
Setelah pengkhianatan yang tak pernah benar-benar ia sadari hingga semuanya terlambat, Elysande berdiri sebagai kepala keluarga Montclair-menggantikan pria yang pernah ia tolak, salah pahami, dan abaikan. Di balik kekuasaan yang kini ia pegang, ada satu kalimat yang terus menggemakan dirinya:
"Mungkin aku tidak bisa memberikan kebahagiaan seperti dia, tapi aku akan memberikan semua selain itu. Hiduplah bahagia."
Griyan de Montclair, pria yang pernah dijuluki sebagai bayangan yang bahkan cahaya takut...
8. Seorang Penguasa
(hari yang sama dengan bab sebelumnya)
Hujan belum berhenti sejak sore itu—sore di mana Griyan berdiri diam di ambang pintu, menyaksikan Elysande tertidur di bahu Roland. Langit Montclair kelabu, dan kabut menggantung rendah seperti tirai yang menutupi kebenaran dari siapa pun yang mencarinya.
Griyan berdiri di pelataran batu, mengenakan jubah perang hitam tanpa lambang kebesaran. Ksatria Hitam telah siap sejak fajar, berbaris diam seperti bayangan yang menunggu perintah. Di belakangnya, Lucan memeriksa perbekalan terakhir, wajahnya lebih muram dari biasanya.
"Berapa lama?" tanya Griyan, suaranya rendah.
"Satu perjalanan ke timur laut. Jika cuaca berpihak."
Griyan mengangguk. "Kita bergerak sebelum matahari naik."
Lucan ragu sejenak. "Tuan... tentang Nyonya..."
"Tidak ada waktu untuk itu, Lucan."
Lucan menunduk. "Dimengerti, Tuan."
Malam datang dalam bentuk yang sempurna, sepenuhnya menelan langit sore yang mendung hari itu.
Griyan tetap harus memberitahukan sesuatu tentang kepergiannya kepada Elysande, karena ia takut bahwa Elysande akan melakukan sesuatu dan itu akan mengacaukan rencananya.
"Lucan, pergi temui Elysande dan Ksatrianya. Undang mereka ke makan malam karena aku akan memberitakan kepergianku."
Lucan yang berdiri di belakang dan tak jauh darinya menjawab, "Segera, Tuan."
Begitu mendapat perintah itu, Lucan segera bergegas masuk kembali ke dalam kediaman Montclair. Ia mencari ke setiap sudut: ruang makan, taman kecil di sisi barat, lorong-lorong belakang, bahkan perpustakaan yang jarang digunakan. Tapi tidak ada tanda-tanda Elysande atau Roland.
Ia sempat bertanya pada pelayan, namun tak satu pun tahu pasti ke mana mereka pergi. Langkahnya kian cepat, gemuruh resah menggantung di dadanya. Ketika ia tiba di koridor paling timur, suara langkahnya menggema di antara dinding batu yang lembap oleh udara hujan. Ia akhirnya tiba di depan ruang kerja Roland, dan saat membuka pintu itu sedikit, ia melihat pemandangan yang membuatnya terdiam sejenak.
Elysande tertidur bersandar di bahu Roland. Keduanya tampak tenang. Lucan menatap mereka sejenak, wajahnya tak berubah tapi ada ketegangan yang singkat di matanya. Ia tahu tugasnya, dan ia tidak akan mengkhianati perintah tuannya.
Dengan suara pelan dan datar, ia mengetuk dua kali, cukup untuk membangunkan Roland tanpa mengejutkan Elysande.
Roland membuka matanya dan segera tegak. Ia menatap Lucan, lalu mengangguk paham.
"Nyonya," bisik Roland, membungkuk pelan ke arah Elysande, menyentuh lengannya dengan lembut. "Sir Lucan datang."
Elysande perlahan membuka matanya, bingung sejenak, lalu menegakkan diri dan berdiri. Wajahnya sedikit merah, namun ia segera menata ekspresi.
Lucan hanya mengangguk hormat. "Tuan mengundang Anda ke ruang makan."
Elysande mengangguk, hatinya berdegup tak tenang.
Lucan telah menunaikan tugasnya—seperti selalu. Tanpa menyimpang. Tanpa bertanya. Dan tanpa menghakimi.
Namun matanya menyimpan kilatan dingin yang berbeda dari biasanya. Bukan terhadap Elysande, melainkan kepada Roland.
Ketika berada di depan ruang kerja, sebelum sepenuhnya berpaling, Lucan menoleh sekali lagi ke arah Roland. Tatapannya dingin, tajam, seperti seorang prajurit yang sedang menilai seorang rekan yang telah melewati batas yang tak tertulis.
"Kau juga diundang oleh Tuanku." katanya singkat, suaranya datar namun penuh makna.
Roland sempat terdiam, lalu mengangguk sopan. Tapi bahkan setelah Lucan berbalik, Roland bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara.
Lucan tak mengatakan lebih. Tapi dengan satu kalimat itu, ia sudah cukup memberi tahu: ia melihat, ia tahu, dan ia tidak menyetujui.
Lucan menatap pria itu seperti menilai ulang seseorang yang semula ia percaya tahu tempatnya. Dalam hatinya, ia menganggap Roland telah melangkah terlalu jauh—melewati batas tak tertulis yang seharusnya dihormati seorang ksatria kepada istri tuannya.
Namun seperti biasa, Lucan tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya menyampaikan bahwa undangan telah diterima, dan bahwa Nyonya dan ksatrianya akan segera datang. Ia telah menjalankan perintah Tuannya, tanpa menyimpang, tanpa bertanya. Tapi kali ini... rasa bersalah menekan dadanya lebih dalam daripada biasanya.
Karena ialah yang merekomendasikan Roland kepada Elysande. Ialah yang berkata bahwa Roland bisa dipercaya, bahwa ia akan menjadi pelindung dan alat yang berguna. Tapi kini, yang ia lihat adalah istri dari tuannya—wanita yang dicintai Tuannya sedang rapuh—bersandar di bahu ksatria yang ia pilih sendiri.
Lucan merasa telah mengkhianati Tuannya. Sebagai orang yang paling setia kepada Griyan, perasaan itu menusuk lebih tajam dari pengkhianatan. Bukan karena Roland melanggar sumpah, tapi karena ia, Lucan, yang menempatkannya di sana.
--------------------------------------------------------------
Di dalam Montclair, Elysande dan Roland melangkah menuju ruang makan seperti yang diperintahkan. Langkah mereka pelan namun selaras, saling menjaga jarak tanpa menyentuh, tetapi aura kedekatan masih tersisa di antara keduanya.
Saat pintu kayu besar ruang makan dibuka, aroma rempah dan daging panggang menyambut mereka. Di dalam ruangan, segala sesuatunya tampak seperti biasa: meja panjang dari kayu ek tua, lilin-lilin menyala temaram, dan tiga kursi utama telah dipersiapkan. Ada satu kursi tambahan untuk makan malam keluarga Montclair kali ini.
Namun ada yang berbeda malam ini.
Dua ksatria berdiri di dalam ruangan, satu di tiap sisi pintu, mengenakan pelindung dada hitam tanpa lambang, helm digenggam di sisi kaki mereka. Mereka bukan penjaga biasa. Postur mereka terlalu tegap, pandangan terlalu tajam. Griyan duduk di ujung dan kali ini Lucan berdiri tepat di belakangnya, tidak jauh.
Elysande sempat menatap kedua ksatria yang berdiri di sisi pintu sebelum ia duduk di tempatnya seperti biasa. Tapi sesuatu di udara malam itu terasa seperti awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar makan malam keluarga.. Tenggorokannya kering, tubuhnya pegal.
Roland duduk bersebelahan dengan Elysande.
Namun kali ini, ia duduk dengan tubuh yang sedikit lebih kaku. Ini adalah pertama kalinya ia benar-benar melihat Griyan dari dekat—bukan hanya sebagai nama yang bergaung di lorong-lorong kekuasaan, tapi sebagai sosok nyata di hadapannya. Dan apa yang ia rasakan segera membuat tengkuknya dingin.
Sosok itu tidak banyak bergerak. Hanya duduk diam di ujung meja. Namun ada sesuatu dari cara Griyan menatap sekeliling, dari cara tubuhnya duduk tenang tanpa ada celah terbuka, yang membuat Roland merasa... kecil. Seperti seekor binatang yang baru menyadari bahwa dirinya berada di hadapan seekor predator yang berdiri puncak.
Dalam hatinya, Roland berbisik, "Ini bukan manusia biasa. Ini... lebih dari itu."
Ia pernah bertemu raja. Bahkan makan di satu meja dengan para penasihat tinggi. Tapi Griyan berbeda. Diamnya lebih mengancam daripada sepuluh ksatria bersenjata. Ia tidak memancarkan kemarahan, tidak pula kesombongan. Layaknya seseorang yang sudah berada di tempat tertinggi. Auranya seperti pemangsa di puncak rantai makanan. Tidak butuh berkata apa pun untuk membuat ruangan menjadi miliknya.
Dan yang membuat Roland semakin gemetar dalam diam adalah satu kesadaran mengerikan yang muncul tiba-tiba di pikirannya:
"Bahkan jika aku memiliki keahlian berpedang yang setara... aku rasa aku tidak akan mampu menghunus pedangku di hadapan pria ini. Bukan karena akan kalah—tapi tubuhku tidak akan sanggup bergerak karena rasa takut."
Ia duduk diam. Matanya tetap menghadap ke piring, tapi pikirannya... penuh bayangan akan sosok yang tak lagi bisa ia anggap sebagai sekadar manusia.
Tanpa sadar, pandangannya melirik ke arah Elysande di sampingnya. Ia tampak tenang, anggun seperti biasanya. Tapi kini Roland melihatnya dengan mata yang berbeda.
"Bagaimana ia bisa duduk di sini setiap malam... di bawah tekanan pria seperti itu?" pikir Roland, masih menjaga agar wajahnya tetap netral. "Jika Griyan mau, ia bisa saja menjadi seorang raja. Bukan hanya Montclair—seluruh Kerajaan Tengah akan tunduk. Dan dia... dia tetap menjadi miliknya. Bahkan saat diam."
Roland menarik napas pelan, mencoba mengusir kekaguman dan ketakutan yang bersatu di dada. Ia tahu, kekuatan seperti ini bukan sekadar tentang keahlian atau darah bangsawan. Ini tentang seseorang yang terpilih. Tentang dominasi yang tidak bisa diajarkan—hanya dilahirkan.
"Nikmati makanannya." Suara Griyan memecahkan hening yang sangat menakutkan bagi Roland.
Griyan menatap Roland beberapa saat, lalu dengan nada tenang, bertanya, "Bagaimana kehidupanmu selama menjadi ksatria di bawah perintah istriku?"
Roland menegakkan tubuh. "Saya merasa terhormat bisa melayani Nyonya. Ia adil, tegas, dan selalu tahu apa yang harus dilakukan."
Griyan mengangguk perlahan, lalu menyuap potongan kecil dari makanannya. "Dan menurutmu... apa yang paling sulit dari tugas itu?"
Roland berpikir sejenak. "Menyesuaikan diri, Tuan. Setiap hari penuh tantangan dan tanggung jawab, terutama ketika berurusan dengan isu-isu yang rumit dan kepentingan banyak pihak. Tapi selama ini, saya hanya berusaha melakukan tugas saya dengan jujur dan tanpa menyimpang."
Lucan menatap Roland tanpa berkedip, tetapi Griyan tetap tenang. "Jawaban yang bijak."
Griyan lalu bertanya lagi, matanya mengamati Roland dengan seksama. "Dan bagaimana pendapatmu tentang para bangsawan di pusat pemerintahan? Tentang sistem yang selama ini menopang mereka?"
Roland menjawab hati-hati. "Banyak yang tumbuh dari darah dan warisan, tapi tidak semua memiliki kedalaman kepemimpinan sejati. Saya lebih menghormati mereka yang memimpin karena pilihan dan kesadaran, bukan karena diwariskan."
Untuk sesaat, senyum tipis melintas di wajah Griyan. Tidak sinis, tidak pula puas—hanya cukup. Ia telah melihat cukup dari pria itu untuk menilai.
Ia mengambil cangkir anggurnya, memutar isinya sebentar, lalu meletakkannya kembali tanpa meminum. "Terima kasih atas kejujuranmu."
Roland menunduk sopan. Dan meski suasana tetap hening, beban tak terlihat perlahan terangkat dari udara di ruangan itu.
Namun tidak bagi Elysande.
Ia memandang Griyan, matanya menyipit sedikit, nada suaranya datar namun mengandung ketegasan yang tak bisa diabaikan. "Jika kau hanya ingin berbicara dengannya... untuk apa mengundangku ke sini?"
Griyan menoleh perlahan ke arahnya. Tatapannya datar, tapi tidak kosong. Tidak ada amarah, tidak pula penghakiman di matanya—meski ia adalah pria yang sore ini melihat istrinya bersandar di bahu pria lain di dalam rumahnya sendiri.
Ia hanya menatap Elysande lama, seakan mencoba mengurai semua emosi yang tak terucapkan. Di balik tatapannya yang tenang, Griyan sedang berusaha memahami, bukan menghakimi. Dan mungkin, dalam diam itu, ia telah mulai menerima sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.
"Karena kepergianku menyangkut kalian berdua," jawabnya tenang.
Namun Elysande tidak langsung membalas. Hatinya masih terasa janggal, seperti ia duduk di meja yang bukan untuknya, menyaksikan percakapan yang seharusnya tidak ia dengar.
Lucan menatap ke depan, tak bergeming, tapi bahunya sedikit menegang.
Griyan meletakkan alat makannya dengan perlahan, lalu menegakkan tubuh. Suaranya tenang saat ia berkata, "Aku dan Lucan akan melakukan perjalanan bisnis. Tiga sampai lima hari, mungkin seminggu jika tidak berjalan sesuai rencana."
Ia menatap keduanya, pertama Roland, lalu Elysande. Tak ada penekanan dalam kata-katanya, hanya kenyataan yang ia ungkapkan tanpa maksud lain.
"Selama aku pergi, kalian berdua bebas menggunakan fasilitas Montclair seperti biasa. Rumah ini cukup besar, dan waktu kalian di sini tentu akan panjang. Tapi..."
Ia berhenti sejenak, menatap tajam ke arah Roland.
"Tidak ada yang meninggalkan Montclair. Bukan karena aku tidak percaya... hanya karena aku tidak ingin gangguan dari luar menyentuh apa yang ada di dalam."
Griyan bersandar kembali di kursinya. Tatapannya tidak menusuk, tapi juga tak bisa dianggap remeh. Ia bukan sekadar memberi izin. Ia sedang menetapkan batas—batas yang dibalut dalam kalimat yang tampak seperti keleluasaan.
"Anggap saja ini bentuk kepercayaan seorang suami kepada istrinya dan kesetiaan seorang ksatria pada tugasnya," katanya pelan, namun setiap katanya terpilih dengan cermat. Lalu ia melanjutkan, menatap Elysande secara langsung.
"Tapi lebih dari itu, ini juga perintah. Kau, Elysande, Istriku, adalah yang paling berkuasa di Montclair selama aku tidak di sini. Sebagai istri kepala keluarga, tugasmulah untuk memastikan rumah ini tetap utuh, tidak tersentuh dari dalam maupun luar."
Matanya tak lepas dari wajah Elysande, namun nadanya tetap tenang.
Elysande memutar matanya dan menegakkan tubuhnya sedikit. Ia menyentuh cangkirnya tanpa benar-benar minum. "Lucu sekali," katanya, nada bicaranya dingin. "Tadi siang aku hanyalah perempuan yang disuruh keluar dari ruang kerjamu. Sekarang aku mendadak menjadi istri kepala keluarga dengan tanggung jawab penuh?"
Griyan tidak membalas.
"Jika semua ini hanya tentang kepergianmu dan tentang memastikan rumah ini tetap diam, maka katakan saja," lanjutnya, pandangan matanya tajam. "Kau tidak perlu membungkusnya dengan kata-kata manis seperti 'kepercayaan' atau 'tanggung jawab istri.'"
Ia menoleh ke Roland sejenak, lalu kembali ke Griyan. "Aku hanya ingin tahu, Griyan—kau mempercayakan rumah ini padaku, tapi kau bahkan tak bisa menjawab satu pertanyaan sederhana dariku tadi siang."
Lucan melirik Griyan dengan waspada, tapi Griyan hanya menatap Elysande dalam diam. Tidak membalas, tidak menolak. Dan dalam ketegangan itu, Elysande meneguk air di cangkirnya seperti sedang menelan kemarahan yang tak bisa ia muntahkan.
Griyan memecah keheningan. "Roland, tinggalkan kami."
Roland menoleh, ragu sejenak. Tapi sebelum ia bisa berdiri, Elysande langsung menahan dengan tangan di atas meja.
"Tidak," katanya tegas. "Ia adalah ksatria pribadiku. Bukan ksatria Montclair. Ia akan tetap di sini."
Perkataan itu menusuk diam-diam ke dada Roland. Tapi bukan karena malu—melainkan karena kejutan hangat yang tak ia sangka. Kata-kata Elysande mengandung sesuatu yang lebih dari kepemilikan formal. Ia merasa... diakui. Dimiliki. Dipilih.
Tanpa sadar, sudut bibirnya membentuk senyum kecil.
Lucan melihat itu. Dan dalam sekejap, suara logam terdengar.
"Kau boleh melewati batas dengan Nyonya," ujar Lucan sambil menarik pedangnya dengan perlahan, langkahnya pelan namun pasti mendekati Roland. "Tapi tidak dengan Tuanku."
Dua ksatria di sisi pintu ikut melangkah ke depan, menciptakan garis tak kasatmata antara Griyan dan Roland.
Ruangan mendadak tegang kembali, seolah udara tertarik keluar dari seluruh dindingnya.
"Cukup." Kata Griyan, nadanya datar, tapi dinginnya menembus tulang—seolah satu kata itu saja cukup untuk membunuh siapa pun yang melanggarnya. Ia tidak berteriak. Ia tidak perlu. Aura perintah itu terlalu kuat untuk ditentang.
Lucan dan dua ksatria lainnya langsung berlutut dengan satu kaki di lantai batu, kepala tertunduk. Sebuah sikap ksatria yang mengaku salah dan siap menebusnya dengan nyawa.
"Berdirilah, dan kembali ke posisi kalian masing-masing," ucap Griyan, suaranya lebih tenang saat ia mengangkat tangannya.
Lalu ia menoleh kepada Roland. "Dan kau, Tuan Ksatria... aku tidak akan mengatakannya dua kali."
Roland menatap Elysande sejenak. Ia tahu wanita itu masih terpaku, terlihat ketakutan melihat reaksi keras para penjaga. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, berbicara pelan, "Tak apa. Aku akan menunggu di luar."
Ia berdiri, dan saat melangkah ke depan hingga sejajar dengan posisi Griyan di meja, ia berlutut satu kaki.
"Maafkan kesalahan saya sebagai seorang ksatria," katanya tanpa berani mengangkat wajahnya.
Griyan tidak menjawab. Bahkan tidak memandangnya. Diamnya lebih dalam dari penolakan mana pun.
Roland pun bangkit dan berjalan keluar ruangan.
Begitu pintu tertutup, Griyan berdiri.
"Lakukan apa pun yang kau mau dengan nama Montclair ketika aku tidak ada," ucapnya pelan, tapi berat. "Tapi berjanjilah satu hal kepadaku. Tidak—berjanjilah kepada keluarga ini, bahwa kau akan mengurusnya seperti kau mengurus keluargamu sendiri."
Griyan menghela nafasnya.
"Mungkin aku tidak bisa memberikan kebahagian seperti dia, tapi aku akan memberikan semua selain itu. Hiduplah bahagia."
Ia tak menunggu jawaban. Dengan gerakan singkat, ia memberi aba-aba.
Griyan, Lucan, dan dua ksatria lainnya meninggalkan ruangan tanpa menoleh ke belakang.
Elysande tetap duduk di tempatnya, tangannya mengepal di atas meja. Dada naik turun menahan emosi. Ia tidak memikirkan kata-kata itu. Tidak ingin memahaminya. Yang ia rasakan kini hanyalah amarah. Sebuah rasa tunduk paksa yang menggerogoti harga dirinya. Dan kini, rasa itu membentuk satu kata di dalam hatinya:
Benci.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
