Marah juga menjadi emosi yang mendominasiku di sepanjang tahun 2024 lalu.

Marah, marah, marah, marah, marah, marah, marah, marah. Hingga sesekali saat hendak mendonorkan darah, aku ditolak petugas PMI karena tensi darahku sedang tinggi. Bahkan suatu ketika aku stres dan mengalami gangguan tidur karena sesuatu yang membuatku marah dan kecewa.

Semua ini tentu saja tidak ingin kupertahankan. Monster buruk rupa itu terkadang membangun delusi bahwa marah membuatku jadi lebih kuat. Tapi nyatanya tidak. Marah membuatku lelah, dan aku tidak mau lelah karena marah.

Setelah aku murtad dari aktivitas menulis cerita fiksi 3 tahun belakangan, aku menoleh kembali kepada Kumpulan logline tulisan lamaku yang tampil di layar laptop dengan penuh rasa bersalah, dan mengharapkan jalan keluar darinya.

Menulis adalah katarsis. Seseorang dulu pernah berkata demikian. Maka tulisanku kali ini kuberi judul “Jurnal Marah-Marah”, dimana aku akan berefleksi bersama kenangan-kenangan mengesalkan, menyebalkan, menjijikkan, memuakkan di masa laluku yang kerap tiba-tiba kuingat begitu saja, lalu membuatku marah sendiri.