
Bram duduk di kursi kayu usang di kamar kontrakannya yang sempit. Tumpukan kertas tagihan berserakan di meja kecil di depannya. Gajinya baru saja masuk tadi pagi, namun begitu ia mulai menghitung pengeluaran bulan ini, kepalanya langsung terasa berat. Seperti bulan-bulan sebelumnya, saldo rekeningnya akan segera menyusut sebelum ia sempat menikmati hasil kerja kerasnya.
Bram duduk di kursi kayu usang di kamar kontrakannya yang sempit. Tumpukan kertas tagihan berserakan di meja kecil di depannya. Gajinya baru saja masuk tadi pagi, namun begitu ia mulai menghitung pengeluaran bulan ini, kepalanya langsung terasa berat. Seperti bulan-bulan sebelumnya, saldo rekeningnya akan segera menyusut sebelum ia sempat menikmati hasil kerja kerasnya.
Sebagai seorang karyawan biasa di perusahaan logistik, Bram tidak pernah mengharapkan kehidupan mewah. Sejak ayahnya meninggal lima tahun lalu, ia telah menjadi tulang punggung keluarga. Ibunya yang sudah renta hanya bisa mengurus rumah, dan adiknya, Dani, masih berkuliah di salah satu universitas negeri di kota ini. Bram bangga bisa membantu Dani mengenyam pendidikan, tetapi ia tak bisa menutup mata bahwa beban keuangan yang ia pikul semakin berat.
"Mas, UKT semester depan harus dibayar dalam dua minggu lagi," suara Dani terdengar dari seberang telepon.
Bram menelan ludah. "Iya, Dik. Mas lagi cari jalan, jangan khawatir, ya."
Ia tidak ingin membuat adiknya cemas, meskipun kenyataannya, ia sendiri sedang kebingungan. Jumlah UKT yang harus dibayarkan tidaklah kecil, dan Bram masih harus memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Ditambah lagi, kontrakan akan jatuh tempo dalam sebulan, dan harga sembako terus naik. Rasanya seperti hidup dalam lingkaran tak berujung, di mana gajinya selalu habis sebelum bulan berganti.
Dalam kondisi seperti itu, datanglah tawaran dari seorang teman lama, Anton.
"Bram, lu nggak bosan kerja terus tapi duit cuma numpang lewat?" tanya Anton saat mereka bertemu di sebuah warung kopi.
"Ya, siapa sih yang nggak mau hidup lebih baik? Tapi kan nggak segampang itu, Ton."
Anton tersenyum percaya diri. "Makanya, gue ada peluang bagus buat lu. Bisnis logistik kecil-kecilan. Gue butuh partner buat modal, dan ini udah ada klien yang siap kerja sama."
Bram terdiam. Logistik adalah bidang yang ia geluti saat ini, jadi idenya terdengar masuk akal. Selain itu, memiliki usaha sendiri sudah lama menjadi impiannya. Tapi ia ragu. "Gue nggak punya uang sebanyak itu, Ton."
"Santai. Kita bisa cari pinjaman dulu. Lagian, modalnya juga nggak besar. Nanti untungnya kita bagi dua, dan dalam beberapa bulan bisa balik modal," bujuk Anton.
Bram merasa tergoda. Jika bisnis ini berhasil, ia bisa melunasi utangnya, membantu ibunya, dan membayar kuliah Dani tanpa terus-menerus merasa cemas setiap bulan. Setelah beberapa hari berpikir, ia akhirnya setuju.
Ia mengajukan pinjaman di bank, dengan keyakinan bahwa ini adalah langkah menuju kehidupan yang lebih baik.
Namun, harapan itu mulai memudar seiring berjalannya waktu. Minggu pertama setelah investasi, Anton masih sering menghubunginya, berbicara soal strategi bisnis dan rencana ke depan. Tapi setelah itu, komunikasi mulai jarang. Ketika Bram menghubunginya, jawabannya selalu singkat dan mengambang.
"Santai, Bram. Duit lu aman kok. Gue lagi urus proyek baru," jawab Anton suatu hari.
Tapi saat Bram mencoba mencari tahu lebih dalam, kenyataan pahit mulai terkuak. Kantor yang dikatakan Anton sebagai pusat operasional bisnis mereka ternyata hanyalah ruko kosong. Rekan kerja yang disebut-sebut Anton tidak pernah ada. Bisnis itu, yang diklaim sudah berjalan, hanyalah bayangan kosong.
Bram tertipu.
Tabungannya ludes. Pinjaman di bank tetap harus dibayar, tetapi uang yang diinvestasikan tidak akan pernah kembali. Dan yang lebih buruk, tenggat pembayaran UKT Dani semakin dekat.
Di malam yang sunyi, Bram duduk termenung di meja kontrakannya. Tangannya gemetar saat membuka pesan dari pihak universitas yang mengingatkan batas pembayaran UKT. Ia ingin menangis, ingin berteriak, tapi yang ia lakukan hanyalah memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong.
Ibunya yang berada di desa sering menelepon menanyakan kabarnya, tapi Bram selalu berusaha terdengar baik-baik saja.
"Nak, kamu sehat? Kamu nggak apa-apa kan di sana?"
"Iya, Bu. Bram baik-baik saja, kok."
Tapi kenyataannya, ia tidak baik-baik saja. Ia terjebak dalam pusaran masalah yang ia ciptakan sendiri.
Di tempat kerjanya, ia mulai kehilangan fokus. Rekan-rekan mulai memperhatikan perubahan sikapnya yang semakin murung. Bahkan atasannya pernah menegurnya karena kinerjanya mulai menurun.
"Bram, ada masalah? Kamu biasanya nggak kayak gini," tanya Pak Yudi, supervisor-nya.
Bram hanya tersenyum kecil. "Nggak, Pak. Mungkin saya cuma kecapekan."
Namun, dalam hati ia tahu bahwa ini lebih dari sekadar lelah. Ini adalah kelelahan mental yang terus menggerogoti setiap detik kehidupannya.
Saat malam menjelang, Bram mengambil kertas-kertas tagihan di atas meja. Ia mencoba menghitung ulang, mencari celah, mencari keajaiban yang bisa membantunya keluar dari semua ini.
Namun angka-angka di hadapannya tetaplah sama. Tak berubah. Tak ada jalan keluar.
Bram memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.
Ia belum tahu bagaimana cara menghadapi hari esok.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
