Bangkit Demi Takdir Cinta - Chapter 31

0
0
Deskripsi

Chapter 31 dari Serial Bangkit Demi Takdir Cinta

“Udah awal bulan nih, gaji kita dah masuk belum?” Tanya Heru admin proyek itu.

“Udah donggg…,” Jawab Danu dengan sumringah.

“Alhamdulillah kalau gitu…,” Heru pun menyeruput minuman di sebuah gelas plastik.

“Oiya Ru, memo yang terakhir tadi udah dilempar ke kontraktor belum?”

“Udah,”

“Sip, kalau gitu!” Danu mengacungkan jempol kanannya.

Selasa siang di awal bulan Maret itu, Danu dan beberapa rekan setimnya tengah menghabiskan waktu istirahat mereka dengan bersantap siang bersama di dalam kantor lapangan. Sepuluh menit menjelang pukul satu siang, tiba-tiba Kang Deden masuk ke dalam ruangan kantor tersebut.

“Kabar buruk teman-teman, mohon cek di grup WA!” Ujar Kang Deden sambil menghampiri anak-anak buahnya itu.

Nando yang tangannya masih bersih itu pun segera mengambil ponselnya dan mengecek chat di sebuah grup whatsapp.

“Kontrak kita diputus per hari ini jadinya…?” Ujar Nando yang seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Kang Deden mengangguk.

Danu yang penasaran pun segera membersihkan kedua tangannya dengan tisu, lalu meraih ponselnya dan membuka grup whatsapp yang dimaksud. Di dalam kolom chat grup tersebut, Danu melihat sebuah dokumen scan pdf yang belum lama diunggah Pak Kuncoro, ia lantas mengunduh dokumen tersebut dan membukanya. Isi dokumen tersebut menjelaskan perihal pemutusan kontrak sepihak yang ditandatangani oleh Pak Bunyamin. Danu pun tertegun, seisi ruangan pun mendadak bisu.

“Kontrak kita di sini kalau nggak salah tinggal 2-3 bulan lagi, kenapa harus udahan sekarang?” Protes Heru.

“Aku nggak tau Ru, maunya orang owner yang kayak gitu…,” Jawab Kang Deden pelan.

“Nggak bisa begitu lah, apa maunya mereka seenaknya begini…!?” Timpal Nando yang merasa tidak terima. “Harusnya ada omongan dulu dong, jangan asal main depak gini…!”

“Apa jangan-jangan gara-gara kejadian Kamis kemarin ya Ndo?” Heru pun mendadak penasaran.

“Gue rasa nggak mungkin deh Ru! Bukannya habis itu Danu langsung minta maaf sama Pak Armando? Buktinya sampai hari ini Pak Armando baik-baik aja kok sama kita…,” Sangkal Nando.

“Iya juga sih Ndo, dia malah kayak lupa sama kejadian waktu itu,” Heru mengangguk sambil mengerutkan dahinya.

“Udah… udah… kejadian yang waktu itu nggak usah dipikirin lagi…, sekarang kita terima aja apa maunya mereka! Habis istirahat ini kita mulai beres-beres, balikin apa-apa yang kudu dibalikin, terus kita pamitan sama orang-orang lainnya!” Pungkas Kang Deden yang mulai membereskan tumpukan berkas di atas meja kerjanya.

Danu dan rekan-rekannya pun segera menuntaskan makan siang mereka untuk segera melaksanakan instruksi dari Kang Deden.

***

Tepat pukul lima sore, Danu bersama Kang Deden dan rekan-rekan timnya pun meninggalkan lokasi proyek mereka untuk terakhir kalinya. Setelah berpisah dengan anggota tim lainnya, Danu dan Kang Deden berpisah untuk menuju ke sebuah tempat.

“Biar nggak suntuk yuk kita ngopi dulu di sana! Lumayan… sekalian nunggu maghrib…,” Ajak Kang Deden kepada Danu.

“Boleh kang,” Danu pun menyetujuinya.

Danu dan Kang Deden pun berjalan menuju ke sebuah sudut jalan di mana penjual kopi bersepeda biasa mangkal bersama para pengemudi ojek online dan taksi. Sesampainya di tempat itu, keduanya memesan segelas kopi dan duduk di sebuah bangku panjang.

“Katanya nanti malam Pak Kuncoro mau traktir anak-anak makan bareng?” Tanya Danu.

“Iya, jam tujuh,” Jawab Kang Deden. “Kita kumpul-kumpul sekalian pembubaran tim,”

“Di mana?”

“Di mall yang di seberang sana…,” Kang Deden pun menunjuk ke suatu tempat.

“Ooo…,” Danu mengangguk.

“Makanya, kita nongkrong di sini dulu aja… Ntar ke sananya kita bareng pakai mobil,” Ujar Kang Deden sambil menerima segelas kopi pesanannya. “Oiya, file-file dokumentasi masih ada yang kamu keep kan?”

“Masih, belum ada yang dihapus,”

“Sebelum dihapus setor dulu ke Dion buat dijadiin arsip. Soalnya nanti kita masih harus buat laporan penutupan…,”

“Oke kang,”

Keduanya pun menghabiskan waktu sore mereka di sudut jalan itu sambil menikmati kopi dan menyantap sepiring siomay. Sambil menyeruput kopinya, Kang Deden melirik ke arah Danu yang masih terlihat murung sambil memegang segelas kopi di tangan kanannya. Kang Deden yang merasa iba pun berusaha menghibur anak buahnya itu.

“Kita nggak bisa apa-apa lagi Nu, maunya owner emang begitu. Kita mungkin udah nggak cocok lagi sama mereka. Jadi, lebih baik udahan aja dari sekarang daripada dipaksain bertahan terus,”

“Oke, kita emang udah nggak cocok sama mereka dan itu sudah terbukti dengan kejadian Kamis kemarin…,” Ujar Danu dengan suara lirih.

Kang Deden menghela nafasnya, ia kemudian melahap sepotong siomay yang dibelinya.

“Kamu benar, bisa jadi begitu. Tapi mending jangan dipikirin lagi kejadian itu, toh kamu kan udah minta maaf sama Pak Armando. Masalah udah clear dan selanjutnya kita baik-baik saja sama dia,”

“Kayaknya aku egois banget udah bikin nasib kita sampai seperti ini di masa yang sesulit ini…,”

“Nggak Nu, kamu sebenernya nggak salah,” Kang Deden pun merangkul bahu Danu. 

“Kamu cuma mempertahankan apa-apa yang memang benar dan sesuai prosedur, Pak Armando aja yang waktu itu emang emosian dan nggak rasional. Secara profesional nggak seharusnya dia nanggepin kamu sampai ambek-ambekan kayak gitu. Kamunya sendiri nggak suka kan sama sikapnya dia yang kayak gitu…?”

Danu menggelengkan kepalanya. 

“Udah, nggak usah dipikirin terus, mending kita move on sekarang, barangkali habis ini kita dapet owner baru yang lebih bisa ngehargain kita…,”

Danu mengangguk setuju sekalipun ia masih merasakan ganjalan di hatinya.

Tanpa terasa, adzan maghrib pun berkumandang, Danu dan Kang Deden segera menghabiskan kopi dan siomay mereka lalu membayarnya. Setelah itu, keduanya langsung meninggalkan sudut jalan itu dan bersiap-siap untuk memenuhi undangan makan malam dari Pak Kuncoro.

***

Tepat pukul tujuh malam, seluruh anggota tim telah berkumpul di sebuah resto khas Sunda yang terletak di dalam mall itu. Rupanya malam itu Pak Kuncoro tidak hadir karena sedang ada keperluan, sehingga beliau pun diwakili oleh putranya yang bernama Dion. Sayangnya, kemeriahan acara makan malam itu tetap saja tidak bisa memudarkan rasa cemas Danu akan hari depannya. Sambil menyantap hidangan malamnya, Danu pun menanyakan suatu hal kepada teman masa SMA nya itu.

“Ion, udah ada kabar baik belum dari bokap lu?”

“Hmmm… sejauh ini sih belum ada, tapi bokap gue udah coba masukin tender kemana-mana. Malam ini beliau nggak bisa datang soalnya mau presentasi di tempat calon klien,” Jawab Dion.

“Oke… oke…,” Danu mengangguk sambil memperlihatkan ekspresi wajahnya yang datar. “Gue masih kuatir aja sih, sekarang kan nyari proyekan lagi susah…,”

“Santai aja Nu, mending sekarang kita berdoa biar yang satu ini bisa tembus. Kalau tembus, Insya Allah lu nanti bakal diikutin juga biar pengalaman lu makin banyak. Selama belum kerja di tempat lain, lu masih jadi bagian dari perusahaan ini,”

Sesaat Danu memandangi rekan-rekan setimnya yang begitu santai seolah mereka lupa dengan kenyataan pahit yang baru diterima tadi siang.

“Gue masih nggak enak sama temen-temen, gara-gara gue satu tim ini jadi kena getahnya...,” Ujar Danu sambil mengingat kejadian di Kamis minggu sebelumnya.

Dion menghela nafasnya.

“Nu, gue udah tahu kejadiannya kayak gimana waktu itu. Ya… kata bokap gue, owner kita yang satu itu emang aneh bin ajaib. Kita ini partner kerja mereka, tapi ujung-ujungnya malah dianggap kayak badut doang! Ya udah, itu tandanya mereka mereka bisa jalan sendiri tanpa kita dan lebih baik kita angkat kaki daripada nggak dihargain sama sekali!”

“Iya juga sih…,”

“Udah Nu, jangan dipikirin lagi yang waktu itu. Lu itu nggak salah apa-apa, lu sebenernya cuma speak up biar mereka lebih ngehargain kita. Tapi sayang merekanya aja yang emang udah oleng kayak habis minum amer sebotol…,” Ujar Dion sambil sedikit berkelakar.

“Kalau dah oleng gitu paling bentar lagi tumbang…,” Danu membalas kelakar Dion sambil mencomot tumis kangkung di hadapannya. “By the way, waktu itu bokap lu bilang kalau gue bakal diikutin uji kompetensi. Kapan nih? Training nya aja udah kelar dari kapan…,”

“Oiya! Duh, gue lupa! Gue belum tanya bokap!” Dion menepuk dahinya. “Ntar gue tanyain lagi ke beliau…,”

Acara makan malam itu pun berakhir sekitar pukul delapan lebih seperempat, bertepatan dengan waktu tutup mall. Semua yang hadir pun berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing. Danu berjalan menyusuri lorong mall itu dengan langkah gontai dan tatapan yang begitu hampa. Dion yang merasa khawatir dengan sobatnya itu pun menghampiri lalu merangkulnya dan mengajak bicara.

“Lu masih kepikiran yang waktu itu Nu?”

“Nggak,” Jawab Danu lirih.

“Hmmm, kelihatannya lu lagi banyak pikiran. Ada masalah apa lagi?”

“Kayaknya mulai besok gue mau balik ke jalanan lagi…,”

“Dih… ngapain? Lu mau ngamen di perempatan?” Dion mengerutkan dahinya.

“Balik jadi kurir lagi daripada nganggur,”

“Please, gue saranin mending jangan Nu!”

“Kenapa jangan? Industri logistik hampir nggak terdampak pandemi, bahkan makin banyak dibutuhin orang, otomatis kerjaan kurir masih dibutuhin,” Danu pun beralibi.

“Betul Nu! Tapi coba lu pikir-pikir lagi kalau mau balik jadi kurir…,”

“Pikir-pikir gimana?”

“Pikirin kondisi badan dan mental lu sendiri! Lu mau kejebak lagi di lingkungan yang toxic kayak tahun lalu? Ingat Nu, mental lu sekarang ini lagi down dan bener-bener butuh support! Kalau lu balik lagi jadi kurir, ya lu harus paham sendiri konsekuensinya bagaimana. Pertama, beban kerja lu makin berat karena sekarang ini orang makin banyak yang belanja online. Kedua, resiko kena covid makin gede karena lu makin sering ketemu orang kesana kemari, ditambah imun lu bisa makin drop karena kecapean ngider-ngider. Ketiga, masalah pergaulan di lingkungan kerja lu, apa lu bakal cocok atau jangan-jangan malah bikin lu makin down?”

Danu diam sejenak dan merenungkan apa yang baru saja dikatakan Dion.

“Udahlah Nu, intinya lu harus lebih ngerti sama kebutuhan lu sendiri. Cukup tahun lalu aja lu kerja di jalanan dan ngerasain yang namanya eksploitasi berkedok kemitraan! Gue bisa paham betapa hancur dan remuknya lu waktu itu…,”

Danu dan Dion pun berjalan menuju lantai dasar. Setibanya di lantai dasar, mereka berdua berhenti sejenak di sebuah area di depan pintu lobby utama.

“Makasih banget sarannya Ion, apalagi lu udah ajakin gue join di perusahaan bokap lu. Di masa-masa kayak gini gue sebenernya cuma butuh tetap berpenghasilan aja biarpun jumlahnya nggak seberapa,”

“Nggak seberapa kalau ternyata boncos dan akhirnya lu tumbang ya nggak ada artinya Nu! Nih, gue ceritain kenapa waktu itu gue rekomendasiin lu buat join. Alasan pertama karena emang lagi urgent, orang yang sebelumnya ngisi posisi lu sekarang ini ngundurin diri karena ngerasa nggak cocok. Alasan berikutnya karena menurut gue lu nggak bakalan asing banget sama posisi yang sekarang ini. Lu pernah jadi junior engineer di kontraktor EPC dan lu sendiri juga jualan aksesoris elektrikal. Dan… sejujurnya gue kuatir banget lihat keadaan lu waktu itu. Lu bener-bener udah frustasi banget dan sempet nyoba buat bunuh diri. Maka dari itu, gue makin nggak punya alasan buat nggak rekomendasiin lu buat gabung ke proyek,”

Danu menghela nafasnya, sejenak ia melihat jam di layar ponselnya.

“Yang itu mending nggak usah diceritain lagi Ion, untung aja waktu itu lu tiba-tiba ngirim WA. Nggak tahu deh seandainya nggak…,”

“Oke… oke… Anyway, bokap gue sebenernya salut sama lu. Lu itu termasuk personil yang tekun, disiplin, berdedikasi, dan punya kemauan yang kuat buat belajar. Itulah kenapa waktu itu bokap gue nyuruh lu buat ikut training dan nantinya lu kudu ikut uji kompetensi buat dapetin sertifikat keahlian. At least, intinya lu emang nggak sia-sia join di perusahaan bokap gue! Lu udah lakuin yang terbaik Nu!”

Danu pun tersenyum mendengar pujian dari Dion, namun ia masih saja mengungkapkan kekhawatirannya.

“Gue sebenernya masih kuatir sama ortu gue,”

“Kenapa? Takut dipaksa jadi PNS lagi ya…?” Timpal Dion sambil menyeringai.

Danu mengangguk.

“Mending sekarang lu jangan ngomong-ngomong ke mereka kalau kontrak lu diputus. Kalau lu kelihatan nggak kerja, bilang aja lu lagi off buat sementara waktu biar nggak gampang terpapar covid! Gitu aja…,”

“Haha… Boleh juga tuh idenya!”

“Oiya Nu, proyek desain web gue alhamdulillah udah jalan lagi sekarang. Barangkali lu berminat, lu bisa join juga buat bantu-bantu gue sekalian belajar,”

Thanks Ion, yang jelas gue tunggu semua kabar baiknya aja…,”

“Oke, kalau gitu gue duluan ya… Jaga diri lu baik-baik Nu!” Dion pun berpamitan dan berjalan menuju lantai basement.

Danu kemudian berjalan keluar dari mall tersebut untuk memesan ojek online.

***

Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya, Danu masih saja bergelut dengan kegundahan akan hari esoknya. Ia sama sekali tidak membayangkan kalau harus kehilangan pekerjaannya di tengah-tengah kondisi perekonomian yang masih terdampak pandemi. Bayangan akan masa-masa sulit yang sempat dilaluinya setahun yang lalu pun tak henti-hentinya terlintas di dalam benaknya. Danu bingung, ia terus menerus memikirkan langkah apa yang harus ditempuhnya seandainya kabar baik yang dinantinya itu tidak kunjung tiba.

Danu tiba di rumahnya tepat pukul sepuluh malam. Ketika mengecek ponselnya, ia mendapati Tiara baru saja mengirimkan sebuah pesan whatsapp kurang lebih lima menit yang lalu.

[Tiara: Nu, beneran kontrakmu baru diputus?]

Danu pun segera membalasnya.

[Danu: Iya bener. Kamu tahu dari mana?]

[Tiara: Axel barusan cerita. BTW kamu besok pagi ada jadwal nggak?]

[Danu: Nggak. Ada apa emang?]

[Tiara: Axel mau ketemu kamu.]

[Danu: Ada perlu apa dia?]

[Tiara: Nggak tahu. Tapi tadi dia bilang bawa CV sama ijazahmu aja.]

[Danu: Terus mau ketemuannya di mana? Jam berapa?]

[Tiara: Tempat ketemuannya di mana masih belum fix. Tapi dia minta jam 9 pagi. Besok pagi-pagi aku kabarin lagi.]

[Danu: Ok ok. Besok aku siap sebelum jam segitu.]

[Tiara: Ok sip.]

Danu pun mengakhiri chat nya dengan Tiara. Ia mendadak penasaran dengan maksud Axel mengundangnya di keesokan harinya.

***

Keesokan paginya, Danu pun berangkat kembali ke Jakarta untuk memenuhi undangan dari Axel. Sebelumnya, Tiara sudah memberitahunya kalau hari itu Axel bakal menemuinya di coffee shop yang terletak di gedung tempat Tiara dan Axel bekerja. Tepat pukul sembilan kurang menit, tibalah Danu di tempat yang telah ditentukan. Ia langsung memasuki coffee shop itu dan melihat Tiara dan Axel tengah duduk berdua. Danu pun segera menghampirinya.

“Oi, apa kabar bro!” Sapa Axel.

“Alhamdulillah sehat…,” Ujar Danu sambil memberikan salam kepalan tangan kepada Axel.

“Silahkan kalau mau pesen dulu. Nggak usah kuatir, gue yang bayarin,” Axel menyodorkan daftar menu kepada Danu yang sedang mengatur posisi duduknya.

“Makasih, gue pesen minum aja Xel,”

Danu pun memanggil seorang waiter untuk memesan segelas lemon tea. Axel kemudian memulai perbincangannya.

“Jadi begini Nu, intinya gue turut prihatin soal pengakhiran kontrak sepihak untuk team nya Pak Kuncoro. Dampaknya udah jelas, lu sekarang jadi kehilangan pekerjaan. Nggak mudah menghadapi hal seperti itu di masa sesulit ini…,”

“Bener banget Xel, mau nyari proyek lagi juga susah. Pak Kuncoro udah nyari sana sini, tapi sampai sekarang masih belum ada kabar baik juga,”

“Nah, itu dia! Lu sendiri paham kan…? Oke, to the point aja… gue sekarang mau nawarin lu kerjaan di kantor gue, kebetulan aja ada posisi yang kosong dan urgent banget,”

“Posisi sebagai apa Xel?”

Axel menyeruput minumannya.

“Sekretaris perusahaan. Sekretaris di kantor gue baru semingguan resign karena dia baru ngelahirin dan mau fokus urus anaknya. Semenjak itu, gue sama temen-temen jadi kewalahan karena nggak ada lagi yang handle urusan administrasi korporat. So…, penggantinya dia harus didapat secepatnya demi kelancaran urusan kantor,”

Danu pun mengangguk.

“Jadi sekretaris di kantor gue persyaratannya nggak terlalu susah Nu, minimal bisa MS Office, teliti, tekun, cekatan, dan punya kemauan buat belajar. Persyaratan usia minimal 35 tahun, berarti lu masih masuk,”

“Boleh sih kalau begitu, cuma ntar gue bakal digaji berapaan?” Danu mengerutkan dahinya.

“Sebenernya untuk pemula atau fresh graduate S-1, gajinya sekitar 2,9 jutaan bersih. Tapi berhubung lu udah punya pengalaman kerja dan lulusan S-2, gaji lu bakal mepet ke UMR DKI, sekitar 4 jutaan bersih. Asumsinya, lu nggak perlu waktu lama buat adaptasi sama kerjaan lu nanti,” Jelas Axel.

Sok, gimana Nu? Peluang bagus tuh, gajimu bakal lebih gede daripada pas di proyek…,” Tiara menimpali.

“Bagaimana…? Mau ambil peluang yang langka ini atau tetap nungguin sesuatu yang nggak pasti? Dalam waktu dekat ini gaji lu masih segitu, bukan nggak mungkin ke depannya bakal naik terus sampai dua digit!” Axel pun memberi pilihan kepada Danu.

“Keadaan sekarang serba nggak pasti Nu, mending kita ambil yang pasti-pasti aja. Lagian kualifikasinya kan masih cocok sama kamu…,” Bujuk Tiara.

Danu berpikir sejenak, lalu ia menjatuhkan keputusannya.

“Oke Xel, gue terima tawaran lu!” Ujar Danu dengan tegasnya.

“Good…!!” Puji Axel sambil menepukkan tangannya. “Kalau begitu habis ini kita langsung ke lantai lima buat user interview. Lu udah bawa CV sama ijazah lu kan?”

“Sebentar…,” Danu langsung mengecek dokumen-dokumen yang dibawa di dalam tasnya. “Udah semuanya,”

“Oke, nanti langsung siapin,”

Minuman pesanan Danu pun tiba. Ia langsung menghabiskannya dalam waktu sepuluh menit. Setelah itu, Danu langsung beranjak mengikuti Axel ke kantornya yang terletak di lantai lima.

***

Dua puluh menit kemudian, Axel pun kembali seorang diri ke coffee shop itu untuk menemui kembali Tiara yang masih menunggu di sana.

“Gimana Xel, Danu diterima nggak?” Tanya Tiara.

“Boss gue bilang oke, Danu diterima. Hari ini juga dia langsung kerja buat pengenalan sama job desk nya,”

“Wuihhh…, mantab tuh!” Tiara pun terkesima.

“Menurut gue semangatnya dia boleh juga,” Ujar Axel sembari menghabiskan sepotong red velvet cake nya.

“Danu gitu loh…,” Timpal Tiara sambil tersenyum.

“Dia bakal kena masa probasi selama tiga bulan ke depan dan selama masa itu kantor bakal nahan ijazahnya. Kalau dia lulus, dia bisa lanjut dan boleh ambil lagi ijazahnya,”

“Gue yakin dia pasti lulus lah Xel…,”

“Ya… tergantung penilaian kinerjanya dia gimana,”

Axel pun memandang arlojinya.

“Eh, udah sepuluh aja nih! Buruan kita cabut ke Kedoya!”

“Yuk!” Tiara meraih tasnya dan meninggalkan mejanya.

Axel menyelesaikan pembayarannya di kasir, kemudian ia bersama Tiara langsung menuju lantai basement parkir.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
21+
Selanjutnya Bangkit Demi Takdir Cinta - Chapter 32
0
0
Chapter 32 dari Serial Bangkit Demi Takdir Cinta
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan