
MELLIFLUOUS BAB 19 - 20
19 -
[Saya sudah belikan kamu makan siang. Kurirnya bilang dititip di resepsionis depan,] tulis Arthur dalam pesan.
[Dokter, ganti dong foto profilnya!] Zoya melirik jam tangannya. Waktu makan siang sudah hampir tiba, tetapi katering yang ia pesan belum sampai juga.
[Memangnya kenapa?]
[Nanti kalau jantung saya kenapa-kenapa, Dokter mau tanggung jawab?] Zoya merinding sendiri dengan jawaban yang ia tulis.
[Kamu ini.]
Manik kelam Zoya membulat, tak percaya dengan balasan pesan yang Arthur berikan. "Ish, dasar kulkas!"
[Terima kasih, Pak Dokter.]
Zoya memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Sudah cukup istirahat sejenak, ia harus segera menyelesaikan pekerjaannya. Pertama ia turun menuju lobi utama. Mengambil kotak-kotak makanan bersama Mila lalu bergegas memberikan pesanan makan siang Arjuna ke lantai 12 dan kembali ke lantai tiga.
Sepertinya hari ini Arjuna tengah sibuk, karena dari pagi Zoya tidak melihat batang hidung laki-laki itu. Jika tidak diberitahu Michelle, Zoya tidak akan tahu bahwa Arjuna tengah berada satu gedung dengannya sejak pagi.
Tidak bertemu Arjuna membuat pekerjaan Zoya lebih gesit dari sebelumnya, karena tidak ada pengganggu yang sering basa-basi tidak jelas. Namun, ia sedikit terkejut karena katering yang sudah dia ambil belum sempat Mila bagikan.
"Ke mana Mbak Mila?" gumam Zoya seraya mengambil seluruh paper bag di atas meja lalu menuju ruang sebelah.
"Wah, makan siang gratis terakhir ya!" celetuk seseorang saat melihat Zoya datang dan langsung membagikan makanan.
"Zo, cowok yang pernah ke sini jemput kamu itu pacarmu ya? Yang tinggi putih itu?" Lia, salah satu staf yang terkenal sebagai ratu gosip mendorong kursinya dengan kaki, sehingga dia meluncur pelan mendekati Zoya.
"Iya Mbak. Kenapa?" Zoya menyerahkan sekotak nasi beserta minuman kepada perempuan tersebut, Lia.
"Kamu kemarin dianter pacarmu 'kan? Tau gak? Kemarin pagi cowokmu itu ribut sma Mbak Bianca, kesel banget kayaknya cowokmu itu sampe ngegampar!"
"Iyakah?" Zoya terlihat bingung.
"Kamu sibuk sendiri sih! Masa bintang utama gosip gak tahu! Mbak Bianca itu siapanya pacarmu? Mantan ya?"
"Emang ada apa?" tanya Zoya bingung.
"Lah? Cowokmu gak cerita? Mbak Bianca kayaknya ngebet sama cowokmu itu. Dia jelek-jelekin kamu depan pacarmu. Katanya kamu simpenan Pak Arjuna! Capek banget Zo, nganterin makanan doang disebut simpenan. Picek kali matanya Mbak Bianca, tuh! Gak lihat di mana ada Pak Arjuna, di situ ada Bu Angeline! Udah macam perangko sama amplop mereka." Lia bercerita dengan semangat, sedangkan Zoya larut dalam pikirannya sendiri karena Arthur tidak membahas hal itu.
"Emang keren banget pacarmu itu, pantas Mbak Bianca tergila-gila. Sekali gampar langsung keluar sabda. Kena ulti! Cara ngomongnya sih biasa aja, tapi kata-katanya menusuk!" lanjut Lia.
"Masa sih Mbak?"
"Serius! Orang saya lihat sendiri! Sialnya Pak Arjuna ada di situ, ambyar sudah! Mbak Bianca disuruh menghadap ke HRD. Katanya sih pindah divisi plus pindah kantor juga. Ckckck! Niat mengejar cinta, malah tertimpa tangga."
Mata Zoya membulat tak percaya. Bisa-bisanya Arjuna ikut terlibat juga. "Astaga," batin Zoya. Sungguh, dia baru tahu.
Di tempat lain Adhiyaksa tengah berada dalam perjalanan menuju salah satu tempat yang sudah ditentukan untuk bertemu klien bisnisnya. Pria paruh baya itu nampak sibuk dengan iPadnya. Mengacuhkan segala hiruk pikuk kemacetan di depan sana.
Adhiyaksa tidak sendiri, ia bersama dengan sang sekretaris beserta sopir pribadinya. Helaan napas lolos begitu saja kala Adhiyaksa membaca laporan perusahaan. Terdapat masalah yang cukup serius yang harus ia tangani.
Merasa penat, Adhiyaksa menyenderkan kepalanya. Ia berpaling pada sisi jendela sebelah kiri bertepatan dengan berhentinya laju mobil.
"Apa ada jadwal lagi setelah ini, Bim?" tanya Adhiyaksa tanpa mengalihkan pandangan dari bahu jalan.
"Ada, Pak. Pertemuan dengan Pak Ervin dari Naratama. Apa Bapak sudah memeriksa dokumennya? Sepertinya sangat menguntungkan jika kita bekerjasama dengan beliau." Bima menoleh ke belakang dan mendapati Adhiyaksa yang nampak tegang.
Penasaran dengan apa yang Adhiyaksa lihat, akhirnya Bima pun mengikuti arah pandang atasannya. Ia pun sama terkejutnya kala melihat seseorang yang tengah mengobrol di trotoar tak jauh dari mobil mereka.
"Pak, itu-"
"Ya Bim, itu dia. Carikan saya semua infonya," titah Adhiyaksa.
"Baik Pak."
***
Hari minggu yang cerah Zoya masih bergelung selimut di dalam kamar. Semalam ia begadang mengerjakan revisian skripsinya entah untuk ke berapa kali. Belum lagi merekap nilai dan absensi mahasiswa Angeline cukup menyita waktu.
Gadis itu membiarkan ponsel yang sejak tadi berkelap-kelip tanda panggilan masuk. Sengaja ia mengaktifkan mode senyap agar tidurnya tidak terganggu. Sampai akhirnya panggilan itu benar-benar tidak ada lagi.
Entah sampai jam berapa Zoya tertidur tiba-tiba ia merasakan tubuhnya diguncang-guncang oleh seseorang. Gadis itu menggeliat, sekarang telinganya mulai menangkap suara gerutuan seseorang.
"Kak bangun! Dicariin Kak Arthur! Dari tadi dia nunggu di bawah," ujar Rachel.
"Hah?" Zoya terperangah disela kantuknya.
"Ada Kak Arthur! Kakak susah banget dibangunin, kalian ada janji? Kasian dia nunggu dari tadi," gerutu Rachel.
"Dokter Arthur?" Zoya nampak bingung karena memang ia tidak punya janji dengan pria satu itu.
"Kira-kiralah, Kak! Diapelin malah tidur."
"Di mana dia?" Zoya duduk seraya mengucek matanya.
"Di bawah lagi ngobrol sama Papa."
"Hah?!"
"Hah! Hah! Hah! Benar-benar!" Rachel akhirnya keluar dengan kesal setelah memastikan kakaknya tidak kembali tidur.
Zoya meraih ponselnya, beberapa notifikasi misscall dan chat memenuhi ponselnya. Salah satunya dari Arthur yang mengabari bahwa dia akan datang ke rumah Zoya pagi ini.
[Dok, saya baru bangun. Kok gak bilang mau ke sini semalam?] protes Zoya dalam pesan.
[Sengaja, cepat siap-siap. Kita pergi, saya tunggu.]
Zoya turun dari tempat tidur dengan malas. Berjalan gontai menuju kamar mandi, segera membersihkan diri dan setelah selesai ia bergegas menuju lantai satu rumahnya.
Gadis itu menuju dapur dan mendapati asisten rumah tangga mereka tengah memasak. Wanginya membuat Zoya perut keroncongan.
"Non, ada tamu."
"Sudah tahu Bi, tadi Rachel yang bangunin," jawab Zoya. Ia menuangkan air ke dalam gelas lalu meminumnya sampai tidak tersisa.
"Bibi juga bangunin, tapi susah. Non mau sarapan dulu?"
"Nggak Bi, nanti aku makan di luar aja." Zoya menyisir pandangannya ke setiap sudut yang bisa ia lihat. Gadis itu mengerutkan kening seraya mengambil sebuah apel dari dalam kulkas.
"Sepertinya rumah ini ada yang kurang," batin Zoya.
"Ibu Renata sedang pergi, Non."
"Oh." Zoya meninggalkan Mbok Minah seraya menggigit apelnya.
Sesampainya ruang tamu Zoya tidak menemukan siapa-siapa. Namun, telinganya mendengar suara dua orang pria dari arah teras. Benar saja, Arthur dan ayahnya tengah asik mengobrol entah apa yang sedang mereka bahas.
"Udah siap?" tanya Arthur saat melihat Zoya muncul dari balik pintu utama.
Zoya mengangguk meski ia bingung ke mana Arthur mengajaknya pergi. Tatapan gadis itu tak lepas dari kekasihnya. Memperhatikan segala gestur saat Arthur meminta izin sang ayah. Sebuah senyum terbit di bibir Zoya kala Adhiyaksa menepuk pundak Arthur pelan.
"Jangan ngebut ya," pinta Adhiyaksa.
"Baik, Om. Kami permisi dulu."
"Dah, Papa!" Zoya melambaikan tangan seraya berjalan menuju mobil Arthur.
Adhiyaksa ikut mengangarkan sampai ujung teras. Ia menghela napas panjang menyadari putrinya yang ternyata sudah beranjak dewasa. Pria itu tetap berdiri tempat sampai mobil yang membawa Zoya dan Arthur benar-benar menghilang.
"Dok, kita mau ke mana?" tanya Zoya seraya menyenderkan punggungnya. Sungguh, sebenarnya ia malas keluar rumah.
"Nanti juga kamu tahu. Kamu sudah sarapan?"
Zoya menoleh lalu menggelengkan kepala. Kini ia sadar pria di sebelahnya terlihat begitu casual. Kaos lengan panjang berwarna dark grey, celana levis hitam dan topi berwarna mocca. Penampilan Arthur malah membuat Zoya mengangkat sebelah alisnya. Perubahan ekspresi itu Arthur tangkap dari spion atas.
"Kenapa?" tanya Arthur tanpa menoleh.
"Santai banget bajunya, Dokter gak kerja?"
"Shift malam."
"Ouh." Zoya mengangguk-anggukkan kepala.
Mobil terus bergerak membelah kota. Zoya dan Arthur tidak banyak bicara. Arthur membiarkan gadis disampingnya itu menghabiskan camilan yang sengaja Arthur beli seraya mendengarkan lagu favoritnya.
Sengaja Arthur lakukan itu agar mood Zoya naik. Menghabiskan beberapa bulan dengan Zoya membuat Arthur mengerti kalau kekasihnya itu senang sekali ngemil. Terbukti, Zoya mulai mengikuti syair yang terdengar dalam lagu seraya menggerak-gerakan tubuhnya.
Arthur tersenyum simpul. Ia berhasil membuat suasana hati Zoya jauh lebih baik. Pria itu memperlambat laju mobilnya memasuki sebuah cluster. Ia menurunkan jendela mobil dan melambaikan tangan pada pria yang berada di pos satpam yang ia lewati setiap hari.
"Dok, kita mau ke mana? Kok masuk sini?" Zoya menegakkan tubuh memandang satu demi satu rumah-rumah mewah nan asri tanpa pagar.
Firasat Zoya mengatakan hal lain, dugaannya membuat debaran dalam rongga dada gadis itu terpacu cepat.
"Mati aku," batin Zoya.
Kendaraan Arthur berbelok memasuki salah satu halaman rumah yang bisa Zoya tebak itu rumah siapa.
"Dok, jangan aneh-aneh, deh!"
"Aneh-aneh apa? Saya hanya ajak kamu ke rumah saya," jawab Arthur seraya tersenyum jahil.
"Rumah Dokter atau-"
"Rumah saya dan orang tua saya," tegas Arthur.
"Gak gini caranya Dok!"
"Saya hanya ingin kamu bertemu dengan orang tua saya. Itu saja." Arthur melepas seatbelt yang dikenakan Zoya.
"Ya ... tapi setidaknya bilang dulu," protes Zoya.
"Kalau bilang, pasti kamu gak mau. Betul 'kan?"
Zoya menghela napas panjang. "Iya sih ...."
Arthur memiringkan tubuhnya menghadap Zoya. Meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat. Seolah berkata tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Arthur menangkup sebelah wajah Zoya dengan tangan kirinya. Ibu jari pria itu bergerak-gerak perlahan, meyakinkan Zoya semua akan baik-baik saja.
Setelah dirasa emosi Zoya mulai tenang. Arthur mengelus pucuk kepala gadis itu lalu keluar. Dibukanya pintu untuk Zoya, membuat gadis itu terpaksa keluar meski dengan raut wajah kesal.
"Ih, Dok! Aku malu," rengek Zoya.
Arthur terkekeh-kekeh, setelah hubungan ikatan mereka semakin erat dan hubungan mereka semakin pasti. Zoya mulai menunjukkan sifat aslinya yang manis, manja dan sedikit cerewet.
"Tunggu, kita belum beli sesuatu buat Ibu." Zoya menarik tangan Arthur yang menggenggam erat jemarinya. Membuat langkahnya sedikit tersentak ke belakang.
"Ibu?" Tak berhenti Arthur tersenyum dengan berbagai kejutan yang dibuat Zoya. Belum bertemu, tetapi gadis itu memanggil ibunya 'Ibu'. Padahal Arthur sendiri tidak seperti itu pada orang tua Zoya.
"Ya, ibunya Dokter! Masa aku ke sini gak bawa apa-apa. Gak bawa kue, parsel atau apa gitu," cerocos Zoya.
"Tidak usah."
"Nanti kalau aku tidak masuk daftar calon menantu bagaimana?"
"Apa?" Manik kelam Arthur membulat, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Ish! Tahu ah!" Zoya mendecak kesal karena malu.
"Kamu ini." Arthur mempererat genggaman tangannya lalu mengajak Zoya masuk.
Saat pintu terbuka penglihatan Zoya begitu dimanjakan dengan desain rumah yang elegan. Tidak ada lampu kristal besar, tangga meliuk dan gorden setinggi harapan di rumah Arthur.
Kemewahan bisa dilihat dari barang dan furnitur yang ada tanpa rancangan yang berlebihan. Suasana nyaman, hangat begitu terasa. Jauh berbeda dengan rumah Zoya.
"Ah, kalian sudah sampai? Jadi ini yang namanya Zoya, Ar? Apa kabarmu, Nak?" Devina muncul dari arah dapur dan memeluk Zoya.
"Baik Bu. Maaf saya tidak membawa apa-apa. Dokter Arthur tidak memberitahu saya sebelumnya," jelas Zoya dengan sopan.
Devina tersenyum senang mendengar bagaimana Zoya memanggilnya. "Dokter? Kalian pacaran, tapi kamu memanggil Arthur, dokter? Sepertinya kamu ketularan kaku sama Arthur, ya?"
"Ah, itu ... sudah kebiasaan, Bu."
"Yasudah kalian ke atas dulu. Masakan Ibu sebentar lagi selesai. Nanti Ibu panggil. Kita makan sama-sama ya." tutur Devina.
"Ayah ke mana, Bu?" tanya Arthur.
"Ayahmu pergi main golf sama teman-temannya. Dia sudah janji, tidak enak katanya kalau dibatalkan. Katanya salam buat Zoya," jelas Devina.
Seketika alis Zoya tertaut, kenapa harus ke lantai dua jika di rumah mereka terdapat ruang tamu. Belum habis kebingungan Zoya, Arthur berdeham dan saat gadis itu menoleh pria itu mengedikkan dagu. Sebagai isyarat agar Zoya naik lebih dulu.
Sepanjang tangga di lantai dua, perhatian Zoya tidak lepas dari foto keluarga dan berbagai sertifikat perusahaan yang terpajang di dinding. Dari situ ia tahu, bahwa Arthur adalah putra dari seorang petinggi perusahaan ternama.
"Pantas kaya," gumam Zoya saat menapaki tangga terakhir.
"Hmm?"
Zoya tertawa kikuk menyadari Arthur mendengar apa yang ia ucapkan. "Nggak ...."
"Kemari," ajak Arthur.
Pria itu berjalan menuju sebuah ruangan yang pintunya tertutup. Tanpa kata Arthur membuka pintu tersebut dan menyalakan lampu. Sebuah kamar besar bernuansa abu-abu coklat muda memanjakan penglihatan Zoya.
"Kamar siapa ini?"
"Kamar saya, Zoya."
"Apa? Kenapa ke kamar?"
***
20 -
Zoya masuk ke dalam kamar Arthur, ia menyimpan tas kecilnya di atas kasur dengan gerakan lamban. Pandangannya berpendar ke seluruh ruangan. Aroma woody dan violet khas Arthur begitu mendominasi. Membuat Zoya bergerak menuju meja kecil di sudut ruangan.
Gadis itu tersenyum kala mendapatkan yang ia cari. Sebuah botol parfum dengan merek ternama tersimpan di antara buku-buku tebal. Zoya meraih parfum tersebut, membuka tutupnya dan menghirup aroma parfum tersebut.
“Dari sekian banyak barang di kamar ini, kenapa malah parfum?” tanya Arthur seraya mendekat.
“Eum … wanginya bikin kangen.” Yah, Zoya tahu betul wangi parfum itulah yang pertama kali membuat Zoya merasa nyaman berada di dekat Arthur.
“Saya ke bawah dulu.” Pria itu pergi setelah Zoya menangguk.
Gadis itu mendekati rak buku, memindai setiap judul yang ada di sana. Mendadak matanya terfokus pasa sebuah album foto berwarna hitam, ia mengambilnya lalu duduk di tepi ranjang. Dibukanya album tersebut lalu tersenyum. Halaman pertama album tersebut adalah fhoto Arthur kecil yang tertawa riang bersama Devina dan Jordie.
Entah mengapa tiba-tiba Zoya merasa sesak, matanya mulai mengabur karena air mata. Cepat-cepat ia menggosok matanya sebelum ia benar-benar menangis. Seingatnya, Zoya dan keluarganya tidak pernah mempunyai foto seperti ini, kecuali fhoto keluarga formal yang diambil di studio untuk pajangan di ruang tamu.
Jari jemari Zoya menyentuh setiap lembar foto, menikmati segala ekspresi yang ada pada wajah Arthur. Ada bahagia, marah bahkan merajuk. Tiba-tiba Zoya berhenti di lembar fhoto seorang perempuan yang berbeda dari foto-foto sebelumnya.
“Ini … bukan Ibu Devina,” guman Zoya.
“Itu ibu kandung saya.” Tiba-tiba Arthur masuk. Ia menyerahkan segelas jus jeruk pada Zoya dan duduk di samping kekasihnya. Zoya menatapnya intens seakan meminta penjelasan.
“Ibu kandung saya meninggal ketika saya masih bayi. Ayah bertemu dengan Ibu Devina saat saya berumur tiga tahun, lalu mereka menikah. Itu adalah album foto pertama yang kami buat. Katanya saat itu Ayah dan Ibu baru saja menikah,” jelas Arthur.
Zoya tersenyum getir. “Ibu Devina terlihat sangat tulus menyayangi Dokter. Tidak seperti mama saya.”
Arthur tahu ke mana arah pembicaraan gadis di sampingnya. Penjelasan Anya tempo hari sudah lebih dari cukup. Namun, ia tetap ingin Zoya terbuka padanya. Agar gadis itu percaya Arthurlah tempat yang tepat untuk berbagi rasa.
“Semua orang beruntung dicintai oleh orang tua, dianggap berharga. Dokter, Anya, Kira, Rachel mendapatkan itu, kecuali saya. Yah, sepertinya Dokter bisa menyimpulkan. Saat pertama kali kita mulai dekat dulu ketika tak sengaja bertemu di pinggir jalan, saat pulang dari aquarium, mama selalu seperti itu dan aku … lelah.” Zoya menunduk, meratapi nasibnya yang ternyata berbeda dari anak-anak lain.
“Saya rasa mama membenci saya. Dokter tahu? Satu-satunya keinginan terbesar dalam hidup saya adalah keluar dari rumah itu selamanya,” ucap Zoya lirih.
Arthur maklum dengan apa yang diucapkan Zoya. Gadis itu belum bisa mencerna, dibalik kasarnya sikap Renata ada kasih sayang yang besar.
“Zoya, tidak ada orang tua yang membenci anak-anaknya. Mungkin saja mereka hanya kesulitan mengungkapkan kasih sayang dan khawatiran mereka..” Arthur meraih Zoya dan memeluknya dalam dekapan.
“Jika mama sayang pada saya, dia tidak akan pernah menghina dengan kata-kata kasar. Menuduh dan merendahkan seolah anaknya perempuan murahan. Dia pasti bertanya baik-baik kenapa begini, kenapa begitu. Apa ada orang tua yang tega memukuli buah hatinya? Kenapa sikapnya pada Rachel berbeda? Harimau pun berpikir dua kali saat akan memakan anak-anaknya.” Zoya membalas pelukan Arthur dengan erat. Bisa ia rasakan hembusan napas pria itu yang berat dan sedikit kasar.
Arthur terdiam, tidak mudah membuat Zoya mengerti karena ia pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pemicu kerasnya hati Zoya tentu dikarenakan trauma akan sikap ibunya dan Arthur pun yakin pasti ada hal lain yang menjadi alasan mengapa sikap Renata berbeda pada kedua anaknya.
Pria itu sadar di mana posisinya. Arthur hanyalah seorang kekasih yang tidak berhak mencampuri urusan keluarga Zoya lebih jauh. Pernah dengar istilah … seorang dokter pun perlu dokter lain untuk menyembuhkan penyakitnya?
Begitulah yang dialami Zoya. Ia tidak bisa melihat kondisi Renata dan dirinya sendiri dari kacamata Ilmu Psikologi, meski Zoya sendiri terjun di bidang itu. Arthur mengusap kepala Zoya, mengerti bahwa gadis dipelukannya membutuhkannya.
Zoya butuh sandaran, tempat pulang dan pengendali emosi yang tepat. Beruntung Arthur bertemu Zoya lebih awal, jika tidak ia khawatir gadis itu menggantungkan hidup dan kebahagiaannya pada laki-laki berengsek di luar sana. Siapa pun pasti tertarik pada kecantikan Zoya dan harta keluarganya, bukan?
“Zoya …,” panggil Arthur lembut.
“Hm!”
“Menikahlah dengan saya,” ucap Arthur penuh keyakinan.
Zoya melepaskan pelukannya, terkejut dengan apa yang ia dengar. Manik kelamnya menatap Arthur intens, gerakan korneanya seolah meminta penjelasan.
“Apa maksud Dokter?”
“Saya membawamu ke sini tidak semata-mata hanya karena mengajakmu berkunjung. Saya sudah membicarakan ini dengan keluarga, saya ingin menikahimu. Satu-satunya alasan saya membawamu ke mari adalah menunjukkan pada Ibu siapa calon menantunya. Izinkan saya membahagiakanmu di sisa hidup saya. Izinkan saya menjagamu, menjadi satu-satunya rumah milikmu.” Arthur meraih kedua telapak tangan Zoya dan menggenggamnya penuh kasih sayang.
Arthur bisa melihat Zoya yang bingung, sorot matanya menunjukkan keterkejutan sekaligus keinginan yang sama. Kebahagiaan begitu kentara, tetapi Zoya sepertinya tidak mampu berbicara. Lidahnya begitu kelu meski gadis itu ingin berkata ‘iya’.
Gadis mana yang tidak merasa beruntung dicintai sebegitu tulusnya oleh seorang laki-laki. Namun, Zoya tak menampik berbagai kecemasan muncul tiba-tiba. Ayahnya mungkin setuju, karena Adhiyaksa sepertinya lebih bisa menerima kehadiran Arthur. Bagaimana dengan ibunya?
“Tidak usah cemas, saya tidak terburu-buru. Saya akan menunggu sampai skripsimu selesai dan kamu lulus. Saya juga harus menaklukkan kedua orang tuamu, bukan?” Arthur terkekeh-kekeh melihat wajah tegang Zoya. Ia menjawil pipi Zoya gemas.
Arthur paham betul dengan semua yang Zoya alami, gadis itu pasti sulit mengambil keputusan sendiri. Terlalu banyak ketakutan apalagi jika dibenturkan dengan bagaimana sikap ibunya nanti. Lagi pula, pernikahan bukan hal yang sepele.
“Katakan pada saya, apa yang kamu pikirkan? Kamu tidak mau menikah dengan saya?” tanya Arthur.
“Bukan seperti itu –” ucap Zoya panik.
Kalimat Zoya terhenti sejenak kala melihat wajah serius Arthur yang memandangnya. “Saya tidak bisa membayangkan bagaimana respon mama terhadap hal ini, tapi … bawa saya pergi dari rumah itu, Dok.”
Zoya berkata lirih bahkan nyaris tak terdengar. Ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Sebuah senyuman terbit begitu saja kala merasakan banyak sekali kupu-kupu berterbangan di perutnya. Namun, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam. Gadis itu tak menampik ada rasa takut yang tak ia mengerti.
“Jadi, bolehkah Saya membawa hubungan ini ke jenjang yang lebih serius, Zoya?” tanya Arthur memastikan.
Perlahan Zoya mengangguk dan menghambur ke pelukan Arthur. Melupakan sejenak di mana keberadaan mereka.
“Bisakah Dokter datang ke acara wisudaku nanti?” pinta Zoya.
“Tentu, selesaikan skripsimu dengan cepat agar aku bisa meminangmu secara resmi.” Arthur mengelus belakang kepala Zoya penuh cinta.
Hal itu sangat menenangkan bagi Zoya. Akhirnya, ia akan punya tempat pulang.
***
Beberapa bulan berlalu terasa sangat cepat. Setelah berkutat dengan lembaran revisi dan tugasnya sebagai asisten dosen. Akhirnya hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh Zoya tiba.
Gadis itu tengah berada di aula utama kampusnya. Berbaris mengantri menunggu namanya dipanggil untuk menuju podium wisuda. Di atas sana, di barisan para orang tua. Adhiyaksa tersenyum bangga saat nama putri sulungnya dipanggil. Zoya lulus dengan predikat yang sangat memuaskan. Nilainya paling tinggi di antara teman-temannya yang lain.
Setelah rangkaian acara selesai, Zoya keluar dari aula. Anya dan Kira berlari memburunya, menyerahkan buket bunga dan kotak hadiah. Namun, yang paling membuat Zoya tercengang kedua sahabatnya itu sama-sama memakai gaun dan toga.
“Kalian kenapa pakai pakaian begitu sih? Yang wisuda ‘kan aku, kalian udah lulus duluan!” protes Zoya seraya tertawa melihat kerandoman sahabatnya.
“Kita belum punya foto pakai toga bertiga Zoya, sekarang ngapain lagi? Foto-fotolah!” timpal Anya.
“Kan bisa nanti aja sewa studio,” jawab Zoya.
“Justru moment-nya lebih spesial kayak begini! Background-nya banyak orang, keren ‘kan?” sahut Kira.
“Terserah kalian sajalah!” Zoya menyerah mengikuti kemauan kedua sahabatnya.
Adhiyaksa, Renata dan Rachel menghampiri. Masing-masing membawakan bunga dan hadiah. Rachel terlihat lebih ceria dari anggota keluarga yang lain, karena Adhiyaksa dan Renata terus-terusan menatap haru pada Zoya.
“Selamat ya, Nak.” Adhiyaksa merengkuh putrinya dan mencium puncak kepala Zoya, sedangkan Renata hanya mengelus punggung Zoya pelan. Membuat gadis itu sedikit terhenyak, sentuhan itu terasa asing dan membuatnya sedikit tidak nyaman sekaligus senang.
“Kak Arthur gak ke sini?” tanya Rachel.
“Ke sini, kok! Ibunya juga katanya ikut,” jawab Zoya.
“Itu Dokter Arthur!” tunjuk Anya.
Semua orang menoleh ke arah Arthur yang berjalan gagah dengan sebuah buket mawar putih di tangannya. Zoya tersenyum senang, ia berjalan menghampiri Arthur yang disambut dengan pelukan hangat dari pria itu.
“Selamat Zoya, ini untukmu.”
“Cantik sekali,” ucap Zoya seraya menerima buket mawar itu.
“Seperti kamu,” jawab Arthur.
“Wah! Pak Dokter ternyata pintar ngegombal!”
Pria itu merangkul pundak kekasihnya. Berjalan menuju keluarga Zoya. Namun, baru beberapa langkah Arthur dan Zoya menoleh ke belakang. Pasalnya Devina masih mematung di tempatnya. Dengan wajah yang tegang dan mulut sedikit terbuka, Devina memandang lurus ke depan. Bukan pada Arthur dan Zoya, tetapi pada kedua orang tua Zoya.
“Ibu?” panggil Arthur, tetapi Devina tetap bergeming.
“Adhi? Rena?” gumam Devina yang belum lepas dari keterkejutannya.
Di pihak lain, Renata meraih lengan Adhiyaksa dan mencengkeram cukup kuat. Setelah bertahun-tahun berlalu, ia tak menyangka akan bertemu kembali dengan perempuan dari masa lalu. Sialnya, dia datang bersama Arthur.
“De … Vina,” ucap Renata lirih menahan segala sesak yang tiba-tiba muncul tanpa diminta.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
