
“Kasih kesempatan ke diri lo sendiri untuk menerima sesuatu yang lebih baik, Elle. “
.
.
Apakah Estelle bisa melakukannya?
“Kasih kesempatan ke diri lo sendiri untuk menerima sesuatu yang lebih baik, Elle. “
.
.
.
Estelle menghela napas pelan, mengusir lamunan yang sempat melayang di tengah rapat siang itu.
“Oke, meeting hari ini sampai di sini dulu. Raya, tolong kirim MOM[1]-nya ke saya, ya.” Ia mengetuk lembut penanya ke meja, membuatnya otomatis tertutup.
Raya, salah satu anggota timnya, mengangguk cepat sambil mencatat sesuatu. Para anggota divisi yang Estelle pimpin mulai meninggalkan ruangan, masing-masing memanggul beban deadline mereka.
Begitu ruangan menyisakan mereka berdua, barulah Raya bertanya, “Mbak Estelle, siang makan apa?”
“Nanti aja, Raya. Aku masih ada meeting sama Pak Hendrick. Thanks for asking.” Estelle tersenyum singkat tanpa benar-benar melepas fokus dari laporan di tangannya.
“Jangan lupa makan ya, Mbak. Jangan kayak kemarin.”
‘Kemarin’ yang dimaksud adalah dua bulan lalu, saat Estelle sempat dirawat karena maag yang kambuh. Proyek konten tertunda, pekerjaan terbengkalai.
Setelah Raya keluar, Estelle menarik napas. Sebenarnya, rapat berikutnya masih dua jam lagi. Tapi ia butuh alasan untuk kabur sebentar—dan makan siang sendirian.
Makan sendiri. Ngopi sendiri. Nonton sendiri. Itu hal yang biasa baginya. Bahkan, menyenangkan. Tapi tidak selalu nyaman.
Lorong-lorong mall saat jam makan siang terasa seperti runway. Dari luar, ia tampak percaya diri, tapi di dalam ia cemas—takut dinilai dari ujung kepala sampai kaki oleh tatapan orang asing.
Matanya terus bergerak. Di satu kafe, sepasang kekasih tampak sibuk selfie. Di sisi lain, dua teman tertawa sambil berbagi seporsi honey toast.
Ia akhirnya memilih restoran Jepang dan duduk di ujung sushi bar. Sendiri. Sembari menikmati seporsi sushi roll, ia membuka kalender digital, mengecek agenda. Setelah rapat dengan Pak Hendrick Kusuma soal event bulan depan, ia bisa langsung pulang. Hot bath menantinya.
Sebagai Brand Manager di perusahaan F&B, kesehariannya dipenuhi campaign, pertemuan klien—biasanya dengan para owner—dan brainstorming menu bersama chef. Kadang ia dikirim ke luar kota untuk mencoba restoran klien. Lebih dari tugas, itu sering jadi sumber inspirasinya untuk menciptakan resep baru. Apalagi jika kantor mengirimkan sampel produk—rasanya seperti dapat mainan baru di dapur.
Capek? Pasti.
Tapi Estelle selalu bisa mencuri ruang kecil untuk tetap kreatif. Dan itu yang paling ia nikmati.
Ponselnya bergetar halus. Sebuah notifikasi masuk.
Dari Selene.
Tumben, pikir Estelle. Temannya itu jarang menghubungi di jam makan siang.
Selene Willa 🌛
”Elle, malem kemana?”
Pelayan menghampiri, menawarkan isi ulang ocha panas. Estelle mengangguk kecil sebagai jawaban, lalu membalas sambil mengunyah:
Estelle Iris
Dip in a hot bath. 🛁
Selene Willa 🌛
Prefer berendam di hot bath, atau segelas Highball?
Estelle tersenyum simpul. Selene memang selalu tahu kapan harus muncul.
Estelle Iris
Dua-duanya menarik, Sel
==============================
“Tumben hari ini kesini, Niel.”
Segelas es teh tawar mendarat di hadapan Daniel, yang tengah duduk di bar sambil mencoret-coret sketsa proyek. Tatapannya terangkat, menemukan sosok Raymond berdiri di seberangnya, dengan ekspresi separuh heran.
”What do you mean by tumben, Mond?”
“Ya, tiap kali gue suruh kesini, susah banget.” jawab Raymond sambil menata botol-botol sirup di rak.
Daniel tersenyum kecil. “Mumpung sempet aja.”
Sejak menyandang status co-owner JI-LOU, Daniel memang jarang datang, kecuali untuk urusan penting. Ia bukan tipe yang suka memanfaatkan privilege—makan dan minum gratis. Karena itu, ia membuat kesepakatan: ia hanya akan mampir dua kali seminggu, dan tetap membayar seperti pelanggan biasa.
Raymond Joseph Utomo.
Mereka berteman sejak kuliah di jurusan desain interior. Bersama dua sepupunya—Jeremiah Archie Hidajat dan Hansen Juliano Gozali—mereka mendirikan JEJOSEN Studio, yang bergerak di bidang interior. Raymond tidak turun langsung tapi terkadang ikut memberi input jika dibutuhkan. Papa Raymond adalah kakak dari Mamanya Jeremiah dan Mamanya Hansen. Nama “Jejosen” itu, tentu saja, ide dari Archie yang paling tengil: gabungan nama depan mereka bertiga, JEremiah - JOseph - HanSEN. Simpel, nyeleneh, khas Archie.
“Gue harap Archie nggak bikin lo lembur mulu,” kata Raymond sambil melirik. “Gue refer lo kerja bareng mereka bukan jadi babu, tapi biar lo nggak gila.”
“I owe you a lot, Mond.”
Raymond tersenyum, lalu berjalan ke arah mesin vinyl kesayangannya. Belakangan ini ia tergila-gila pada koleksi piringan hitam. Katanya, suaranya lebih ‘empuk’. Beberapa speaker bluetooth di sudut ruangan mulai menyalakan suara lembut dari lagu Cigarettes After Sex.
Daniel melirik ke arah Raymond, menunjukkan ekspresi setengah tak percaya. “Ini lagi?”
Raymond hanya nyengir, terus mengutak-atik volume.
Selain kegilaannya pada piringan hitam belakangan ini, band musik ini juga masuk top-list yang selalu Raymond dengar. Daniel pun jadi ikut-ikutan menggemari musik mereka.
Pukul tujuh malam. JI-LOU mulai terisi. Beberapa pengunjung datang untuk makan malam atau sekadar menikmati segelas cocktail. Lampu-lampu kuning hangat memantulkan cahaya temaram ke dinding abu-abu.
Lalu terdengar suara dari pintu depan.
“Untuk dua orang.”
Refleks, Daniel menoleh. Sosok itu muncul lagi.
Gadis yang sama. Yang tempo hari duduk di ujung bar, dengan ekspresi canggung dan senyum yang enggan.
Si gadis pemalu itu.
==============================
[1] MOM: Minutes of Meeting. Catatan tertulis yang berisi ringkasan diskusi, keputusan dan tindakan yang disepakati dalam rapat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
