kakak sama sahabatku ketemu jodohnya,” cetus Marin. “Seriusan deh, Kak! Kamu tahun depan udah tiga puluh, lho! Yakin nggak mau nikah?” 

“Aku mau adopsi anak tahun depan,” sahut Karin cuek. 

What?!” Marin melotot kaget. 

“Dan aku masih punya empat tahun sebelum umurku tiga puluh,” Zack angkat bicara. 

“Ugh!” geram Marin seraya berdiri, lalu pergi untuk memesan di counter pemesanan kafe. 

“Kalian selalu kompak dalam hal bikin Marin kesal.” Juno tersenyum geli sebelum menyusul kekasihnya. 

Sepeninggal pria itu, Karin diam-diam mendesah lega. Ia menoleh ketika mendengar dengusan geli di sebelahnya. 

“Kenapa tiba-tiba mau adopsi?” tanya Zack. 

Karin meringis. “Biar aku nggak harus hidup sendiri di hari tuaku.”

“Masih nggak tertarik sama pernikahan?” Zack mengangkat alis. 

Karin memutar mata. “Not at all.” 

Karin belum kehilangan akal sehatnya. 

***

Zack mengernyit kecil ketika merasakan beban di bahunya. Ketika menoleh, Zack mendapati wajah Karin berada begitu dekat. Wanita itu terlelap dengan wajah mengarah pada Zack. Bahkan, Zack bisa merasakan napas hangat Karin di lehernya. 

Zack menarik napas dalam. Apa sebaiknya ia membangunkan Karin? Mungkin Zack sebaiknya menggeser kepala Karin. 

Di tengah konflik batinnya, Zack mendengar Marin berbisik, “Jangan dibangunin, Zack.” 

Zack menatap sahabatnya dengan tatapan protes. Marin menolak duduk dengan Karin karena kesal pada kakaknya setelah perdebatan di kafe tadi. Seharusnya dia membangunkan Karin dengan cara paling kasar jika memang kesal pada kakaknya. 

“Kak Karin udah beberapa hari nggak tidur nyenyak.” 

Penjelasan Marin membuat Zack mengalah. Namun, ketika Juno menghentikan mobilnya di sebuah toko tas berlantai tiga, Zack melotot protes. 

“Sebentar aja. Tadi aku nggak nemu yang bagus di mall,” argumen Marin. 

Begitulah, akhirnya Zack kembali ditinggalkan berdua dengan Karin. Zack tidak akan protes jika saja saat ini Karin tidak bergerak merapat ke arahnya. Tubuh wanita itu sepenuhnya bersandar pada Zack kini. 

Bukan. Bukan beban berat Karin yang membuat Zack mengeluh. Saat ini, Zack tidak hanya merasakan napas Karin di lehernya. Namun juga ... 

Sial. Zack terdengar seperti bajingan. Masalahnya, Karin adalah sosok yang pernah disukainya dulu. Ketika pertama kali Zack melihat Karin dalam balutan gaun putih cantik nan seksi sialan empat tahun lalu. Dan selama beberapa waktu setelahnya, wanita itu menjadi bayangan yang selalu hadir di kepala Zack. Bahkan, di mimpinya. 

Oke, itu dulu. Namun, jika dulu Zack hanya membayangkan, saat ini ia benar-benar merasakan kehadiran Karin di sebelahnya. Dengan sangat jelas. 

“Kita udah sampai?” Suara parau Karin membuat Zack kembali mengernyit. 

Wanita itu mengerang pelan, masih dengan tubuh menempel pada Zack. Tanpa sedikit pun merasa bersalah. 

“Kak, berat,” bisik Zack, tak yakin suaranya akan terdengar normal ketika berbicara. 

Saat itulah, Karin refleks menarik diri cepat. Terlalu cepat hingga ia menubruk pintu di sisinya. 

“Oh, maaf. Aku lupa, kamu yang tadi duduk di sebelahku.” Karin tampak menyesal. “Pantas aja wanginya beda sama Marin.” 

Zack mengernyit kecil. Jika Zack tak mengenal Karin, ia pasti akan menuduh wanita itu menggodanya. Dan ya, Zack tergoda. 

Sial! 

“Marin sama Juno ke mana?” tanya Karin seraya meregangkan tubuh. 

Zack memalingkan wajah. “Marin nyari tas.” 

“Ah. Jadi, dari tadi muter-muter dan masuk ke sekian banyak toko itu, dia ngapain aja? Inspeksi?” sinis Karin. 

Zack tak urung tersenyum juga mendengarnya. Berbeda dengan Marin, Karin bukan tipe yang hobi belanja. Pun jika memang ada yang dia cari, Karin tidak pernah membuang waktu untuk berjalan-jalan mengeliling mall, dan berakhir kembali ke toko pertama. Karin paling anti dengan hal-hal yang merepotkan seperti itu. Wanita itu tahu apa yang ia inginkan. Selalu. 

Zack tersentak kaget ketika tiba-tiba Karin mencondongkan tubuh melewati Zack. 

“Kamu ngapain, sih?” protes Zack yang kembali dikungkung dalam situasi panas. 

“Bantal,” jawab Karin pendek. 

“Biar aku ambilin,” geram Zack. 

“Udah, kok,” sahut Karin riang seraya menoleh pada Zack. 

Namun, kejadian berikutnya benar-benar tak terduga. Karin yang sudah akan mundur, terpeleset dari pijakan tangannya. Seketika, tubuh Karin jatuh di atas tubuh Zack. Tak hanya itu, bibir wanita itu mendarat tepat di bibir Zack. 

Zack melihat keterkejutan di mata Karin. Dan ia bisa melihat dengan jelas iris cokelat gelap milik Karin. 

“Kak, ya ampun!” 

Seruan itu mengembalikan kesadaran Zack. Sementara, Karin terlonjak ke belakang, kali ini kepalanya menabrak langit-langit mobil. Karin mengerang sembari mengusap kepalanya. 

That's an accident!” Karin buru-buru menjelaskan. 

Namun, itu tak akan cukup untuk Marin yang saat ini melotot galak pada Zack, seolah ia siap mencekik Zack saat itu juga. Karena Zack berani menyentuh kakak kesayangannya. 

Yah, setidaknya Zack telah merasakan bibir yang dulu hanya bisa dibayangkannya. Mati sekarang pun ia tidak akan terlalu menyesal. 

Oke. Zack jelas sudah kehilangan akal sehatnya. 

***

 

Chapter 2

Marry You?

 

“Apa? Nikah?” Karin sontak berdiri, berkacak pinggang tak terima. “Itu tadi kecelakaan. Nggak sengaja. Aku kepleset waktu ambil bantal. Ya ampun, Marina! Kamu tahu aku nggak tertarik sama Zack dan begitu pun sebaliknya. Gimana bisa …?” 

“Karena Zack udah nyuri ciuman pertamanya Kakak!” balas Marin, masih tampak semarah sebelumnya. 

Karin menoleh pada Zack dan menggeleng mendapati pria itu ternganga kaget. “Bukan gitu, oke?” Karin berbicara pada Zack. 

“Kamu harus tanggung jawab, Zack!” Marin membentak Zack. 

“Marin, ya ampun! Harus berapa kali aku bilang …”

“Kalau kamu nggak nikah, aku juga nggak akan pernah nikah sama Juno.” Suara Marin terdengar tajam. 

Karin mengernyit. 

“Kamu juga ingat kan, apa yang dibilang Mama sama Papa?” Marin melengos. Dia selalu benci membicarakan keluarga mereka. Keluarga yang sudah membuang mereka. 

“Aku akan ngomong lagi sama Mama-Papa. Tentang keputusanku buat adopsi anak dan nggak nikah. Jadi …” 

Dengusan sinis Marin menahan kalimat Karin berikutnya. 

“Kamu lupa mereka gimana? Kapan mereka pernah dengerin kita, Kak? Bahkan pas kita nangis ketakutan malam-malam, cuma berdua di rumah ini, mereka nggak peduli!” 

Emosi di mata Marin menyakiti Karin. 

“Aku akan nyoba ngomong sama mereka,” putus Karin seraya melangkah pergi meninggalkan ruang tamu. 

“Kalau kamu bikin kacau rencana pernikahanku sama Juno, aku akan ngebenci kamu selamanya, Kak.” 

Ultimatum Marin membuat Karin membeku di tempat. Jika ada orang yang bisa membunuh Karin karena rasa sakit, Marinlah orangnya. Saat ini pun, Karin merasakan tusukan tajam, berkali-kali, di dadanya, hanya karena kata-kata Marin. 

Meski begitu, Karin tak berbalik dan melanjutkan langkah. Ia akan membereskan ini. Ia tidak akan mengacaukan kebahagiaan Marin. Apa gunanya Karin hidup jika membuat Marin bahagia saja tidak bisa?

***

“Kamu tahu nggak, kamu udah keterlaluan banget?” Teguran Zack membuat Marin menghela napas berat. 

“Masa bodoh,” balas Marin sok tak peduli, tapi tatapannya masih lekat ke arah titik tempat Karin menghilang. 

“Kenapa kamu kayak gini?” Zack menginterogasinya. “Kamu tahu, aku sama Kak Karin …” 

“Kamu pernah suka sama kakakku, kan?” tembak Marin, membungkam Zack seketika. 

Zack menoleh pada Juno. Hanya dia yang tahu tentang ini. Juno mengangkat tangan, mengakui kesalahan. 

“Itu dulu. Waktu aku masih … muda. Maksudku ... waktu itu aku baru lulus kuliah dan …”

“Kamu harus nikah sama kakakku, Zack.” 

Keputusan Marin terdengar final dan serius. 

“Cuma gara-gara kami nggak sengaja ciuman?” protes Zack. 

Marin melengos. 

Tidak. Ada alasan lain. 

“Apa … ada masalah?” tanya Zack hati-hati. 

Marin menghela napas berat. “Bantu aku, Zack. Aku nggak mungkin maksa Kak Karin nikah sama sembarang laki-laki yang lewat di depan rumah, jadi …” 

Zack mengumpat kesal. “Kamu maksa kakakmu nikah cuma karena kamu nggak mau nunda pernikahanmu sama Juno?” 

Marin mendengus. “Ya.”

Zack kembali mengumpat. “Kakakmu juga berhak bahagia sama orang yang dia cinta,” tegas Zack. 

“Karena itu, kamu bisa nikah sama dia dan buat dia bahagia,” putus Marin. 

Zack menggeleng. “Apa kamu pikir, itu bisa bikin Kak Karin bahagia?” 

Marin menatap Zack lekat. “Ngelihat kamu nggak nolak nikahin kakakku dan malah mikirin kebahagiaan dia, kayaknya kamu masih belum bisa move on.”

Zack mengernyit. 

“Kalau kamu nggak mau nikah sama kakakku, nggak masalah. Dia toh tetap akan nikah sama laki-laki lain, siapa pun itu. Aku akan buat dia ngelakuin itu. Dan kamu tahu dengan baik, dia selalu ngelakuin apa pun yang aku minta.” Marin bangkit dari duduknya. 

“Jangan ngirim dia ke sembarang laki-laki,” desis Zack kesal. 

Marin mengangkat alis. “Itu berarti, kamu akan nikah sama kakakku, kan?” 

Zack tak langsung menjawab. Pikirannya melayang pada bayangan Karin berdiri bersisian dengan pria asing yang tak dikenal wanita itu. 

“Ya. Aku akan nikah sama kakakmu.”

Zack tahu, ia sudah benar-benar kehilangan akal sehatnya ketika memberikan jawaban itu. Namun, tak ada yang bisa ia perbuat tentang itu. 

***

Pagi itu, Karin berniat berbicara lagi dengan Marin, tapi saat ia keluar kamar, ia tak menemukan Marin di mana pun. Si pemarah itu terlalu rajin tentang jadwal kerjanya. Karin menghela napas. Semalam, ia sudah membuat janji dengan orang tuanya dan akan bertemu mereka secara terpisah pagi ini. 

Ia akan menemui papanya lebih dulu. Alih-alih di kantor, papanya akan menemui Karin di rumah. Ini tak seperti biasanya, tapi Karin tahu, apa pun alasannya, itu bukan karena Karin. Sudah sejak lama, ia tak pernah menjadi alasan untuk papanya. Bahkan untuk sekadar tinggal di sisinya. 

Karin sudah akan memesan taksi karena mobilnya masih di butik, ketika terdengar pintu depan terbuka. Karin refleks berdiri. Apa Marin kembali?

Namun, detik ketika ia melihat Zack, Karin merasa kecewa. Meski begitu, ia tersenyum tipis pada sahabat Marin dan Juno itu. 

“Marin udah berangkat ke kantor pagi-pagi banget,” beritahu Karin. 

Zack menghampiri Karin seraya mengangguk kecil. “Aku ke sini nggak mau ketemu dia, tapi ketemu kamu.” Ia menghentikan langkah beberapa meter dari Karin. 

Karin mengangkat alis. “Masalah kemarin? Jangan terlalu dipikirin. Ini aku mau ketemu orang tuaku buat ngomongin rencana pernikahan Marin,” terangnya. 

Zack tak menanggapi, tapi ia lantas berbalik dan berjalan ke arah pintu depan. 

“Kamu udah mau balik? Tadi katanya mau ketemu aku. Kenapa?” buru Karin. 

“Nanti aja. Aku antar kamu dulu ketemu orang tuamu. Mobilmu nggak di rumah, kan?” Zack berhenti di depan pintu untuk berbalik dan menatap Karin. “Ayo.” 

Karin tak tahu harus bagaimana menanggapi tawaran bantuan anak ini. Biasanya, ia tidak akan banyak berpikir. Selain Juno, Zack juga sudah menjadi bagian dari keluarganya kini. Sebagai sahabat dekat Marin, sebagai sosok yang selalu ada untuk membantu Marin maupun Karin. Namun, saat ini, entah kenapa Karin merasa canggung untuk menerima bantuan Zack. 

“Aku biasa aja tentang masalah kemarin, jadi nggak perlu ngejaga jarak dari aku,” ucap Zack kemudian, memantapkan langkah Karin menuju pria itu. 

“Kamu emang selalu bisa diandalin.” Karin menepuk bahu Zack ketika melewatinya. 

***

Zack melirik Karin yang sedari tadi tampak muram setelah bertemu papanya. Seperti dugaan Marin, papanya pasti tidak menyetujui rencana gila Karin. Menolak menikah dan mengadopsi anak? Yang benar saja! 

Meski begitu, Zack tak memberikan komentar apa pun. Tahu, saat ini Karin sudah cukup terbebani. 

“Sekarang, kita mau ke mana?” tanya Zack. 

Karin yang sedari tadi sibuk dengan pikirannya, seketika menoleh, tampak agak kaget. 

“Apa? Kamu ngomong sesuatu?” Karin bertanya. 

Dengan kalem Zack mengulangi, “Sekarang, kita mau ke mana?” 

Karin berdehem. “Kamu udah sarapan? Aku belum. Kalau kamu juga belum ...” 

“Kamu mau makan apa?” Zack melirik Karin. 

“Um ... terserah kamu aja.” 

“Oke.” Zack memutuskan untuk menyetujui saja. 

Dalam kepalanya, Zack mendaftar makanan kesukaan Karin yang pernah disebutkan Marin. Sebenarnya, Zack bukan penggemar fast food, tapi Marin pernah berkata jika Karin terkadang menggunakan fast food untuk meredakan stresnya. 

Good choice,” komentar Karin begitu Zack memarkirkan mobil di pelataran parkir restoran fast food

“Bukannya aku mau ngritik atau menggurui, tapi makanan kayak gini ...” 

“Ini bukan menu harianku, don’t worry,” Karin menukas. “It’s just my stress reliever.” 

Zack mengangguk, mengalah. Setidaknya, Karin tahu, ini tidak baik untuk tubuhnya. 

 “Kamu mau apa?” tanya Karin begitu mereka mengantri di counter pemesanan. 

“Pesenin aja, apa yang menurutmu paling enak,” jawab Zack. 

Karin mengangguk. “Kamu duduk dulu aja, kalau gitu.” 

Zack berpikir sejenak. “Gimana kalau aku yang pesan dan kamu duduk dulu?” tawarnya. 

Karin tersenyum. “Nggak perlu act like a gentleman kalau di depanku.” 

Zack menggeleng. “This is how I treat a lady.” 

Karin tertawa kecil, lalu menyebutkan pesanannya. 

Thanks, Gentleman. Aku menu nomor dua. Dan menu yang kupesan itu yang terbaik di sini.” Karin menepuk bahu Zack ringan sebelum pergi dan mencari tempat duduk. 

Setidaknya, wanita itu sudah bisa tersenyum dan tertawa. 

***

Karin menarik napas dalam ketika mobil Zack sudah semakin dekat dengan rumah mamanya. Papa mungkin tidak menyetujui pemikiran dan keputusan Karin mengenai hidupnya, tapi mamanya pasti akan mengerti, kan? Mamanya juga seorang wanita, seperti dirinya. Mama pasti mengerti. 

“Kamu bisa pergi, Zack. Aku mungkin akan lama,” pesan Karin ketika akan turun dari mobil pria itu. 

“Kamu oke?” tanya Zack. Sepertinya sedari tadi ia memperhatikan Karin. 

I have to.” Karin meringis. 

“Hei!” panggil Zack ketika Karin sudah berjalan meninggalkan mobil, hendak membuka gerbang tinggi rumah mamanya. 

“Apa pun yang terjadi, kamu akan baik-baik aja,” ucap Zack. 

Karin tak urung tersenyum juga. 

“Trims, Zack.” 

Lalu, ia pun masuk melewati gerbang tinggi di depannya. 

Seorang pria paruh baya yang sedang menyirami taman depan menyambut Karin dengan wajah semringah. 

“Non Karin?” 

“Apa kabar, Mang Din?” sapa Karin ramah. Mang Din dulunya adalah tukang kebun di rumah Karin. Sampai lima tahun lalu, ketika mamanya berpikir Karin dan Marin bisa mencari orang baru, ia membawa Mang Din ke rumahnya. Lebih tepatnya, rumah suami barunya. 

Seperti rumah yang ditinggali papanya, rumah di depannya ini juga sama mewahnya. Beberapa mobil berjejer di halaman samping rumah. Bahkan, seorang pelayan membukakan pintu depan untuk Karin dan mengantarkannya ke ruang keluarga. Di sana, Karin melihat mamanya sedang bercanda dengan seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun. Bahkan pemandangan ini pun tak berbeda dengan yang dilihat Karin di rumah papanya. 

Setelah meninggalkan Karin dan Marin, baik mama maupun papanya punya anak laki-laki yang umurnya tentu terpaut jauh dari Karin. Jika putra mamanya berumur dua belas tahun, saudara tiri Karin dari papanya masih berumur sembilan tahun. Meski mama dan papanya bangga akan kehadiran anak laki-laki mereka, tapi Karin tidak begitu. Meski begitu, ia tidak membenci kedua adik tirinya itu. 

“Kak Karin!” Dewa melompat dari sofa yang didudukinya dan menghambur ke arah Karin. “Kak Karin bilang, mau nemenin aku main game, tapi Kakak nggak pernah ke sini,” protes Dewa. 

“Maaf ya, Kakak sibuk banget soalnya. Nanti begitu Kakak ada waktu luang, Kakak pasti akan temenin kamu main,” janji Karin, seperti biasa. Janji yang ia tak yakin akan ditepatinya. 

Karena, meski adik-adik tirinya begitu memuja dirinya dan Marin, bagi Karin, tak ada yang lebih berharga dari Marin. Dewa maupun Soni, –anak papanya, punya orang tua yang memanjakan dan selalu ada untuk mereka. Namun, Marin hanya punya Karin, begitu pun sebaliknya. 

“Ma, Karin mau bicara.” Karin segera memberitahukan tujuan kedatangannya. 

Mengerti akan nada seriusnya, mamanya segera berdiri dan mengajak Dewa keluar. Setelah menyerahkan Dewa pada seorang pelayan di depan pintu, mamanya kembali ke ruang keluarga. 

“Ada apa, Karin?” tanya mamanya sembari berjalan melewatinya. 

Karin tak langsung menjawab. Ia menunggu mamanya duduk, lalu ikut duduk di sofa seberang mamanya. Karin menautkan kedua tangan di atas pangkuannya, menarik napas dalam, lalu tanpa berbasa-basi, mengungkapkan, 

“Aku mau adopsi anak, Ma.” 

Tak ada tanggapan selama beberapa saat. Lalu, terdengar tarikan dalam napas Mama. 

“Kamu bisa ngomongin itu sama suamimu nanti,” ucap mamanya. 

“Aku nggak akan nikah, Ma. Makanya, aku mau adopsi anak,” tandas Karin.

Perlahan, kerutan dalam muncul di kening mamanya. Tatapannya tampak tak suka. Karin mengernyit. Ini reaksi yang sama dengan yang diberikan papanya. Hanya saja, berbeda dengan papanya yang langsung berteriak jika Karin pasti sudah gila karena berpikiran seperti itu, mamanya hanya berkata dingin, 

“Jangan bodoh kamu. Nggak ada yang seperti itu. Kamu akan nikah dan punya anak. Kayak orang lain.”

Lalu, mamanya berdiri dan berjalan ke arah pintu. Setidaknya, sebelum mamanya keluar dari ruangan itu, ia sempat menawari Karin makan siang. Meski saat ini, Karin benar-benar merasa ingin muntah. Ia muak dengan keluarganya. 

***

 

Chapter 3

And There You Are

 

Setelah terpaksa menemani Dewa bermain sampai sore, akhirnya Karin baru bisa meninggalkan rumah mamanya. Meski begitu, Karin tidak berpamitan pada mamanya ketika pergi. Mamanya mungkin tak peduli jika Karin marah padanya, tapi Karin punya harga diri juga. Mamanya adalah orang yang membuangnya, jadi Karin berhak marah padanya. Lebih tepatnya, Karin memang harus marah padanya. 

Jika memang orang tuanya sudah membuangnya, kenapa Karin harus menjalani hidup seperti yang mereka inginkan? Mereka bahkan tidak memberikan rumah bernama keluarga pada Karin, tapi mereka menuntut Karin berkeluarga seperti mereka? Untuk apa? Untuk membuang anak-anak mereka jika mereka ingin?

Begitu Karin keluar, melewati gerbang tinggi rumah mamanya, kaki Karin terasa lemas. Emosi benar-benar menguras tenaganya. Karin menepi dan berjongkok di sisi jalan. Ia menumpukan kedua lengannya yang terlipat di atas lutut, lalu menyandarkan dagunya di sana.

Bad day, Lady?” Suara itu membuat Karin seketika mendongak. 

Karin mendengus pelan melihat sosok Zack yang menjulang di sebelahnya. Pria itu lantas ikut berjongkok di sebelahnya. 

“Apa stress reliever-mu yang kedua?” tanya Zack seraya menoleh padanya. 

Karin tersenyum. “Kamu mau nemenin?” tantangnya. 

Zack mengedik santai. “Kenapa enggak?” 

“Yakin, nggak akan nyesal?” Karin mengangkat alis. 

“Seburuk apa, emangnya?” dengus Zack geli. 

Karin tersenyum geli. “Then, let’s go. Jangan berani-berani kamu mundur atau protes nanti,” Karin mengingatkannya. 

“Tentu. Itu toh bukan style-ku,” angkuh Zack seraya berdiri lebih dulu. Pria itu lantas mengulurkan tangan, menawarkan bantuan. 

“Jangan salahin aku buat ini.” Karin lagi-lagi memberi peringatan. 

Zack menggeleng. 

Maka, Karin menerima uluran tangan pria itu dan berdiri. Rasanya tidak buruk juga, punya seseorang yang bisa membantumu berdiri ketika kau terjatuh. 

***

Zack menyesal tidak menggubris peringatan Karin tadi. Karena saat ini, ia dan Karin berada di box karaoke, dengan Karin yang berteriak-teriak keras hingga orang-orang di luar box menoleh. Beberapa tampak kaget, heran, dan tak sedikit yang tampak geli. Sepertinya, para staf game center ini tidak begitu memperhatikan soundproof kotak berukuran dua kali dua meter ini. 

Ketika Karin sampai terbatuk karena berteriak-teriak, Zack merebut mic dari tangannya dengan agak kesal. Seketika, Karin menatapnya protes. 

“Kalau kamu pengen nyanyi, nyanyi yang benar,” singgung Zack. “Kalau kamu teriak-teriak kayak gitu, suaramu bisa habis.” 

“Ini namanya stress reliever, bukan nyanyi,” debat Karin seraya berusaha merebut mic-nya.

“Kalau gitu, itu udah cukup,” putus Zack. “Atau, kalau mau lanjut, kita pergi ke tempat lain. Yang tempatnya lebih luas dan soundproof-nya lebih bagus.” 

Karin menggeleng. “Justru karena tempatnya di sini. Karena soundproof-nya kayak gini, dan karena orang-orang bisa lihat kita kayak gini.” Karin lalu melambaikan tangan ke arah jendela kaca di bagian atas pintu, membuat orang yang menerima lambaiannya itu meringis canggung. 

“Nggak. Ini udah cukup,” tegas Zack seraya menarik turun tangan Karin. “Kita pulang.” 

Zack meletakkan mic di tangannya ke meja dekat layar, lalu membuka pintu box karaoke. Namun, kakinya urung melangkah ketika Karin berteriak, 

“Kalau aku nggak boleh teriak-teriak di sini, trus aku harus teriak-teriak di mana?!” 

Zack sudah akan menyebut apa yang dilakukan Karin ini konyol ketika ia berbalik dan melihat mata Karin berkaca-kaca. Meski terkejut, Zack segera menyadarkan diri dan kembali menutup pintu ruangan kecil itu. 

“Hei, aku nggak bermaksud buat ganggu acara stress relieving-mu, tapi …”

“Dan mana ada laki-laki yang mau nikah sama perempuan kayak aku gini, Zack?” Suara Karin terdengar begitu tersiksa. “Keluargaku berantakan dan aku muak sama keluargaku sendiri. Mikirin pernikahan udah cukup bikin aku mual dan jijik. Dan aku bukan tipe yang suka cerita menye-menye tentang cinta, Zack. Aku nggak akan pernah mau jatuh cinta. Oh, sori, aku nggak percaya cinta.” 

Zack tak pernah melihat Karin serapuh ini. Di matanya, Karin selalu menjadi wanita yang kuat, tangguh, tegar, hebat. Namun, saat ini …

“Gimana kalau kita nikah?” sebut Zack. “Ayo kita nikah.”

Tanggapan Karin tak jauh berbeda dengan dugaan Zack. 

“Kamu ngigau? Atau, kamu udah gila?” sembur Karin. 

“Daripada kamu nikah sama laki-laki yang nggak kamu kenal sama sekali,” ucap Zack. 

Karin mendengus kasar. “Aku nggak mau nikah. Apalagi sama laki-laki yang aku nggak kenal sama sekali.” 

“Trus, gimana dengan pernikahannya Marin?” Zack mengingatkan. 

Karin mengernyit. 

“Kamu pasti akan ngelakuin apa yang diminta Marin. Jadi, pada akhirnya, kamu harus nikah. Meski sama pria asing sekalipun. Karena itu …” Zack menarik napas dalam, “kenapa kamu nggak nikah sama aku aja?” 

Karin menyipitkan mata. “Dan kenapa kamu mau nikah sama aku?” 

Zack tak langsung menjawab. 

“Marin yang maksa kamu?” tuduh Karin. 

Zack menghela napas, menggeleng. 

“Trus, kenapa? Kamu suka sama aku? Itu lebih nggak mungkin lagi. Lagian, buat aku, kamu tuh udah aku anggap adikku sendiri, Zack. Kamu, Marin, Juno, kalian …”

“Tapi, aku nggak bisa nganggap kamu sebagai kakakku,” balas Zack. 

Karin mengerutkan kening heran. 

“Karena di kepalaku, aku selalu ngebayangin gimana rasanya nyium kamu.”

Cara Karin menatapnya … seolah Zack adalah manusia paling kotor yang pernah dilihatnya. Wanita itu terlihat jijik. Jelas sangat jijik. 

“Ini sama sekali nggak lucu.” Karin akhirnya kembali bersuara. “Kalau kamu ngelakuin ini cuma buat maksa aku nikah sama kamu …”

“Perlu aku buktiin sekarang?” Zack mendekat ke arah Karin. 

Seketika, Karin melangkah mundur. “Jangan macam-macam, Zack!” 

“Hari itu, di mobil, waktu kita nggak sengaja ciuman,” Zack terus mendekat hingga Karin terkurung di dinding box sempit itu, “aku udah hampir nyium kamu beneran kalau Marin nggak datang.”

“Zack!” seru Karin seraya merentangkan tangan ke depan, menahan dada Zack. 

Zack berhenti, tapi ia mendekatkan wajahnya ke wajah Karin. “Sekarang kamu percaya, kan?”

Karin menunjukkan sorot tak percaya. “Jangan bodoh. Aku tahu kamu, Zack. Kamu nggak akan …”

Zack tak membiarkan Karin melanjutkan kalimatnya. Ia bisa merasakan keterkejutan Karin dari bibirnya yang sudah bersentuhan dengan bibir Zack. Rasa bersalah seketika melingkupinya ketika mendapati dirinya menyukai ini, sementara Karin berusaha mendorongnya. 

Zack sudah menyiapkan diri menerima tamparan dari Karin ketika ia mundur, tapi mengejutkannya, Karin malah berdiri mematung di depannya. Tatapan matanya kosong.

“Kenapa kamu ngelakuin ini?” tuntut Karin, masih dengan tatapan kosongnya. 

Zack mengulurkan tangan, menyentuh wajah Karin lembut. “Hei, lihat aku,” ucapnya dengan nada sama lembutnya. 

Karin akhirnya menatap Zack, tapi air mata sudah nyaris jatuh dari pelupuk matanya. 

“Kita bisa ngelakuin ini. Kita bisa jalanin pernikahan ini. Aku di sini. Nggak ada yang perlu kamu takutin. Nggak ada yang perlu kamu khawatirin.” Zack menggenggam tangan Karin. 

“Bahkan kamu pun nggak ngedukung pilihanku, kan?” Suara Karin bergetar. 

Akhirnya Karin jatuh juga. Ia menangis di hadapan Zack. Zack mengernyit. Ia mengambil langkah, mendekat, dan menarik wanita itu dalam peluknya. Saat itu juga, Zack merasa ia jatuh. Bersama Karin. 

***

Karin menyusut hidungnya dengan tissue, dan menyerahkan tissue-nya pada Zack yang sudah mengulurkan tangan. Zack lalu memberikan beberapa lembar tissue yang baru di tangan Karin sebagai gantinya. Karin sudah menyerah mempertahankan harga dirinya di hadapan anak ini. 

“Kalau kamu udah baikan, aku antar pulang,” tawar Zack. 

“Aku nggak mau pulang,” tukas Karin. 

“Trus, kamu mau ikut aku pulang?” 

Karin menatap Zack tajam. “Aku mau ke butik.” 

Zack menghela napas berat. “Nanti Marin khawatir kalau kamu nggak pulang.”

“Dia bahkan nggak akan peduli,” ketus Karin. “Dia tahu aku akan ngelakuin apa pun yang dia minta. Gimana bisa dia ngelakuin ini ke aku?” 

“Marin emang keterlaluan, sih,” Zack menyetujui. 

“Kamu juga sama,” serang Karin. “Bisa-bisanya kamu …”

“Nanti aku akan bilang ke Marin kalau aku nyium kamu lagi,” ucap Zack santai. 

“Kamu juga sebenarnya kenapa sih, Zack? Aku nggak ngerti kenapa kamu ngelakuin ini, beneran!” Karin frustrasi.

“Perlu aku tunjukin lagi?” Zack mencondongkan tubuh ke arah Karin. 

Refleks Karin menahan bahu Zack.

“Pasti Marin yang nyuruh kamu.” Karin yakin, hanya itu alasannya. 

“Dia adalah orang yang paling marah waktu tahu aku nyium kamu,” dengus Zack. 

“Trus, kenapa? Ya ampun, Zack! Alasanmu tuh, nggak masuk akal!” geram Karin. 

“Kalau aku bilang, aku suka kamu, kamu juga nggak akan percaya, kan?” sebut Zack. 

Karin mendengus kasar. “Itu lebih nggak masuk akal.” Ia lalu kembali menyusut hidungnya. 

“Trus, alasan apa yang akan kamu terima?” Zack mengulurkan tangan, meminta tissue yang barusan digunakan Karin. 

“Nggak ada alasan kamu mau nikah sama aku, Zack,” tegas Karin. 

“Aku pengen kamu, apa itu bukan alasan?” balas Zack. 

Karin mengerutkan kening jijik. “Itu nggak lucu.” 

“Biar aku tegasin situasiku sekarang. Aku pengen kamu dan aku sama sekali nggak pengen perempuan lain. Jadi, aku akan nikah sama kamu, oke?” Zack menatap Karin, seolah ia sudah memberikan penjelasan paling masuk akal yang mutlak.

“Karin …”

“Aku lebih tua tiga tahun dari kamu,” sela Karin tajam. 

Zack mendengus. “Cuma tiga tahun ini.” 

“Hei!” 

“Kita toh akan nikah,” ungkap Zack. 

“Nggak!” tolak Karin keras. 

“Kalau kamu bisa ngeyakinin Marin buat itu, silakan. Aku akan ngomong ke dia kalau aku mau nikah sama kamu. Dan itu juga yang akan aku ucapin ke orang tuamu.” Tak terdengar keraguan sedikit pun dalam kalimat Zack. 

“Jangan buat aku benci kamu, Zack,” Karin memperingkatkan. 

“Kamu bisa ngebenci aku sepuasmu. Tapi, kita akan tetap nikah.” Zack memperbaiki posisi duduknya dan menyalakan mesin mobil. “Seat belt,” ia mengingatkan Karin sembari memasang seat belt-nya sendiri. 

Meski kesal, Karin menuruti perintah Zack. 

“Aku nggak mau pulang ke rumah,” Karin menyebutkan. 

“Kamu mau makan apa? Tenagamu pasti udah habis dipakai teriak-teriak sama nangis hampir satu jam tadi,” ucap Zack. 

Karin menatap Zack kesal. Karena siapa Karin menangis tadi?

“Marin bilang, kamu suka makanan pedas. Apa?” kejar Zack. 

“Aku nggak lapar,” ketus Karin. 

“Kalau gitu, kita pergi ke tempat kesukaanku. Aku lapar,” aku Zack. 

Karin lalu teringat, tadi siang Zack pasti belum makan karena menunggunya di rumah mamanya. 

“Kamu mau makan apa?” tanya Karin. 

Seafood. Aku suka seafood,” Zack memberitahu. 

“Aku tahu kalau kamu suka seafood. Marin udah pernah bilang,” balas Karin. 

“Aku paling suka ikan bakar,” lanjut Zack. “Dan aku nggak begitu suka pedas.” 

Karin mengerutkan kening. “Makanan pedas itu bisa jadi stress reliever juga, tahu?” 

“Aku nggak punya banyak stres kayak kamu,” sahut Zack. 

Karin mendesis kesal. Namun, ia lantas berkata, “Di restoran favoritku ada menu seafood-nya. Enak, katanya.” 

Zack meliriknya. “Kita ke sana?” 

Karin mengedik. “Kalau kamu mau …”

“Ya, aku mau. Kamu?” Zack balik bertanya. 

Karin sudah akan menjawab ketika ia menyadari ada yang janggal. Ia menoleh pada Zack. 

“Ini pertanyaan buat apa?” tuntut Karin. 

Zack menoleh sekilas. “Pernikahan kita.” 

Karin refleks mengumpat menanggapinya. 

***

 

Chapter 4

I’ll Be Waiting

 

Karin sengaja tinggal di restoran lebih lama bahkan setelah selesai makan, karena ia masih enggan pulang. Namun, Zack tetap setia menemaninya. Lebih tepatnya, dengan keras kepala memaksa tinggal meski Karin sudah mengusirnya. 

Namun, ketika larut malam itu ia pulang ke butiknya dengan diantar Zack, Karin terkejut melihat Marin juga ada di sana. Karin segera melepas seat belt-nya dan hendak turun, tapi Zack menarik tangannya. Saat Karin menoleh padanya, lagi-lagi Karin mendapati bibir pria itu mendarat di bibirnya. Meski hanya sekilas. 

“Kalau aja ini bukan kamu, aku pasti udah nampar kamu,” desis Karin kesal sebelum ia turun dari mobil Zack dan menghampiri Marin. 

Namun, sebelum Karin sempat menjelaskan apa yang terjadi di mobil tadi, Marin sudah lebih dulu memeluknya, erat. 

“Makasih, Kak,” ucap Marin tulus. 

Karin mengerutkan kening bingung. 

“Zack bilang, Kakak mau nikah sama dia. Makasih, Kak.”

Dalam kepalanya, Karin sudah memaki Zack dengan setiap umpatan yang ia ketahui. 

“Marin, itu …” Penjelasan Karin terhenti ketika ia akhirnya melihat wajah Marin yang berbinar dengan kebahagiaan. 

Seketika, Karin teringat dua adik tirinya, Dewa dan Soni. Dua anak itu selalu tampak bahagia setiap kali Karin melihat mereka. Tidakkah ini terlalu tidak adil untuk Marin? Saat Mama dan Papa meninggalkan mereka, Marin masih berumur dua belas tahun. 

Karin melihat sendiri bagaimana orang tuanya merenggut kebahagiaan masa kecil Marin. Jadi, bagaimana bisa ia melakukan hal yang sama pada Marin?

“Ya.” Bibir Karin bergetar. “Aku akan nikah sama Zack.” 

***

Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, tapi Zack tak juga bisa tidur. Kata-kata Karin pada Marin tadi terus terngiang di telinganya. 

“Ya. Aku akan nikah sama Zack.”

Begitu pun dengan ekspresi Karin saat mengucapkan itu. Wanita itu tersenyum, tapi sorot di matanya tampak sedih. Pengorbanan lainnya untuk Marin. Karin selalu seperti itu. Namun, Zack juga tahu, Karin tak punya pilihan lain. Begitu pun Zack. 

Ia tak mungkin membiarkan Karin menikah dengan sembarang pria hanya demi pernikahan Marin. Selain itu juga ….

Suara bel rumahnya memutus pikiran Zack. Siapa yang bertamu di jam selarut ini?

Ketika melihat sosok Karin di LCD belnya, Zack bergegas ke arah pintu hingga tersandung sepatunya sendiri. Bahkan, ia nyaris menabrakkan daun pintu ke hidungnya. Zack membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan Karin masuk. 

“Maaf, aku ganggu kamu malam-malam gini,” ucap Karin. 

Zack menggeleng. “Aku belum tidur, kok.” Zack berjalan mundur untuk memberi Karin jalan, dan lagi-lagi tersandung sepatunya sendiri. Untung ia masih sempat berpegangan di dinding alih-alih terjengkang di depan Karin. 

“Kenapa belum tidur?” tanya Karin. 

“Mikirin … beberapa hal.” Zack berdehem. 

Karin mengangguk. 

Zack mengantarkan Karin ke ruang tamu, menunggu wanita itu duduk sebelum ia pergi ke dapur untuk membuatkan minuman hangat. Saat Zack kembali ke ruang tamu, Karin tampak melamun. 

“Karin?” panggil Zack pelan, tak ingin wanita itu terkejut. 

Karin menoleh, menggumamkan terima kasih ketika Zack meletakkan secangkir teh hangat di depannya. Wanita itu bahkan tak protes lagi karena Zack memanggil namanya langsung. 

“Ada apa?” tanya Zack hati-hati. “Kenapa kamu datang ke sini jam segini?” 

Karin menarik napas dalam. “Aku nggak tahu kenapa kamu mau nikah sama aku, tapi ya, kita akan nikah. Aku juga udah bilang orang tuaku. Marin mau aku nikah bulan depan. Maaf, ini pasti terlalu mendadak, tapi …”

It’s okay,” potong Zack. “Aku ikut kamu aja. Gimanapun keputusanmu.” 

Karin mendengus pelan. “Tapi, kamu nggak setuju kalau aku nggak mau nikah sama kamu?” 

Zack meringis. 

“Aku ke sini cuma mau ngomong itu,” ucap Karin seraya berdiri. 

“Ap-apa?” Zack tentu terkejut. Ia menoleh ke arah jam dinding di ruang tamu. “Kamu mau ke mana jam segini?” 

“Pulang,” jawab Karin santai. 

“Biar aku antar, kalau gitu,” ucap Zack. 

“Aku bawa mobil,” tolak Karin. 

“Nanti aku baliknya naik taksi nggak masalah,” sanggah Zack. 

“Aku nggak mau ngerepotin kamu.” Karin lagi-lagi menolak. 

“Kalau gitu, di sini aja sampai pagi,” usul Zack. 

Karin mengangkat alis. “Sama kamu?” 

“Aku nggak akan macam-macam, ya ampun!” Zack tak percaya, Karin berpikir seperti itu tentang dirinya. 

“Pas aku buka mataku aja kamu udah dua kali nyium aku. Gimana kalau pas aku tidur?” sinis Karin. 

Zack mendengus tak percaya. “Kalau gitu, nggak usah tidur. Kita bisa ngomongin tentang pernikahan kita sampai pagi. Aku toh nggak akan bisa tidur lagi sekarang.” 

Karin tampak mempertimbangkan, lalu memberi jawaban, “Oke.” 

Ketika Karin kembali duduk, Zack pergi ke dapur untuk mengambil minuman dingin. Ia perlu mendinginkan kepalanya juga. 

***

Karin bergerak pelan, dan perlahan mengerjap. Ia langsung terduduk menyadari dirinya tertidur di sofa ruang tamu Zack. Karin menoleh ke arah jam dinding. Jam lima. Mereka mengobrol setidaknya selama satu jam. Karin menyebutkan rencananya tentang hanya mengundang keluarga di acara pernikahan. Ia ingin acara pernikahan dilakukan tertutup. Sampai Karin mulai merasa mengantuk dan tanpa sadar tertidur. Hal terakhir yang diingatnya adalah kalimat Zack tentang undangan. 

Karin menoleh ke sofa seberang dan mendapati Zack juga terlelap di sana, masih dalam posisi duduk, bersandar di sofa. Karin perlahan berdiri. Ia menunduk merasakan sesuatu jatuh ke kakinya. Selimut. Karin membungkuk untuk mengambil selimut itu. Ia mendekati Zack dengan hati-hati, lalu menyelimuti tubuh pria itu. 

Setelahnya, Karin berniat untuk pergi, tapi ia lantas teringat sesuatu. Zack tinggal sendiri di rumah ini. Marin pernah bercerita jika kedua orang tua Zack meninggal saat dia masih kecil. Karin menoleh ke arah dapur yang lampunya masih menyala. Ia tidak yakin jika ada bahan makanan yang cukup untuk bahan memasaknya. 

Meski begitu, Karin pergi ke dapur. Ia memang tidak begitu pandai memasak, tapi ia pernah memasak beberapa makanan sederhana seperti nasi goreng atau omelet telur. Setidaknya, itu cukup untuk sarapan, kan?

Karin tidak berharap banyak ketika membuka kulkas, tapi ia terkejut melihat lengkapnya isi kulkas Zack. Ada sayur dan buah juga. Karin tenggelam di kulkas Zack selama beberapa saat. Selain memilih bahan makanan, tapi ia juga penasaran akan isinya. Meski pada akhirnya, ia menutup kulkas dengan hanya mengeluarkan dua butir telur. Omelet telur adalah masakan yang Karin paling percaya diri dalam membuatnya. 

Namun, Karin kebingungan ketika mencari garam. Ia mundur untuk melihat di kabinet di atas meja dapur. Ia melihat kotak-kotak bening berisi bubuk-bubuk putih. Pasti ada garam di situ. Karin mendekat ke meja dapur dan mengulurkan tangan ke atas untuk mengambil kotak bumbunya. Ia berjinjit ketika tangannya tak menemukan apa pun. Detik ketika ujung jarinya menyentuh kotak bumbunya, Karin merasakan tangan lain menyenggol tangannya. 

“Garam atau gula?” Pertanyaan itu datang dari sosok yang menjulang tepat di belakang Karin. 

“Garam,” jawab Karin pelan. Jantungnya berdegup kencang karena terkejut oleh kehadiran mendadak Zack. 

“Kamu mau masak apa?” tanya Zack seraya menurunkan kotak bening yang berisi garam. 

“Kamu udah bangun?” Karin balik bertanya seraya bergeser, menjaga jarak dari Zack. 

“Karena aku udah di sini, itu berarti aku udah bangun,” balas Zack seraya mundur. 

Karin mengangguk kecil, diam-diam berusaha menenangkan debaran jantungnya. 

***

Ketika Zack bangun, ia terkejut melihat Karin tak ada di depannya. Wanita itu bahkan memberikan selimutnya pada Zack. Namun, ketika Zack mendengar suara dari arah dapur dan mengecek keberadaan Karin di sana, ia langsung bernapas lega. Selama beberapa saat, ia hanya berdiri di pintu dapur, memperhatikan Karin yang mengambil penggorengan dan minyak. 

Zack baru melangkah memasuki dapur ketika melihat Karin kesulitan mengambil sesuatu di kabinet dapurnya. Detik ketika Zack tiba tepat di belakang Karin, ia bisa mencium aroma Karin. Zack bisa mendengar suaranya terdengar lebih berat ketika berbicara pada Karin.

Ia pun diam-diam bernapas lega ketika akhirnya bisa melangkah mundur, menjaga jarak dari Karin. 

“Kamu mau masak apa?” Zack mengulangi pertanyaan yang belum dijawab Karin tadi. 

“Omelet telur,” jawab Karin.

Zack mengangguk. “Bisa?” 

Karin ikut mengangguk. Lalu, mereka terjebak dalam keheningan yang canggung. 

“Kamu …”

“Kamu …”

Baik Karin maupun Zack menghentikan kalimat yang keluar bersamaan itu. 

Ladies first,” Zack mengalah. 

Karin berdehem. “Maaf, aku pakai dapurmu tanpa izin. Aku cuma …”

“Nggak masalah,” Zack memotong. 

Karin mengangguk. “Kamu mau ngomong apa tadi?” 

“Aku cuma mau nawarin, kamu mau aku masakin? Kalau kamu bisa nahan lapar sebentar lagi, aku bisa masakin sesuatu lebih dari telur,” ucap Zack. 

Karin mengerjap. “Aku … masak ini buat kamu.” 

Zack mengerjap. 

“Tapi, kalau kamu nggak suka cuma sarapan telur …”

“Aku nggak masalah,” tukas Zack cepat. “Sori, aku kira tadi kamu masak buat kamu sendiri. Aku suka telur, omong-omong. Jadi, silakan lanjutin masaknya.” 

Setelah mengatakan itu, Zack berbalik dan segera meninggalkan dapur. 

“Oh, Zack, kenapa sih, kamu harus banyak omong?” Zack mengomeli dirinya sendiri. 

***

Ketika Karin pergi ke rumah Zack semalam, ia tak sedikit pun membayangkan akan berada di sini pagi ini dengan pria ini. Semalam, ia tak bisa tidur dan terus terpikirkan tentang pernikahannya dengan Zack. Itulah yang membawanya datang pada Zack semalam. Sejujurnya, ia butuh teman bicara mengenai masalah ini. 

Namun, berada di meja makan Zack pagi ini, sama sekali tak masuk dalam rencananya. Terlebih, dengan sepiring omelet telur buatannya. Seharusnya Karin tahu dari saat ia membuka isi kulkas Zack. Pria itu bisa memasak. Ah, kenapa Karin harus mempermalukan diri di depan pria ini?

“Ini … aku udah boleh makan?” tanya Zack hati-hati. 

“Makan aja, makan aja,” jawab Karin cepat. 

Karin menautkan kedua tangan di bawah meja, dalam hati berdoa. Semoga ia tidak memasukkan terlalu banyak garam. Semoga tidak ada garam yang reuni di satu tempat. Semoga …

“Enak,” ucap Zack. Dan ia terdengar tulus. 

Karin menghela napas lega. 

“Kamu suka masak?” tanya Zack. 

“Nggak juga,” balas Karin. “Kamu … pasti jago masak, ya?” tebaknya. 

Zack tersenyum. “Karena dari kecil aku udah sendiri.”

“Aku juga udah sendiri dari SMP, tapi aku nggak jago masak,” sahut Karin. 

Zack tersenyum geli. “Itu karena kamu selalu ada yang masakin di rumah.”

Karin mengangguk. “Mungkin, kalau dulu orang tuaku nggak ninggalin orang buat masak di rumah, aku udah jago masak sekarang.” 

Zack tertawa seraya mengangguk-angguk. Karin pun tersenyum melihat pria itu tertawa. Ia tak menyangka, membicarakan bagian kelam hidupnya bisa membuatnya tersenyum seperti ini. 

Tawa Zack seketika terhenti ketika terdengar suara tombol kunci dari pintu depan, lalu pintu depan terbuka dan terdengar suara panik yang dikenal Karin. 

“Zack, Kak Karin nggak ada di rumah! Di butik juga nggak ada. Kayaknya dia …” Kalimat Marin berhenti begitu ia melewati dapur dan berhenti di pintu dapur. “Ini … kakakku, kan?” 

Zack menatap Karin, lalu berdiri. “Kami habis ngomongin sesuatu semalam. Jadi …”

“Semalam, dia nginap di sini?” Mata Marin menyipit bahaya. 

“Bukan gitu, Marin.” Karin berusaha menjelaskan, tapi Marin sudah berteriak marah seraya menghambur ke arah Zack dengan tangan terkepal marah. 

Karin segera berdiri dari duduknya dan melompat ke depan Zack, menghalangi Marin yang siap menghajar sahabatnya itu. 

“Aku cinta sama Zack.” Entah bagaimana, kalimat itu bisa meluncur dari bibir Karin. 

Marin melotot kaget, lalu mendongak menatap Zack, sebelum kembali menatap Karin. 

“Kakak … apa?” 

“Aku … ehm, suka sama Zack. Jadi, semalam nggak ada apa-apa, kami cuma ngomongin masalah pernikahan. Dan kamu nggak perlu khawatir tentang kami.” Karin tersenyum untuk menenangkan Marin. 

Masa bodoh. Yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan Zack dari mati tercekik di tangan Marin. 

***

 

Chapter 5

Sooner or Later

 

Zack menatap Karin yang tampak melamun di sofa ruang tamunya. Setelah Marin pergi tanpa membanting satu pun barang di rumah Zack, Karin langsung jatuh lemas di sofa itu. Dan dia belum beranjak dari sana sejak tadi. 

“Kamu mau minum?” tawar Zack hati-hati. 

Karin mendongak, menatap Zack bingung. “Kamu ngomong apa barusan?” balasnya. 

“Mau minum?” ulang Zack. 

Karin menggeleng. Lalu mengangguk. “Maaf, aku ...” 

“Aku tahu kamu ngelakuin hal tadi buat nolong aku,” Zack menyela. “Aku ngerti. Makasih.” 

Karin mengangguk, tapi tampak masih bingung. 

“Aku ... mungkin di depan Marin, aku harus ...” Karin tampak ragu. 

“Pura-pura cinta sama aku?” bantu Zack. 

Karin meringis. “Semacam itu.” 

“Kenapa juga kamu tadi ...” 

“Ya, aku tahu tadi itu bodoh banget. Tapi, aku nggak mau kamu babak belur di tangan Marin gara-gara aku. Lagian, semalam aku yang datang ke sini. Tadi pagi pun, harusnya aku langsung pergi begitu bangun, tapi ...” 

“Dan makasih juga buat sarapannya,” sela Zack. “Omeletnya enak.” 

Akhirnya, Karin tersenyum. Wanita itu tampak sedikit lebih tenang ketika meminta, “Buat jawaban pertanyaanmu yang pertama, ya, aku mau minum.” 

Zack tersenyum. “Air mineral, teh, cokelat, atau ...” 

Cola. Tadi ada sebotol di kulkas.” 

“Sepagi ini?” Zack mengangkat alis. 

I need my stress reliever.” Karin memasang ekspresi memelasnya. 

Zack mendengus, mengalah. Ia pun pergi ke dapur untuk mengambil pesanan Karin. 

Ketika Zack kembali, Karin tampak sibuk dengan ponselnya. 

“Kamu mau ke mana?” tanya Zack ketika Karin tiba-tiba berdiri. 

“Kerja. Ada gaun yang harus aku selesaiin. Minumnya aku bawa, ya?” Tanpa menunggu jawaban Zack, Karin mengambil alih sebotol cola berukuran tanggung di tangan Zack. 

“Biar aku antar,” tawar Zack seraya mengikuti Karin sampai ke pintu depan. 

No. It’s okay,” tolak Karin. 

“Karin ...” 

Karin menghentikan langkah beberapa meter begitu keluar dari pintu depan dan berbalik menatap Zack. 

“Omong-omong, bisa nggak kamu nggak manggil namaku langsung gitu?” Karin meringis. “Aku nggak terbiasa.”

Zack mendecak pelan. “Kalau gitu, biasain dirimu. Dan hati-hati nyetirnya,” pesan Zack sebelum masuk ke rumah dan menutup pintu. 

Namun, Zack lantas mengintip dari jendela depan. Dilihatnya Karin menggerutu dengan tatapan masih tertuju ke pintu rumah Zack. Melihat itu, Zack tersenyum. Sepertinya Karin sudah baik-baik saja. Memang, tak ada yang bisa mengalahkan pekerjaan Karin dalam mengalihkan dunianya. 

***

Karin meregangkan tubuh ketika pekerjaannya sudah selesai sore itu. Setidaknya, sebagian. Karin merasa lebih nyaman setelah mengerjakan apa yang harus ia lakukan. 

Sepertinya, malam ini Karin akan menginap di butik. Ia bisa menggunakan persiapan pernikahan sebagai alasan kesibukannya. Toh, ia memang harus menyiapkan gaun pengantin. 

Gaun pengantinnya. 

Selama Karin membuat gaun pengantin orang lain, tak pernah sekali pun ia terbayang tentang gaun pernikahannya. Tak pernah pula ia menginginkannya. Kenyataan selalu menghancurkan bayangan indah gaun pernikahan yang ia buat, mempertahankan akal sehatnya tentang pernikahan. 

Dengan suasana hati sedikit lebih tenang, Karin memberesi meja kerjanya. Ia memutuskan untuk keluar jalan-jalan sebentar dan mencari makanan ringan. Namun, langkah Karin terhenti di pintu butiknya ketika mengenali salah satu mobil yang terparkir di halaman butik. Mobil Zack. 

Karin mendekati mobil itu, tapi tak ada siapa pun di sana. Ia menatap sekeliling dengan bingung. Di mana Zack? 

“Kamu ngapain di sini?” Suara Zack di belakangnya membuat Karin terlonjak kaget. 

Karin memutar tubuh dan mendapati Zack tersenyum lebar di hadapannya. Karin memukul bahu pria itu karena kesal. 

“Kamu ngagetin aku, tahu! Dari mana kamu?” tuntut Karin. 

“Dari sana.” Zack menunjuk ke arah butik Karin. 

Karin mengerutkan kening heran. “Ngapain?” 

“Lihat-lihat gaun pernikahan. Buat kamu.” Jawaban Zack mengejutkan Karin. 

“Itu ... aku yang akan urus itu. Buat bajumu juga, nanti biar aku siapin,” ucap Karin. Ia lalu berdehem. “Kenapa nggak bilang kalau kamu ke sini?” 

“Aku nggak mau ganggu kerjaanmu,” jawab Zack. “Kamu udah mau pulang?” 

Karin menggeleng. “Aku nggak pulang. Aku nginap di butik nanti. Masih banyak kerjaan yang ...” 

“Besok kan, masih bisa,” sela Zack. 

“Tapi, aku harus ...” 

“Ayo pulang aja hari ini. Aku mau ngajak kamu makan malam, makanya aku ke sini.” Zack tersenyum. “Masa aku jauh-jauh ke sini cuma buat ditolak kamu?” 

Karin berdehem. “Makanya, kenapa juga kamu nggak ngabarin kalau mau ke sini?” 

“Kalau aku ngabarin dulu, kamu pasti nolak aku. Kalau kayak gini kan, aku bisa nyulik kamu.” Zack lantas menggenggam pergelangan tangan Karin dan menariknya ke pintu penumpang. 

“Perlu kamu tahu, besok-besok aku akan nolak kamu kalau kamu datang mendadak kayak gini,” Karin memperingatkan. 

Yes, Ma’am,” sahut Zack patuh sebelum menutup pintu. 

Karin mendesah pelan. “Ini masih terlalu sore buat makan malam,” ucap Karin begitu Zack duduk di kursi kemudi. 

“Kita bisa jalan-jalan dulu,” sahut Zack enteng. 

“Zack, aku masih punya banyak kerjaan dan ...” 

“Dan kamu butuh istirahat. Setelah semua kegilaan yang harus kamu lewati.” 

Kalimat Zack seketika membungkam Karin. 

“Mau kabur?” 

Karin kontan menoleh kaget mendengar penawaran Zack. 

“Apa? Kamu bilang apa barusan?” 

Zack menoleh padanya. “Kamu mau kabur sama aku?” 

Karin mengerjap. Ia tak pernah terpikir tentang itu sebelumnya. Jika ia kabur, ia bisa menghindari pernikahan sialan ini. Jika ia kabur ... 

Marin. 

“Udah aku duga. Marin, kan?” dengus Zack, seolah bisa membaca pikiran Karin. 

Karin berdehem. “Kamu nggak akan nyesal nikah sama aku?” Karin mengalihkan pembicaraan. 

“Nggak,” balas Zack mantap. “Kamu?” 

Karin menghela napas berat alih-alih menjawab. 

“Bahkan meskipun kamu setengah mati ngutuk pernikahan ini, kamu akan tetap nikah sama aku, kan? Karena Marin,” sebut Zack. 

Karin tersenyum getir. “Aku cuma pengen lihat dia bahagia.”

“Kamu juga berhak bahagia,” tandas Zack. 

“Trus, kenapa kamu mau dipaksa nikah sama aku?” tuntut Karin. 

“Aku nggak dipaksa,” sanggah Zack. “Dan aku nggak tahu apa kamu nanti akan bahagia sama aku, tapi aku bisa mastiin satu hal. Aku nggak akan nyakitin kamu.”

Karin menatap Zack. “Kamu … nggak akan nyakitin aku?” 

Zack balik menatap Karin, tampak sungguh-sungguh ketika mengangguk. 

“Dan kalau sampai kamu nyakitin aku setelah kita nikah nanti, aku harus gimana? Ninggalin kamu?” Karin mengangkat alis. 

Zack mengernyit. “Karin, itu …”

“Panggil aku dengan sopan,” potong Karin tajam. “Kecuali ada Marin di dekat kita, panggil aku kayak biasanya. Karena buat aku, statusmu nggak akan berubah setelah kita nikah nanti. Kamu tetap sahabat dari adikku.”

Setelah memberikan keputusannya, Karin kembali menatap ke depan. Ia toh bukannya menikahi Zack karena cinta. Setidaknya, Karin harus mempertegas hubungan mereka. Masalah alasan Zack mau menikahinya, Karin bisa mengurus itu nanti. Yang terpenting saat ini adalah Marin. 

Marin ingin Karin menikah, dan Karin akan melakukannya. 

***

Zack tak terlalu terkejut dengan tembok tinggi yang tiba-tiba dipasang Karin. Ia tahu, cepat atau lambat, ia akan menerima penolakan Karin. Sejak awal, Karin memang tak punya perasaan apa pun terhadap Zack. Alasan ia mau menikah, itu pun dengan Zack, adalah Marin. 

Zack memastikan Karin sudah memakai sabuk pengaman sebelum ia menyalakan mesin mobil dan meninggalkan butik berlantai tiga itu. Sepanjang jalan, Zack dan Karin sama-sama diam. Namun, Zack sesekali melirik Karin hanya untuk melihat wanita itu menatap kosong ke arah jalanan. 

“Kita mau ke mana, sebenarnya?” Karin akhirnya berbicara setelah setengah jam lebih Zack membawanya berkeliling tanpa tujuan. 

“Jalan-jalan,” jawab Zack pendek. 

Zack bisa merasakan tatapan tajam Karin. 

“Ada juga yang mau aku omongin tentang pernikahan kita,” lanjut Zack. 

“Apa?” Suaranya terdengar dingin. 

“Aku udah nyari tempat buat pesta pernikahan …”

“Apa?!” Suara Karin meninggi. “Pesta pernikahn apa? No! No party! Aku kan, udah bilang kemarin. Ini bahkan bukan hal yang patut buat dirayain.”

“Bukan buat kamu, tapi buat keluargamu. Terutama, Marin,” tukas Zack, seketika membungkam Karin. “Nanti aku kirim file-nya ke kamu. Kalau kamu udah nentuin tempat yang menurutmu pas, aku akan urus sisanya.”

Karin tak menanggapi. 

“Buat undangan pernikahannya juga udah aku urus. Nanti aku kirim contoh modelnya dan kamu bisa pilih,” lanjut Zack. “Trus, buat tempat tinggal setelah kita nikah, kita tinggal di rumahku. Mengenai tamu undangannya …”

“Zack,” Karin memotong. 

Zack menghentikan kalimatnya, tapi tak menoleh. 

You win. Jadi, lakuin semua yang menurutmu pas aja. Aku udah nggak bisa mikir lagi. Seriusan.”

Pengakuan Karin membuat Zack akhirnya menoleh ke arah wanita itu. Dilihatnya Karin menunduk, tampak tak percaya diri. Terlalu pasrah untuk seorang wanita yang selalu tampak kuat di mata Zack. 

“Hei,” panggil Zack pelan. 

Karin menarik napas dalam sebelum mendongak dan menatap Zack. 

I’m here, okay? Jangan berusaha masang pembatas apa pun sekarang. Kalau jalan sendiri rasanya berat, kamu bisa pegangan ke aku. Kita bahkan belum mulai dan kamu udah masang tanda perang.” Zack menghela napas. “Aku bukan musuhmu. Aku ada di pihakmu.”

“Di pihakku?” Karin terdengar terluka. 

Zack menarik napas dalam. “Ya. Seandainya bukan aku yang ada di sini, pasti ada laki-laki yang kamu nggak kenal lagi ngomongin masalah pernikahan sama kamu dan kamu bahkan nggak bisa ngungkapin apa yang kamu pikirin. Seenggaknya, kamu tahu apa yang aku pengen dari kamu. Aku udah buka semua kartuku, jadi kamu nggak perlu khawatir aku akan minta hal-hal lainnya dari kamu.”

Karin mendengus pelan. “Beruntungnya aku,” sarkasnya. 

“Karin …”

“Jangan panggil aku kayak gitu,” potong Karin tajam. 

“Sayang?” usul Zack. 

Karin mengumpat kesal sebagai balasan. 

“Persiapan pernikahan pasti berat banget, jadi jangan buang-buang tenagamu sekarang,” ucap Zack lagi. 

“Apa kamu sama sekali nggak kepikiran tentang apa yang akan terjadi sama kita setelah kita nikah?” tanya Karin. 

“Aku bisa mikirin itu nanti,” sahut Zack. 

“Bahkan meski kamu tahu pernikahan kita akan kayak gimana nanti?” sinis Karin. 

Zack mengangguk. “Sama kayak hari ini, kita akan berantem terus, kan?” sebutnya. “Aku udah nyiapin diri buat itu di detik aku bilang ke Marin kalau aku akan nikah sama kamu.” 

Zack benar-benar sudah mempersiapkan semuanya. Terutama dirinya sendiri. 

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya This is How You Fall in Love Bab 6-10
0
0
Chapter 6Way to the Marriage Karin tak lagi memperhatikan hari setelah tanggal pernikahannya ditetapkan. Hanya dalam sekali makan malam bersama keluarga mama dan papanya, hari pernikahan Karin diputuskan. Begitu pun dengan tempat, undangan, hingga menu makanannya. Zack sudah menyiapkan semuanya dan mau tak mau Karin harus memilih di depan keluarganya. Selama beberapa waktu terakhir juga ia hanya mengikuti ke mana Zack mengajaknya pergi, menandatangani beberapa berkas. Karin sungguh tak mau tahu lagi tentang segala hal tentang pernikahannya. Ia hanya ingin semua ini segera selesai. Karena ia benar-benar benci semua hal tentang persiapan pernikahan yang bahkan tak diinginkannya ini.***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan