SILENT HARVEST 1. La Figlia

0
0
Deskripsi

"Ayahmu dulu tidak pernah datang ke sini tanpa jas," gumam suara berat di belakangku.

Aku tidak menoleh. "Aku bukan ayahku."

Pria tua itu diam, tapi senyumnya terdengar dalam nada suaranya. "Tapi darahnya mengalir di tubuhmu."

BAB 1 - La Figlia

Nivora selalu tampak lebih tenang saat hujan turun. Seolah kota itu mencoba mencuci dosa-dosanya sendiri. Tapi orang-orang yang tinggal di dalamnya tahu, air tak pernah cukup untuk menghapus darah yang tertanam dalam batu-batu jalanan ini.

Kota ini dibangun di atas kebohongan dan transaksi gelap. Di atas janji-janji yang diucapkan dengan suara pelan dan dibayar dengan nyawa. Di atas lembar-lembar catatan medis yang tak pernah sampai ke rumah sakit, dan organ-organ yang berpindah tangan lebih cepat dari yang bisa dideteksi oleh hukum.

Dan di tengah semua itu, berdirilah satu nama.

Orang-orang mengenalnya sebagai pedagang daging di Pasar Timur. Seorang duda dengan anak perempuan tunggal. Tidak terlalu ramah, tapi tidak berbahaya. Membawa pulang kantong belanjaan setiap sore, memasak sendiri, menyiram tanaman. Tak pernah berurusan dengan polisi, tak pernah berteriak pada tetangga, tak pernah lupa mengantar anaknya ke sekolah waktu kecil.

Namun di ruang-ruang yang lebih gelap dari hukum, dia adalah seseorang yang berbeda.

Ia tidak sekadar menguasai perdagangan organ. Ia mengatur ritme. Siapa yang mendapatkan hati. Siapa yang harus menunggu ginjal. Siapa yang bisa diselamatkan dan siapa yang harus dibiarkan mati demi pasokan tetap stabil. Ia bukan pedagang. Ia sistem itu sendiri.

Dan ketika ia mati, sistem itu tidak bubar.

Tidak ada kabar bahwa para kaki tangan ayahku membakar dokumen, menghilang ke luar negeri, atau membubarkan diri. Tidak. Mereka diam. Menunggu. Seperti serigala yang mengelilingi hutan tua yang kehilangan rajanya. Menunggu bau darah pemimpin baru.

Mereka menoleh padaku.

Aku tidak tumbuh dalam dunia ini. Tidak menginjakkan kaki di pasar gelap. Tidak diajak ke gudang-gudang rahasia. Tapi mereka tahu siapa aku. Mereka tahu darah yang mengalir dalam tubuhku.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menoleh balik.

Aku turun dari dunia yang terang. Menyusuri lorong-lorong bawah tanah yang dulu tersembunyi dari mataku. Menapaki jalur yang ayahku rancang tapi tidak pernah perlihatkan padaku.

Dan aku menemukan bahwa kekuasaan tidak diwariskan dengan surat wasiat.

Ia harus diambil.

Langkah-langkahku bergema pelan di koridor batu yang lembap, menyusuri ruang bawah tanah yang tak pernah aku tahu ada di bawah rumah tua peninggalan ayahku.

Lampu-lampu gantung berayun pelan, menciptakan bayangan panjang di dinding. Di setiap tikungan, ada mata yang mengawasiku—dari balik pintu, dari celah dinding, dari tubuh-tubuh bisu yang memakai setelan hitam dan membawa pistol seperti perpanjangan tangan.

"Ayahmu dulu tidak pernah datang ke sini tanpa jas," gumam suara berat di belakangku.

Aku tidak menoleh. "Aku bukan ayahku."

Pria tua itu diam, tapi senyumnya terdengar dalam nada suaranya. "Tapi darahnya mengalir di tubuhmu."

Namanya Carlo. Tangan kanan ayahku. Dahulu algojo, kini penasihat. Dulu ia membungkuk pada sang Raja Pasar. Kini ia berjalan sejajar denganku—walau matanya masih menimbang, masih bertanya apakah perempuan muda ini cukup tajam untuk memimpin, atau hanya bayangan kabur dari lelaki yang sudah mati.

Kami berhenti di depan pintu baja berkarat. Carlo mengetuk dua kali, lalu memutar engsel tua yang menderit saat dibuka.

Ruangan itu kosong, selain meja panjang dan sebuah kursi yang menghadap tembok. Di atas meja, tumpukan berkas tua. Kontrak. Daftar nama. Harga. Organ.

Dan di paling atas—foto seorang pria muda berseragam putih.

"Ayahmu menyuruh kami mencari pengganti segera. Kita tidak bisa berhenti. Permintaan terlalu tinggi," kata Carlo pelan, nyaris seperti bisikan doa.

Aku memandangi foto itu. Mataku dingin. Tapi tanganku sempat gemetar—hanya sebentar, lalu tenang kembali.

Aku duduk di kursi ayahku. Tidak terlalu empuk. Tidak terlalu nyaman. Tapi cukup kokoh untuk menampung beban yang baru saja diwariskan.

"Aku ingin semua catatan dari 'dokter lama'. Hari ini juga."

Carlo mengangguk. "Dan anak ini?"

Aku menoleh sekali lagi ke foto itu.

"Bawa dia ke ruang kaca. Aku ingin melihat matanya sebelum dia melihat pisaunya."

Setelah memberi perintah pada Carlo, aku membiarkan dirinya menghilang ke dalam bayang-bayang lorong yang lebih gelap. Suara langkahnya menghilang dengan cepat, meninggalkanku di ruangan ini yang kini terasa begitu sepi dan penuh dengan beban yang belum aku pahami sepenuhnya.

Aku menatap ruangan di sekelilingku. Setiap detilnya menyampaikan pesan yang tak bisa diabaikan—meja yang sederhana, kursi yang sudah sedikit rusak, dan berkas-berkas yang berserakan, semuanya membawa beban dari masa lalu yang penuh dengan kegelapan. Tapi aku tidak bisa terjebak dalam bayang-bayang itu. Aku tahu, aku harus menguasai ruang ini, menguasai segala sesuatu yang ada di dalamnya.

Aku berdiri dari kursi yang terasa terlalu berat untuk diduduki oleh siapa pun yang baru memasuki dunia ini. Langkahku mantap saat aku berjalan keluar dari ruang itu, menjelajahi bagian-bagian lain dari kompleks bawah tanah ini.

Ruangan demi ruangan terbuka di depanku. Ada ruang dengan rak-rak yang penuh dengan botol-botol kecil berisi cairan berwarna-warni. Semua ini, barang-barang yang tak pernah aku ketahui keberadaannya, kini menjadi bagian dari dunia yang harus aku pahami. Di sudut lain, ada ruang yang lebih besar, dengan meja-meja panjang yang penuh dengan dokumen-dokumen yang tampaknya belum sempat dibaca, atau mungkin tidak pernah dimaksudkan untuk dibaca. Semua ini adalah sistem yang berputar, berfungsi dengan cara yang hanya dipahami oleh mereka yang ada di puncaknya.

Aku menatap dinding yang penuh dengan foto-foto lama. Mereka adalah orang-orang yang pernah berada di dalam sistem ini—dengan mata yang kosong, wajah yang dipenuhi dengan rahasia-rahasia yang lebih kelam daripada yang bisa aku bayangkan. Ada banyak nama yang tertulis di bawah foto-foto itu, beberapa di antaranya aku kenali, beberapa lainnya bahkan lebih asing dari nama yang pernah terdengar di telingaku. Mereka adalah bagian dari rantai yang membentuk apa yang telah ayahku bangun. Dan sekarang, mereka adalah bagian dari dunia yang harus aku kelola.

Aku berhenti di depan sebuah rak yang menyimpan berbagai jenis alat medis. Beberapa tampak biasa, namun ada yang terlihat jauh lebih canggih. Mesin yang tak pernah aku lihat sebelumnya, benda-benda yang tampaknya dirancang untuk tujuan-tujuan yang tidak seharusnya diketahui oleh orang luar. Tanpa berpikir panjang, aku meraih salah satu alat tersebut. Rasa dingin dari logamnya memberi perasaan yang aneh—seolah mengingatkan aku pada realitas baru yang sedang aku masuki. Ini bukan dunia yang bisa aku abaikan, dan aku tidak bisa lagi berpura-pura.

Setelah beberapa saat, aku kembali ke meja tempat berkas-berkas itu tergeletak. Di atasnya, aku menemukan sebuah folder dengan label yang sudah pudar. Aku membuka halaman pertama, dan di sana tertulis nama-nama pasien yang sudah lama tidak terdengar kabarnya. Ada angka-angka yang menunjukkan jumlah yang dibayar untuk organ, tanggal-tanggal yang menunjukkan transaksi yang telah terjadi.

Aku menghela nafas dan menutup folder itu. Ini bukan hanya tentang kekuasaan. Ini lebih dari itu. Ini adalah tentang sistem yang sudah berjalan begitu lama, begitu terjalin erat, bahwa bahkan orang-orang yang tidak tahu menahu tentangnya pun terjebak di dalamnya, menjadi bagian dari permainan yang lebih besar daripada yang bisa mereka bayangkan.

Di luar sana, terdengar langkah kaki berjalan mendekat ke arah ruanganku. Ruangan ini, ruang yang dulu hanya milik ayahku, kini menjadi ruang yang akan aku kendalikan. Semua ini adalah bagian dari proses yang harus aku jalani, karena kekuasaan tidak akan pernah datang begitu saja. Ia harus diambil. Dan aku siap untuk mengambilnya.

"Dia sudah ada di ruang kaca."


 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya SILENT HARVEST 2. Ruang Kaca
0
0
Apa yang kalian inginkan dariku? tanyanya akhirnya.Keahlianmu. Tanganmu. Dan diam-mu, kataku tenang. Kau tidak akan menyentuh siapa pun kecuali atas perintahku. Dan jika kau berpikir bisa keluar dari sini dan melaporkan ini ke polisi atau siapa pun... percayalah, kau akan berhenti bernapas sebelum selesai mengetik pesan pertamamu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan