
"Bangun! Panggil uwakmu!"
Anak perempuan itu bangkit, mengucek matanya dan menyipit-nyipit mencari secercah cahaya di kegelapan. Ke tangannya dijejalkan sebuah benda logam yang terasa berat dan dingin.
"WOI!" Suara bentakan menggelegar membuatnya tersentak. Matanya terbuka lebar.
"Cepat!"
"Iya, Ni." Gemetar anak itu menekan saklar. Cahaya kuning menerangi kamar. Sedetik, lalu menghilang. Ia menepuk-nepuk kepala senter dengan tangan kiri. Terang lagi. Kemarin Aki telah menjemur baterai senter itu di atas atap.
Ia bersiul pelan. "Abu!" panggilnya. Terdengar suara kaingan lembut. Seekor anjing keluar dari dalam kandang di samping tangga. "Ayo!"
Kaki kecilnya berlari menyusuri pematang sawah. Abu mengiringi di belakang. Giginya gemeletuk. Hawa dingin menusuk kulit. Aroma bunga padi tercium wangi. Tajamnya daun padi sesekali menggores pipinya. Kepalanya terus menunduk memperhatikan jalan agar tidak terperosok ke dalam lubang.
Terdengar bunyi tikus mencicit. Ia mempercepat laju kakinya. Aki pernah berkata, bunyi cicit seperti barusan tandanya tikus sedang dimangsa ular.
Ular!
"Uwak!" Tangan mungilnya tidak sabar mengetuk pintu kayu setinggi manusia dewasa.
Ia takut-takut menoleh ke samping, sebuah pohon limau melebihi tinggi atap membayang di malam pekat. Sepupunya berkata pernah melihat genderuwo di dahan pohon itu.
Bulu romanya berdiri. Ketukannya di pintu semakin keras dan cepat.
"Uwak!"
Terdengar bunyi pintu berdecit. Anak itu mendongak. Napasnya tersengal. "Uwak, dipanggil Nini!"
Laki-laki yang dipanggil Uwak itu bergegas menarik sehelai sarung dari jemuran pakaian dan melilitkannya ke pinggang. "Ambu kumat lagi?"
"Iya, Wak."
"Ayo, naik!" Laki-laki itu membungkuk, menyilakan anak itu naik ke punggungnya. "Pegang yang erat," katanya seraya mengambil alih senter dari tangan anak itu.
Uwak setengah berlari menembus pekatnya malam, sesekali menggerutu pelan. Sinar senter timbul tenggelam. Beban 20 kilo menumpu di punggungnya.
"Adikmu kumat. Bantu abahmu sana."
Laki-laki itu bergegas memegangi sebelah tangan adik perempuannya yang sedang mengamuk. Suara teriakan garang membelah malam.
Anak perempuan itu meringkuk menutup kuping di samping lemari piring. Abu menyorongkan moncongnya dari balik dinding dapur yang terkoyak dan lapuk.
Sesekali anak itu mengintip melalui pintu. Udara malam menelusup dari celah dinding bambu membuatnya makin menggigil. Ia menyaksikan Aki dan Uwak terhempas ke dinding. Aki mengernyit kesakitan.
"ALLAHU AKBAR!" Aki meneriakkan takbir. Lalu, mulutnya merapalkan ayat kursi.
Anak itu menahan napas.
"Bawa adikmu!" Nini menyorongkan seorang bayi ke pangkuan anak perempuan itu. Bayi itu merengek mengusap matanya. "Sembunyi di kamar Nini. Cepatlah!"
Anak perempuan itu bergegas menggendong sang adik dengan tubuh ringkihnya, masuk dan bersembunyi di balik tumpukan karung berisi gabah yang sudah kering. Ia menyambar selimut neneknya dari atas kasur dan menggulung tubuhnya dengan selimut itu.
"Shh! Bobo, Sayang," katanya bersenandung membujuk adiknya yang menatapnya bingung.
"Nen!" Adiknya merengek. "Nenen!"
"Nina bobo ... oo ... Nina bobo ... Kalau tidak bobo—"
"WOI, ORANG KAMPUNG! HI–HI–HI!"
"Nina bobo ... "
Tempo senandung melembut dan menguat seiring dengan tempo teriakan sang ibu. Anak itu berusaha keras agar adiknya tidak terganggu. Lututnya bergerak naik turun bak ayunan. Tangannya kebas menahan sang adik tetap di pelukan.
"Shh! Teteh di sini. Shh! Shh!"
Malam kian turun. Perlahan-lahan, leher anak perempuan itu terkulai. Rengekan adiknya berangsur senyap. Keduanya tetap meringkuk di ceruk tumpukan karung.
Suara tikus mencicit di bawah kakinya.
Cit ... cit ... cit!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰