
“Ya ampun, Jiko. Anakmu ini lucu sekali, manis sekali. Aru juga cantik sekali, anggun pembawaannya ya.” Robert tidak henti-hentinya memuji Willie dan juga Aru.
“Oh iya, ini anakku. Harvey, kenalkan dirimu.” Robert menarik pelan Harvey yang daritadi berdiri dibelakang ayahnya.
“Hallo om, tante, saya Harvey.” Harvey menjawab seadanya dan membungkuk sopan. Matanya menatap ke Aru dan Willie sesaat.
Aru dan Willie memberi senyum kepada Harvey tetapi tidak dengan Harvey. Harvey hanya memberi senyum tipis...
Cahaya mentari yang terbit dari ufuk timur masuk menyinari ruang kamar Harvey yang tengah tertidur pulas jika saja ibunya tidak menyibak gorden kamarnya dan membangunkan dirinya dari alam mimpi.
Harvey tidak punya niatan untuk bangun sekalipun mamanya sudah mengguncang hebat tubuhnya yang masih terbaring di kasur ukuran king size miliknya.
Wanita paruh baya tersebut masih bersikeras untuk membangunkannya hingga akhirnya laki-laki itu membuka mata. “Kenapa, ma? Aku ngantuk banget karena tugas semalam.”
“Bangun, Vey. Kita harus berangkat pagi ini. Segera bersiap.”
“Nggak mau. Aku nggak usah ikut, ya?”
“You have to. Wake up now and prepare yourself.”
Harvey tidak menjawab malah menarik selimut untuk menutupi seluruh bagian tubuhnya hingga kepala membuat sang mama gemas akan kelakuannya.
“Kamu. Harus. Bangun. Sekarang.” Rona—mamanya Harvey, berujar sembari menarik selimut Harvey dan memukul pelan bagian bokong Harvey.
“Do i have to wake up now, mom??? Aku capek soalnya semaleman nugas dan baru bisa tidur jam tiga subuh.” Harvey sontak mengambil posisi duduk dan menunjukkan wajah sebal kepada Rona.
“I don’t want hear any excuses, Harvey.” Ujar Rona menatap Harvey yang sedang merajuk tidak ingin pergi ketika Rona memaksa untuk bangun dari kasur dan segera bersiap.
“Mom, please, aku masih ngantuk. I need to sleep.”
“Mama nggak mau dengar, Vey. Get up now or your dad will scold you.” Rona berkacak pinggang, memutar bola matanya malas melihat anak tunggalnya enggan bangkit dari kasur.
Rona paham agaknya dia keterlaluan memaksa anaknya untuk ikut dia dan sang suami untuk pergi bertemu dengan kerabat lama suaminya karena Harvey sibuk dengan tugasnya semingguan ini hingga tidur larut malam dan hari ini weekend adalah waktu terbaik untuk membiarkan Harvey beristirahat. Namun sang suami dengan kerabat sudah berjanji untuk membawa keluarga masing-masing.
“Silahturami, sayang. Menjalin hubungan baik itu perlu, apalagi dengan teman lama.” Sang suami memberi penjelasan ketika Rona bertanya mengapa mereka harus datang pada pertemuan dia dengan kerabat lamanya.
Walau Rona sudah menjelaskan kepada Robert Thadeus—sang suami sekaligus ayah Harvey, bahwa Harvey perlu istirahat. Namun Robert sudah janji pada teman lamanya, tidak sampai hati bila dia musti mengingkari.
Kala Harvey mendengar ancaman yang terlontar dari bibir Rona, cowok itu mau tidak mau bangun dari kasurnya dan segera menarik handuk dan berjalan ke kamar mandi. Dia berjalan dengan penuh kekesalan, mau menolak tapi dia terlalu lelah mendengar amarah sang papa, lantaran dia mengenal baik watak sang papa. Maka Harvey tidak memiliki pilihan lain selain menurutinya.
“Tapi emang kita mau kemana sih, ma?” Tanya Harvey sebelum masuk ke kamar mandi.
“Papamu ingin bertemu dengan kerabat lamanya. Kamu tahu sendiri seperti apa papamu.”
“Well, yeah. Piala berjalannya papa.” Harvey melangkah masuk dan menutup pintu.
Rona menghela napas sesaat dan begitu suara shower terdengar, Rona bangkit dan hendak bergegas.
“Segera turun jika sudah selesai bersiap ya, darling.” Rona berujar dengan sedikit mengencangkan suaranya supaya Harvey dapat mendengarnya. Wanita tersebut menutup pintu kamar Harvey lalu menuruni anak tangga. Dilihatnya Robert sedang membaca sesuatu— seperti sebuah artikel dari tabnya sembari menyesap segelas kopi hangat yang diseduh oleh Rona sebelum membangunkan Harvey beberapa saat yang lalu.
“Oh. sayangku.” Sontak Robert meletakkan tab dan menaruh secangkir kopi di meja nakas yang terletak di samping kanan Robert. Senyumnya spontan merekah begitu dia melihat istrinya datang menghampirinya.
Rona mendekatinya, dia duduk dan memeluk tubuh Robert dari samping.
“Ada apa? Kenapa kamu keliatan tidak bersemangat?” Robert mengusap kepala Rona dengan lembut, menatapnya dengan penuh kasih sayang.
“Harvey harus banget hadir, kah? Dia semingguan ini sibuk dengan tugas sekolahnya, sayang.”
“Aku tahu. Tapi dia seorang pria. Sebagian dari diriku ingin mengajarinya bagaimana membangun hubungan dengan orang lain ketika dia sudah bekerja suatu saat nanti.”
“Perjalanan Harvey ke sana masih jauh, by. Dia baru kelas tiga SMA. Dan dia masih harus menempuh pendidikan tinggi. Perjalanannya masih panjang.” Salah satu yang Rona tidak suka dari sisi Robert adalah jiwa ambisinya. Rona merasa Robert sedikit keterlaluan dalam hal ini.
“Tapi akan terjadi. Aku tidak mau dia menjadi lelaki yang tidak bisa apa-apa ketika dia sudah tidak di jenjang pendidikan nanti. Dia harus memperhatikan bagimana berkomunikasi dengan baik dalam dunia bisnis.” Tegas Robert.
“Dan kerabatku bilang kalau dia membawa dua anaknya, mereka anak baik dan pintar. Aku jelas tidak mau kalah. Ingin aku membawa anakku satu-satunya yang sangat kubanggakan.” Sambungnya kembali sembari terkekeh pelan.
Rona memilih diam enggan meneruskan perdebatan kecil. Dia melepas pelukan ketika dilihatnya Harvey telah turun dari tangga.
“Sudah siap, anakku?” Robert menepuk pundak Harvey sembari tersenyum yang dibalas anggukan singkat dari Harvey.
Ketiganya pun melangkah keluar rumah. Sang ibu menngunci pintu rumah sedangkan Harvey hanya bermain ponselnya bosan, Robert bersiap mengeluarkan mobil dari bagasi hingga mereka pun memasuki mobil dan berangkat ke restoran tempat pertemuannya.
***
Sudah hampir satu jam Jehan berkutat dengan tugasnya tanpa dia sentuh sedikit pun. Dia hanya memandang kosong ke arah buku tulisnya dan memutar-mutar bolpoin tanpa ada keinginan untuk mengerjakannya.
“Coy, sarapan nggak?”
Pintu terbuka menampilkan cowok yang sedikit lebih pendek dan lebih tirus dari Jehan, dengan baju piyama yang dikenakan dan wajah yang sudah segar kentara sekali cowok itu tidak dalam keadaan baru bangun tidur. Pemuda itu mengajak Jehan untuk menyarap bubur terdekat di komplek rumah mereka.
“Oy, Jehan!”
Merasa jengah karena tidak ada jawaban, dia masuk menghampiri Jehan yang sedang melamun. “Mikirin Aru, ya?”
Mendengar nama Aru disebut, Jehan menoleh dan langsung dihadiahi toyoran dari cowok berpiyama itu.
“Bengong terus lo.”
“Suka-suka gue, lah.” Jehan bete acara melamunnya diganggu oleh Regan Mahaputra—sepupunya.
Regan tinggal bersama Jehan dan kedua orang tuanya Jehan. Ibu dan Ayah Regan ada di kampung. Mereka menitipkan Regan kepada orang tua Jehan hanya untuk Regan mendapat pendidikan yang bagus di kota Jakarta. Alasan orang tua Regan tidak ikut tinggal di Jakarta adalah mereka mau mengelola perkebunan dan pertanian mereka di kampung, bisnis keluarga.
Orang tua Jehan pun tidak keberatan menerima Regan di rumah. Ayah dan Ibu Jehan tahu bahwa Regan adalah anak yang baik dan penurut, berbanding terbalik dengan Jehan yang pembangkang. Ibu dan Ayah Jehan terkadang sampai jengah mengomeli Jehan. Mereka suka meminta tolong Regan untuk menasehati Jehan kalau-kalau anak itu nakalnya kelewat batas.
Pernah suatu kali Jehan merajuk ke orang tuanya dikarenakan Regan lebih dipercaya oleh orang tuanya ketimbang Jehan sendiri. “Sebenernya aku atau Regan sih yang anaknya mama?”
Regan kala itu hanya cekikikan menikmati Jehan yang merajuk seperti anak kecil. Tidak heran walau seumuran, Jehan sering dititipkan oleh Regan bila orang tua Jehan ada urusan ke luar kota dalam hal pekerjaan.
“Gue ngajak lo makan, loh? Lo gamau?” Regan memiringkan kepala menatap Jehan yang masih cemberut.
Sebenarnya perasaan Jehan kurang baik pagi ini dikarenakan satu dan lain hal. Namun yang jadi alasan utama adalah Aru yang tidak membalas pesannya sedari malam. Terlihat online di sosial media pun tidak, membuat Jehan bertanya-tanya apa yang sedang Aru lakukan.
Jehan tadinya ingin mengajak Aru untuk ngemall bareng siang ini sekalian nonton movie yang sedang tayang di bioskop. Yah.. secara nggak langsung Jehan ngajak Aru kencan. Tapi ya itu, Aru tidak ada kabar bikin Jehan gusar sepanjang malam, tidurnya pun tidak nyenyak dan hingga pagi ini dia memutuskan untuk mencoba membuang perasaan gusarnya dengan mengerjakan tugas yang akan dikumpul hari senin.
Tapi ternyata usahanya gagal, Jehan malah melamun. Ke mana sebenarnya Aru? Sebab tidak biasanya Aru menghilang tanpa kabar.
Nyebelin memang si Jehan, tidak ada status apa-apa dengan Aru tapi lagaknya udah kayak jadi pacarnya.
Sebenarnya dibilang bete karena Regan mengganggu aktivitas melamunnya ya tidak juga. Dipikir-pikir, kehadiran Regan mengajak Jehan untuk sarapan bukanlah ide yang buruk. Mana tahu setelah merasakan angin segar di pagi hari membuat perasaannya membaik.
“Boleh lah, yok.”
Jehan berhenti memainkan bolpoinnya setelah menimang-nimang beberapa saat ajakan Regan. Dia bangkit berdiri dan mengambil ponselnya yang terletak di samping bukunya yang bercecer berantakan di meja.
Keduanya keluar dari kamar Jehan dan menuruni anak tangga bersama.
Jehan mengambil jaket dan itu mengundang tanda tanya dalam wajah Regan.
“Ngapain pake jaket segala?”
“Biar keren.”
Regan menoyornya lagi. “Kita mau beli bubur mang Udin yang literally ada di komplek depan. Tiga puluh lima langkah dari rumah kita. Nggak usah sok iye banget pake jaket anjir.”
“Sewot banget sih, budak. Kali aja ada cewek cakep nyantol sama gue ‘kan gitu.” Jehan menyibak rambut sok keren yang dibalas ekspresi gumohnya Regan.
“Terserah lo aja, lah.” Regan enggan menghabiskan energi untuk kelakuan Jehan yang kadang-kadang melelahkan Regan.
Regan bingung sebenarnya. Orang yang lemah, letih, lesu, lunglai alias hobi menjaga energi seperti Regan harus dipersatukan dengan cowok petakilan, nggak bisa diam dan banyak gaya macam Jehan. Tidak mengerti cara kerja semesta tapi orang-orang menyebutnya ‘Takdir’.
Keduanya sudah tiba di kedai bubur mang Udin dan mereka memesan masing-masing satu porsi. Mereka memutuskan makan di tempat. Mata mereka mengedarkan pandangan terhadap tempat duduk di kedai dan betapa terkejutnya mereka mendapati Liam ada di sana asik menyantap bubur sembari melihat video ikan di youtube.
***
Di sabtu pagi ini Liam sudah merasa bosan karena tidak ada jadwal apapun yang bisa dikerjakan, hingga tiba-tiba timbul keinginan dari hatinya untuk menyantap bubur buatan mang Udin yang terletak di depan komplek rumahnya Jehan dan Regan.
Bubur buatan mang Udin selalu menjadi favoritnya semenjak pertama kali dia menyicipi bubur tersebut. Alasannya karena kecapnya lebih banyak dan daging ayamnya tidak pelit bikin Liam jatuh cinta sama bubur mang Udin.
Maka dengan perasaan ingin makan bubur mang Udin, Liam pun beranjak dari sofa ruang tamunya dan mengambil kunci motor serta helm. Dia perlu helm karena butuh waktu kurang lebih setengah jam untuk sampai di tujuan. Jaga-jaga bila ada polisi dan juga untuk keselamatan dia sendiri. Liam hanya mengenakan pakaian sekenanya, dan membiarkan rambut keritingnya terurai bebas tanpa dia ikat–biasa Liam mengikat separuh rambut keritingnya agar terlihat rapih di sekolah. Rambut keritingnya dimiliki Liam sejak lahir dan belum sempat meluruskan rambutnya sebab hal itu perlu biaya, dia juga mencari waktu yang baik untuk pergi ke salon.
Dengan menancapkan gas, motor pun melaju meninggalkan rumah dan menuju ke kedai bubur yang Liam inginkan.
Jalanan tidak sepadat hari biasa sehingga hanya perlu sekitar dua puluh menit untuk tiba di tujuan.
Begitu tiba di kedai mang Udin, Liam memarkirkan motornya dan berjalan masuk ke dalam kedai. Sejauh ini hanya ada satu pasangan yang makan di kedai sehingga membuat cowok itu bernafas lega. Dia kurang suka keramaian apalagi jika makan dengan suasana yang bising, Liam tidak nyaman.
“Mang, bubur satu kayak biasa, ya.”
“Bungkus atau makan sini, mas?” Jawab Mang Udin.
“Makan sini, mang.”
“Oke, ditunggu ya mas. Boleh duduk di mana saja terserah mas.”
“Nggak papa, saya tunggu aja di sini sampe jadi buburnya.”
“Okedeh kalo begitu mas bule.”
Liam memang sudah sering makan di kedai ini sampai mang Udin hafal dengan dia dan pesanannya. Pertama kali cowok itu makan di sini bersama dengan Jehan dan Regan, mang Udin sempat mengira dia adalah orang bule. Sebab tampang Liam yang kebarat-baratan, belum lagi rambut pirang yang mang Udin lihat kala itu. Saat itu Liam iseng mewarnai rambutnya menjadi warna pirang, padahal Regan sudah mengingatkan untuk jangan mewarnai rambut sebab semua sekolah pasti memiliki peraturan untuk siswa yang bersekolah dilarang mewarnai rambut. Alhasil Liam dihukum dan pihak sekolah meminta untuk mewarnai kembali rambutnya menjadi hitam.
“Sendirian aja, mas?” Mang Udin membuka topik sembari membuatkan bubur untuk Liam yang menunggu dengan berdiri di samping mang Udin. Memperhatikan mang Udin yang membuat bubur begitu lihai.
“Iya, mang.”
“Yang lain pada ke mana, mas?”
Mang Udin tahu bahwa Liam bukan tinggal di sini dan setiap dia beli pasti ada Regan dan Jehan. Kalau Rava biasa ngikut doang sebab Rava kurang suka bubur.
“Kaga tau, mang. Palingan lagi molor di rumah. Saya mah dari rumah langsung ke sini tadi. Kagak main ke rumah Jehan.”
Mang Udin hanya manggut-manggut mengerti. Bubur belum selesai dibuat, dan mang Udin masih ingin ngobrol dengan Liam. “Mas bul sudah punya pacar belum?”
Pertama kali mang Udin lihat Liam, mang Udin langsung naksir. Cakep banget soalnya. Cakepnya kagak biasa, mukanya benar-benar seperti Apollo—dewa matahari mitologi Yunani yang sering mang Udin lihat di internet. Mang Udin berpikiran ingin menjadikan Liam menantunya. Dia punya anak perempuan dan usianya tidak kelihatan jauh beda dari Liam, jika semesta mengizinkan, mengapa mang Udin tidak mencobanya? Kali aja Liam tidak keberatan untuk jadi menantu mang Udin.
“Udah punya, mang.”
Mang Udin tampak kecewa. Tapi ya wajar saja jika Liam sudah punya pasangan, pasti banyak yang naksir Liam dan Liam tinggal tunjuk mau yang mana. Begitu pikirnya.
“Oh gitu. Wajar, masnya ganteng banget soalnya. hehe.” Mang Udin cuman bisa nyengir sembari menelan kecewa yang dibalas senyum sungkan oleh Liam.
Sebenarnya Liam belum punya pasangan, mang Udin bukan yang pertama mengajukan hal serupa. Liam hanya menghindari topik lanjut tentang asmara, selain karena Liam malas untuk berkenalan dengan gadis berlalu-lalang yang dikenalkan oleh orang-orang, alasan utamanya hanya karena Liam belum punya niatan untuk berpacaran. Dia ingin menikmati masa singlenya secara dia juga masih SMA dan ingin menikmati momen bermain bersama teman-temannya.
“Nih mas, buburnya.”
“Makasih, mang.”
Liam menyisir kedai mencari spot nyaman untuk dia makan, namun berakhir memutuskan untuk duduk di dekat tidak jauh dari gerobak mang Udin yang memudahkan Liam untuk keluar jika sudah selesai makan.
Liam meletakkan buburnya di meja. Dia pun duduk dan merogoh ponsel yang ada di kantongnya. Lelaki itu berencana untuk menonton video pemeliharaan ikan yang baru dipublikasikan dari channel youtube yang di subscribenya.
Liam jatuh cinta tentang hal yang berbau ikan. Dia mulai menyukainya sejak dirinya masih kecil dan menemukan keindahan tentang ikan serta laut sebab ayahnya sering mengajak dia ke pantai. Sebagai orang yang kampungnya di dekat pantai, sangat mudah untuk Liam kecil pergi ke pantai sekedar melihat ikan di perairannya ataupun pemandangan pantai itu sendiri.
Tak selang berapa lama, ketenangan Liam yang sedang menikmati buburnya itu terganggu oleh kedatangan dua orang di hadapannya.
“Ngapain lo ada di sini?”
Liam mengangkat kepalanya untuk melihat siapa gerangan yang mengusik waktu makannya.
Jehan dan Regan ternyata.
“Lo kagak liat gua lagi ngapain?”
“Gue tau lo lagi makan.” Jehan memutar bola matanya malas, “Ngapain lo makan di sini yang jarak rumah lo dari sini butuh waktu setengah jam??”
Regan satu suara untuk pertanyaan Jehan. Matanya menscreening penampilan Liam. Sweater abu dengan celana biru panjang. Oh jangan lupakan sandal biru norak kesayangannya yang berbentuk ikan dengan tali sandalnya yang berwarna kuning itu. Ditambah dengan rambut keritingnya yang… Regan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat penampilan Liam saat ini.
“Suka-suka gue, lah.” Liam nyahut sekenanya dengan matanya yang masih tetap menatap layar ponselnya dan mulutnya yang masih sibuk menyantap bubur.
Keduanya tidak membalas Liam, Jehan memutuskan duduk di samping Liam dan Regan di hadapannya. Cowok berambut curly itu tidak banyak protes, yang penting acara makannya tidak diganggu lebih lanjut maka Liam tidak masalah.
***
“Kita sudah sampai.” Ujar Jiko William Vernando—ayah Aru.
Aru dan kedua orang tuanya serta adiknya menuruni mobil dan bersiap memasuki restoran yang menjadi janji temu mereka.
“Inget ya, jaga sikap kalian. Soalnya temen papa yang satu ini agak strict sama attitude.” Jiko memperingatkan Aru dan Willie—adiknya Aru, untuk menjaga sikap mereka.
Jiko tahu Robert adalah tipikal orang yang sangat disiplin dan sangat melihat karakter orang lain.
Jiko ingat dulu saat Robert masih berkuliah bersama dengan Jiko, Robert mati-matian bekerja keras untuk menghidupi dirinya sendiri dan membayar biaya kuliah yang tidak murah. Karena Robert berasal dari keluarga yang kurang mampu, maka dari itu dia sangat disiplin waktu dan memanfaatkan segala peluang. Jiko akui Robert adalah orang yang hebat, namun Robert judgemental.
Pernah suatu kali ketika mereka membeli baju bersama di sebuah toko, seseorang yang melayani mereka terlihat tidak bersemangat. Begitu selesai membeli baju dan sudah menjauhi toko itu, Robert langsung bicara, “Penjaga toko yang tadi, kayak nggak niat kerja. Gimana dia menyusun masa depannya yang cerah kalo dia jalanin pekerjaannya dengan letih lesu begitu, padahal dilihat dari perawakannya umurnya sekitar dua puluh tahunan, tapi sudah se lesu itu.”
Jiko saat itu terkejut, mengapa cepat menyimpulkan? Barangkali wanita itu sedang sakit jadi terlihat lemas? Jiko merasa was-was jika punya teman seperti Robert. Karena Jiko adalah tipikal orang yang hidupnya santai, bukan yang berambisi seperti Robert.
Tapi memang disiplin dan jiwa ambisi Robert yang kuat itu menghantarkan kesuksesan besar dalam hidup Robert. Dalam beberapa tahun kemudian setelah lulus kuliah, Robert tahu-tahu sudah bergelimang harta. Bahkan Jiko masih merintis usaha yang diturunkan dari ayahnya.
Untuk saat ini, Jiko yang butuh untuk menjalin bisnis dengan Robert harus hati-hati dalam bersikap. Itu sebab pria itu memberitahu kepada kedua anaknya untuk baik-baik bersikap di hadapan Robert. Begitu juga Brenda—ibu Aru dan Willie.
Mereka berempat berjalan memasuki restoran dan segera disambut oleh pelayan restoran tersebut.
“Untuk berapa orang, pak?”
“Sudah reservasi tempat atas nama Robert ya, mas.”
“Oh baik, mari saya antarkan, pak.”
“Terima kasih.”
Jiko dan sekeluarga pun mengikuti pelayan yang mengantarkan mereka ke meja yang sudah direservasi sebelumnya, sembari berjalan Jiko melirik jam dan syukurlah mereka belum terlambat dari jadwal yang dijanjikan.
Pelayan mempersilahkan Jiko dan keluarganya untuk duduk dan selang beberapa detik kemudian keluarga Robert pun sudah tiba.
“Yo, my fella. Long time no see. Gila, sudah lama sekali. Sudah hampir belasan tahun tidak bertemu.” Robert datang menghampiri Jiko dan menjabat serta memberikan pelukan hangat kepada Jiko.
Senyum merekah tercipta diantara Robert dan Jiko. Keduanya sibuk mengenalkan anggota keluarganya masing-masing.
“Wah Jiko, anakmu cantik dan tampan sekali.” Robert menyalami Aru dan Willie bergantian.
“Siapa namanya?”
“Perkenalkan saya Arunika, om, tante. Dipanggilnya Aru.” Aru tersenyum memberi hormat dengan menaruh tangannya di dada kemudian membungkuk hormat pada Robert dan juga Rona.
Begitu juga dengan Willie Ash Vernando, dia memperkenalkan diri sembari memberi senyum dan juga membungkuk hormat seperti yang di lakukan kakaknya. Eye smile yang tercipta pada mata Willie membuat keluarga Robert terpesona.
“Ya ampun, Jiko. Anakmu ini lucu, manis sekali. Aru juga cantik sekali, anggun pembawaannya ya.” Robert tidak henti-hentinya memuji Willie dan juga Aru.
“Oh iya, ini Anakku." Robert menarik pelan Harvey yang daritadi berdiri dibelakang ayahnya. "Harvey, kenalkan dirimu.”
“Hallo om, tante. Saya Harvey.” Harvey menjawab seadanya dan membungkuk sopan. Matanya menatap ke Aru dan Willie sesaat.
Aru dan Willie memberi senyum kepada Harvey tetapi tidak dengan Harvey. Harvey hanya memberi senyum tipis dan singkat kepada Aru dan Willie membuat Aru dan Willie bertukar pandang.
“Sombong banget. Sok keren gitu lagi. Walau emang keren.”
Setelah acara berkenalan selesai, mereka duduk di meja makan yang telah di reservasi dan memulai percakapan seperti bertukar kabar dan bercerita-cerita hingga berlanjut percakapan bisnis.
“Bagaimana kabarmu, Robert?”
“Luar biasa baik. Aku tidak menyangka bisnisku semakin baik ke sininya.” Robert tertawa bangga.
“Syukurlah kalau begitu.” Jiko tersenyum tulus. Ikut merasa senang karena Robert yang dulu dikenalnya berhasil mendapatkan masa depan yang dia inginkan dahulu.
“Lalu kau sendiri bagaimana?”
“Yah begitulah. Bisnisku sedang menurun beberapa bulan belakangan ini.” Ujar Jiko dengan jujur.
“Aku bisa membantumu.”
Robert teringat Jiko yang dulu selalu membantunya jika lelaki itu sedang berada dalam kesulitan. Jiko ada di titik tersulit Robert ketika Robert gagal berkali-kali dalam bisnis sampingan sewaktu kuliah. Walau dia tidak seberisik Robert bicaranya, namun kehadirannya sudah membuat Robert tahu bahwa Jiko selalu ada untuknya dan itu membuat perasaannya merasa lebih baik.
Kadang Jiko membelikannya makan walau Robert bilang tidak perlu.
“Makanlah sedikit. Berusaha juga perlu tenaga. Kamu perlu makan untuk mendapatkan tenaga.”
Sekeping memori lama yang terlintas membuat Robert tersenyum. Jiko sudah banyak membantunya dalam masa sulitnya.
“Tidak, aku bukan hanya bisa membantumu,” Robert menegakkan punggung. Matanya menatap lurus ke Jiko. “Aku akan membantumu, teman.”
Jiko dibuat tersenyum lega mendengar penuturan dari Robert. Jiko berharap Robert betul-betul menepati janjinya. Karena jauh di dalam lubuk hatinya, Jiko membutuhkan bantuan Robert.
Makanan sudah tiba dan mereka pun kembali melanjutkan perbincangan ringan mereka.
Aru izin untuk ke kamar mandi, Willie ikutan karena merasa bosan. Akhirnya keduanya meninggalkan meja makan dan menuju ke restroom yang ada di restoran tersebut.
“Bjir kak, Si Harvey itu sombong banget gila.” Willie berbisik ketika mereka sudah agak jauh dari meja makan.
“Sst. Udah Wil, namanya orang kaya wajar aja begitu auranya.”
Mereka berpisah ketika sudah sampai di koridor restroom.
Aru tidak perlu mengantri karena saat ini jumlah pengunjung tidak seramai seperti biasanya.
Usai dari kamar mandi kecil, Aru memutuskan untuk pergi ke taman belakang yang sempat dia lihat ketika menuju ke kamar mandi. Begitu tiba di taman tersebut, rasa senang menghampirinya. Dia tersenyum cerah melihat berbagai tanaman bunga yang berjejer begitu rapi di area taman belakang tersebut.
Di sisi lain, Harvey duduk manis bersama dengan orang tuanya dan kerabat Robert. Sejujurnya dia tampak bosan, namun dia tidak memiliki pilihan lain. Harvey sudah terlanjur nyaman dalam posisi duduk walau tubuhnya ingin sekali pulang ke rumah dan beristirahat sepanjang hari.
Harvey jadi kepikiran saat tadi melihat Aru dan Willie. Dia bukannya ingin berlagak sombong kepada Aru dan Willie, hanya saja dia menahan gemas kepada kedua anak itu terutama Willie. Harvey gemas sama Willie, melihat Willie membuat Harvey ingin punya seorang adik. Kalau Harvey minta seorang adik ke ibu dan ayahnya, kira-kira apa akan dikabulkan?
Harvey juga sempat terpesona sesaat kepada Aru. Aru bukan tipikal wanita yang cantik sekali layaknya selebgram yang sering lewat di explore sosial medianya dia, namun Aru punya senyum yang manis dan tatapannya mempunyai daya magis untuk memikat Harvey, makanya Harvey buru-buru buang muka takut nantinya jadi naksir sama Aru.
“Nggak papa juga kalo mau naksir.” Suara hati Harvey berbicara yang kemudian ditepis lelaki itu dengan segera.
Harvey tidak mempunyai niat untuk pacaran dulu, sebab beberapa bulan yang lalu Harvey putus dengan mantannya. Mantannya cantik sekali, dia seorang primadona di sekolah tapi karena sikap cowok itu yang sulit berkomunikasi seringkali membuat mereka terlibat dalam pertengkaran, belum lagi mantannya sibuk menghabiskan uangnya. Harvey pikir pacaran akan indah tapi kemampuan berkomunikasinya yang kurang membuat dia enggan untuk membuka hati saat ini, belum lagi sang mantan meninggalkan kesan bahwa seorang wanita itu hanya mau materialnya saja.
Namun hati tidak bisa berbohong, sedari tadi mata Harvey terus-menerus melirik Aru, konsentrasinya buyar dan jantungnya bertalu dengan cepat ketika Aru acap kali menatapnya.
Aru menatap Harvey hanya ketika Robert dan Jiko atau Brenda maupun Rona menyinggung topik tentang Harvey. Bagaimana Harvey bersekolah dengan prestasi yang dimilikinya. Reputasinya tidak main-main, dia termasuk laki-laki populer di sekolah selain prestasi yang dimiliki juga karena ketampanannya.
Pikiran Harvey yang mumet mendengarkan percakapan mereka sedari tadi akhirnya membuat dia bangkit dan memutuskan untuk mencari udara segar sesaat. Izinnya pada kedua orang tuanya bahwa dirinya ingin pergi ke kamar mandi kecil.
Harvey berjalan hingga pada saat kakinya sampai di tengah-tengah ruang makan, kepalanya tertoleh dan dia melihat melalui jendela ada taman kecil yang terletak di belakang restoran. Harvey melangkahkan kakinya ke arah pintu yang menghubungkan restoran tersebut dengan taman kecil namun sedetik kemudian ia mengurungkan niatnya kala mendapati Aru berjalan dari taman kecil hendak kembali ke ruang makan. Dia memutuskan untuk benar-benar pergi ke kamar kecil saja.
Saat tiba di ujung pintu ruang kamar mandi pria, dirinya hampir dibuat tertabrak oleh Willie. Mata Willie menampilkan keterkejutan yang membuat Harvey ingin tertawa gemas. Astaga, apa Willie merasa dirinya seorang hantu?
“Eh, kak Harvey.” Willie memanggil basa-basi yang dibalas senyum tipis oleh Harvey.
Harvey nampak terdiam di tempat, dia memikirkan sesuatu. Harvey tahu minimal dia harus bisa berkomunikasi pada tamu ayah. Takut-takut kalau nanti Willie mengadu Harvey adalah orang yang sombong enggan membalas pesan orang, bisa-bisa habis dia dicaci maki oleh sang ayah.
Seperti ada lampu kuning yang menyala di atas kepalanya, cowok itu mendapat ide. Dia yakin idenya akan terasa sangat aneh, namun hanya itu yang mampu cowok itu pikirkan saat ini.
Dengan segenap keberanian dia memutar badan hendak memanggil Willie yang sudah mulai berjalan meninggalkan ruang kamar mandi. Buru-buru dia memanggil.
“Willie, gua minta nomor lo sama Aru boleh nggak?”
to be continued.
finally chapter 1 published. TT
karena ke 6 tokoh visualisasi member Boynextdoor sudah muncul, berikut aku kasih tau nama tokoh beserta visualisasi membernya yaa
Myung Jaehyun as Jehan Sadiva
Lee Riwoo as Regan Mahaputra
Park Sungho as Rava Darendra
Han Taesan as Harvey Thadeus
Kim Leehan as Liam Huesmoni
Kim Woonhak as Willie Ash Vernando
aku tahu plis ini aneh banget alurnya wkwkw , aku memulai cerita chapter 1 ini dengan karakter baru hehehe.
alurnya aku emang bikin super santai karna kepengen dikupas satu-satu aja karakternya. tapi sebisa mungkin aku nggak buat bertele-tele yaa, TT
feel free to give me advice comment.
see you on the next chapter! luvluvv
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
