Skandal Cinta Pewaris Kedelapan (Bab 71-73)

0
0
Deskripsi

Nadine ternyata adalah tante Valen sendiri. 

Terhitung sudah jauh hubungannya, ditambah lagi turunan selir kesekian. Tidak ada halangan apa pun bila Valen berniat kembali pada Nadine. 

Bernard sendiri menyadari hal itu. Dia bahkan secara terang-terangan mendukung Valen meresmikan hubungan dengan Nadine, agar jangan sampai keduluan Alexander. 

Kini tidak hanya Valen yang kebingungan dengan perubahan sikap Bernard, tapi juga Nadine, sebagai sosok yang ‘terlupakan’ oleh keluarga besar. ...

71 - Kumbang dan Bunga

Nadine si mantan PSK yang pernah 'dilepeh' oleh Bernard itu kini justru diundang dengan penuh kehangatan .... Nadine tekekeh miris. 

Seandainya saja ... Bernard tidak berbuat sekeras itu pada Valen dan mengizinkannya berhubungan dengan Nadine.

Seandainya saja ... Nadine bukan seorang mantan PSK.

Seandainya saja ... Nadine tahu dari awal bahwa ia memiliki banyak kerabat yang bisa diandalkan dan bersedia membantunya melewati kesulitan. Ia tidak akan terlunta di jalanan, tidak akan menggadaikan harga dirinya demi beberapa lembar uang.

Seandainya saja begini, seandainya saja begitu. Begitu banyak perandaian tak terwujud yang memenuhi isi kepala Nadine, menambah rasa kesal dalam dada. Ia sadar tidak pantas menyalahkan siapa pun, namun pada siapa lagi ia bisa melampiaskan kekesalan itu? 

Nadine tidak fokus mendengar saat Bernard mengajak semua orang untuk santap siang, pikirannya masih dipenuhi perandaian menyakitkan.

Sudahlah, ujar Nadine dalam hati sambil melengos pelan. Dipikir terus-terusan gue makin pusing .... Seperti kata Mas Narendra, ya sudah, belajar legowo. Terima keadaan dengan lapang dada dan yakinlah bahwa my happiness is on its way. 

"Mama?" Vicky, remaja berwajah mirip Nadine mengguncang lengan ibunya. "Kok melamun?" tanyanya.

"Eh." Nadine menguasai kesadarannya kembali. "Nggak kok, Mama nggak sedang melamun," kilahnya. 

"Apa yang kamu lamunkan, Dik?" Bernard tahu-tahu sudah di samping Nadine dan Vicky, lalu merangkul mereka. "Ayo, makan. Saya siapkan banyak makanan enak spesial untuk kalian, lho," katanya lagi sambil menuntun Nadine dan Vicky ke ruang jamuan makan. Di sana telah tertata banyak meja bertaplak dengan beragam sajian makanan yang terlihat menggiurkan. "Silakan dinikmati, ambil sepuasnya, ya. Atau biar saya ambilkan? Kamu suka makan apa? Vicky suka makan apa?"

Nadine tergesa menolak, "Oh. Nggak perlu, Bernard, biar aku dan Vicky ambil sendiri ...."

Sementara itu di ujung ruangan, Valen duduk diam, kedua sikunya bertelekan pada lutut, menyaksikan betapa hangatnya tuan rumah melayani tamunya. Pria yang kerap memasang wajah bengis sehari-hari itu kini terlihat santai, terbuka, penuh senyum. Valen berdecak.

That old man bener-bener bikin gue nggak habis pikir, batin Valen. Kenapa sekarang jadi hangat begitu? Karena baru bertemu sepupunya? Atau lantaran sepupunya itu cantik? Seandainya Nadine bukan sepupunya, gue yakin mana mungkin orang tua itu bakalan bersikap sehangat itu. Terlebih masa lalu Nadine yang seperti itu. 

Lagi-lagi Valen berdecak keras.

Semua ini gara-gara dia. Kenapa nggak dari awal dia tahu kalau yang bersama dengan gue adalah sepupunya sendiri? Kenapa harus label mantan PSK yang dia tekankan, maksa gue untuk mengakhiri semuanya dengan Nadine? Sekarang semuanya udah berakhir, lalu kejadiannya malah seperti ini. 

Obyek dalam pandangannya itu terlihat tengah menikmati sepiring kecil dimsum, di sebelahnya, Vicky, juga tengah mengonsumsi sajian yang sama. Andrew terlihat mendekati mereka berdua dan mulai mengajak ngobrol. Sementara tak jauh dari situ, Bernard tengah bercengkrama santai dengan Narendra dan keluarganya. 

Hawa kehadiran seseorang terasa mendekat, dari ujung mata Valen menangkap sosok Xander menghampirinya. Pria yang lebih tua lima tahun darinya itu mengempaskan bobotnya di dekat Valen, menyisakan satu space kosong di antara keduanya. 

Xander tidak membuka percakapan. Demikian pula dengan Valen, tampak tidak berminat melontarkan apa pun pada sang sepupu. Valen masih belum puas memandangi Nadine dari kejauhan. 

Oh. Rupanya wanita itu sedang sendirian kali ini, Andrew sudah tidak terlihat lagi di sana. Tapi itu tidak berlangsung lama. Sonny, Michael dan Franco terlihat kompak mendekat dan menemani Nadine, berlomba merebut perhatiannya. Antonio juga tidak mau ketinggalan, rupanya, dia ikut menimbrung dalam obrolan. Para pejantan Ghandy sungguh sangat efisien, tidak pernah membuang waktu. 

Decakan Valen semakin kencang. Bukannya berbuat sesuatu, dia malah terus saja menonton, dan malah larut dalam kekesalan yang tak berujung.

"Para kumbang sedang mengerubungi bunga," komentar Xander datar. 

Valen tidak merasa perlu menanggapi komentar tersebut. 

"Nih." Tahu-tahu Fredo berdiri di hadapan mereka berdua, mengulurkan sepiring puding pada Valen, sepiring lagi pada Xander. 

Valen menerima puding meski bingung. Matanya lekat menempel pada gerak tubuh Fredo yang mengambil tempat di tengah dirinya dan Xander, duduk santai menyilangkan kaki.

"Apa ini, Frederico?" Xander bertanya.

"Puding."

Xander mendengus. "Siapa pun tahu ini puding. Maksudnya, apa ini, kenapa lu sengaja bawain puding?"

"Supaya kelihatannya lu berdua ikut makan, meski cuma puding," jawab Fredo kalem. Jeda cukup lama, sebelum kemudian Fredo melontarkan beberapa patah kata yang menohok. "Lu berdua galauin Nadine, kan?" 

Valen tersentak, tidak menjawab.

Sementara Xander tertawa ringan. "Incorrect," sangkalnya. "Nggak pernah ada kata galau dalam kamus gue."

"Oh. Masaaa?" ledek Fredo.

"Apa inti obrolan lu ini, Ko Fredo?" Ada seulas nada gusar dalam pertanyaan Valen.

Fredo terbahak. "Nggak ada inti. Cuma gemes aja sama lu berdua yang cuma bisa diam-diaman sambil ngeliatin Nadine dari kejauhan. Nadinenya dikerubungi cowok, terus kesel sendiri!" ujarnya meledek. 

"Ya emang mau ngapain? Cegah kumbang beterbangan di sekitar bunga?" sahut Valen malas.

"Cegahlah kalau memang perlu. Dari pada keburu direbut yang lain," balas Fredo.

Valen melengos. "Para kumbang akan berdalih, sedang berusaha menjalin hubungan baik dengan tante mereka ... gue nggak ada alasan cegah mereka ngobrol, yang ada malah gue digas balik," jawabnya.

"Benar juga." Fredo mengangguk-angguk, tampak seperti telah paham, namun seringai di wajahnya menunjukkan bahwa dia sebenarnya hanya sekedar menggoda Valen.

"Sedang senggang banget ya, Ko? Usil bener," ujar Valen.

"Gue sih udah dengar rumornya tentang lu berdua dan Nadine," balas Fredo, melirik dua saudara di kiri kanannya bergantian. "Jadi pengen konfirmasi bener apa nggak. Sejauh apa perseteruan itu?"

"Rumor apa?" tanya Xander.

"Alexander dan Valentino sama-sama kepincut dengan janda beranak satu, yang sayangnya, pernah terjerumus dalam bisnis ilegal. Yang, turns out she is your own aunty! Bersyukurlah si aunty ini udah jauh hubungan darahnya dengan kalian ... which means, bisa banget kalau mau diseriusin. Meski si aunty sendiri juga abu-abu nih, kelihatannya cocok dengan Xander, tapi dengan Valen pun serasi! Kenapa kalian nggak gontok-gontokan aja sekarang? Berantem, gih! Jangan lupa, sepakati dulu, bahwa siapa pun yang menang, boleh dekati Nadine tanpa perlu takut ditikung!" Fredo terlihat berapi-api mengutarakan maksud.

Valen memutar bola mata. Rasanya enggan bila harus baku hantam.

Sementara Xander terkekeh, mencemooh. "Maaf ya, Fredo, ada beberapa hal yang harus gue luruskan. Pertama, gue nggak kepincut dengan wanita satu ini. Nggak, kalau maksud lu adalah gue punya hati padanya, gue tegaskan, nggak. Tapi kalau ternyata maksud kepincut adalah gue memiliki niat bersenang-senang dengannya, murni urusan lain, bukan hati, maka akan gue jawab 'ya'. Kedua, gue nggak ada maksud seriusin apa pun dengannya. Seperti yang baru gue bilang, urusan gue dengan dia adalah urusan lain, bukan urusan hati. Ketiga, gue nggak tertarik berantem dengan Valen. Selain dia bakal rubuh dalam sekali pukul, gue juga nggak mau rusak suasana dan bikin banyak orang malah nanti salah paham dengan gue. Kalian bakal berpikir kalau gue punya hati pada Nadine, padahal nggak, karena gue itu bener-bener murni nggak-"

"Nggak punya hati," potong Fredo menyambung pernyataan Xander. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya maklum. "Bebas, kalau lu kukuh menampilkan sisi diri lu yang heartless, Xan, tapi sesungguhnya hanya lu yang tahu apa yang menyita pikiran lu. Dan gue yakin, yang menyita pikiran lu kali ini nggak lain adalah Nadine."

"Yaa terserah anggapan lu apa," sahut Xander.

"Hey, Xan, seenaknya aja lu bilang gue bakal rubuh dalam sekali pukul!" protes Valen. "Mau bukti? Ayo!"

Xander menggeleng. "Better jangan, dari pada nanti omongan gue terbukti," ledeknya.

"Sialan!"

Fredo terkekeh geli. "Kalian capek-capek berantem, nggak tahunya Nadine malah lebih pilih yang lain. Michael, atau Antonio, misalnya," ujarnya.

"Oh. Nggak bakal gue biarkan ya," tandas Valen cepat.

"Nah. Lihat, terbukti kan, kalau Valen baper banget sama Nadine. Udah nggak usah ragu, deketin sekarang!" desak Fredo.

Valen baru akan menyahut saat sudut matanya menangkap gerak di kejauhan. "Heh. Ssst," desis Valen, dengan gerakan mata dia memberi isyarat.

Ketiganya serentak terdiam begitu obyek yang mereka diskusikan berjalan mendekat.


 

72 - Racun Nikotin

"Hai ...." Nadine menyunggingkan senyum manisnya saat menyapa tiga pria berwajah rupawan itu. "Maaf, mau nanya," ujarnya sungkan.

Fredo bangkit berdiri. "Yes? Bisa dibantu, Tante?" tanyanya ramah.

Nadine terkekeh canggung. "Aduh. Dipanggil tante sama yang lebih tua tuh ... aneh banget rasanya," komentarnya.

"Lho. Om Andrew dan papa saya memerintahkan demikian, kok, supaya panggil kamu tante," kilah Fredo.

"Please." Nadine tampak tidak nyaman. "Panggil nama aja, ya, Fredo," pintanya.

"Begitu? Kalau requestnya begitu sih ... okelah."

Nadine tersenyum lega. 

Sementara itu, masih terus duduk di sofa bench, Valen melirik Xander yang ternyata juga tengah melirik dirinya. Keduanya masih berdiam diri.

"Jadi, ada yang bisa dibantu, Nad?" Fredo mengulang pertanyaannya.

"Euh. Aku belum familiar dengan rumah ini. Rumah sebesar ini ... persis mal begini. Kalau aku mau merokok di mana yah? Kalau bisa tempatnya aman, sepi ... nggak ada bocil berlarian.” Nadine memandangi beberapa cucu Andrew dan Bernard yang sedari tadi aktif bermain dan berlarian, heboh sendiri. “Anak-anak kecil jangan sampai kena asap racun,” imbuhnya.

Fredo tersenyum menanggapi perhatian Nadine. Tentu saja, sebagai wanita yang sudah menjadi ibu tidak mengherankan jika memiliki banyak pertimbangan terkait lingkungan anak-anak di sekitarnya. 

“Smoker juga rupanya,” sahut Fredo.

“Dari tadi aku udah nahan, mulutku asem banget,” sahut Nadine. “Mau nyebat di mana, aku bingung. Atau, mungkin salah satu dari kalian ada yang mau temenin?” Pertanyaan ini bagaikan kode, terlebih mata Nadine lekat menatap Valen dan Xander bergantian, dengan penuh arti.

Bagai dikomando, Valen dan Xander sama-sama langsung bangkit berdiri menanggapi ajakan Nadine. “Biar gue temenin,” ujar mereka nyaris berbarengan.

Nadine takjub memandangi kekompakan Valen maupun Xander, sementara Fredo terkekeh. Kelakuan dua saudara lelakinya kali ini memang menggelitik, terlebih Xander, yang jelas-jelas menolak bahwa dirinya menaruh hati pada Nadine. Namun reaksi pemuda heartless itu sudah cukup menjadi bukti bahwa dia tidak bersedia memberikan jalan untuk Valen mendekati Nadine.

“Sudah. Biar gue yang temani kalian bertiga merokok,” ujar Fredo tegas. “Ditemani satu dari mereka, Nad? Atau dua-duanya? Maaf nih, tapi gue sulit mencegah pikiran gue yang berimajinasi kemana-mana. Jadi, biar aman, ya udah gue yang temani, anggap gue sebagai pengawas,” katanya lagi. 

"Jangan biasakan berpikir kotor," sahut Xander tidak terima dicurigai.

"Sorry, but I can't help it," balas Fredo. "Let me speak frankly, gue merasakan sexual tension yang besar dari aura kalian bertiga."

Pipi Nadine sontak memerah, sementara Valen merasa resah sekaligus canggung.

"Sekarang lu bisa baca aura?" Xander setengah tidak percaya.

"Anggap aja begitu. Jadi nggak? Ayo!" ajak Fredo tak sabar, kakinya mengayun jauh mendahului mereka bertiga, menuju pintu keluar.

Maka mereka berempat, dipandu oleh Fredo, mengambil tempat di pojok belakang halaman rumah Ghandy. 

“Di sini?” Valen bertanya sambil mengerutkan kening. “Nggak panas?”

“Adem, adem. Cobain dulu,” jawab Fredo.

“Iya kelihatannya adem sih, banyak pohon,” bela Nadine. 

Di tempat itu memang banyak pohon tinggi serta tanaman merambat di sekeliling dinding pagar, membuat area tersebut tampak adem, terlindungi dari panasnya sinar matahari yang mulai condong ke arah barat. 

Valen masih berkeras. “Mending di balkon kamar, sih. Tinggal pilih mau kamar siapa.”

“Yea ... sure. Sekalian kunci pintunya, only God knows what you will do,” sahut Fredo sinis.

“Terus? Standing party?” tanya Valen, jelas terdengar masih memprotes tempat nongkrong mereka.

“Duduk tuh di situ.” Fredo menunjuk area di pojokan. Di sana ada beberapa undakan kecil dan pot kosong berukuran besar yang terbuat dari bata dan semen. 

Tanpa menunggu disuruh lagi Xander mencari tempat yang menurutnya nyaman, sementara Valen, meski sedikit misuh-misuh, mencari tempatnya sendiri. Bukan apa-apa, Valen bukannya alergi dengan duduk di tempat seperti itu, dia pernah melalui masa-masa yang jauh lebih mengenaskan, seperti tidur di emperan toko atau di bawah kolong jembatan, dia hanya enggan teringat masa-masa yang ingin dia lupakan selamanya itu. 

Nadine menyapu dedaunan dan ranting kering di atas undakan yang akan ia duduki dengan tangannya. Valen dan Xander mengapit dirinya masing-masing berjarak dua meter, sudah anteng di sana. Undakan yang mereka duduki agak menyerong sedikit ke bawah, sehingga posisi Nadine jadi lebih tinggi dari pada mereka. Baik Valen maupun Xander hanya diam memerhatikan gerak gerik obyek cantik tersebut. Duduk dengan manis dan rapi, mengatur dress brokatnya yang lima senti di atas lutut, lalu menyilangkan kaki tanpa mengekspos kulitnya terlalu banyak. Tentu saja wanita ini sadar ada tiga pasang mata lawan jenis yang tengah memerhatikannya, ia tidak ingin memancing, ia tidak berniat memancing apa pun dari ketiganya. Dengan santai Nadine mengeluarkan sebatang rokok lalu menyulutnya, mengisapnya penuh penghayatan. Begitu racun memenuhi seluruh rongga pernafasannya, Nadine mendesah lega. 

Valen melakukan hal yang sama, demikian pula dengan Xander dan Fredo. Fredo sengaja mengambil tempat agak jauh, lantaran ingin memberikan kebebasan mengobrol bagi para pelaku cinta segitiga itu. Untuk sekian belas menit mereka berempat asyik dengan racun masing-masing, tidak ada yang bersuara.

“Kurang kopi nggak, sih?” Valen membuka obrolan. Tampaknya hanya sekedar mengisap racun masih kurang afdol jika tidak sekalian membasahi kerongkongan dengan minuman hitam tersebut.

“Minta pelayan bikinin, bawa ke sini,” sahut Xander. 

“Lu kopi hitam? Atau kopi susu?” Valen mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik sesuatu di sana. “Nad? Mau minum apa?” tawarnya pada Nadine.

"Mmmm." Nadine hanya bergumam tidak jelas, berpikir. "Es kopi aja, gulanya sedikit," pintanya.

“Gue juga mau dong. Pesenin kopi hitam pekat tanpa gula.” Fredo ikut menimbrung.

“Es kopi susu. Susu gandum atau susu almond ada nggak? Pesenin itu, tanpa gula juga,” ujar Xander.

“Lu berdua anti yang manis-manis?” Valen menyahut sembari terus mengetik di aplikasi pesan. 

“Udah umur, Valen, kurangi yang manis-manis,” jawab Fredo.

Xander bertanya, “Lu emang pesen apa?”

“Kopi susu standar. Manis," jawab Valen santai.

“Lu harus mulai pedulikan yang masuk ke tubuh lu,” saran Xander. “Kurangi yang manis, kurangi garam, karbo, lemak, lain-lain.”

“Hidup udah pahit, masih juga harus minum pahit?”

“Kalau mau yang manis tinggal lihat Nadine,” goda Fredo.

"Apa sih?" balas Nadine, wajahnya tersipu. 

Valen berdecak kagum. "Ko Fredo ternyata piawai juga merayu," pujinya. "Lu mau gabung ikutan jadi fans Nadine?"

Fredo terkekeh. "Nggaklah," jawabnya. "Nanti lu down lantaran kalah saing."

"Heh. Seenaknya ngomong," sahut Valen, merengut.

"So, Nadine," panggil Fredo, berinisiatif membuka percakapan serius lantaran setelah sekian lama tidak juga terjadi obrolan yang dia harapkan dari ketiga orang tersebut. "Gimana, ada komentar apa? Ternyata lu selevel dengan Bernard dan Andrew ... papa dari orang-orang yang dekat sama lu selama ini. Lu adalah tante mereka. Tantenya Xander, tantenya Valen, tante gue. Gue sih nggak masalah panggil lu tante, meski lu menolak. Xander ... entahlah, gue rasa dia nggak minat juga panggil lu tante. Valen yang kelihatan paling memelas. Valen kayaknya nggak bisa terima kalau harus panggil lu dengan sebutan seberat itu."

Valen mengerutkan kening.

Fredo masih melanjutkan. "Dari lu sendiri, gimana? Apa akan menolak dipanggil tante oleh segenap keponakan yang baru lu kenal hari ini?" 


 

73 - Hubungan Segitiga

Nadine tersenyum canggung. "Kaget yah ...," sahutnya lirih. "Sampai sekarang gue masih nggak nyangka, kalau ternyata gue kerabat keluarga Ghandy."

"Nggak ada yang nyangka, tepatnya," balas Valen datar.

Nadine mengangguk. "Meski ternyata nama gue tercantum di daftar pohon keluarga ... tapi gue menolak dipanggil tante oleh kalian semua. Nggak cocok dipanggil tante, kita semua seumuran. Gue pengen dipanggil nama aja biar lebih akrab, gitu," katanya.

"Nice," sahut Fredo. Dia hendak melontarkan sesuatu namun menahan diri saat melihat seorang pelayan membawakan minuman pesanan mereka.

"Permisi," ujar pelayan itu. "Silakan kopi Anda, Tuan-tuan dan Nona," katanya sambil menyuguhkan minuman pada masing-masing dari mereka.

Usai menerima minuman dan pelayan itu telah pergi, Fredo melanjutkan ucapannya. "Ngomong-ngomong ... sorry sebelumnya, lu udah menjanda berapa lama sih, Nadine? Kalau boleh tahu."

Nadine menyeruput es kopinya sebelum menjawab, "Emm. Ya seumur anak gue. 15 tahunan, lebih."

"Udah lama banget ya ...."

"Begitulah."

"Nggak ada keinginan menikah lagi?"

Valen menunggu jawaban Nadine sembari meneguk minumannya. Tentu saja dia penasaran apa yang akan menjadi jawaban Nadine.

"Fredo, yang lu tanyakan agak kurang proper," sahut Xander. "Itu urusan pribadi."

Fredo membela diri. "Lho, kenapa? Gue mau kenal lebih dekat dengan Nadine, kok. Nggak masalah gue tanya hal itu, kan, Nadine? Atau masalah?" 

Nadine tersenyum tipis. "Nggak masalah, kok. Menjawab pertanyaan lu ...." Nadine mengangkat bahu. "Gimana, ya? Dibilang ingin, ya ingin. Dibilang nggak, ya emang nggak. Gue ada trauma tersendiri ... yang bikin gue maju mundur untuk cari calon. Tapi kalau suatu saat memang ketemu jodohnya ... gue nggak akan menolak, sih."

Fredo mengangguk-angguk. "Jadi emang belum ketemu, ya, sampai sekarang ini?"

"Belum," jawab Nadine masih sambil tersenyum.

"Lalu? Apa kabarnya cowok-cowok di depan lu ini? Dari antara dua cowok ini, apa nggak ada yang bisa lu seriusin? Umur mereka sama-sama lebih dari cukup untuk berkeluarga. Mana yang bakal lu pilih?" tanyanya sambil menggerakkan dagu pada Valen dan Xander.

"Frederico." Xander menegur dengan nada datar.

"Pilih?" Bola mata Nadine membesar, tak menyangka akan ditodong pertanyaan semacam itu. "Maksudnya memilih?"

"Yaa ... pilih." Fredo mengangkat bahu. "Siapa pun sadar, lu dengan ponakan-ponakan lu ini udah jauh banget hubungan darahnya, which means, nggak masalah kalau lu mau lanjutin dengan salah seorang dari mereka ... lalu diseriusin. Tapi, nggak mungkin lu dengan keduanya, dong? Nggak ada budaya poligami di kalangan kita. Jadi, ya lu harus memilih."

"Memilih," ulang Nadine. "Apa benar gue harus memilih?"

Rasa cemas semakin melanda, Valen hanya melirik Nadine menanti jawaban.

"Tentu. Bukannya lu akrab dengan mereka berdua?" Fredo terdiam sejenak. "Tapi kalau ternyata lu dekat dengan orang lain dan memilih orang itu, bukan salah satu dari mereka .... Yah, gue rasa malah jauh lebih baik seperti itu. Jadi fair. Nggak ada yang bakal mangkel."

"Kenapa gue terlibat percakapan semacam ini?" Xander bergumam.

Nadine menimbang sejenak. "Gimana ya? Kayaknya lu salah paham dengan hubungan gue dan Xander, ya? Di antara kami nggak ada yang seperti itu, kok. Ng-nggak ada afeksi, maksud gue. Bukankah katanya, afeksi itu diharamkan di keluarga Ghandy? Gue sama Xander hanya berteman ... nggak lebih. Gue tahu, dia itu passionnya hanya di dunia bisnis. Nggak tertarik berkeluarga. Benar, kan, Xander?"

"She knows me so well, dengar nggak, Fredo?" Xander menatap Fredo tajam. "So, stop this nonsense."

Fredo menghela nafas panjang. "Kalau begitu, dengan Valen?" Rupanya dia masih berusaha mendapatkan jawaban yang dia inginkan dari Nadine.

Valen tidak merasa nyaman. Dia mengambil sebatang sigaret lalu menyulutnya, mengisapnya tergesa, berharap rasa gugup yang mendera bisa berkurang.

Menyadari Nadine tidak kunjung menjawab, serta tindak tanduk Valen yang didera gelisah, Fredo mengangkat suara. "Kalau ada uneg-uneg atau apa pun itu, silakan, lho. Gue ini pendengar sekaligus penyimpan rahasia yang baik. Apa yang terucap di antara kita saat ini, it will stay here forever."

Nadine akhirnya membuka mulut. "Jujur aja ... gue sendiri galau," jawabnya. Ia lalu berpaling pada Valen. "Valen, sorry, gue masih nggak tahu gimana harus bersikap sama lu. Jujur, waktu kita sempat dekat, gue main rasa sama lu. Tapi ... tapi terus kita udahan. Pisah. Gue udah move on dari lu ... tapi ... malah sekarang ternyata gue adalah tante lu sendiri, dan ... dan tiba-tiba harus disuruh memilih. Asli, gue nggak tahu gimana perasaan atau keinginan gue sekarang. Jujur aja gue juga masih shock .... Gue berasa kayak sedang naik roller coaster, diangkat tinggi-tinggi, lalu menukik turun dengan tajam, diangkat naik lagi, turun lagi. Gue overwhelmed. Gue sendiri masih proses menerima kenyataan semacam ini ... harap lu bisa mengerti, yah. Jadi gue nggak tahu ... asli, gue nggak tahu ...." tuturnya pelan, nyaris berbisik.

Valen mengangguk, berusaha memahami, meski dalam hati dia merasa dongkol dan gemas terhadap situasi dan kondisi saat ini.

Terdengar hela nafas Fredo yang berat dan dalam. "Susah juga sih, ya," komentarnya. "Well. I guess you guys still need more time to think about that. Nadine masih butuh waktu untuk menerima kejutan ini. Valen, lu juga sama. My advice is, pelan-pelan kalian terima kenyataan ini ... lalu kalau lu berdua udah siap, dan kalau ternyata masih ada sesuatu yang sama-sama kalian rasakan, barulah kalian bicarakan lagi nanti. Time will always be the answer, it's true."

"Bernard itu emang anj*ng sih," umpat Valen tertahan. "Biang kerok semuanya ya dia seorang. Nggak bosennya kontrol anak-anaknya, sampai ke kehidupan pribadi. Apa karena dia merasa sebagai tuhan, makanya dia mendikte sampai hal terkecil? Apa anak-anaknya sama sekali nggak bisa punya kehidupan sendiri, punya privasi, punya pilihan?! Gue udah memenuhi semua keinginan dia dengan buang bakat gue di musik! Gue udah patuh dan jalankan bisnis dia dengan sebaik mungkin! Gue juga udah puaskan keinginan dia yang pengen punya banyak cucu, meski lahir di luar pernikahan, dengan berikan dia satu cucu! Perintah dia yang mana yang nggak gue turuti?! Anj*ng!"

"Cukup!" Fredo menyela. "Lu maki-maki dia pun nggak ada gunanya, malahan lu makin capek hati. Ingat, nggak cuma lu yang mengalami itu. 14 saudara lu yang lainnya juga."

Empati Nadine terpancing. Miris sekali mendengar keluhan mengenai Bernard Ghandy langsung dari keturunannya sendiri, sebagai yang paling terdampak. Mengapa tipe ayah seperti Bernard itu eksis? Nadine meringis ngeri jika nanti pada akhirnya dia berjodoh dengan Valen dan harus menjadi menantu Bernard. Memanggil Bernard dengan sebutan 'papa mertua'? Lebih baik jangan, Nadine memperingatkan dirinya sendiri.

"Ih! Kalian sedang apa di situ?" Suara nyaring Irene menginterupsi sesi sharing keempat orang itu, membuat mereka menoleh. 

"Valen. Xander. Ngapain? Ko Fredo kok juga ikutan??" tanya Irene bertubi-tubi. "Emang nggak ada tempat lain? Nekad juga di tempat terbuka! Heran yah, baru juga dikenalin, udah tebar pesona ke mana-mana. Mau monopoli semua anak Ghandy, yah?"

Valen, Xander maupun Nadine sama-sama terperangah mendengar ujaran ngawur Irene. 

Sementara Fredo dengan kesal menekan puntung rokok hingga bara api padam, lalu mendekati Irene. "Lu ngomong apa, Irene? Mikir jorok? Better you change your mindset first, nggak semua hal harus dikaitkan dengan 'itu'. Nggak semua dari saudara lu punya kecenderungan mementingkan urusan hawa nafsu ketimbang moralitas. Lu udah teracuni dengan cara berpikir Michael, Sonny dan Franco. Udah akut. No hope for you," ujarnya tegas sebelum berlalu dari hadapan Irene.

Irene gantian terperangah mendengar perkataan kakak keduanya yang pedas itu. Ia merengut. Bibirnya semakin maju saat Valen dan Xander melewati dirinya tanpa berujar sepatah kata pun. "Xander ... Valen?" panggilnya tanpa ada sahutan.

Meski ucapan nyinyir Irene tadi ditujukan pada dirinya, Nadine masih berupaya memberi kesan yang baik dengan menyunggingkan seulas senyum tipis pada Irene saat melewatinya. "Balik ke dalem yuk, kami tadi cuma merokok aja, kok," ajaknya.

Bukannya membalas senyum, Irene malah memandangi Nadine dengan bermusuhan. "Jangan kepedean, yah. Lu pikir lu secantik itu?" ujarnya ketus, lalu berbalik meninggalkan Nadine yang terbengong. Irene berhenti melangkah dan berkata lagi dari balik bahu, "Denger warning gue. Nggak akan gue biarkan lu dekati Valen lagi. Lu tuh nggak pantes! Valen tuh milik gue, tahu nggak?"

Nadine terpana memandangi punggung Irene yang semakin menjauh. Yang diucapkan wanita langsing berdada busung itu barusan jelas-jelas sebuah pengakuan bahwa dirinya memiliki sesuatu yang khusus terhadap Valen. Valen telah 'dimiliki'. Melihat ada wanita cantik lain yang dekat dengan Valen, seperti Nadine, wajar jika 'pemilik' Valen merasa terancam. Disebut wajar jika sang 'pemilik' itu adalah orang di luar lingkup keluarga, namun, yang terjadi justru sebaliknya. 'Pemilik' Valen yang tidak sungkan menegur kedekatan Nadine dan Valen tidak lain adalah kakak Valen sendiri.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sang Klon (Bab 35 – 51)
0
0
Kerja sama Reeve dan Flav yang keji itu membuahkan hasil yang nyata, Roman jelas-jelas terhasut dan terbakar angkara murka. Emosi yang meluap bak lahar membuat Roman memberi perintah yang berpotensi mengundang lebih banyak masalah, namun, Roman tetaplah Roman, apa yang dia perintahkan wajib untuk dilaksanakan. Akibat dari perintah Roman yang sembarangan itu, lenyaplah sekian lusin nyawa orang tak bersalah, tokoh penting lintas negara ... yang memancing bibit kemarahan demi kemarahan dari banyak pihak.  Seperti yang akan kita saksikan dalam episode kali ini, ada beberapa tokoh yang berpotensi menjadi sosok pahlawan. Mereka adalah Daniel Spencer dan Lucas Valachi. Mereka memiliki niat yang teramat teguh untuk menegakkan keadilan! Apakah keduanya akan berhasil? Simak juga, kelakuan pervert Flav yang cari skandal di pesta pernikahan sahabatnya sendiri, Denver, dengan merayu salah seorang tamu cantik di sana.  Ada pula reuni antara Reeve dan orang tuanya. Orang tua yang dia tinggalkan saat berusia 11 tahun lantaran menolak memilih salah satu. Orang tua yang secara tidak langsung membuat Reeve berkecimpung dalam lembah hitam selama ini. Namun rupanya reuni mereka itu bukan murni reuni ... ada tujuan lain yang ingin Reeve capai. Apakah itu? Nah, yang paling seru nih, tensi antara Reeve dan klonnya semakin meninggi! Mereka ribut besar, lho! Padahal sebenarnya kan, mereka adalah satu orang yang sama, ya? Perseteruan antara Reeve dan klonnya malahan sudah menjadi rahasia umum, hingga akhirnya kabar itu diendus oleh Lucas, salah satu pahlawan kita. Bisakah Lucas memanfaatkan situasi itu demi mewujudkan impiannya menyapu bersih semua anggota La Cosa Nostra? Sang Klon menghadirkan kisah para anggota mafia yang saling berseteru memperebutkan kekuasaan, tidak ada seorang pun dari mereka yang menyadari bahwa ada di antara mereka yang menyemai bibit khianat .... *** Baca dan dukung penulis yuk, biar semangat update sampai bab terakhir!  Keep in touch with author on  Instagram: @miss_camillemarion Facebook: Camille Marion Facebook fanpage: https://www.facebook.com/novelbycamille Youtube: @ImajinasiCamille
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan