
Langit jengah. Sudah lima tahun ini tidurnya tidak pernah nyenyak. Ketika matanya terpejam, mimpi yang sama selalu menghampiri. Seolah-olah, gadis itu berada di dunia yang berbeda. Berbekal rasa penasaran, Langit memutuskan untuk memecahkan misteri di balik mimpi-mimpinya itu. Namun, kejadian-kejadian aneh mulai bermunculan. Beberapa hal yang sebelumnya Langit lihat ada di dalam mimpi, kini mulai dirinya rasakan di kehidupan aslinya. Bersama dengan Bumi, teman sekelas sekaligus tetangganya yang tidak pernah akur, Langit memulai petualangan di dua dunia yang menghimpit hidupnya.
BAB 1
Apa yang kamu benci?
Ada tiga hal yang Langit benci dari hidupnya. Pertama, jam masuk sekolahnya yang kelewat pagi. Kedua, jarak rumah dan sekolah yang terlampau jauh. Ketiga, mimpi yang selalu mencekik di setiap lelapnya.
Dua dari tiga hal itu, tentu akan berakhir jika dirinya lulus. Meski harus menunggu dua tahun lagi. Yang perlu dilakukan sekarang adalah membujuk ayah dan ibu untuk membiarkan dirinya membawa Jack, motor tua kesayangan sang kepala keluarga.
Lalu bagaimana dengan yang ketiga?
Gadis yang enam bulan lagi akan menginjak usia enam belas tahun itu bingung. Entah bagaimana dirinya harus menjelaskan perihal mimpi yang bertandang hampir di setiap tidurnya. Entah itu mimpi indah atau termasuk mimpi buruk. Sulit bagi Langit untuk mengatakannya. Ada satu waktu dia merasa berbahagia di dalam mimpi. Ada satu waktu pula, dirinya akan terbangun dengan mata sembab dan perasaan gelisah.
Jika diingat lagi, mimpi-mimpi itu mulai hadir ketika Langit masih duduk di bangku kelas enam sekolah dasar. Masih terlalu dini untuk pikiran Langit mengartikan bunga tidur kala itu. Namun, seiring bertambah usia, perasaan ganjil mulai mengusik. Ketika mimpi yang dialami terasa aneh jika dilihat dari segi kehidupan normal pada umumnya. Terlebih, beberapa kali mimpinya seperti terhubung satu sama lain. Seakan benang merah telah mengikat erat mimpi-mimpi itu.
Di dalam mimpi, seakan ada kehidupan lain yang sedang berjalan. Kerap kali Langit merasa dirinya hidup di dua dunia. Di dalam mimpinya, dia mempunyai kehidupan sendiri. Dia mengenal seseorang yang beberapa kali muncul di dalam mimpi. Dia tahu beberapa tempat di dalam mimpinya. Bahkan, Langit bisa mengingat kejadian dari mimpi-mimpi sebelumnya. Sayangnya, mimpi-mimpi yang bertandang tidak pernah berurutan. Semua mimpi yang dimiliki Langit mempunyai episode acak dan tidak teratur.
“Langita Putri Langit!”
Pluk!
“Aw!” jerit kesakitan terdengar cukup nyaring. Langit mengedarkan pandangan menatap seisi kelas yang kini sedang terkikik tertahan, melihat kepalanya menjadi sasaran empuk kapur tulis. “Sakit, Pak!”
“Berapa kali Bapak bilang, jangan tidur di kelas!” tegas Pak Dion, guru matematika di kelas Langit. “Dan lepas earphone-nya, Langit! Bapak masih mengajar di sini.”
“Baik, Pak. Maaf.” Ketika earphone yang sejak pagi menyumpal telinganya terlepas, semakin terdengar jelaslah suara-suara menyebalkan dari teman-temannya. Langit mendengkus sebal.
Suara tawa tertahan terdengar semakin keras dari arah depan. Dilihatnya punggung seseorang yang duduk tepat di depan Langit berguncang pelan. Dengan cukup keras Langit menendang kaki kursi temannya itu.
“Awas aja, lo!”
Dengan perasaan setengah suntuk dan setengah mengantuk, Langit terpaksa mendengarkan penjelasan Pak Dion tentang trigonometri. Meski kenyataannya tidak ada satu pun yang berhasil menetap di otaknya. Suara Pak Dion seperti lulabi, mengantarkan setiap untaian katanya menyeberangi gendang telinga dari kiri ke kanan.
“Kenapa ada pelajaran yang namanya matematika, sih?” gerutu Langit ketika Pak Dion mengubah posisi menjadi membelakangi para murid.
“Kalau nggak ada matematika, logika lo nggak bisa berkembang,” celetuk Ginem, teman sebangku Langit yang terkenal pendiam.
“Emangnya hidup cuma butuh logika apa?” sewot Langit tidak terima.
Ginem hanya melirik sekilas, sebelum kembali fokus ke penjelasan Pak Dion. Mengabaikan Langit yang perlahan meluruhkan kembali kepalanya ke atas meja. Rasa kantuk benar-benar menguasai atmanya, tidak peduli lagi jika Pak Dion akan kembali memergoki dirinya. Untuk kali ini, Langit berharap Bumi dapat bekerja sama dengan baik. Setidaknya sampai jam pelajaran Pak Dion selesai, lima belas menit lagi.
Ketika kedua mata itu telah tertutup sempurna, dunia seakan berputar. Membentuk pusaran gelombang hitam dan putih, memutar balikkan isi perut. Langit tidak kuat ketika pening mulai menjalar ke ubun-ubun. Namun, sekuat dia berusaha, kedua matanya tidak bisa terbuka seakan aksanya telah terkunci.
“Langit!”
“Langit, ayo cepat bangun!”
Perlukah Langit menambahkan satu hal ke dalam daftar kebencian hidupnya?
Sungguh, Langit tidak menyukai suara keras terlebih jika suara itu bertujuan untuk membangunkan dirinya dari tidur. Tidak tahukah mereka, kalau Langit kekurangan banyak jam tidur gara-gara mimpi yang terus menghantui lelapnya?
“Pada suatu senja, Putri Langit pergi ke dalam hutan terlarang. Dalam kebimbangannya, Putri ingin bertemu Sang Banyu. Konon Sang Banyu ini adalah satu-satunya penyihir yang tersisa di dunia. Dia ....”
“Tuan, apakah Putri Langit itu benar-benar ada?”
“Leonard, jangan memotong pembicaraan orang yang lebih dewasa. Itu tidak sopan!”
Suara-suara itu semakin keras memenuhi indra pendengaran. Pusaran hitam dan putih yang Langit rasakan perlahan mulai menghilang. Ketika kedua matanya berhasil dibuka, hal pertama yang dilihat adalah hamparan rumput hijau yang terbentang luas sejauh mata memandang.
“Langit! Akhirnya kamu bangun juga.” Seorang anak kecil berseru senang takkala melihat Langit sudah membuka matanya. “Sayang sekali, kamu sudah ketinggalan hampir dari separuh cerita. Apa semalam kamu tidak tidur lagi?”
“Leo?” panggil Langit pelan.
“Iya.” Anak kecil dengan mata bulatnya yang jernih itu sangat menggemaskan di mata Langit. Apalagi pipinya yang temben dan kulitnya yang benar-benar putih.
“Ih, nggemesin banget!” Tak tinggal diam, kedua tangannya meraih masing-masing sisi pipi Leo. Menyubit ringan sambil diputar-putar. “Pingin punya yang kayak gini satu!”
“Langit, kamu bisa membuat Leo menangis,” tegur seseorang yang sejak tadi menatap ngeri perlakuan Langit. Bagaimana tidak, gadis itu menguyel pipi adiknya begitu saja.
Ketika sadar akan perlakuannya, segera Langit menyingkirkan kedua tangannya. Oh, tidak! Lihatlah sekarang, kedua mata bocah laki-laki di sampingnya itu memerah dengan bibirnya yang merengut. Oh, sungguh menggemaskan!
“Langit, kenapa cubit pipi Leo? Ini sakit,” sedu Leo sebelum berbalik, “Kakak, sakit!”
Seketika itu juga, padang rumput yang semula tenang kini terisi tangisan Leo. Apakah sesakit itu, padahal Langit tidak merasa menyentuhnya terlalu keras. Kenapa tangisan bocah cilik itu seperti sehabis dianiaya saja?
Satu-satunya orang dewasa yang ada di sana hanya diam memperhatikan. Menutup buku bersampul kulit batang mahoni dan kemudian bangkit berdiri. Tubuhnya besar juga tinggi, dengan rambut ikalnya yang panjang tak terurus.
“Hari sudah hampir sore, lebih baik kalian bergegas pulang.”
Setelah mengatakan hal itu, sosok itu mulai berjalan ke dalam hutan meninggalkan dua remaja yang masih berusaha menenangkan Leo. Dalam usahanya membujuk rayu Leo untuk diam, Langit melirik sekilas ke arah Bara melangkah. Di setiap mimpinya, hutan adalah tempat yang tidak pernah sekalipun Langit kunjungi. Bara bilang, tempat itu berbahaya. Jika berbahaya, kenapa Bara selalu pulang ke dalam hutan?
“Langita Putri Langit!”
Bruk ... bruk
Langit melotot takkala jantungnya berdegup kencang mendengar gebrakan di mejanya. Sedangkan pelakunya hanya nyengir lima jari dengan raut tanpa rasa bersalah.
“Udah istirahat, jangan tidur terus.”
Mulai sekarang, Langit akan menetapkan hal terakhir yang dia benci dari hidupnya.
“Bumi! Rese banget, sih, lo!”
BAB 2
Siapa Langita Putri Langit?
Aroma mie ayam tidak mampu mengembalikan mood Langit. Bahkan dinginnya es cincau dengan irisan kelapa muda yang tersaji di depan mata, tidak juga bisa mendinginkan kepalanya yang nyaris terbakar. Langit masih kesal dengan kelakuan Bumi karena sudah mengganggu acara tidurnya yang baru berjalan lima belas menit.
“Lima belas menit itu lama, Langita Putri Langit anaknya Bapak Sangga Langit.”
Ucapan Bumi membuat gadis lima belas tahun lewat enam bulan itu semakin meradang. Setelah pelajaran Pak Dion adalah istirahat. Yang mana seharusnya itu menjadi waktu emas bagi Langit untuk melanjutkan tidur. Akan tetapi, akibat ulah Bumi gadis itu sudah tidak lagi memiliki rasa kantuk di matanya.
Bagi Langit, waktu tidur yang tepat adalah ketika mentari masih bekerja. Karena di saat itulah, mimpi-mimpi aneh yang sering menghampiri tidurnya tidak akan muncul. Ini adalah salah satu hasil penelitian kecil yang Langit lakukan tentang mimpi-mimpi anehnya.
“Tunggu! Yang tadi itu mimpi, ‘kan?” monolog Langit ketika mengingat apa yang terjadi saat dirinya tertidur di kelas.
“Kenapa gue bisa mimpi itu di siang bolong? Biasanya enggak,” lanjutnya sembari mengaduk mie ayam.
“Apa karena gue terlalu mikirin mimpi-mimpi itu, jadinya malah kebawa mimpi?”
“Ih, gue makin pusing! Tau, ah!”
Dengan semangat dan sedikit beringas, gadis yang baru duduk di kelas dua SMA itu melahap mie ayamnya yang sudah sedikit mengembang. Memikirkan mimpi-mimpinya yang aneh hanya membuat Langit semakin pusing dan lapar. Bayangkan, lima tahun dia tidak bisa tidur nyenyak di malam hari. Biasanya, segelas cokelat panas mampu membuat Langit bisa berpikir lebih tenang. Sayangnya, di kantin sekolah tidak ada yang jualan cokelat panas.
Setidaknya, sudah satu tahun ke belakang ini Langit memutuskan mencari tahu misteri di balik mimpi-mimpinya. Namun, sampai detik ini belum ada petunjuk yang bisa mencerahkan Langit tentang mimpi-mimpi anehnya.
“Cewek, makannya kok sendiri aja?” Tiba-tiba suara seseorang mengejutkan Langit dan membuatnya sedikit tersedak.
“Santai aja, Ngit. Gue nggak bakal rebut mie ayam lo yang udah melar kek kwetiaw itu, kok,” lanjut orang itu anteng sambil mendudukkan badannya di bangku, berseberangan dengan Langit.
“Oh, iya, di mana Bum ....“
“Diem nggak! Cerewet banget sih jadi orang. Satu lagi, jangan tanya soal Bumi ke gue karena gue bukan cenayang yang tahu di mana aja tuh anak!” tukas Langit memotong pembicaraan lawan bicaranya.
Yori, lelaki yang baru saja duduk, terkekeh mendengar seruan sepupunya itu. “Kan, biasanya tuh anak selalu ngekorin elu. Udah kek piyik ngintilin induk ayam. Haha.”
Langit tidak peduli. Moodnya sedang tidak baik sekarang, jadi dia akan menjadi anak kalem dan tidak melanjutkan perdebatan tidak berbobot yang sering kali mereka lakukan saat bertemu. Meskipun Langit juga sedikit penasaran karena tidak mendapati Bumi di sekitarnya.
Sejak kelas satu, entah magnet dari mana Bumi selalu berada dalam jarak pandang Langit. Meski tidak benar-benar mengekor seperti yang dibilang Yori. Biasanya jika tidak duduk bersama dirinya, Bumi akan duduk bersama teman-temannya di sekitar meja Langit. Namun, kali ini Bumi tidak terlihat di sekitar kafetaria.
“Apakah ada hal penting yang sedang dikerjakan bocah itu?” pikir Langit.
Tidak mau pusing memikirkan Bumi, hanya dalam hitungan detik, tepatnya 59 detik, mie ayam di mangkok Langit tandas tak tersisa. Segera setelah menyeruput es cincau kelapa mudanya, gadis itu bangkit. Meninggalkan Yori yang lagi-lagi takjub dengan kecepatan makan Langit. Sepupunya itu punya badan mungil dan Yori sering memanggilnya pendek kurus, tapi siapa sangka perutnya bisa muat banyak makanan.
“Dia laper apa doyan.” Pandangan Yori mengedar ke samping kanan, di sebelah mangkok yang sudah kosong ada beberapa bungkus plastik. Dilihat dari bekasnya itu terlihat seperti bekas bungkus batagor, bakso bakar, dan ada juga bungkus bekas ice cream.
Waktu istirahat masih ada kurang lebih sepuluh menit lagi. Sebelum kembali ke kelas, Langit menyempatkan diri pergi ke toilet. Kebiasaan yang sudah dia lakukan sejak sekolah dasar. Menurutnya sangat merepotkan kalau panggilan alam datang menjemput saat dirinya masih berada di kelas. Apalagi ada beberapa guru yang tidak suka muridnya keluar di jam pelajaran, bahkan untuk pergi ke toilet. Pak Dion contohnya.
“Langit!” Sebelum kakinya benar-benar masuk ke dalam toilet, terdengar Ginem memanggilnya.
“Ini punya lo, ‘kan?” Ginem mengulurkan tangan, “Tadi gue nemu di depan pintu kantin.”
Langit mengambil kain yang disodorkan Ginem. Memperhatikannya sesaat, kemudian kembali mengulurkan pada Ginem. “Gue nggak punya sapu tangan.”
“Tapi di situ ada nama lo,” kekeh Ginem lalu pergi begitu saja.
Langit kembali melihat ke benda di tangannya. Sebuah sapu tangan merah muda yang terasa sangat lembut dalam genggamannya. Ketika kain kecil itu dibuka, terlihatlah ukiran rajut di salah satu pojoknya.
“Langita Putri Langit.”
“Kenapa namanya sama kayak nama gue?”
Gadis itu mengurungkan niatnya saat akan melangkah kembali ke tempat yang disebut Ginem tadi. Suara bel yang nyaring mengingatkan kembali tujuannya. Bergegas Langit masuk ke dalam toilet, sembari tangannya memasukkan sapu tangan tadi ke dalam saku rok. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti.
Posisinya sekarang berada di samping cermin besar yang ada di dalam toilet. Saat melewati cermin, perasaan aneh itu muncul. Dengan ragu-ragu, Langit membalikkan tubuhnya menghadap ke arah cermin. Seketika itu juga kakinya melangkah mundur dan nyaris terjatuh. Bola matanya seakan ingin keluar dari peraduan saat netranya menatap pantulan diri di cermin.
“Itu milikku, tolong kembalikan.”
Gadis di dalam cermin, jelas bukan cerminan Langit. Di dalam sana, meski tubuh dan wajahnya sama seperti Langit, tetapi sosok di dalam sana terlihat sedang tersenyum. Tangan kanannya terulur, seolah meminta sesuatu.
“Tolong kembalikan milikku!”
Getaran di saku bajunya membuat Langit berjengkit kaget. Dengan tangan gemetar dia mencoba mengambil gawai yang masih terus bergetar. Sebuah nomor yang sudah Langit hapal di luar kepala terpampang di layar gawainya. Begitu jarinya menggeser ikon terima panggilan, sebuah suara langsung menyapa gendang telinga.
“Langit, keluar sekarang!”
“Bumi, gue ....” Belum selesai Langit mengucapkan kalimat, suara Bumi sudah lebih dulu memotong.
“Gue bilang keluar sekarang, Langit!”
Tanpa membuang waktu, gadis itu langsung berlari ke luar. Di depan pintu kamar mandi, Bumi sudah berdiri dengan gawai masih tertempel di telinga. Raut mukanya terlihat aneh, tidak seperti biasanya yang selalu jahil.
“Ayo, balik ke kelas. Udah bel dari tadi.” Setelah memasukkan telepon genggamnya ke saku celana, Bumi langsung menggandeng tangan Langit yang masih terlihat linglung.
“Tidak apa-apa. Aku di sini.”
BAB 3
Janji Bumi kepada Langit
Kejadian di toilet siang tadi terus berputar. Bayangan akan sosok yang menyerupai dirinya membuat Langit sedikit tidak nyaman. Sosok itu sangat mirip dengan Putri Langit. Nama yang sering Leonard ucap ketika memanggil dirinya di dalam mimpi. Jika di dalam mimpi Putri Langit adalah dirinya, lalu bagaimana dengan sosok yang muncul di dalam cermin toilet sekolah?
Jari-jemari mungil itu lincah bermain di atas keyboard, sedangkan matanya awas meneliti setiap bacaan yang memungkinkan untuk dirinya mendapat jawaban. Namun sejauh ini, Langit belum jua mendapatkan titik terang yang bisa membawanya menemukan jawaban.
“Argh! Hampir sejam gue mantengin nih laptop tetep aja nggak ketemu!” Disandarkan punggung yang mulai terasa pegal, sembari kedua tangannya terangkat tinggi-tinggi.
Ting!
Sebuah pesan dari aplikasi WhatsApp muncul. Dari sebuah nomor yang sudah dihapal di luar kepala. Segera Langit membukanya.
+62 8956 1317 7736
Jangan terlalu dipikirin.
Putri Langit
Gimana nggak. Ditambah lo, gue jadi lebih kepikiran.
+62 8956 1317 7736
Sorry.
takkala peristiwa itu terjadi, entah bagaimana bisa Bumi tahu jika di dalam kamar mandi ada dirinya. Bahkan, teman sekelasnya itu seolah tahu apa yang sedang terjadi di dalam sana. Karena begitu Langit menjawab telepon, dengan suara tegas Bumi meminta Langit keluar dari dalam toilet dan langsung membawanya ke kelas begitu mereka bertemu di luar toilet.
Langit sudah mencoba bertanya, dari yang baik-baik sampai menggertak. Sayangnya, pria itu tetap kukuh menutup mulut. Selama kelas berlangsung, tidak ada sekalipun Bumi mengusili Langit seperti biasa. Bumi terlihat menghindar dan hal itu semakin membuat Langit curiga. Apakah Bumi mengetahui sesuatu?
+62 8956 1317 7736
Mau lakuin sesuatu yang menarik?
***
Hari berganti, ketika mentari menggantikan posisi rembulan untuk menjadi penerang kehidupan bumi. Suara ayam jantan saling bersaut, berpadu dengan suara wajan dan spatula yang saling bergesek. Dengan mata setengah tertutup, Langit berjalan menuruni tangga. Langkah kakinya menuju dapur, satu-satunya tempat yang lampunya menyala. Di sana, dilihat sang ratu di kediamannya sudah sibuk dengan berbagai peralatan tempur.
“Ibu, ada cokelat panas?”
Mantara melirik sekilas dari tempatnya memotong sayur, kemudian melirik jam yang terpajang di ruang makan tidak jauh dari dapur.
“Kamu nggak tidur lagi?”
“Nggak bisa tidur, Bu.” Sesekali mulutnya terbuka, kemudian tertutup. Menguap.
“Nggak bisa tidur atau nggak mau tidur?” tanya Mantara sesaat setelah meninggalkan pekerjaannya memotong sayur. Kini beralih mengambil gelas dan cokelat, berniat membuatkan cokelat panas untuk sang putri.
“Bumantara emang yang paling ngerti, deh.” Langit membuat finger heart dengan ibu jari dan telunjuknya. “Saranghae.”
“Manggilnya pake spasi, dong.”
“Hehe, baik Ndoro Putri Bu Mantara.”
Pagi itu, Langit tidak kembali ke kamar. Setelah menghabiskan cokelat panas buatan sang ibu, dirinya ikut membantu ibu memasak. Meski sekadar membantu mencuci sayur dan memotongnya. Selebihnya Langit lebih banyak merecoki Mantara dengan ocehannya.
“Bu, hari ini Langit izin pergi ke tempat Bumi, ya,” izin Langit saat Mantara sedang mencuci wajan bekas menggoreng ikan. Jangan ditanya Langit sedang apa, karena anak itu hanya berdiri sambil memperhatikan sang ibu bekerja.
“Tumben, kamu mau main ke sana.” Jawaban Mantara membuat sang putri mendengkus sebal.
“Emang, nggak boleh. Bumi ‘kan temen Langit juga, Bu.”
Selesai dengan cuciannya, Mantara berbalik menghadap Langit. “Justru itu. Karena biasanya kamu paling anti kalau disuruh main ke tempat Bumi. Padahal rumahnya seberangan sama rumah kita.”
Gadis itu hanya terkekeh. Tidak ingin menjelaskan lebih jauh lagi pada Mantara. Karena hari ini hari Minggu dan keluarga Bumi masih tetangga dekat keluarga Sangga Langit, jadi tidak ada alasan Mantara untuk melarang putrinya bermain. Setelah mendapat anggukan dari sang ibu, bergegas gadis itu berlari ke kamarnya.
“Dasar, bocah zaman now.” Mantara bersungut tidak senang, kemudian dengan lantang berteriak, “Langit, di mana kata kuncinya?”
“Terima kasih Bu Mantara, ibu Putri Langit istrinya Bapak Sangga Langit! Love you so much!”
“Mau kesel, tapi sayang. Untung anak.”
Sesuai janji, di sinilah mereka sekarang. Pukul delapan pagi, di halaman belakang rumah Bumi menjadi tempat pertemuan mereka. Suasana canggung entah mengapa sangat mendominasi. Terlebih bagi Langit yang selama ini selalu mencoba menjauh dari sosok pria di sampingnya. Meski mereka bertetangga, tetapi banyak alasan yang membuat Langit tidak menyukai Bumi.
“Lo bahkan tetep gendong itu tas saat di rumah?” Langit melirik ke punggung Bumi. Di sana tersampir tas punggung yang biasa Bumi bawa ke sekolah. Besar dan terlihat berat.
Bumi menoleh, “enggak, kok. Cuma, mungkin kita bakalan butuh.”
“Kita mau ke mana?” Sejauh mata Langit melihat, di depan sana adalah hutan rimbun yang terlihat seperti tidak pernah terjamah manusia. Pohon di dalam hutan tumbuh besar dan tinggi. Bahkan, samar-samar Langit dapat mendengar kipak burung elang di dalam hutan.
“Sejak kapan ada hutan seperti ini di perumahan? Bumi, kita masih di dunia kita, kan?" Seketika mimik gadis itu berubah panik.
“Dunia kita? Memangnya ada dunia lain selain dunia ini?" balas Bumi tidak mengerti.
Langit menghembuskan napas lega. Melihat hutan yang menurutnya sedikit aneh ini membuat Langit berpikir mereka telah berpindah ke dunia mimpi.
“Tapi, gue juga nggak tahu ini di mana. Yang pasti, enggak ada hutan belantara di komplek perumahan ini. Harusnya lo juga tahu ini, Ngit.”
Perkataan Bumi sukses membuat Langit kembali ternganga. Apa maksud bocah jahil itu?
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰