
Bella selalu berpindah dari mangsa yang satu ke yang lain. Selama kepenuhan sehari-harinya terpenuhi ia tak peduli seperti apa rupa sang mangsa. Namun, suatu hari ia terjerat cinta Firdaus, seorang pria beristri beranak dua.
Status Firdaus tak membuat Bella mundur. Dia kian getol memeras cinta lelaki itu.
Sementara Jenisha —istri Firdaus— mengira Bella adalah persinggahan sementara suaminya seperti yang sudah-sudah. Tapi, ternyata ia salah.
Bella, Firdaus, dan Jenisha bertemu di cafe. Ya, hanya bertiga....
Bab 1. Sang Gundik Kehilangan Mangsa
“Bella!”
Seorang gadis menoleh. Rambut ikalnya yang lebat mengayun lembut, barulah tampak jelas pipi chubbynya, kulitnya pun seputih porselen, bulu mata lentik, serta bibir tebal menjadi nilai tambah gadis bernama Bella itu.
Seseorang memanggilnya dari kejauhan, kian dekat orang itu barulah diketahui Bella identitas sang pemanggil. Ajudan dari kepala dinas tempatnya bekerja saat ini.
“Ya, Kak?” sahutnya saat wanita berjilbab hitam itu berada tepat di hadapan.
“Kamu dipanggil Pak Ansori ke ruangannya,” lapor wanita bernama Anggun itu, seanggun suara lemah lembutnya.
Tanpa bertanya lebih banyak, Bella bergegas menuju ruangan di lantai dua itu. Ruangan Pak Ansori, sang kepala dinas.
Tok. Tok. Sopan, Bella mengetuk pintu dahulu sebelum membukanya. Dia harus memberi sinyal akan kehadirannya.
“Permisi, Pak,” sapa Bella ketika masuk lantas menutup pintu.
Hanya ada satu meja kerja di ruangan besar itu. Di depannya ada sofa kulit kecoklatan jikalau sang kepala menerima tamu penting atau jumlahnya lebih dari dua.
Kursi kulit berpunggung tinggi itu memutar. Tampaklah sosok seorang pria berbadan cukup tinggi dan agak berisi. “Jangan lupa kunci pintunya,” cetusnya mengingatkan.
Bella kembali ke arah pintu, menggeser besi gerendelnya. Siapapun tidak akan bisa masuk ketika membuka pintu. Saat ia berbalik, bibir tebalnya memulas senyuman nakal.
Pria bernama Ansori itu bergerak lagi, mengarahkan dirinya ke arah kedatangan Bella. Ditepuknya pahanya yang bebas. “Sini,” pintanya sok imut.
Tanpa ada penolakan, malah terkesan menyerahkan diri, Bella duduk dipangkuan Ansori. Kedua tangannya melingkar di leher pria itu lalu mengecup bibirnya.
Ansori tidak segera mengakhiri ciuman itu. Tangannya mendekap tubuh Bella, dinikmatinya kecupan ini. Sudah dua hari dia tak bertemu sang gundik, rindunya setengah mati.
Ciuman berakhir diikuti desahan napas Bella. Dipukulnya pelan bahu sang pria beranak empat itu. Anak pertama pria itu adalah teman satu tingkat SMA-nya.
“Kenapa, sih kamu nggak ngajak aku dinas luar kota kali ini? Kan kita bisa bebas kalau aku ikut,” rajuknya manja.
“Aku tidak enak, Sayang. Bapak Walikota ikut dalam rombongan. Terlalu kentara kalau kamu ikut,” dalihnya mulai beralasan.
“Kamu tidak main perempuan, kan di sana?”
Ansori memutar bola matanya. Dia tahu kalau ini bukan saatnya untuk jujur. Benar adanya dia memanggil wanita bayaran ke kamar hotelnya. Tapi, Bella tidak akan tahu, kan kalau ia tidak bilang.
“Nggak. Bagaimana bisa di saat aku merindukanmu, malah tidur dengan wanita lain,” kilah Ansori seraya menggelitik pinggang Bella.
Kekasihnya kembali merajuk, karena ia tak diajak serta.
Ansori tersenyum. Diraihnya jemari lentik Bella, lalu dituntunnya masuk ke dalam saku celana.
Bella terbelalak. Ditariknya cepat jemarinya. “Kamu mau apa? Aku lagi nggak mood, ah.”
“Ada sesuatu di dalam saku celana. Ayo, carilah,” pinta Ansori sok misterius.
Bella pun merogoh saku celana kekasihnya sambil merengut. Jemarinya berhenti meraba ketika menemukan sebuah benda keras di dalam saku. Matanya membesar menatap Ansori. "Apa ini?"
Jawaban Ansori hanya berupa senyuman misterius.
Gegas Bella mengeluarkan benda itu dari dalam saku. Sebuah kotak merah, khas kotak cincin. Tak bisa ditutupi, mata gadis itu bersinar cerah. "Cincin?!" Serunya riang.
Ansori mendelikkan bahu sambil terus menyunggingkan senyum.
Begitu kotak itu dibuka, benar saja, Bella menemukan sebuah cincin emas putih bertatahkan berlian berbentuk tetesan air. Diarahkannya cincin itu ke lampu, batu berharga itu sontak berkilauan. Buru-buru disematkannya cincin itu ke jari manisnya.
"Uh, terima kasih, Sayang," ucapnya senang seraya memeluk Ansori cukup dalam.
Jemari Ansori tidak lagi mendekap punggung Bella. Jemari itu kini sudah mendarat di dada sang gadis, yang sedari tadi seolah terkukung di balik kemeja putih ketat ini.
Dia tak menjawab, namun dibiarkannya jemari lelaki itu bermain di sana. Desahan pelannya teredam saat bibir lelaki itu memagut ganas bibir tebalnya.
Tak butuh waktu lama, ruangan tempat dokumen penting ditandatangani itu kini menjadi bilik mesra buat keduanya. Mewarnai ruangan luas bercat putih itu dengan desahan penuh hawa nafsu.
Mereka sudah lupa tentang rentang umur yang cukup jauh. Ansori melupakan sosok istri dan keempat anaknya. Sementara Bella melupakan sosok suami yang bekerja di luar kota dan sang anak yang baru berumur empat bulan.
Satu jam kemudian, Bella keluar dari ruangan itu. Dia berhenti dulu di depan pintu. Ah, hampir saja ia lupa memasukkan kemeja putihnya ke dalam rok spannya. Kemudian, melangkah lebar meninggalkan tempat itu.
Dia tak tahu di ujung lorong lantai dua Anggun bersama Riana berdiri dalam gelap.
“Tuh, bener, kan. Bella itu gundiknya Pak Ansori. Kamu nggak percaya, sih.” Hm, ternyata Anggun tak seanggun namanya. Dia hobi mengghibah juga ternyata, apalagi ini atasannya sendiri.
“Aku belum percaya sebelum lihat dengan mata kepalaku sendiri,” tandas Riana, si polos yang baik hati.
“Semua orang tahu itu. Kamu aja yang nggak bisa menerima kenyataan.”
Sudah bukan rahasia umum lagi di kantor ini jika Bella adalah wanita simpanan sang kepala. Mau mereka menyembunyikan kemesraan, tetap saja tercium gelagat aneh itu, mau cepat ataupun lambat.e
“Bella itu bahenol, mana mungkin Pak Kepala bisa menolak,” kata Bu Farida, bendaharawan. Dia tahu betul kalau Pak Ansori sudah minta duit kira-kira dua digit dengannya, pasti mau membelanjai Bella ke mall dan sudah pasti diakhiri dengan ke kamar hotel.
Paras Bella selain cantik, dia manis sekali. Tidak bosan dipandang. Jika baru mengenalnya, tidak tersirat di wajah kalau dia adalah simpanan om-om.
Sudah satu tahun Bella menjalin kasih dengan Pak Ansori. Dia berharap beliau sukses terus agar bisa menjejalinya dengan barang-barang mewah tiada henti.
Sayangnya, manusia cuma bisa berharap dan merencanakan. Selanjutnya, semua ada di tangan Tuhan.
Seiring lengsernya gubernur yang merupakan pakcik Pak Ansori, lengser jugalah beliau dari jabatannya. Bella pun tak bisa lagi bermain api dengan Pak Ansori karena beliau sudah tak lagi memiliki masukan kedua.
Pantang menyerah, Bella berusaha merayu Pak Ishak, kepala dinas yang baru. Umur beliau hanya terpaut dua tahun dengan Pak Ansori, perawakannya tinggi dan tegap, tubuhnya cukup ideal, tidak sebesar kepala dinas sebelumnya. Tidak ada salahnya jika jadi gundik beliau, pikir Bella. Dia malah penasaran bagaimana bentuk tubuh di balik seragam dinas itu.
Sayangnya, mata Pak Ishak tidak bisa lepas dari pesona terpendam milik salah satu pegawai honornya. Apalagi pegawai itu tampak telaten dan tak banyak bicara. Ternyata beliau lebih menginginkan si polos Riana daripada si nakal dan berpengalaman macam Bella.
Bella pun gigit jari. Dia seperti kehilangan pegangan. Biasanya bisa hidup bergemilang harta, sekarang hanya hidup dengan gaji honornya yang hanya dua juta perbulan.
Kemana lagi ia bisa mencari mangsa?
Bab 2. Kasih Sayang Seorang Ibu
“Bella!”
Panggilan keras itu diladeni Bella dengan tatapan melengos dari sofa. Dia tengah berbaring, menikmati acara televisi. Kuat dugaan kalau panggilan itu merusak masa tenangnya.
Seorang perempuan kira-kira berumur lima puluh tahunan keluar dari ruangan sebelah. Rambut pendeknya sebagian memutih, kerasnya kehidupan tergurat di wajah lelahnya, ditambah lagi seorang balita berada di balik gendongan kain. Dia tengah meninabobokan si Hasyim, cucu satu-satunya buah pernikahan anak sulungnya ini.
“Apa, sih, Bu?” tanyanya masih rebahan, lengkap menyuap beberapa potong stick potato. Terlihat nggak tertarik dengan panggilan sang ibunda.
“Sudah tiga bulan kamu nggak kerja,” beritahu Ibu Ema.
“Baru juga tiga bulan,” timpalnya. Hal itu sudah ia ketahui, kenapa juga dibahas lagi, sih. Diulang melulu setiap hari. Bella bosan mendengarnya.
“Uang untuk beli susu anakmu ini gimana? Bapakmu cuma sanggup membiayai makan kita,” tagih Ibu Ema. Sang suami hanyalah pekerja serabutan. Sekarang menukang di sebuah rumah, hasil kerja kerasnya nggak sebanding dengan pengeluaran penghuni di rumah ini. Apalagi, anak keduanya masih sekolah. Ditambah lagi si cucu tercinta.
“Heh!” desah Bella kesal. Barang-barang pemberian si Om sudah habis dia jual untuk berfoya-foya dengan teman-temannya. Dia tuh nggak mau terlihat nggak bercukupan di depan mereka. Jangan sampai mereka menilainya miskin. Cukuplah rumah di gang kecil ini saja yang reyot dan tak menarik, jangan sampai penampilannya juga memalukan begitu.
“Makanya, kamu itu nikah lihat-lihat juga. Sekarang suamimu nggak pulang-pulang sudah satu tahun. Ada kabar saja tidak.” Mulai, deh Ema mengungkit masa lalu Bella.
“Heh!” desah Bella lagi, lebih kencang dari yang pertama. Kesal? Iyalah! Kenapa menyentil tentang masa lalu yang ingin Bella lupakan? Macam nggak ada topik lain apa yang bisa dibicarakan.
“Mana sudah susah payah Bapakmu masukin kamu kerja honor, malah berhenti. Banyak orang yang kepengen kerja di sana, asal kamu tahu. Mereka rela bayar puluhan juta hanya untuk jadi pekerja honor,” cerocos Ema mengeluarkan segala unek-unek di hati.
Bella masih nggak menyahut. Tidak ada perubahan gerak. Posisinya masih tetap selonjoran di sofa. Omelan Ibu mulai merembet kemana-mana. Bakal terjadi hal buruk jika ia menyahut sekarang.
“Kenapa kamu berhenti?” tanya Ibu Ema. Seminggu silam, beliau juga menanyakan hal yang sama.
“Sudah kubilang kalau di sana sudah nggak senyaman dulu lagi, Bu." Masih mau Bella menjelaskan, walaupun mukanya berkerut kesal.
“Ya, seharusnya kamu tahan. Bekerja memang seperti itu, dihadapi saja masalahnya. Jangan lari,” nasehat Ibu Ema, masih menggendong cucunya. Mata Hasyim mulai terpejam.
“Siapa yang lari?!” Bella nggak suka dengan tuduhan itu.
“Ya, kamu-lah. Masak si Hasyim,” seloroh Ibu Ema bercampur marah.
Bella akhirnya duduk juga. Ditolehnya Ibu. “Bukannya aku lari, Bu. Memang di sana sudah nggak seenak dulu sejak ganti pimpinan.”
Sebenarnya Pak Ishak bagus-bagus saja, sih. Tapi, dia memang lebih disiplin. Dan, tidak suka jika pegawainya hanya duduk ngobrol sambil main gawai. Bukan untuk itu mereka digaji, menurutnya. Makanya, Bella malas bekerja di sana. Gaji kecil, kerjanya capek.
“Lagian aku juga bisa kerja apa, Bu. Cuma lulusan SMA. Paling-paling jadi SPG di mall.” Bella insecure, deh. Padahal, ia punya nilai lebih. Ya, cantik. Siapapun tak akan bosan memandangnya.
“Terus, apa salahnya kerja di sana? Yang penting kamu dapat gaji. Halal.”
Bella menggeleng. “Nggak mau, ah. Capek. Entar disuruh angkat-angkat barang.” Ditatapnya kedua telapak tangannya. “Nanti nggak mulus lagi, dong tanganku.”
“Tapi, kamu mau jadi SPG?”
“SPG apa dulu, nih, Bu?”
“Showroom mobil di depan gang.”
“Oh, itu.” Terbayang showroom mobil asal Korea itu. Tepat keberadaannya di seberang gang, di sebelah hotel bintang lima.
“Kalau kamu mau, Ibu bisa minta tolong Pak RT supaya kamu bisa kerja di sana,” cetus perempuan beranak dua itu.
Lumayan juga, pikir Bella. “Ya, nggak ada salahnya, sih dicoba, Bu,” jawabnya menyetujui saran Ibu.
Cssssh! Suaranya dari arah dapur. Ibu Ema mengintip. Ternyata panci berisi ayam yang tengah direbus, airnya meluap-luap hingga membasahi kompor.
Ibu Ema bergegas menghampiri Bella. “Ini, Si Hasyim sudah tidur. Kamu bawa ke kamar, gih,” suruhnya.
Dia tahu betul kalau anak sulungnya ini enggan menerima tanggung jawab itu, tapi bagaimanapun dia harus memberesi kekacauan di dapur. Tidak mungkin dengan membawa Hasyim. Bisa kena air panas nanti dia. Lagipula, mengantar ke kamar seorang balita yang sudah tertidur sepertinya bukanlah tugas berat.
Bella memandang dongkol punggung Ibu tergopoh-gopoh menuju dapur. Lantas pada malaikat kecil berkulit putih porselen seperti dirinya, berhidung mancung, dan pipi chubby yang sama.
Jika Ibu-Ibu lain merasa gemas pada balita seumuran anaknya ini, berbeda dengan Bella. Sudah sewajarnya seorang Ibu cinta berlebihan pada anaknya, namun dia sebaliknya. Rasa sayang itu tak pernah terbesit di benaknya. Secuil saja tidak ada.
Malah, ia benci pada Hasyim. Mata serta bibirnya mengingatkan pada sang suami, yang entah di mana keberadaannya. Sejak Bella menelepon untuk memberitahukan perihal kehamilannya, pria berumur dua puluh lima tahun itu menghilang bak di telan lautan. Tak pernah muncul kembali, seolah tenggelam di dasar terdalam.
Hamil sembilan bulan hingga proses melahirkan, Bella lalui semuanya seorang diri.
“Suaminya mana, Bu?” tanya petugas medis di bagian IGD itu.
Bella terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena pecah ketuban dini. Padahal, dia rajin kontrol di bidan dekat rumah. Sudah direncanakannya untuk lahiran di sana. Sekali lagi, manusia hanya bisa merencanakan, Tuhan-lah yang menentukan.
Bella tidak menjawab pertanyaan perawat itu. Ditatapnya langit-langit sementara perawat berhijab itu tengah mengambil sedikit darahnya untuk dijadikan sampel.
“Suaminya kerja di luar kota, Bu.” Ibu Ema mewakilkan anaknya menjawab.
Perawat itu tak banyak tanya lagi. Dia pergi ke mejanya, meninggalkan Bella yang menangis dalam diam.
Sakit hati Bella karena digantungkan oleh Wisnu, sang suami, seperti ini. Terlebih lagi, ia tak tahu harus mencari ke mana. Juga, dia butuh nafkah untuk sehari-hari. Karena itulah, tiga bulan kehamilannya, dia berani bermain api dengan Pak Ansori.
Bella bangkit dari duduk. Didekapnya Hasyim dalam pelukan.
Lewat ujung matanya, ia bisa melihat kepulan asap di cangkir berisi teh di atas meja. Tergelitik tenggorokannya yang kering setelah memakan lebih dari setengah bungkus stick potato, untuk mencicipi teh itu.
Bella pun menghampiri meja makan beralaskan plastik bening. Diraihnya gagang gelas. Memang terasa hangat. Lantas, menyesapnya sedikit di ujung bibir.
“Argh! Panas! Panas!” teriak Bella refleks seraya bergegas meletakkan gelas kembali di meja. Teh itu membakar lidahnya. Ah, sakit sekali, keluhnya.
“Wuaaa!” Bersamaan dengan seruannya, teriakan Hasyim juga terdengar. Bangun sudah dia dari tidurnya. Mungkin dia terkejut oleh kepanikanku, pikir Bella.
“Kenapa?! Kenapa?!” Ibu muncul dari dapur. Peluh keringatnya tampak jelas dikening mengalir hingga samping telinganya. Wajahnya tampak khawatir sekali. Tidak pernah cucu tersayangnya itu berteriak atau menangis kencang seperti ini. Seolah tahu kondisi orang tuanya, Hasyim bukan tipe balita yang rewel sejak ia ada di dunia ini.
Jemari Bella yang mendekap Hasyim merasakan baju bagian punggung bocah itu basah. Jangan bilang… “Dia ketumpahan teh, Bu.”
“Astaghfirulloooh!” seru Ibu sambil merampas cucunya dari dekapan Bella. Dibukanya kaos hitam itu dan singlet dari tubuh Hasyim, selagi bocah itu meraung. Kemudian, tampak jelas lah punggung kemerahan milik cucunya.
Hati Ibu Ema teriris rasanya menyaksikan cucunya kesakitan seperti itu. Dia merawatnya sejak balita itu pulang dari rumah sakit. Selalu dijaganya baik-baik walaupun ia capai. Tak tega Ibu Ema menyaksikan cucunya meraung kesakitan.
“Kenapa kamu nggak langsung saja mengantarnya ke kamar. Minumnya bisa nanti saja,” protes Ibu seraya meniup punggung Hasyim sesekali.
“Tapi, kerongkonganku kering banget, Bu. Haus,” timpal Bella berusaha membela dirinya sendiri. Dia nggak terima dipelototi seperti itu.
Kalau Ibu yang sewajarnya pastilah sudah menyalahkan dirinya habis-habisan. Menyesali tindakan sembrononya yang berakibat buruk pada si kecil. Tapi, Bella sudah tertutup hatinya.
“Udah, ah, Bu. Paling dikasih salep juga sembuh,” cetus Bella lantas melenggang ke kamar. Si gawai pasti sudah penuh baterainya. Sudah nggak sabar dirinya berselancar di dunia maya.
Ibu Ema hanya memandangi punggung anaknya. Dia tak bisa memarahi wanita berumur dua puluh satu tahun itu. Karena salahnya terlalu memanjakan Bella. Ia tak ingin anak pertamanya itu merasakan susah yang dihadapinya selama ini.
Seandainya dari dulu ia biarkan Bella membantunya di rumah, akankah anak sulungnya itu tumbuh dengan kepribadian yang berbeda?
Bab 3. Bukan SPG Biasa
“Bella Arsytia. Betul?” tanya seorang wanita berambut pendek dari balik kacamata minusnya. Di dada kirinya tersemat name tag, tercantum nama Rayani di bawah foto wanita itu serta jabatan yang diembannya—manajer personalia.
Bella mengangguk mantap. Memang itulah nama panjangnya. Selagi si manajer menatap kertas di tangan, ia menyempatkan diri melihat ruangan segi empat berukuran tiga meter ini.
Lalu, melirik lagi ke arah Rayani. Ada embel-embel Simajuntak di akhir namanya. Namun, perawakan khas keturunan Sumatera Utara itu nggak terlalu terlihat di parasnya. Rahangnya nggak tegas seperti yang kebanyakan. Matanya pun kecil, pipinya juga sedikit berisi, apalagi suaranya nggak pula garang.
“OK,” ucap Rayani seraya menegakkan kepala. “Saya sudah lihat hasil tes kamu tadi. Nggak apa-apa. Kamu lumayan bagus. Mulai Senin besok kamu kerja di sini. Tanda tangan kontrak dulu dengan masa percobaan tiga bulan, ya,” katanya diakhiri senyum tipis.
“Baik, Bu,” sahut Bella. Setengah senang, setengah lagi biasa saja. Toh keinginan bekerja tidak seratus persen berasal darinya. Dia hanya mencoba saja. Kalau memang nyaman, akan dia lanjutkan. Tapi kalau yang terjadi sebaliknya, dia berniat resign saja setelah masa percobaan berakhir.
•
Hari Senin kemudian,
Ini awal bulan. Jadi, seperti biasa semua sales dikumpulkan pagi ini supaya lebih terkoordinir mencapai target bulanan.
“Kamu tahu, kata Pak Andri kita kedatangan SPG baru,” cetus Maya.
Kening lawan bicaranya mengekerut. “Apa mungkin yang aku lihat di loker tadi, ya? Cantik,” komentar Nara.
Bersamaan dengan itu, derap langkah membahana di showroom luas ini. Ketukan heels terdengar dari pintu bagian dalam, asal ruangan karyawan.
Mulanya para salesman duduk menyender di kursi khusus untuk pelanggan itu. Semuanya lesu, terngiang bagaimana insentif bulanan melayang karena tidak mencapai target bulan lalu.
Pada akhirnya mereka melupakan sejenak beban itu. Bola mata membulat sempurna seiring menemukan siapa pemilik derap langkah itu.
Seragam kemeja putih nan ketat serta rok span hitam beberapa centi di atas paha membalut tubuh Bella. Tiap ia berjalan, seluruh daging di tubuhnya ikut bergoyang sesuai irama langkah. Seolah terhipnotis, tiap pasang mata mengikuti kemana Bella pergi.
“Sudah datang kamu,” celetuk Andri, team leader. Ia muncul dari belakang Bella. “Ayo, briefing dulu,” ajaknya.
Para salesman berlomba untuk berkumpul, ah, lebih tepatnya berdiri di sisi Bella. Mereka terus melirik wanita itu yang mengekori sosok Andri. Dan, orang yang beruntung itu adalah Indra.
Nara dan Maya hanya geleng-geleng kepala melihat ulah teman mereka ini. Paling lama bertahan satu bulan pesona Bella ini, pikir mereka. Karena begitu lewat satu bulan, para salesman sudah tahu tingkah laku asli SPG. Dengan sendirinya bakalan illfeel, kok.
Tiga orang SPG dan enam orang salesman berkumpul di dekat meja memanjang, layaknya meja resepsionis itu.
Sosok tinggi Andri berdiri di antara mereka, ikut masuk ke dalam lingkaran. “Kita kedatangan SPG baru, namanya Bella. Kenalannya nanti saja,” potongnya cepat ketika ditangkapnya para salesman hendak bertepuk tangan. Seketika muka lara pria itu berubah lesu. “Saya buru-buru karena mau ke mall untuk persiapan pameran.”
Bella juga merasa gondok karena sudah siap memperkenalkan diri.
“Maya, Nara. Kalian bimbing dia, ya. Perkenalkan dengan spek-spek mobil.” Andri beralih menatap Bella. “Bella, kamu bisa menyetir mobil?”
Bella mengangguk pelan. Dia memang tidak memiliki salah satu barang mewah itu, tapi bisa kok mengendarainya. Apalagi dulu Pak Ansori sering meminjamkan mobil kantor padanya.
“Oh, kalau gitu gampang, lah. Perlu pendalaman sedikit saja. Okay?” Dia menatap ketiga wanita itu bergantian. Lantas, ketiganya mengangguk berbarengan.
Setelah bubar Nara dan Maya menghampiri Bella, seraya menghalau para salesman berlomba berjabat tangan dengan orang baru ini.
“Namaku Maya. Dan, dia Nara,” kata wanita berambut lurus sebahu itu. Bibirnya tipis, terkesan cerewet.
“Bella,” ucapnya pelan.
Maya berjalan duluan menuju meja panjang.
Lewat delikan matanya, Nara mengajak Bella melangkah bersama. Mereka baru sampai ketika Maya mengeluarkan buku kumpulan brosur.
“Kamu baca saja brosur mobil ini satu-persatu. Kalau ada yang mau kamu tanyakan, bisa ke aku atau Nara,” tuturnya agak tegas. Mungkin mau menunjukkan statusnya yang lebih senior.
Bella menerima brosur itu, lantas duduk di kursi bagian dalam meja panjang, sama seperti Maya dan Nara.
Selagi asyik membaca sekilas, pintu showroom terbuka otomatis. Ada seseorang di depan pintu, sekarang beranjak masuk ke dalam.
“Duh, dia datang lagi,” gumam Nara pelan.
Bella bingung karena rekan kerja itu sontak berbalik sesaat setelah mata pria bermata sipit itu menatap padanya.
“Belum deal juga?” tanya Maya ikut bergumam. Nada suara hanya cukup untuk didengar dalam jarak satu meter darinya. Termasuk Bella, ia juga bisa mendengar percakapan mereka.
Seolah di rumah sendiri, pria bertubuh tambun itu datang menghampiri meja panjang. Sikutnya menempel di meja. Bersender dengan santainya.
“Pagi, Nara cantik," sapanya diiringi senyuman genit.
Nara bergidik ngeri sebelum berbalik. “Pagi, Koko,” sahutnya. Sungguh hebat wanita berambut sebahu itu. Raut wajah kesalnya berubah ceria sejurus ia menghadap si pria keturunan Chinese itu.
“Ada yang belum jelas di aku, lah. Nara bisa jelasin lagi?”
Bella memergoki jemari Nara meremas pinggir rok spannya. Seperti menahan amarah.
“Boleh, Ko. Silakan duduk dulu di sana, Ko. Saya mau ambil brosur dulu.”
Bagai terhipnotis, Si Koko berjalan seraya bersenandung mendekat ke meja bulat tempat para sales tapi briefing.
Nara menatap Bella. “Aku pinjam sebentar, ya.”
Bella tentu saja memperbolehkan. Terus diperhatikannya Nara hingga duduk di meja yang sama dengan pria itu.
“Apa yang kamu pikirkan, Bel?” tanya Maya tanpa menoleh ke Bella.
Bella jadi merasa nggak enak karena terpergok sedang memerhatikan Nara. “Hm? Nggak, kenapa Nara terkesan malas melayani Koko itu, ya?” Sebaiknya dia jujur saja.
“Koko Asiong, tepatnya. Dia pemilik bengkel besar di daerah barat. Nggak pernah sepi bengkelnya. Dia ke sini karena mau mencari pelayanan sesungguhnya. Kamu ngerti, kan maksudku?” Maya menatap Bella, ingin tahu reaksi lawan bicaranya ini.
Bella mengangguk. Jelas aja dia mengerti. “Terus?”
“Dia pernah menggodaku. Tapi, kutolak dengan jelas. Nara nggak bisa melakukan hal yang sama karena dia butuh insentif jika mobil ini terjual.” Sorot mata Maya berubah sedih. “Ibunya sedang sakit. Dia masih menunggak biaya di rumah sakit.”
Bersamaan dengan itu, Nara kembali. Dia berjongkok di balik meja. Tubuhnya gemetaran karena Ko Asiong baru saja mengelus pahanya.
“Nara, kamu nggak apa-apa?” tanya Maya khawatir.
Nara mendekap tubuhnya seolah kedinginan. “Aku nggak mau melayani dia. Tapi, gimana? Aku butuh uangnya, May.”
Bella buru-buru mengambil brosur yang berserakan di laci meja panjang. “Dia mau beli yang mana?” Ditunjukkannya beberapa brosur.
“Dia mau beli yang mobil listrik ini,” Nara menunjuk mobil silver mirip type sedan. Harganya cukup lumayan, lebih dari setengah satu milyar.
“Cash or credit?”
“Cash.”
Bella bergegas lagi mengambil beberapa lembar kertas di dalam laci. Dia sempat membacanya tadi. Lantas, mendekat kembali ke Nara, ikut berjongkok. “Ada cashback dua persen jika dia beli cash bulan ini. Ko Asiong tahu tentang ini?”
“Belum. Terus?”
Maya masih terus memerhatikan. Ia mencoba menerka apa maksud pertanyaan Bella.
“Aku nggak bakal ngasih tahu dia tentang cashback ini. Kamu ambil insentifnya, aku cashback-nya. Gimana? Apa nggak akan jadi masalah?” tawar Bella.
“Maksud kamu?” tanya Maya bingung.
Kedua pasang mata Nara dan Maya menatap ke arah jemari Bella, yang membuka kancing kedua kemeja. Terlihat jelas bagian atas daging kenyal di baliknya.
“Lihat aja,” ucap Bella percaya diri. Kerlingan nakalnya membuat dua teman kerjanya tertegun membatu.
“Halo, Ko,” sapa Bella seraya duduk di tempat Nara tadi. “Nara lagi nggak enak badan, Ko. Saya gantikan nggak apa-apa, ya?”
“Kau ... baru, kan di sini?” tanya Asiong terjeda. Ia perlu melihat ke meja panjang dulu, memang tidak tampak Nara di sana.
“Iya. Perkenalkan, Saya Bella,” cetus wanita itu memamerkan bibir tebalnya yang menggoda.
Asiong sempat ragu melihat tangan putih berarlojikan itu terarah padanya. “Asiong,” sambutnya.
Hm, mulus juga, pujinya. Ketika Bella menarik tangannya, Asiong berusaha menahan. Mata mereka bertemu, dan wanita itu malah tersipu seraya menarik jemarinya perlahan. Senyum simpulnya masih terlihat saat menyematkan helai rambut ke telinga.
Mendadak, perut Maya terasa mual melihat pemandangan di hadapannya ini.
Asiong bisa melihat kemeja Bella terbuka agak ke bawah. Dia tahu kalau wanita di hadapannya ini bukan seperti Nara,, yang munafik sih menurutnya. Wanita di hadapannya ini pasti mau melakukan apa saja demi mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Umurmu berapa?”
“Saya? Baru dua puluh satu tahun, Ko.”
Ko Asiong mengangguk. “Sudah menikah?”
“Sudah. Tapi, suami Saya masih merantau.”
“Hm.” Asiong menyeringai. Pantas saja, pikirnya. Tubuh wanita itu pasti tengah haus akan belaian tangan lelaki.
“Koko mau beli mobil yang ini, kan?” Bella bergegas menunjuk mobil yang diberitahukan Nara tadi.
“Kenapa memangnya?”
“Koko bantu Bella, lah. Beli mobil ini deal dalam bulan ini juga. Biar bisa dipertahankan perusahaan. Ya?” bisiknya manja.
“Memangnya aku dapat apa lah?” tanya Ko Asiong sok jual mahal seraya bersender di kursi. Memamerkan perut buncit di balik kemeja cream-nya.
“Apa saja. Koko tinggal bilang,” jawab Bella meringis, berusaha bersikap imut. Yah, semoga nggak terlihat amit-amit di mata Ko Asiong.
“Kalau hotel di sebelah, kamu tahu?”
“Tahulah , Ko. Segede gaban gitu. Kenapa memangnya?”
“Pernah nginep di situ?”
“Ya, nggaklah, Ko. Semalam aja mahal banget, kan?”
“Kamu mau nginep di situ?”
“Koko mau bayarin?” tanya Bella dengan wajah sumringah. Sudah terlintas di benaknya untuk memamerkan foto jika ia menginap di hotel itu.
“Iya. Kamu mau? Untuk tiga hari.”
“Mau. Mau. Tapi, deal ini dulu, ya.” Cukup pintar, kan dia. Bella tidak mau dipermainkan terlebih dahulu.
“Besok aku ke sini lagi. Urus semuanya. Ok?”
“Kata-kata Koko ini bisa dipegang?”
“Iya, dong. Kalau kamu?”
Bella mendekat, berbisik, “Bukan cuma kata-kata Saya yang bisa dipegang, yang lain juga bisa.”
Asiong gemas sekali melihat wanita ini. Liar sekaligus manja. Memang demen banget dia yang begini. Mana montok lagi. Sudah tidak sabar dia memanen buah yang hampir matang ini.
Selesai mengantar Asiong ke mobilnya, Bella kembali ke showroom.
“Kali ini saja aku bantu kamu Nara. Selanjutnya, kalau ada customer yang deal sama aku, bakal masuk ke pencapaianku.”
Nara mengangguk. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain berterima kasih.
Nara dan Maya tidak tahu kalau semenjak hari itu, malapetaka malah menghampiri mereka.
Andri berjalan masuk ke dalam showroom. Gawai menempel di telinganya. “Ya?”
“Pak, Saya izin dinas luar, ya.” Suara Bella terdengar di ujung sambungan. Agak dimanja-manjain.
“Ya, ya.” Diletakkannya kembali gawai ke dalam saku kemeja.
“Kalian .…” Andri mengusap rambutnya kasar, menahan emosi. “Masak kalian kalah sama anak baru. Besok, nih dia tanda tangan perpanjangan kontrak satu tahun. Kenapa dia diperpanjang? Karena dia jualan empat mobil dalam tiga bulan ini. Kalian nggak bisa melakukan pencapaian yang sama?”
Nara dan Maya saling bertukar pandang. Mereka tidak bisa menyangkal amarah Andri. Memang benar adanya kalau itu yang terjadi.
Andri juga tahu kalau Bella bermain curang. Seperti hari ini, dia izin dinas luar, padahal lagi di kamar hotel dengan pelanggan yang harus ia layani total. Si team leader tidak mau tahu tentang itu. Yang penting mobil laku, target tercapai, sudah.
Andai mereka bisa seperti Bella, tidak memiliki beban bergaul dengan orang asing. Andai mereka seperti Bella, membuang jauh harga diri demi cuan. Sayangnya, Nara dan Maya tidak bisa.
Bab 4. Pria Beristri Memang Lebih Menggoda
“Bella,” panggil seseorang.
Lantas, Bella menoleh. Seorang pria mengenakan kemeja hitam mendekat padanya. Seringai sinis di sudut bibir pria itu sangat mengganggu.
Ditolehnya ke arah lain tatkala pria itu kian dekat, seraya mendengus kesal.
“Waw, Si Hebat Bella juga ikut pameran ini?” Nadanya antara bertanya dan menyindir. Makanya, Bella malas meladeni.
Perkenalkan, pria berkulit sawo matang dan berbulu mata lentik ini, Eko namanya. Dia team leader dari perusahaan mobil asal Jepang. Kompetitor.
Sudah menjadi rahasia umum tentang kehebatan Bella 'menggaet' customer. Eko sudah menyuruh SPG-nya untuk melakukan strategi yang sama, tapi tak ada yang mau. Gila kali kalau ada yang mau.
“Kenapa memangnya? Gue nggak boleh ikut, A'?” tanyanya sewot. Kedua tangan berlipat di depan dada, tanda pertahanan.
Eko menyeringai lagi. “Nggak apa-apa. Duh, sensi banget, sih.” Dipukulnya pelan bahu Bella.
Bella melirik bekas pukulan itu. Ia tidak sudi digoda oleh seorang suami, yang gemar memukuli istrinya itu. Ia pernah bertemu Eko sedang berbelanja dengan isterinya di mall. Apa yang ia lihat? Memar kebiruan di mata kiri istrinya. Sudah pasti dipukul sama dia, memangnya siapa lagi.
“Eh, Daus,” panggil Eko seraya menoleh ke belakang.
Seorang pria muncul. Perawakannya nggak lebih tinggi dari Eko, kulitnya kuning langsat namun bersih, hidung bangirnya mirip jambu monyet, parasnya khas orang Arab.
“Elo penasaran sama Bella, kan? Ini dia orangnya,” ujar Eko seenaknya memperkenalkan Debi dengan orang asing.
Bella mengernyitkan keningnya. “Penasaran kenapa?!”
“Penasaran sama SPG yang jualannya laris manis,” jawab Eko cepat. Dia tahu kalau wanita itu pasti menduga kalau ia menceritakan yang tidak-tidak. Padahal, betul, sih. Dia memang menggibah di belakang Bella.
“Ini siapa?” tanya Bella agak angkuh.
“Firdaus, salah satu sales gue. Selama ini dia jarang ke pameran. Baru kali ini juga kalau nggak salah. Ya, bukan, Us?”
Firdaus mendelik. Nggak banyak bicara.
“Ah, terserah, sih bukan urusan gue,” ucap Bella nggak mau tahu. Yang ia tahu kalau Firdaus itu adalah saingannya di sini.
Ketika Bella berbalik menuju meja bundar, yang disediakan oleh perusahaannya, Firdaus berdecak kagum akan kemolekan wanita itu. Daging kenyal di bagian belakang pangkal pahanya itu, membulat sempurna di balik rok span hitam.
“Ayo, Us,” cetus Eko seraya mengajak sahabatnya itu menuju meja mereka sendiri.
Saat ini Bella tengah ditugaskan berjaga di pameran mobil yang diadakan salah satu mall. Bukan hanya mobil tempat Bella bekerja. Ada dari brand lainnya juga yang cukup punya nama.
Mobil listrik ramah lingkungan itulah yang dipajang bersama mobil kompetitor lainnya. Merupakan produk unggulan karena baru perusahaan tempat Bella bekerja yang mengeluarkan type mobil listrik.
Acara pembukaan sudah dimulai. Bella memandang ke arah panggung, tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan Firdaus. “Kenapa, sih dia ngeliat melulu?” gumamnya heran. “Ada yang aneh dengan penampilan gue?” imbuhnya.
Kalau dilihat-lihat pria itu tampan juga, pikir Bella. Dan, tatapannya barusan itu, duh, serasa menembus jantung.
Sudah hampir jam setengah dua, Bella melihat ke arah pintu mall. Kenapa si Indra belum tampak juga. Ini sudah gilirannya untuk istirahat dan digantikan oleh rekan kerjanya itu. Duh, perutnya sudah keroncongan sedari jam sepuluh tadi.
Gegas Bella chat team leader-nya.
[Pak Andri, Bella lunch dulu, ya. Indra belum datang juga. Nggak apa-apa, nih ditinggal?]
Butuh hampir lima menit barulah ada balasan dari Andri.
[Tunggu sampai jam dua. Indra bilang masih otw. Kalau jam dua dia tidak datang juga, silakan lunch.]
Okay. Nggak buruk juga, pikir Bella. Ia masih mampu menunggu dua puluh menit lagi.
Pukul dua siang teng, Indra belum juga menampakkan batang hidungnya. Sesuai janji Andri, Bella segera pergi lunch. Sudah tidak sanggup menahan keroncongan ini.
Food court mall ini ada di lantai empat. Untuk mencapai ke sana, Bella memilih naik lift daripada eskalator. Selain lebih cepat, tidak membuatnya capai juga.
Begitu masuk ke lift, Bella bersender. Punggungnya sungguh lelah duduk sedari tadi. Ia sudah mendambakan kursi sofa di salah satu restoran food court favoritnya.
Belum lagi pintu lift tertutup sempurna, tiba-tiba ada tangan yang menahan.
Siapa ini yang memperlambat istirahatnya, tuduh Bella kesal.
Pintu lift terbuka. Ternyata Firdaus yang hendak masuk.
“Hai,” sapa Firdaus.
Bella hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
Firdaus hendak menekan nomor lantai, tapi dicancel-nya. Nomor yang menyala itu sama dengan tempat tujuannya.
“Mau ke food court?” tanya Firdaus memulai percakapan.
“Hm,” jawab Bella malas meladeni.
Ting. Pintu lift berhenti di lantai dua. Enam orang masuk ke dalam lift. Membuat sesak lift kecil itu. Firdaus pun mundur dan tanpa disadarinya merapat pada Bella.
Jemari mereka tanpa rencana saling bersentuhan. Bella berpaling, berusaha menutupi rasa malunya.
‘Malu? Kenapa gue harus malu?’ pikirnya. Diindahkannya pikiran ngawur itu dan bergegas keluar begitu lift berhenti di lantai empat.
Lega menyeruak di dada Bella ketika sudah sampai di restoran favoritnya dan menghempaskan punggung ke kursi sofa yang empuk itu.
“Lho, kamu di sini juga?”
Dilirik Bella sosok pria yang tadi satu lift dengannya. Setajam tatapan elang.
“Boleh duduk di sini?” Bak badak berkulit tebal, tanpa malu, Firdaus meminta izin. Tanpa persetujuan izin pun dia duduk di kursi itu.
Firdaus berinisiatif memanggil pelayan.
“Kamu pesan apa, Bel?”
“Saya pesan Grill Chicken ini, sama minumannya Green Tea Blended. Bon-nya dibedakan, ya. Saya sendiri, dia sendiri,” pinta Bella buru-buru.
Firdaus tersenyum penuh arti.
Bella mengindahkan Firdaus selama lunch ini. Setiap pertanyaan ataupun cerita yang keluar dari mulut pria itu, Bella hanya menyahut dengan 'hm' atau anggukan, sering pula dicuekinnya saja.
Sebenarnya Bella cukup nyambung dengan apa yang diceritakan Firdaus, hanya saja ia sedang kurang mood meladeninya. Lebih baik energinya disimpan untuk menarik customer.
Selesai makan, Bell mengacungkan tangannya. “Bill-nya, Mbak.”
Pelayan itu bergegas menghampirinya. “Sudah dibayar, Mbak.”
Kening Bella mengkerut. “Siapa yang bayar? Saya nggak ngerasa sudah bayar, lho.”
“Sama Bapak ini,” jawab pelayan itu menunjuk sopan ke arah Firdaus, kemudian segera pergi. Dia tidak mau ikut campur akan masalah dua orang itu.
Setelah memandang sinis Firdaus, Bella bergegas membuka dompetnya. “Berapa? Biar saya ganti,” tanyanya ketus.
“Nggak usah,” tolak Firdaus. Dimatikannya asap rokok di asbak. Sudah satu batang yang ia habiskan selama duduk di sini. Lantas, beranjak pergi sebelum Bella sempat menyahutnya.
Bella nggak mengejar Firdaus pada saat itu, tapi ketika kembali ke pameran, hendak dihampirinya Firdaus. Namun, lelaki itu tengah bercakap-cakap dengam customer. Tak lama dia juga sibuk dan melupakan hutangnya pada Firdaus.
Jam lima sore, Bella berdiri di depan pintu mall. Sudah waktunya pulang. Dia memang bisa menyetir tapi bukan berarti memiliki mobil. Satu-satunya kendaraan di rumah adalah motor matic yang dipakai ayahnya bekerja. Jadi, sore ini dia menunggu angkutan umum lewat.
“Nah, itu dia.” Bella mengenali dengan mudah angkutan warna tosca dengan nomor tiga belas, arah ke rumahnya, dari kejauhan.
Baru saja melewati anak tangga terakhir sebuah mobil menghadang jalannya.
Kurang ajar, pikirnya.
Kaca pintu mobil menurun, Bella menunggu wajah di baliknya. Dia sudah menyiapkan kata sumpah serapah di ujung lidah. Namun, semuanya kembali tertelan begitu melihat siapa pengemudi mobil itu. Firdaus?!
“Kamu mau aku antar pulang?”
Bella melirik angkutan umum, yang mulai mendekat.
“Anggap saja hutangmu lunas kalau aku antar pulang,” imbuh Firdaus.
Boleh juga, sih kalau naik mobilnya, pikir Bella. Lebih nyaman, nggak panas-panasan, ngga berisik, terus nggak lama ngetem juga. Lantas, dia masuk ke mobil seolah itu mobilnya sendiri.
“Maaf, Kak?”
Firdaus menggeleng. “Panggil saja aku, Mas. Ibuku orang Jogja, Ayahku memang keturunan Arab. Aku lebih suka kalau kamu memanggilku Mas.”
Bella menegak air ludahnya seraya menjepit sebahagian rambut di telinga. Lalu, melihat ke arah jalan. Tidak tahu apa yang harus diperbincangkan. Jadi, mereka hanya terdiam selama perjalanan ini.
“Jadi, rumahmu tepat di depan showroom mobil?” tanga Firdaus sambil melihat ke arah tempat Bella bekerja.
Bella mengangguk pelan. “Saya turun dulu, Mas. Terima kasih tumpangannya.”
Firdaus mengangguk. Dipersilakannya Bella keluar mobil. Lantas, menurunkan kaca mobil.
“Hati-hati, ya, Cantik,” ucapnya diiringi senyuman lebar.
Perpisahan mereka biasa saja saat Firdaus menurunkannya di ujung gang. Tapi, entah kenapa senyuman manis Firdaus sebelum pintu tertutup itu terngiang di ingatan Bella.
~
Bella bolak-balik di atas kasur. Membuat heran sang ibunda yang tengah berusaha menidurkan cucunya. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Bella yang kekanak-kanakan itu.
Keesokan harinya, Bella celingak-celinguk mencari keberadaan pria itu. Tapi, wajahnya nggak juga tampak. Tak hilang akal, ibu satu anak ini diam-diam mengambil brosur berisikan nomor telepon Firdaus.
“Ini Firdaus, sales itu kan? Apa kabar? Sehat, kan? Kenapa sampai hari terakhir nggak ada di pameran?”
Balasan yang diterima Bella cukup mengejutkan.
“Maaf. Ini siapa ya?”
Ah, iya. Dia nggak punya nomor hape gue. Kemaren,’kan nggak tukeran, kata benaknya merasa malu.
[Ini Bella, Mas. Yang satu pameran dengan, Mas. Sudah ingat?]
Cukup lama Bella menerima balasannya, hampir satu jam. Entah apa yang tengah dilakukan pria itu.
[Oh, Bella. Iya. Masih ingat, kok. Kenapa, Bel?]
Sembari menggigit bibirnya, Bella tidak menahan muka mengirimkan balasan ini, [Besok bisa makan siang bareng?]
[Besok? Baiklah. Nanti aku info lagi, ya.]
Bella tersenyum senang. Firdaus berhasil ia pancing.
Sambil menunggu konsumen, Bella memainkan gawainya. Membuka medsos. Sebuah ide terlintas.
“Kemarin Mas Firdaus bilang namanya Muhammad Firdaus Al-Attar.” Iseng-iseng Bella ketikkan nama itu di pencarian medsosnya. Ah, ada! Bersemangat ia membuka profil foto pria yang dirindukannya itu.
Mata besar Bella membelalak, kaget. Tangannya bergetar, lantas mengscroll terus seolah tak mau menerima kenyataan. Dia scroll lagi bolak-balik layar gawainya. Lantas, berhenti karena sadar apa yang terpampang di layar ini adalah benar.
‘Wait! Dia sudah punya istri?!’
Layar gawai Bella menampilkan foto Iman merangkul seorang wanita bermata sipit, kulitnya seputih pualam, tatapannya teduh namun tegas, dan berambut blonde. Di tengah mereka seorang gadis cilik tersenyum lebar. Senyuman yang begitu mirip dengan milik Firdaus.
‘Kenapa pria beristri seperti dia harus begitu menggoda, sih?!’
Bab 5. Kesempatan Tak Datang Dua Kali
“Firdaus gila, nih,” tuding Eko seenaknya. Suara seraknya membahana di meeting room, yang hanya berisikan dirinya, Firdaus, serta, Affan.
Mereka tengah menunggu rekan lain berkumpul di ruangan ini. Ada meeting dadakan dari Eko.
“Gila kenapa?” tanya Affan karena tidak mengerti apa yang tengah atasannya itu bicarakan.
“Dia deketin Bella,” jawab Eko bersemangat.
Affan masih mengernyitkan keningnya. Bingung. “Bella siapa, nih?!” Nada suaranya cukup tinggi.
Tergurat rasa tidak suka jika Firdaus mendekati wanita lain. Bukan karena ia suka sama rekan kerjanya itu, tapi karena cukup mengenal istri Firdaus. Mereka satu fakultas walaupun berbeda jurusan.
Kalau benar Firdaus memiliki wanita lain, Affan akan sangat merasa bersalah jika menutupi hubungan itu. Ia merasa ikut menjadi pengkhianat, dan Affan benci akan hal itu.
“Nggak. Aku cuma penasaran aja seperti apa Debi itu,” jawab Firdaus santai. Seringai meremehkan juga melengkapi pernyataannya. Seolah mengatakan kalau tidak mungkinlah dia suka sama seorang sekelas Bella —yang dicap wanita murahan.
“Jadi, seperti apa dia menurutmu?” tanya Eko penasaran.
“Biasa saja. Sok punya harga diri tinggi, mungkin untuk nutupin sifat manjanya. Suaranya agak manja mendesah gimana gitu,” jawab Firdaus. Ia mencoba mengingat rupa Bella, namun yang terlintas malah kemolekan wanita itu.
“Hold on. Alon-alon,” mohon Affan. “Ini ngomongin Bella SPG kompetitor itu?”
“Iya, Bambang,” jawab Eko kesal. “Kemana aja, sih pikirannya?” dumelnya bergumam.
Mata Affan membelalak ke arah Iman. “Tapi, beneran kau cuma penasaran, kan?”
“Ya, iyalah. Kalau serius, sudah kuminta nomor hape-nya dari kemarin,” timpal Firdaus bersikeras.
Sejurus kemudian, rekan kerja mereka mulai berdatangan. Affan bergegas duduk di kursi belakang, sementara Firdaus memilih tetap di tempat duduknya sekarang ini.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, seperti suara celupan air. “Sorry,” ucapnya singkat ke arah Eko. Dia tahu suara sekecil apapun akan mengganggu suasana meeting.
Dia ubah suara panggilan dan notifikasi menjadi getar, lalu membuka Chat yang masuk.
[Ini Firdaus, sales itu, kan? Apa kabar? Sehat, kan? Kenapa sampai hari terakhir nggak ada di pameran?]
Kening Firdaus berkerut. Siapa ini? Kenapa ingin tahu sekali keberadaannya saat ini? Pentingkah? Kenal nomornya juga tidak, pikir lelaki berumur tiga puluh tahun itu.
[Maaf, ini siapa, ya?]
Selesai mengetikkan balasan, Firdaus kembali memerhatikan Eko menerangkan pencapaian sales mereka yang baru tiga puluh persen bulan ini. Padahal, akhir bulan tinggal dua minggu lagi.
[Ini Bella, Mas. Yang satu pameran dengan Mas. Sudah ingat?]
Ow! Kaget benak Iman mengetahui siapa yang mengirimkan chat ini. Ia tidak menyangka kalau Bella cukup berani menghubunginya duluan.
Seiring kepalanya kembali tegak, muncullah seringai di sudut bibirnya. Sebagai seorang pria ada kebanggaan tersendiri dalam benak jika ada wanita mengejar-ngejar dirinya.
Firdaus cukup piawai. Dia mengerti strategi menggaet wanita. Bukan hanya Bella yang dekat dengannya. Ada beberapa gadis lain sebelumnya. Jika mengingat mereka, terbersit sedikit kerinduan di benak untuk menikmati keasyikan pacaran diam-diam itu.
‘Nanti saja aku balas chat Bella. Biar dia penasaran,’ cetus batin Firdaus licik.
Hampir satu jam berlalu, meeting ini belum juga kunjung selesai. Firdaus kembali menunduk, mengetik di layar gawainya.
[Oh, Bella. Iya. Masih ingat, kok. Ada apa, Bel?]
Balasnya sok nggak tahu tujuan chat itu.
Cukup cepat balasan yang Firdaus terima.
[Besok bisa makan siang bareng?]
Firdaus mendesis. ‘Sungguh wanita yang berterus terang,’ pujinya salut. ‘Atau, terlalu terburu-buru?’ lanjut benaknya meragu.
[Besok? Baiklah. Nanti aku info lagi, ya.]
Firdaus terlihat puas setelah mengirimkan balasan itu. Mengiyakan tapi juga tidak memberi kepastian. Agak jual mahal dikit, lah supaya Bella kian penasaran.
Besoknya, jam satu siang sesuai janji, Bella dan Firdaus bertemu di tempat yang sama dengan mereka makan siang tempo hari.
Firdaus sengaja datang terlambat, tak mau terlihat tertarik dengan janji ini.
Sementara itu, Bella duduk dengan gelisah di sofa empuk itu. Sesekali ia memanjangkan leher menatap pintu masuk foodcourt, namun tak terlihat juga sosok yang ditunggu.
Dia sampai kebawa mimpi semalam, dinner bareng lelaki beristri dan beranak dua itu. Ya, Bella tidaklah lupa akan status lelaki itu. Dia akan mengkonfirmasinya langsung dengan Firdaus.
Tatkala Bella menoleh ke pintu masuk foodcourt, dilihatnya sosok Firdaus baru hendak masuk. Ia pun langsung membuang muka. Berpura-pura tidak tahu kedatangan pria itu. Ditatanya sedemikian rupa detak jantungnya yang menggila.
Sedangkan Firdaus bisa langsung menemukan sosok Bella dari kejauhan. Seragam kantor membalut ketat raga wanita seksi itu.
“Hai, sudah lama?” tanya Firdaus sok santai, seraya duduk di sofa hadapan Bella.
“Nggak. Baru sampai, kok,” bohong Bella. Padahal, ya, sudah satu jam dia duduk seorang diri di sini. Lihat aja ice lemon tea-nya sudah tinggal setengah.
Bella biarkan Firdaus memesan makanan sebelum diinterogasinya.
“Ada apa kamu mau ketemu sama aku?” tanya Firdaus belagak pilon. Namun, ia sulit untuk menyembunyikan senyum penuh kemenangan itu.
Bella meraih gawainya. Dibukanya medsos pria itu. Lantas, didorongnya pelan gawai ke arah Firdaus. “Ini, Mas, kan?”
Firdaus melongok, mencondongkan bahunya ke depan. ‘Gercep juga dia. Langsung kepoin medsosku.’
Firdaus kembali menempelkan punggungnya ke sofa. “Iya. Memangnya kenapa?” Tidak ada gunanya juga ia berbohong, apalagi mengelak. Bukti sudah di depan mata.
“Mas sudah beristri juga punya anak, tapi masih deketin aku?” tanya Bella. Ditahan emosinya agar tidak tersirat kalau ia sempat mengharap.
Firdaus terkekeh, lantas tertawa terbahak-bahak.
Dengan kening mengernyit, Bella mengumpat lewat tatapan matanya. ‘Kenapa dia malah ketawa begini, sih?! Dia mempermainkanku?’
“Sorry, sorry.” Firdaus berusaha mengatur sikapnya. Tawanya mulai terhenti. “Aku merasa lucu saja dengan pertanyaanmu barusan. Memangnya selama ini kamu main sama perjaka? Tidak, kan? Mereka juga orang-orang yang punya keluarga di rumah.”
Mendadak tenggorokan Bella terasa sakit. Dia bagai meneguk batu kerikil padahal kenyataannya hanya air ludah biasa.
“Kamu nggak usah mengelak. Semua orang sudah tahu tentang sepak terjangmu,” imbuh Firdaus saat dilihatnya Bella menarik napas, bersiap mengeluarkan pembelaan.
Bella buang muka seraya melipat kedua tangan di dada. “Terus? Kamu sengaja mendekatiku?”
“Kenapa? Tidak boleh?” tantang Firdaus.
Bella terdiam. Dia tahu betul jawabannya akan menjadi penentu masa depannya kelak.
“Aku terserah padamu. Bukan berarti aku menganggapmu murahan, tapi memang begitu kan kenyataan yang ada?”
Ditariknya napas perlahan, berusaha dijernihkannya otak untuk sesaat. Lantas, dihempasnya cukup pelan.
“Mas tidak masalah dengan itu?” tanya Bella hati-hati sekaligus mengharap.
Firdaus mendelik. “Sama sekali tidak.”
“Baiklah. Setidaknya aku akan mencoba hubungan ini daripada penasaran,” jawab Bella kemudian.
Masa bodohlah apa yang terjadi ke depan. Masa bodoh juga dengan harga diri, toh ia tak punya itu. Pokoknya sekarang ia ingin tahu perasaan apa yang mengganggu benaknya ini. Betulkah kalau ini jatuh cinta? Sudah lama sekali ia tak mengalaminya, sudah lupa akan rasanya.
Firdaus menyeruput espresso-nya seraya melirik Bella. Tatapan matanya turun ke bawah, ke bagian dada. ‘Kesempatan itu akan datang,’ ujar benaknya menasehati agar bersabar sebentar lagi.
Semenjak hari itu, Bella dan Firdaus lebih intens bertemu. Mereka saling melepaskan birahi di mana saja. Kadang mereka berkeliling kota hingga ke tempat sepi hanya untuk mengusir rasa haus kerinduan. Ya, mobil inilah saksi biksu akan keganasan mereka saat bergerumul di dalamnya.
Bella tidak pernah merasakan hasrat menggebu-gebu dari seorang pria seperti Firdaus ini. Apa ini karena lelaki itu keturunan Arab, nikmatnya sungguh luar biasa. Membuatnya kecanduan setiap hari.
Sementara itu, penjualan Bella jelas menurun karena tidak lagi bisa ditiduri customernya. Begitu juga dengan Firdaus, terlalu sibuk pergi berdua selingkuhannya hingga hilang fokus menyelesaikan target.
Gawai Firdaus berbunyi malam itu. Seperti bunyi celupan air. Dua kali. Tapi, itu berhasil membuat ia terbangun.
Sebelum membuka chat, dilihatnya jam menunjukkan pukul satu dini hari. Walaupun mengantuk, tetap saja ia melihat chat yang masuk. Dari Bella.
[Mas, aku rindu. Aku iri pada istrimu yang bisa tidur di sisimu. Aku juga ingin tidur semalaman berdua hanya dengan Mas.]
Firdaus tersenyum. Diliriknya sang istri di sebelahnya yang masih tidur. Lantas, bangkit perlahan. Sekuat tenaga diusahakannya supaya derap kaki telanjangnya tidak menimbulkan suara.
Tempat yang Firdaus tuju adalah garasi. Garasinya terbuka berada di depan rumah. Di sekat sebelah ada mobil kijang lama milik istrinya, ah lebih tepatnya milik mertuanya. Sekedar info, mereka masih satu rumah dengan orang tua istrinya.
Firdaus masuk ke dalam mobil. Dinyalakannya mobil, supaya bisa menikmati pendingin udara. Dibukanya sekitar satu centi kaca pintu, supaya kabin minim gas CO2 serta udara tidak pengap.
Butuh lima menit ia berada di posisi ini. Rumah mertuanya memang cukup besar.
Tidak menunggu lebih lama lagi, Firdaus segera saja menghubungi Bella.
Hanya dua kali nada tunggu, panggilannya langsung disambut mesra Bella. “Mas,” lirihnya manja.
“Mas juga rindu padamu, Sayang,” ucap Firdaus lembut.
“Kapan kita bisa tidur malam bersama. Aku juga ingin tidur sambil memeluk Mas sampai pagi,” rengek Bella. Masih diunggulkannya gaya bicara manja itu.
“Sabar, Saya…”
Tok-tok-tok. Terdengar ketokan di kaca mobil, tepat di sisi kanan Firdaus.
Refleks, Firdaus menoleh. Matanya membelalak melihat siapa yang ada di luar.
Jenisha, istrinya!
Bersambung...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
