IMTS❗Bab 6-10 FREE❗

3
0
Deskripsi

"Kamu sudah kubeli! Tubuh dan jiwamu itu sepenuhnya milikku!"

Awalnya Rania Manalli menganggap Tama Hadi sebagai penyelamat, setelah secara heroik pria itu membantunya melawan para preman dan melunasi seluruh hutang yang ditinggalkan orang tuanya. Maka Rania tak menolak ketika Tama memintanya untuk menjadi istri. Namun, setelah menikah, Rania menemukan satu fakta, tentang Tama yang ternyata tak ubahnya bagai monster bagi Rania! Tama memperlakukan Rania layaknya barang yang tak boleh disentuh orang...

Bab 6 Gaun Merah Marun

“Bagaimana? Ibu mau coba?” tegur mahasiswa itu, karena tahu Rania tengah melamun.

Rania tergagap, kemudian mulai bersikap lebih tenang. “Apa?”

Mahasiswa itu tersenyum geli. Kemudian menyerahkan remote drone miliknya pada Rania. “Ibu cukup tekan tombol ini untuk naik, dan dua tombol ini untuk mengatur gerakannya,” jelasnya.

Meskipun gengsi untuk mencoba, namun Rania penasaran. Dia pun membuang perasaan gengsinya sendiri, dan mengikuti arahan sang mahasiswa untuk mencoba menerbangkan drone itu.

Saat drone itu perlahan mulai naik–meski pergerakannya kacau, senyum Rania mengembang lebar. Dia tidak pernah merasa seasyik ini dengan suatu hal, yang di satu sisi membuatnya fokus namun juga membuatnya senang.

Diam-diam, si mahasiswa melirik ke arah Rania dengan senyum hangat. “Ngomong-ngomong, namaku Vinko,” ujarnya memperkenalkan diri.

“Oh, Vinko,” gumam Rania, terus fokus pada drone itu. “Jadi kamu mahasiswa baru angkatan tahun ini?”

“Siapa bilang?”

Dahi Rania berkerut. Dia menoleh patah-patah ke arah Vinko. “Kamu ikut kelasku tadi, dan kebanyakan mahasiswa baru,”

“Aku mengulang lagi,” jawab Vinko, sembari meringis.

Rania tertawa. Hingga tanpa sadar drone itu mulai terbang tak seimbang, dan meluncur bebas hampir jatuh andai Vinko tidak sigap menangkapnya.

“Maaf, ya?” sesal Rania, ketika menyadari hampir saja merusak drone milik Vinko.

“Tidak masalah, Bu,” sahut Vinko. “Apalagi untuk ibu dosen cantik seperti Bu Rania,” selorohnya santai, melirik Rania untuk melihat reaksinya.

Wajah Rania bersemu merah. Bukan karena tersipu senang, melainkan malu. Dia tidak pernah digoda oleh lelaki muda dibawah usianya, dan hal itu sungguh memuakkan.

Maka Rania serta merta menarik tasnya, pergi meninggalkan Vinko tanpa mengucapkan apapun.

“Bu Rania?” panggil Vinko.

Namun Rania terus berjalan cepat, karena kebetulan dia juga sudah melihat mobil Arif terparkir tak jauh dari sana.

Vinko hendak menyusul, namun langkahnya terhenti saat melihat Rania masuk ke dalam mobil sedan hitam yang dikendarai Arif. Tatapannya gamang, penuh rasa ingin tahu. 

“Maaf terlambat, Ran,” ujar Arif, sesaat setelah Rania duduk di jok belakang.

Rania menggeleng. “Kemana kita akan bertemu Tama?”

“Tempat biasa kalian bertemu, saat kencan di hari Minggu,”

“Tempat itu?” Rania melempar pandangan ke luar kaca mobil, sembari menggigit bibir.

Dia sangat tahu tempat yang dimaksud. Bukan karena dia tidak menyukainya, tapi karena rasa trauma yang ditorehkan Rama padanya mengenai tempat itu.

“Rif, apa yang harus kulakukan?” tanya Rania, ketika jemarinya mulai gemetar ketakutan.

Arif melirik Rania sekilas dari spion depan. Lalu dia memejamkan mata sejenak. “Maafkan aku. Aku tidak bisa melindungimu,” sesalnya.

Lalu Arif tampak meraih sebuah tas berbahan kertas yang diletakkan di sampingnya. Dan memberikan itu pada Rania.

“Tuan Tama menyuruhku memberikan ini padamu. Dan harus kamu pakai sebelum menemuinya,” ucapnya.

Rania segera memeriksa isi tas, dan menemukan sebuah gaun sangat cantik sekaligus sangat minim. Gaun itu berwarna merah marun dengan aksen berkilauan.

Rania meremasnya, menunduk demi menjaga agar jemarinya tak lagi gemetar. “Aku tidak bisa, Rif. Aku tidak bisa terus seperti ini … “ Rania mulai terisak.

Arif tidak menjawab. Suara isakan tangis Rania cukup membuat tenggorokannya tercekat tak berdaya.

“Dia benar-benar monster … terkutuk … “ Rania mengumpati Tama dalam tangisannya.

Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh menit serta berganti pakaian, kini tibalah Rania di sebuah restoran mewah yang dimaksud.

Arif segera mengantarnya menuju ruang makan privat yang khusus dipesan Tama setiap kali mengajak Rania bertemu di restoran mewah ini.

Dan Rania menutupi seluruh tubuhnya dengan jaket besar pemberian Arif. Dadanya berdegup kencang, bersamaan dengan langkah kakinya yang bergerak cepat mengikuti arahan Arif.

“Masuklah,” ucap Arif pelan, setelah sampai di ruangan yang dimaksud.

Rania meringis. “Tolong aku,” bisiknya.

Arif menggeleng. Kemudian menuntun langkah Rania untuk maju ke dalam ruangan, karena Tama sudah menunggu.

Saat sudah masuk, Tama berseru senang melihat Rania datang. Dan di sana Rania bisa melihat suaminya itu sedang duduk santai bersama dengan dua orang yang tampak seperti koleganya.

Tama menarik tubuh Rania, untuk diperkenalkan satu persatu dengan para kolega itu. Dan setelah selesai berkenalan, Tama menautkan kedua alisnya, saat melihat Rania masih merapatkan jaket besar menutupi tubuhnya.

“Lepaskan, Sayang,” bisik Tama, memberi isyarat.

Rania tampak ragu. Dia tidak ingin melepas jaket besar itu, karena minimnya gaun yang dia kenakan. Gaun yang seharusnya cukup dinikmati berdua bersama Tama, tapi karena kegilaan Tama, terpaksa harus dia pakai di depan para kolega suaminya.

“Buka,” Tama memberi peringatan keras dengan tatapan tajam.

Mau tak mau Rania menurut. Dengan berat hati, dia melepas jaket besar itu. Dan dua kolega Tama seketika terdiam saat melihat lekukan tubuh indah Rania yang dibalut gaun minim merah marun pemberian Tama.

Sementara Tama tampak angkuh, memandang Rania dari atas sampai bawah dengan tatapan bangga seakan Rania adalah barang miliknya.

“Bagaimana?” Tama mengedarkan pandangan pada dua koleganya. “Apakah istriku cantik?”

 

Bab 7 Beracun

Salah satu dari mereka tampak menelan ludah, dengan peluh perlahan menetes saat melihat tampilan seksi Rania.

“Brengsek … “ umpat Tama, seraya menodongkan pistol.

Kolega yang ditodong pistol itu spontan angkat tangan dengan badan gemetar ketakutan.

“Apa kau menjadikan istriku fantasi seksualmu?” Tama bertahan dengan pistolnya. Dengan senyum menyeringai, dia mengarahkan pistol itu tepat di kepala sang kolega.

“M-maafkan saya, Tuan Tama,” Bergetar suara si kolega, sangat takut Tama akan menarik pelatuk pistol itu.

Selain suasana yang menegang diantara Tama dan dua koleganya, Rania pun ikut gemetar. Sebenarnya ini bukanlah pengalaman pertama baginya, saat Tama tiba-tiba marah setelah dengan sukarela mempertontonkan Rania.

Tapi Rania tidak bisa terbiasa dengan hal sadis itu. Badannya akan gemetar seakan mengalami serangan panik.

“Tapi Tuan–” Salah satu dari dua kolega–yang tidak ditodong pistol tiba-tiba bersuara. “Kenapa Anda marah, padahal Anda sendiri yang menunjukkan istri Anda pada kami?”

Tama menyeringai. “Kau … berani melawanku. Kau cukup cerdik,” komentar Tama. “Kau tahu aku tidak akan mungkin menembak kalian di tempat ini, makanya kau berani bicara,”

Kemudian Tama menoleh pada Rania yang masih gemetaran. Dia mengelus pelan lengan Rania. “Sayang, sebaiknya kamu pulang dulu. Aku ada sedikit urusan dengan mereka,” bisik Tama sembari menggulung lengan kemeja panjangnya.

Rania mengangguk patah-patah. Badannya masih gemetaran.

Tak lama, Arif masuk ke dalam ruangan untuk menutupi tubuh Rania dengan kain lebar. Dan menuntun wanita itu meninggalkan ruangan.

Buak! Buak!

Setelah berada di luar, Rania bisa mendengar pukulan keras yang tampak terjadi bertubi-tubi, diiringi jerit kesakitan–yang entah dari siapa.

Rania memeluk tubuhnya yang terbungkus kain lebar, masih gemetaran.

“Mari pulang, Rania,” ajak Arif.

“Apakah kalian puas saling menghabisi?” tanya Rania, tak mau beranjak.

“Itulah kehidupan kami,” timpal Arif. “Kamu sudah hidup bersama kami selama empat tahun, harusnya kamu sudah terbiasa,”

“Aku tidak akan terbiasa. Karena aku bukan bagian dari kalian,” sangkal Rania.

Arif tidak menanggapi. Dia hanya membujuk Rania untuk pergi–tapi tetap bertahan di tempat.

“Sebaiknya kita pergi, sebelum … “

“Kamu masih disini,” Tama tiba-tiba membuka pintu.

Arif tak lagi bisa melanjutkan ucapannya, dan Rania makin bergetar saat melihat suaminya itu.

Dengan noda darah di kemejanya, bisa dipastikan Tamalah yang menghajar mereka berdua hingga babak belur.

“Rif, tolong bereskan,” suruh Tama. “Jangan sampai ada yang tersisa,”

“Baik, Tuan,” Arif mengangguk patuh, lalu masuk ke dalam.

“Huek!” Rania tiba-tiba mual. Bukan karena apa, tapi karena membayangkan tubuh lebam penuh luka dari dua kolega Tama itu.

Tama melingkarkan lengannya di pundak Rania. “Mari kita menghabiskan malam bersama. Di hotel kesukaanmu,” bisik Tama, lalu mengecap leher Rania penuh gairah.

“S-sebaiknya kita bersihkan dulu bajumu,”

“Tentu saja, Sayang. Bersihkan sampai bersih,” Tama menggoda Rania, membuat bulu kuduk wanita itu berdiri.

***

“Rania,” panggil Tama, setelah Rania membersihkan diri dan keluar dari kamar mandi hotel.

Dengan menggunakan piyama handuk, Rania menghampiri Tama. Dia buka satu persatu kancing kemeja Tama yang penuh noda darah.

“Biar kubersihkan dulu bajumu,” ucap Rania, tanpa sedikitpun senyum terulas di bibirnya.

Tama tersenyum–lebih seperti menyeringai. “Mandikan aku,” pintanya.

Rania tidak menjawab. Dia hanya menuntun langkah Tama untuk memasuki kamar mandi, menunaikan tugasnya sebagai seorang istri yang baik.

“Bagaimana? Apa kamu menikmati hidangan di restoran tadi?” tanya Tama sembari Rania membersihkan tubuhnya.

“Hidangan?” ulang Rania penuh penekanan. “Manakah yang kamu maksud hidangan?”

Gelak tawa tak dapat terbendung dari bibir Tama. “Kamu memang seorang wanita pintar. Tak salah aku membiayai pendidikanmu,”

Rania tak bergeming.

“Kuharap para dosen itu memperlakukanmu dengan baik,” ujar Tama, saat Rania membasuh sisa sabun dari badannya.

“Mereka sangat menghormatiku sebagai rekan kerja,”

“Oh iya–” Tama berseru, seperti ingat sesuatu. “Apakah ada sesuatu yang unik di kelasmu?”

“Unik?”

“Iya! Mungkin … kamu–” Tama tak melanjutkan ucapannya. “Sudah, lupakan,”

Rania tidak minat dengan pembahasan Tama, maka dia diam saja meski Tama memutus ucapannya begitu saja.

Dia melanjutkan aktivitasnya, menjadi istri yang melayani dan memuaskan Tama.

Setelah membuat Tama dimabuk kepayang dengan permainannya di kamar mandi, Rania mulai mengenakan piyama handuknya kembali.

“Aku tadi belum sempat makan malam di restoran, jadi sekarang aku lapar,” tukas Rania.

“Kamu mau apa, Sayang?”

“Aku akan memesan makanan, selagi kamu membersihkan diri,”

Tama mengangguk saja. Tanpa tahu jika Rania sengaja memesan makanan, demi bisa memasukkan obat yang dapat membunuh Tama secara perlahan.

Tak lama setelah Rania memesan makanan, pesanan mereka pun diantar ke dalam kamar.

“Ini nasi goreng kesukaanmu,” Dengan senyum manis, Rania menyerahkan nasi goreng beracun itu pada Tama.

 

Bab 8 Bengis

“Rania, aku merasa sedikit pusing,” ucap Tama keesokan paginya, saat menghampiri Rania yang sedang mandi.

Senyum tipis terulas samar di bibir Rania. “Mungkin kamu kurang sehat, Sayang. Bagaimana kalau hari ini tidak usah ke kantor?”

“Tidak bisa. Ada banyak tugas yang harus kuselesaikan,”

“Kalau begitu, biar aku hubungi Arif untuk menjemputmu,” Rania mengambil handuknya.

Namun Tama buru-buru menggenggam kedua tangannya, mulai menelusuri seluruh tubuhnya yang sudah bersih itu.

“Aku harus ke kampus pagi ini,” ucap Rania, meski dia tidak melawan.

“Lebih penting mana, aku atau mahasiswamu?” balas Tama. “Ingat, akulah yang membiayai semua kebutuhanmu,”

Rania tidak bisa berkutik. Meskipun benci, namun melawan Tama secara terang-terangan bukanlah ide yang baik.

“Argh!” Tama tiba-tiba mengerang, sedikit limbung dengan tangan mencengkeram kepalanya. Dia tampak kesakitan.

Rania buru-buru memegang tubuh Tama, dengan ekspresi cemas. “Ada apa?” tanyanya. 

Padahal dalam hati, Rania senang karena sepertinya obat itu bekerja dengan baik.

“Tiba-tiba kepalaku sakit sekali,” keluh Tama.

“Lebih baik kamu istirahat dulu,” Rania menuntun langkah Tama berbaring di tempat tidur. “Aku akan panggilkan Arif segera,”

Tama menurut saat Rania membaringkannya. Dan wanita itu berlari kecil keluar dari kamar hotel, untuk menghampiri Arif yang memesan kamar di samping mereka.

Selalu seperti itu. Arif akan mengikuti Tama kemanapun pria itu pergi–kecuali Tama meminta Arif menemani Rania.

“Ran?” Arif keheranan, karena masih terlalu pagi untuk Rania mengetuk pintunya.

Rania mengulaskan senyum sangat samar. “Tama sakit kepala,” ucapnya datar.

Arif tidak langsung menjawab. Dari gelagat Rania yang kelewat tenang itu bisa dia baca dengan jelas.

“Aku harus bagaimana?” tanya Arif.

Rania menggerakkan kepala, mengisyaratkan Arif untuk mengecek kondisi Tama.

Dalam diam mereka berdua pun berjalan ke kamar Tama dan Rania.

“Rif, sepertinya aku akan terlambat,” ujar Tama, masih memegangi kepalanya.

Arif menunduk hormat. “Saya akan menghubungi Dona, Tuan,” Arif mengambil ponsel untuk menghubungi Dona, sekretaris Tama.

“Ran,” Tama memanggil Rania.

Wanita itu mendekat, penuh perhatian. Meski dalam hati dia bersorak mensyukuri penderitaan Tama.

“Apa kamu tidak ingin merawatku disini?”

“Aku harus pergi, Sayang. Aku terlanjur janji akan menggantikan Pak Viktor pagi ini,” tolak Rania halus.

“Tapi aku membutuhkanmu,” 

“Aku akan segera kembali, setelah perkuliahan selesai,” janji Rania. “Tidak akan lama, kok,”

Ada raut kecewa di wajah Tama. “Rif, tolong suruh Dona menemaniku disini,” utus Tama pada Arif.

Jantung Rania berdegup kencang dua kali, saat Tama menyebut nama Dona.

Selain menjadi sekretaris, wanita itu juga menjadi pemuas hasrat Tama jika Rania menolak untuk melayani. Dan yang paling sadis, Tama selalu memaksa Rania menonton kemesraan mereka di atas ranjang.

“Jangan lupa pulang cepat,” ujar Tama pada Rania.

“Kenapa? Kamu memintaku menontonmu dengan Dona?” sahut Rania. Ucapan yang keluar spontan, yang kemudian dia sesali.

“Apa?” Tama bangkit, melupakan rasa sakit di kepalanya. “Apa kamu bilang?” Kini dia mencengkeram kedua pipi Rania. 

Arif menundukkan kepala, sama sekali tak mau melihat. Dia cukup kaget dengan ucapan Rania, dan cukup takut untuk melihat reaksi Tama.

“Aku sudah membelimu,” tandas Tama bengis. “Kamu tidak boleh mengomentari apapun tindakanku. Yang kamu lakukan hanyalah menurutiku, atau aku akan membuangmu ke jalanan,”

“Lebih baik aku dibuang ke jalanan,” seloroh Rania berani.

Arif sampai menelan ludah, karena Rania kelewat sangat berani.

“Permisi, Tuan?” Terdengar suara Dona yang mengetuk pintu kamar hotel Tama.

Tama memerintahkan Arif untuk membuka pintu. Dan saat Dona sudah masuk, Tama menarik paksa wanita itu.

Dia mendorong tubuh Dona berbaring di atas ranjang.

“Pak Tama? K-kenapa … “

Dona sampai tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena Tama sudah melompat naik ke atas tubuhnya dengan beringas.

Arif berjalan cepat keluar dari kamar itu–sebagai respon alaminya. Sementara Rania–meski ingin menyusul Arif tak punya kekuatan.

Dia tak berdaya, menangis sambil melihat suaminya–sekali lagi bermain panas dengan sang sekretaris.

“Bagaimana, Rania? Apa sekarang kamu sudah menyadari posisimu?” tanya Tama dengan wajahnya yang bengis, setelah dia melucuti seluruh pakaian Dona.

Rania gemetaran memeluk tubuhnya. Dia tidak berani membuka mulut.

“Argh!” Dona memekik penuh kenikmatan, saat Tama mulai menelusuri tubuhnya.

‘Monster … kau memang monster,’ umpat Rania dalam hati, ditambah dengan berbagai sumpah serapah yang dia tahu.

Rania tidak cemburu. Dia menangis karena memiliki suami sakit seperti Tama. 

Tama tidak pernah menyiksanya secara fisik, tapi mentalnya dihancurkan sedemikian rupa.

“A-aku harus ke kampus,” ucap Rania sangat pelan.

“Siapa bilang kamu boleh pergi?!” sentak Tama. “Tetap disini sampai aku menyelesaikan ini!”

Rania menggigit bibir. Kedua tangannya mengepal erat.

Setelah menggagahi Dona hingga wanita itu lemas, Tama tiba-tiba melompat dan menerjang Rania.

“Kamu boleh pergi ke kampus, tapi dengan pakaian yang kupilihkan,” bisik Tama, tersenyum licik.

 

Bab 9 Sering Melakukannya

“Keluarlah,” suruh Tama, ketika mobil yang dikemudikan Arif itu sudah sampai di depan pelataran kampus Rania.

Rania gemetaran, memegangi ujung gaunnya yang tampak makin naik. Dia berusaha menurunkan ujung gaun itu.

“Kenapa ditutupi?” hardik Tama. “Ini adalah gaun limited edition, berharga puluhan juta dan hanya untukmu. Kamu harusnya bangga memakainya,” kelakar Tama dengan senyum licik.

“Tapi bukan untuk dipakai di kampus,” ucap Rania pelan.

“Bukan hakmu untuk bicara,” Tama berbisik di telinga Rania. Lalu dia lingkarkan lengannya di pundak istrinya itu. “Sekarang turunlah. Biar semua orang memandang kearahmu,”

“T-tidak, Sayang,” Suara Rania juga gemetar. Bagaimana mungkin dia mengajar dengan gaun sangat minim yang hanya pantas digunakan untuk acara pesta malam hari?

“Keluar! Sekarang!” paksa Tama, menyuruh Arif turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk Rania.

Tama sedikit mendorong Rania agar dia segera turun dari mobil.

“Nikmatilah hukumanmu,” ujar Tama, tertawa licik bahagia saat melihat Rania menanggung malu.

Benar saja. Seluruh pasang mata tak berhenti berdecak heran saat melihat pakaian yang dikenakan Rania.

Bagai kawanan lebah yang berdengung nyaring, gerombolan mahasiswa bahkan banyak yang terkikik melecehkan melihat tampilan Rania.

Rasanya Rania ingin berlari. Tapi dia juga tidak sanggup untuk masuk ke ruang dosen dengan pakaian seperti itu.

Sementara mobil Tama masih diam di tempat, seakan menunggu Rania masuk ke dalam gedung fakultasnya.

Rania hanya ingin cepat menghilang. Atau setidaknya bangun dari mimpi. Dipamerkan di depan kolega Tama tidak ada apa-apanya dibanding dipermalukan di depan para mahasiswanya.

Reputasi Rania pasti sudah hancur hari ini. Mungkin Pak Viktor akan menelepon dan memecatnya juga.

Tanpa diduga, Vinko berlari dari dalam gedung dengan dua buah jaket besar di dua tangannya.

Pria muda itu berlari kencang dengan wajah serius, lalu menyambar tubuh Rania. Dia menutupi badan Rania dengan satu jaket, dan jaket lainnya untuk diikatkan di pinggang Rania agar menutupi bagian bawah.

“V-Vinko?” Hanya itu reaksi yang bisa keluar dari bibir Rania.

Vinko tidak menjawab. Dia hanya bergegas membawa Rania pergi dari lingkup gedung itu, menuju tempat yang agak jauh.

Sementara itu, Tama yang terus mengawasi dari dalam mobil tampak sangat terkejut dengan aksi nekad Vinko.

“Siapa anak itu?” tanya Tama pada Arif.

Arif melirik dari spion depan. “Sepertinya mahasiswa Rania. Kemarin mereka juga sempat bertemu,”

“Apa? Jadi Rania sudah mengenalnya?”

“Sepertinya begitu, Tuan,”

Tama menopang dagu, dengan kaki yang terus bergerak-gerak. Dia tampak cemas, namun di satu sisi juga berpikir keras.

“Buntuti mereka,”

Vinko terus berjalan cepat, menggandeng tangan Rania mengarah kepada taman tempat mereka bertemu pertama kali.

Sesampainya disana, Vinko menuntun Rania untuk duduk. Tak disangka dia mengantongi sebotol minuman kecil, yang dia buka dan sigap diberikan pada Rania.

“Minumlah, Bu,” ucap Vinko.

Rania menerima botol minuman itu, namun wajahnya masih keheranan. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya.

“Bu Rania ingin makin dipermalukan?”

“Bukan begitu,” Rania menggeleng cepat. “Tapi bisa saja mereka akan berpikir yang bukan-bukan,”

“Berpikir seperti apa?” sahut Vinko. “Seperti … aku berpacaran dengan Bu Rania?”

“Vin!” sentak Rania. “Ini tidak lucu,” Dia mengusap sisa air matanya.

“Aku juga tidak melucu,” Vinko tenang saja. “Tapi aku hanya menyelamatkan harga diri wanita yang kusukai,” Vinko kelewat jujur. Sangat terbuka hingga membuat bulu kuduk Rania berdiri karena mendengarnya.

“Kenapa Ibu berpakaian seperti ini ke kampus?” tambah Vinko. “Kalau aku sih suka aja, tapi aku nggak suka dilihat banyak orang,”

“Vinko, kumohon, berhentilah bercanda,” Daya Rania untuk mengomeli mahasiswanya itu melemah. Dia memilih untuk bicara lebih pelan–berharap Vinko bisa mengerti.

“Ngomong-ngomong, itu satu jaketnya Bram dan satu lagi jaketnya Aldo,” celetuk Vinko, tidak menanggapi ucapan Rania sebelumnya.

“Vin … “

“Tadi sebelum berlari ke bawah, aku sudah diatas. Dan sudah sempat memukul kepala Bram dan Aldo yang menatap Bu Rania jelalatan. Memang brengsek mereka berdua,” kelakar Vinko.

Rania yang semula diam, perlahan mulai tersenyum. Bahkan dia tertawa pelan, mendengarkan cerita Vinko tentang kelakuan dua temannya itu.

“Rif … “ panggil Tama, setelah diam mengamati gerak-gerik Rania dan Vinko di taman. “Apakah Rania sering melakukan ini dibelakangku?”

“Melakukan apa, Tuan?”

Tama melirik Arif kesal. Harusnya Arif tahu maksud Tama meski tidak dijelaskan. “Apakah aku perlu menjelaskannya?”

Arif buru-buru menunduk. “Sepertinya baru kali ini Rania banyak mengobrol dengan mahasiswanya, Tuan,”

Tama menggigit bibir dengan tangan terkepal, setelah mendengar penjelasan Arif.

“Cari tahu siapa anak itu. Siapa namanya, dimana dia tinggal. Aku tidak mau tahu, pokoknya kamu harus mencari cara untuk menghabisinya,” perintah Tama. “Malam ini juga,”

 

Bab 10 Berkat Vinko

“Vin, aku terlambat!” seru Rania, tiba-tiba bangkit berdiri. Kepalanya lurus menatap jam di tangan.

Vinko menganga. “Ibu masih berani masuk kelas dengan baju mau manggung ini?”

Lalu Rania tersadar. Otomatis dia memeluk tubuhnya dan terduduk kaku. “Kamu benar. Aku tidak mungkin masuk kelas dengan baju seperti ini,” timpal Rania.

“Bu Rania belum menjawab pertanyaanku,”

“Pertanyaan apa?”

Vinko mengernyitkan dahi. “Kenapa Ibu memakai baju seperti ini?”

Rania terdiam. Dia tidak mungkin bilang bahwa suaminya yang menyuruh. Itu sama saja membuka aibnya sendiri.

“Jangan banyak bertanya,” hardik Rania. “Sedikit sopanlah pada orang yang lebih tua, apalagi aku dosenmu,”

Vinko mencibir. “Tunggu disini, Bu. Aku akan segera kembali,” Dia berlari. Tak peduli meski Rania berteriak memanggilnya untuk kembali.

Rania tidak punya pilihan selain duduk diam di taman itu. Namun pandangan matanya tetap waspada, barangkali ada mobil Tama terparkir di suatu tempat dan mengawasinya.

“Bu Rania!” Vinko berteriak, di atas vespa matic sembari membunyikan klakson beberapa kali.

Rahang Rania hampir jatuh ke bawah, melihat aksi Vinko yang kegirangan diatas motor sembari melambai padanya.

Rania buru-buru lari–dengan jaket rapat di tubuhnya.

“Kamu apa-apaan, hah! Bikin malu!” omel Rania.

“Cepetan naik, Bu,” Vinko menyerahkan helm pada Rania. “Aku pinjam helm sama Aldo. Mari kuantar mencari pakaian yang pantas,”

Rania bersyukur dalam hati, karena memiliki mahasiswa badung yang cukup banyak akal itu. Tanpa basa-basi dia segera naik di atas boncengan vespa itu, duduk miring karena dia mengenakan gaun.

Meskipun malu untuk mengakui, namun ini adalah kali pertama bagi Rania, dapat berboncengan motor dengan seorang laki-laki.

Menyenangkan sekaligus memalukan.

Namun dia buru-buru sadar, bahwa dia tidak bisa terus berimajinasi karena Vinko adalah mahasiswanya.

“Disini saja, gimana?” Vinko memarkir vespanya di depan sebuah toko baju vintage.

Rania turun dari boncengan, dengan bola mata melebar takjub. Dia tidak pernah berbelanja di toko baju seperti ini. Dia selalu mendapatkan baju-baju mewah yang telah disiapkan Tama untuknya.

“Vinko?” Seorang wanita tua yang tampak masih cantik nan modis dengan gaun vintage berenda, memanggil Vinko. “Kamu sama siapa?” tanyanya.

“Kenalkan Bu Rania, ini mamaku. Pemilik toko kecil ini,” jelas Vinko pada Rania.

Rania pun maju, tersenyum ramah namun kikuk. “Saya Rania,” Dia tidak berani menjelaskan statusnya sebagai dosen Vinko.

Wanita itu mengerjapkan mata beberapa kali saat melihat Rania. “Saya Nita, mamanya Vinko,” balasnya, tak kalah ramah.

“Ma, dia dosenku,” tandas Vinko tanpa basa-basi.

Nita tampak terkejut, meski berusaha ia tutupi untuk menghargai Rania. Sementara Rania berusaha keras menahan malu.

“Ma, tolong pilihkan baju terbaik untuk dosenku. Buat dipakai mengajar,” pinta Vinko.

Nita mengangguk, meski ragu. Lalu dia menyuruh salah satu karyawannya untuk membantu Rania memilih.

Setelah hampir tiga puluh menit memilih, akhirnya Rania mendapatkan tiga pasang baju–satu untuk langsung dipakai.

“Apakah kita pernah bertemu?” tegur Nita, saat Rania memasukkan gaun lamanya ke dalam kantong belanja.

Nita meletakkan segelas teh manis di depan Rania.

“Terima kasih, jadi merepotkan,” balas Rania tak enak hati.

“Apakah kita pernah bertemu, Bu Rania?” ulang Nita, karena sepertinya Rania tidak mendengar.

Rania menyeruput teh itu sambil berpikir. “Sepertinya tidak, Bu,” jawabnya bimbang.

“Bu Rania, ayo!” Vinko berseru, mengajaknya kembali ke kampus.

Rania bangkit, tak lupa berterima kasih dan mengucapkan salam pamit pada Nita.

Meskipun Rania rela tidak masuk dua kelas pagi ini, tapi berkat Vinko, seharian dia bisa melenggang bebas di kampus tanpa khawatir dicemooh. Meski ada beberapa mahasiswa yang menjadi saksi kejadian memalukan tadi pagi, namun mereka memilih bungkam dan sibuk dengan urusan masing-masing.

Dan tibalah saat Rania harus pulang. Mobil Arif seperti biasa sudah datang tepat waktu–seakan pria itu hafal jadwal mengajar Rania.

“Kamu berganti pakaian?” tegur Arif, saat Rania masuk mobil dengan pakaian berbeda.

“Apakah mungkin aku memakai pakaian itu terus?” balas Rania.

“Kamu tidak takut padanya?”

“Aku tidak takut. Tapi aku harus bertahan demi kesuksesan rencanaku, kan?” Rania balik bertanya.

Arif tak bergeming. Dia memilih untuk segera tancap gas dan pergi meninggalkan area kampus.

***

“Kamu naksir sama Bu Rania, ya?” tebak Aldo pada Vinko, di sore hari setelah mereka pulang kuliah.

“Iya. Kenapa?” Vinko menyahut tegas.

Aldo dan Bram saling pandang, kemudian berteriak ‘huuu’ serentak.

“Awas kalian kalau sampai berani macam-macam sama dia!” ancam Vinko, yang disambut cibiran dari Aldo dan Bram.

Dan mereka bertiga pun pulang dengan motor masing-masing, ke arah yang berbeda. Vinko melewati jalan pulang yang biasa dia lalui, namun ditengah perjalanan, motornya dihadang sebuah van hitam.

Ada tiga orang pria bertubuh kekar dengan pakaian serba hitam tiba-tiba menghampirinya.

Salah satu dari pria itu menendang motor Vinko hingga Vinko jatuh keras ke aspal. Lalu dua lainnya membopong tubuh Vinko, yang terus berteriak meronta.

“Lepaskan, woi!!” teriak Vinko membabi-buta.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Tuan Sadis
Selanjutnya Blackwood bab 91-100
0
0
‼️21+‼️Demi menyelamatkan bisnis keluarganya, Elena Morgan terpaksa menyetujui pernikahan bisnis dengan Alexander Blackwood, seorang duda kaya yang memimpin salah satu perusahaan terbesar di seluruh kawasan kota Riverton. Namun siapa sangka, di malam pertama setelah pernikahan, seorang wanita misterius menyerang dan memperingatkan Elene untuk melarikan diri dari Alex. Sebenarnya, rahasia besar yang disembunyikan oleh Alex, sang suami yang tampak sempurna?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan