CLOUD UNIVERSE (PROLOG & BAB 1-3)

0
0
Deskripsi

Bagi Jia, bekerja di agensi artis besar di Korea Selatan seperti Cloud Universe adalah anugerah, sekaligus kutukan.

Bukan cuma beban kerja yang berat, ia juga harus berurusan dengan UNICODE, salah satu boyband terpopuler yang menjadi ladang uang bagi agensi itu. 

Bersama dua sahabatnya, Yejin dan Hyemi, Jia terjebak dalam konflik kepentingan antara cinta, karir, dan masa depan.

Enjoy the story!

UNICODE. Empat lelaki. Satu grup. Menjajah satu negara, bahkan nyaris seluruh dunia.

Obrolan tentang boyband Korea Selatan yang dipuja bak dewa ini selalu terdengar di mana-mana. Mereka populer, berbakat, dan kaya raya.

Semua member UNICODE juga paham betul cara menjungkirbalikkan hati kaum Hawa. 

"Jangan datang ke rumahku kalau tidak membawa official merchandise album baru UNICODE! Rumahku tertutup untuk penggemar yang tidak mencintai mereka sepenuh hati!"

"Hei! Choi Junseo lebih terkenal dibanding idolamu Lee Gunwoo itu! Percuma tampan tapi kalau bernyanyi suaranya sumbang! Jadi idola kan bukan cuma soal tampang!"

"Ya, ampun. Aku bertengkar dengan sahabatku karena dia berkata kalau Park Jihoo, member termuda UNICODE, sudah punya pacar! Aku heran bagaimana temanku sendiri bisa menusukku dari belakang. Berkata buruk tentang idolaku bisa membuat hatiku sakit seperti putus cinta!"

Bagi para perempuan muda, UNICODE adalah harga mati. Mencari masalah dengan fans militan grup ini bisa jadi malapetaka. Jika ada oknum yang ketinggalan berita, para penggemar akan mendamprat mereka yang sebenarnya tak tahu apa-apa.

"Kau pasti tinggal di hutan kalau tidak tahu siapa UNICODE!" itu kalimat pamungkas yang bisa membuat terdiam siapa saja.

Choi Junseo, 25. Si leader blasteran Korea-Indonesia. Paling jago soal musik. Tinggi, tampan, dan kharismatik. Ia punya suara emas dan hampir separuh lagu UNICODE adalah ciptaannya. Junseo juga pandai menyusun lirik tentang kasih sayang yang bikin mabuk kepayang.

Lee Gunwoo, 23. The face of the group dan visual. Ia berkali-kali masuk Top 10 Lelaki Tertampan se-Asia. Gunwoo rajin update di media sosial. Foto-fotonya bertebaran tapi tak ada yang seperti aib. Dia laku keras sebagai bintang iklan, baik bersama grup atau sendirian karena Gunwoo selalu terlihat keren saat memakai apapun. Ada celetukan di kalangan penggemar yang mengatakan bahwa, "Gunwoo itu bukan manusia. Tidak ada manusia yang bangun tidur pun tetap tampan!"

Ketiga, Song Hajung, 24. Pria ini adalah jawara dance yang sejak remaja malang melintang jadi penari latar. Ia lincah, enerjik, pandai bergaul. Desas-desus bilang dia cowok nakal. Namun, prestasinya lebih deras dibanding isunya soal skandal. Jadi, tak ada yang peduli latar belakang dan kehidupannya di balik layar. Hajung tetap idola dengan fans berani mati di mana-mana.

Terakhir, Park Jihoo, 22. Anggota paling muda, keturunan Korea-Australia. Ia dijuluki "sosok pangeran yang menenangkan". Wajahnya imut dan ramah. Karakter Jihoo yang lembut dan penuh tata krama membuat maknae UNICODE ini diduga punya keturunan bangsawan. Banyak yang bilang ia gagal lulus SMA karena terlanjur jadi artis. Namun, siapa yang peduli? Jihoo tak mungkin kekurangan. Tanpa jadi artis pun, ia sudah terlahir dengan sendok perak di mulutnya.

Tak ada keraguan lagi. UNICODE adalah aset manusia yang jadi primadona para investor kelas dunia. Di belakang mereka ada Cloud Entertaiment, sebuah agensi artis yang perlahan mulai menjelma jadi perusahaan raksasa di Korea Selatan.

Jualan utamanya adalah mimpi. Mesin bisnisnya adalah talenta dan penampilan tanpa cela.

Cloud Entertainment dan UNICODE menghentak dunia hiburan dengan musik mereka yang mulai mendunia. Agensi itu mempekerjakan lebih dari 1.000 karyawan, sekalipun untuk saat ini mereka hanya fokus mengurusi satu grup saja.

Meski beberapa kali muncul kabar burung bahwa 2-3 tahun lagi grup baru akan didebutkan, tak ada yang bisa menyangkal bahwa puluhan miliar Won dikeruk setiap bulan hanya dari empat pemuda rupawan itu. Belum ada yang bisa menggeser singgasana Junseo, Gunwoo, Hajung, dan Jihoo—untuk saat ini, bahkan mungkin di masa depan nanti.

 

***

 

"Yeoboseyo? Eomma, aku jadi melamar jadi karyawan di Cloud Entertainment. Iya, sudah kubilang, kan? Aku ingin lebih dekat dengan idolaku. Doakan aku, ya. Aku tutup dulu telponnya."

Yoon Jia atau Yoon Ji-ah adalah salah satu dari 300 pelamar kerja yang mengikuti psikotes di gedung raksasa Cloud Entertainment hari itu. Ia telah meminta restu pada ibunya dan berjanji akan berusaha sepenuh hati. Ia harus bisa jadi bagian dari agensi sang idola, bagaimanapun caranya.

Gaji kecil, tunjangan kecil pun tak masalah. Jia juga bukan penggemar halu yang "yakin berjodoh" dengan member UNICODE. Niatnya bekerja di sini hanyalah DEMI BISA PAMER pada teman-temannya, sesama fans grup itu. Jia berharap, bekerja dalam naungan nama besar Cloud Entertainment tidak hanya bisa menyuapi dompetnya, tapi juga bisa menyuapi egonya.*

BAB 1

 

Kota Seoul dan jalanannya yang sibuk telah menjadi sahabat baik Jia sejak kecil hingga sekarang, tepat sebulan sebelum ulang tahunnya yang ke-22.

Ini hari pertamanya masuk kerja. Jia begitu antusias sampai tak nafsu makan.

Cloud Entertainment yang tersohor adalah mimpi sekaligus tujuan gila bagi para pekerja baru. Yang berani masuk ke sana hanya dua tipe manusia: mereka yang nekat, atau yang tersihir cinta buta pada UNICODE.

Desas-desusnya, menghamba di perusahaan itu sama saja dengan melemparkan diri jadi kuli kerja rodi. Direktur agensi itu, Celine Jeanette Park, adalah salah satu pebisnis muda terkaya di Asia Pasifik.

Kepercayaan dan kasih sayangnya yang berlebihan pada UNICODE membuat Celine menginvestasikan 3/4 persen aset keluarga. Didukung privilese bernama jaringan istimewa dan kerja keras tanpa lelah selama bertahun-tahun, empat perjaka tampan itu kini jadi sesembahan satu negara.

Konon katanya, sampai warga pelosok pun kenal mereka semua. Yang buta huruf pun tahu siapa gerangan UNICODE, apalagi mereka yang aktif jadi netizen di media sosial.

"Permisi. Saya Yoon Jia. Saya mau ikut First Day Ceremony. Ini surat undangan saya."

"Oh, karyawan baru, ya." Resepsionis menyambut ramah. "Tunggulah di ruang tamu bersama teman-temanmu yang lain. Acaranya baru akan dimulai setengah jam lagi. Nanti atasanmu akan menjemput untuk memberikan brief dan perkenalan kantor."

"Terima kasih." Jia tersenyum canggung, khawatir gerak-geriknya memalukan. Perempuan muda yang berbicara padanya lebih mirip artis dibanding resepsionis.

Jia menggigit bibir karena gugup. Ia benci kaca besar bertuliskan "Sudah rapikah kamu hari ini?" yang menjulang di ujung sana. Baju yang ia kenakan hari ini berwarna terang, tapi rasanya terlalu formal. Rambutnya yang lurus dan panjang diikat ke atas seperti pramugari.

Jia baru sadar, karyawan Cloud Entertainment jarang yang pakai blazer. Ia sedikit menyesal tak mengenakan sepatu kets dan kaus longgar untuk bekerja hari pertama. Dandanan aneh ini membuatnya terlihat lebih tua sewindu. Jia ingin pulang untuk menukar bajunya agar tidak malu.

"Hai, karyawan baru, ya? Mau masuk ke dalam bersamaku? Aku bingung kalau tidak ada yang bisa diajak ngobrol."

Seseorang muncul di depan kaca, persis di belakangnya. Jia terkejut. Untung tak sampai berteriak. Sosok yang baru datang itu sama sekali tak mirip hantu, tapi dandannya yang keren dan santai membuat Jia berkeringat dingin. Gadis itu punya rambut sepunggung yang diurai kasual. Blus putih dan celana jinsnya juga terlihat menawan meskipun sederhana.

Ah, semua ini membuat Jia makin terpuruk. Salahnya sendiri tak riset soal kultur perusahaan sebelum masuk kerja. Sekarang ia jadi harus menebak-nebak bagaimana pendapat orang lain tentang penampilannya.

"Hei, kenapa bengong? Ayo masuk ke dalam! Aku khawatir kita tidak kebagian kursi." Teman barunya mengajak. Jia berusaha fokus meskipun sangat sulit. Ia mengangguk tapi kesulitan mengimbangi orang itu. Tipe manusia ekstrovert yang selalu percaya diri. Jia berharap jam enam sore segera datang supaya bisa cepat pulang.

"Oh, iya. Namaku Kang Hyemi. Aku calon karyawan di tim data. Kalau kau?"

"Yoon Jia. Aku desainer grafis."

"Wow! Kau cantik, Jia. Posisimu juga keren. Kau pasti bagian dari tim kreatif." Hyemi tersenyum lebar. Ia punya mata yang berbinar-binar. Jia diam-diam minder. Mungkin Hyemi memujinya hanya karena kasihan melihat wajahnya yang pucat dan gerak-geriknya yang serba ragu.

Jia mulai khawatir takkan cocok bekerja di sini.

"Kita duduk di sini, yuk." Hyemi berbaik hati menarik satu kursi untuknya. Ruang tamu lebar sudah hampir penuh. Untung ada kursi kosong di deretan paling belakang.

Jia masih saja waswas meski poster premium dalam bingkai mahal memperlihatkan wajah member UNICODE terpasang di mana-mana.

Song Hajung—sang dancer, idola utama Jia—tak terlihat tampan saat perasaan Jia sedang tidak baik-baik saja. Kepalanya mulai berdenyut.

Beberapa karyawan baru memandangnya seakan ia adalah alien. Semua pandangan mencela itu beralasan karena Jia lebih mirip mahasiswa yang akan sidang skripsi, dibanding karyawan perusahaan hiburan

Memang benar kata Eomma, salah satu tanda seseorang telah mendewasa adalah ketika ia mulai menemukan penghakiman terhadap sesuatu yang seharusnya bisa diabaikan. 

Jia tiba-tiba ingin kembali jadi mahasiswa dan menunda masuk ke dunia kerja. Pikirannya yang kalut membuatnya tak mau mendengarkan pegawai HRD yang mulai mengoceh di depan sana.

Satu-satunya yang Jia tangkap hanyalah info jika setelah ini, masing-masing atasan para karyawan baru akan menjemput. Ia berharap keberuntungan. Semoga saja bosnya tidak galak seperti iblis.

"Selamat datang di Cloud Entertainment. Aku tak tahu apa motivasi kalian berada di sini. Mau meniti karir, alasan klasik cari uang, atau seperti alasan recehan yang selalu kutemukan; ingin lebih dekat dengan boygroup UNICODE. Aku ingin memberikan catatan di depan, apapun yang terjadi nanti, tetaplah bekerja keras untuk perusahaan. Kedepannya tidak hanya UNICODE yang harus kita urusi. Jika kalian bisa bertahan beberapa tahun, akan ada grup baru yang didebutkan."

Bisikan culas tentang, "Siapa sih cewek sarkas yang sedang bicara di depan?" adalah yang pertama kali diucapkan Hyemi untuk membuyarkan lamunan Jia. 

Pegawai HRD sudah pergi dan yang menggantikannya bicara di depan sekarang adalah seorang senior perempuan yang terlihat galak. Jia berharap orang itu bukan atasannya.

"Masih muda tapi sudah punya jabatan. Pasti dia masuk ke Cloud lewat jalur belakang."

Hyemi memutar mata karena salah seorang karyawan baru malah bergosip dengan seseorang di sebelahnya. Namun… sudahlah. Daripada mendengarkan yang tidak-tidak, Hyemi lebih milih untuk memerhatikan Jia. Sejak tadi teman barunya itu terlihat cemas dan tertekan. Hyemi yakin Jia hanya grogi kelewatan. Ia cukup pandai membaca gerak-gerik orang.

"Hei, Jia? Kau ingin muntah atau bagaimana?" Hyemi berbisik. "Kau sakit?"

"Aku baik-baik saja," Jia menjawab canggung. "Tapi aku takkan baik-baik saja jika orang yang sedang berbicara di depan itu ternyata adalah atasanku," lanjutnya pelan.

Hyemi tertawa kecil dan kembali menatap ke depan.

"Sejak tadi aku bicara tapi belum memperkenalkan diri. Kenalkan, aku Moon Yejin. Aku bekerja untuk tim kreatif bagian penulisan. Setelah ini semua creative writer akan ikut denganku. Yang lain bisa ikut supervisor atau manajer yang lain, sesuai divisi masing-masing. Ingat, kalau kalian adalah UNION, jangan membuat kerusakan di hari pertama kalian kerja hanya karena terlalu senang karena di sini banyak poster dan figurin idola kalian. Selamat siang."

"Duh, sepertinya perempuan galak itu akan sering bekerja denganmu." Hyemi berbisik, lalu melanjutkan gunjingannya. "Hei, Jia, kau sadar sesuatu? Kantor ini minim testosteron. Coba cek apakah di sini ada air ajaib yang kalau diminum bisa membuat perempuan hamil tanpa suami."

"Maksudmu apa?" Jia mengernyit, lalu tersadar, "Mungkin karena penggemar UNICODE lebih banyak yang perempuan daripada laki-laki…"

Hyemi berdeham kecil. Si Yejin-tidak-penting yang sepertinya tahu mereka asyik berbincang sendiri, menatap tajam ke arah mereka. Matanya yang lebar memancarkan sorot penuh intimidasi. Hyemi sampai memberikan tatapan balasan karena tak mau kalah. Setelah perempuan sengak itu pergi, Hyemi berucap pelan, bersumpah jika ia lulus masa percobaan, ia akan mengibarkan bendera perang dengan manusia yang saat hari pertama kerja berani memelototinya.

"Sudahlah, jangan dipikirkan. Bagaimana pun dia senior kita, Hyemi." Jia mendesak teman barunya agar kembali fokus pada senior lain yang ganti masuk ke ruangan. Beberapa team leader telah selesai dengan pidato singkat mereka. Penghuni ruangan mulai berkurang. Jia menunggu kapan kepala tim desain grafis menjemputnya untuk tur keliling kantor.

"Halo, aku Kim Minjun. Visual Manager." Seorang lelaki muncul dengan sikapnya yang kaku dan mencekam. "Karyawan baru di tim desain, ilustrasi, video, dan animasi ikut denganku."

"Terima kasih, Tuhan. Akhirnya ada laki-laki di sini!" Hyemi kelepasan berseru. Jia menyikut lengannya agar diam. "Ups, maaf," Hyemi terkekeh tapi tak menyesal. Ia biasa saja dengan tatapan aneh dari orang lain. Bukankah mereka semua tidak saling mengenal?

Karena Kim Minjun itu telah memanggil para anak buah barunya, Jia terpaksa berdiri dan berkata pada Hyemi, "Aku duluan, ya. Ketemu saat jam makan siang."

Jia berharap Hyemi mengangguk. Namun sayang, justru Minjun yang menjawab tawaran baiknya. Telinga si bos visual ternyata cukup peka untuk jarak yang lumayan jauh.

"Tidak ada jam makan siang untuk karyawan baru selama tiga bulan. Kalian masuk ke sini untuk bekerja, bukan mencari tempat tongkrongan," ujar Minjun dengan ekspresi mencela.

Kang Hyemi yang ceplas-ceplos hampir kelepasan mengumpat. Senior di sini membuatnya ingin meledak seperti granat. Jia melempar tatapan sedih, melambai lemas tanpa suara. Ia tak kembali lagi setelah mengekor bosnya yang—sepertinya—otoriter seperti Adolf Hitler.

Kang Hyemi ditinggalkan sendirian. Ia berpikir. Apa ia salah pilih perusahaan? Keputusan kabur dari kantor yang lama untuk mencari pekerjaan yang damai sepertinya tak tepat. Sejauh ini, Cloud Entertainment lebih mirip barak tentara dibanding tempat apapun di penjuru dunia.

 

BAB 2

 

Menjadi kacung kampret di perusahaan konglomerat hanya demi empat orang lelaki yang bahkan tak tahu dia hidup atau bernapas, sebelumnya tak pernah jadi ide profesi yang terlintas dalam benak Jia.

Namun, entah setan mana yang mengibasi otaknya, sejak hari pertama pascawisuda, Jia tak terpikir untuk mendaftar di perusahaan lain, selain Cloud Ent. yang legendaris itu. Semua ini gara-gara unggahan beberapa pengguna media sosial yang kebetulan bekerja di sini. Kalung kartu nama dengan logo perusahaan yang mendebutkan UNICODE tiba-tiba menjadi sihir yang mematikan untuk para pencari kerja (yang sekaligus menjadi budak cinta si grup idola).

Bukan salah Jia kalau ia kecipratan efeknya. Gayung makin bersambut saat ia menemukan lowongan Junior Designer Grafis di antara puluhan posisi lain yang berserakan di official website perusahaan ini. Tak disangka juga ia lolos tes dan langsung diterima. 

Daripada merasa dirinya hebat, Jia lebih memilih untuk menganggap jika Cloud Entertainment memang jadi jalan takdirnya.

"Sebagai anggota dari tim kreatif, kalian nanti akan sangat sibuk pada minggu-minggu ke depan. Yang mengikuti UNICODE pasti tahu kalau empat bulan lagi mereka akan merilis mini album, tapi sampai sekarang konsep cover sampai video musik belum di-approve oleh direktur kita. Bayangkan betapa akan sibuknya kita semua."

Kim Minjun terus berbicara, tak merasa perlu menaikkan volume meskipun beberapa anak buah barunya harus mati-matian memfokuskan telinga untuk bisa mendengarkannya. Jia sedikit beruntung karena berjalan di barisan depan. Ia juga beruntung karena Minjun tak memandangnya sama sekali. Semoga "menjadi tak terlihat" bisa menjadi cara bertahan hidup di perusahaan kejam yang sepertinya lebih saklek dari kamp konsentrasi.

"Kita lewat sini." Sebuah pintu dibuka. Jia sadar, kharisma Minjun sedikit banyak membuat mereka berubah jadi kerbau dicucuk hidung.

"Di sini adalah ruangan untuk tim kita," Minjun melanjutkan lagi. "Kantor ini punya 1.342 karyawan per hari ini dan semuanya memiliki 'akuarium' sendiri-sendiri. Di samping tempat kita ada tim penulis. Mereka biasanya supersensitif saat dikejar deadline. Lead-nya galak seperti harimau betina. Jangan main-main dengan dia atau kalian akan mendapat masalah selama bekerja di sini. Moon Yejin bisa menyengsarakan keluarga, pasangan, sampai anak keturunan kalian."

Ah, sial. Jia membatin. Ruangan tim visual dan penulis hanya disekat kaca karena mereka di bawah divisi yang sama. Berarti Yejin akan sering bertemu dengannya!

Jia khawatir berubah jadi batu jika keseringan kontak dengan perempuan itu. Mata tajam Yejin seperti membawa kutukan mematikan.

"Maaf, Cheorija-nim. Kalau ruangan tim data di mana?" Bukan salah Jia kalau satu-satunya yang ia pikirkan sekarang adalah keberadaan Kang Hyemi. Hari-hari ke depan akan sangat berat Hyemi yang punya kepribadian menyenangkan pasti bisa menjadi penyemangat Jia untuk menerima kenyataan bahwa hidup tak semudah yang ia bayangkan. 

"Oh, temanmu yang tadi tim data?" Minjun mencibir. "Tenang saja, di mana pun dia, selamanya kalian tidak akan pernah jadi teman sebangku. Jangan harap bisa sering bertemu dia."

Ah! Jia ingin memukul kepalanya sendiri. Kenapa, sih, sih ia tak bisa menahan diri untuk bertanya? Sekarang, ia dipermalukan di depan semua orang. Minjun ini tipikal manusia blak-blakan yang sangat menyebalkan. Benar-benar Adolf Hitler.

"Ruangan tim data ada di lantai 51, jauh sekali dari sini." Namun mengejutkan. Minjun ternyata masih melanjutkan penjelasan setelah mendampratnya. "Kita ada di lantai 39," ujarnya.

Jia terdiam dan hanya bisa mengangguk. Ia kembali mengikuti langkah barisan karyawan baru itu ke ruangan yang lain.

Saat mereka tiba di Museum of the Dream, tempat berbagai diskografi, koleksi foto, awards, buku, dan ratusan barang lain yang berhubungan dengan UNICODE dipajang, Jia sadar jika ia dan ultimate bias-nya Song Hajung ternyata beda dunia. Hajung adalah bintang yang melesat di langit, sementara ia hanya sebutir kentang yang main lompat tali di bumi pun masih terpeleset.

Jia menyesal karena pernah berpikir, sama-sama bekerja di Cloud Entertainment akan membuatnya setara dengan sang idola. Namun, Hajung tetaplah Hajung dan kentang tetaplah kentang. Meskipun sama-sama berakhiran -tang, mimpi seribu tahun pun takkan mengubah kentang menjadi bintang. 

"Ini poster Choi Junseo. Yang di sana Lee Gunwoo. Lalu ini Song Hajung dan itu Park Jihoo. Untuk yang belum hapal nama dan wajah mereka, hapalkan segera dalam sehari. Kalau sampai aset kreatif seperti foto tertukar-tukar label hanya karena kalian belum hapal member UNICODE, akan kuberi SP 1. Ini pengetahuan dasar yang harus dikuasai oleh seluruh karyawan."

Kali ini Jia setuju dengan Minjun. Lagipula tuntutan itu sama sekali tidak sulit. Di negeri ini, anak muda lebih hapal nama mereka berempat dibanding nama menteri. Jangankan nama member, Jia sebagai seorang UNION—sebutan untuk penggemar fanatik UNICODE—-pun hapal di luar kepala tanggal lahir, sampai kampung halaman mereka. Media massa selalu meliput empat pemuda itu, bahkan untuk berita paling sepele sekali pun. Mustahil jika UNICODE tak menghantui hidup semua orang. Yang tak tahu UNICODE pasti cuma orang-orang terisolir.

"Kita akan naik ke lantai 58. Aku akan memperlihatkan ruang latihan dan studio internal tempat member UNICODE latihan. Di sana juga ada studio untuk para trainee, calon anggota grup baru yang akan segera kita debutkan. Oh, ya. Pakai Premium Access Card ini. Kuberikan masing-masing satu, jangan dihilangkan."

Minjun kembali melangkah seperti pemimpin barisan saat lomba gerak jalan. Jia kali ini memposisikan diri sedikit di belakang. Mereka akan berdesak-desakan di lift. Ia tak mau berdiri bersisian dengan sang Visual Manager karena takut kena sawan.

Lift yang membawa mereka ke 58 melesat begitu cepat. Jia tak mengerti teknologi tapi ia tahu benda yang ia tumpangi sangat canggih. Ada pijar cahaya biru dan tulisan di layar dinding bahwa mereka harus menggunakan kartu khusus untuk memasuki studio. Udara di dalam benda logam itu juga sangat wangi sekalipun mereka berdiri berdesakan.

Jia belum tersadar dari kekaguman demi kekaguman saat lift itu berhenti dan pintu metalnya berderak membuka.

"Ikuti aku, semuanya," perintah Minjun.

Semua anak baru dalam rombongannya menurut. Namun, Jia ceroboh, tak menyadari kartunya jatuh di depan lift akibat terlalu sibuk tercengang. Ia buru-buru melangkah saat semua orang keluar. Namun, langkahnya terpaksa melambat karena di depan sana, Minjun tiba-tiba berhenti untuk menyapa seseorang.

"Oh! Hai, Nam Hyunsoo. Kau datang latihan hari ini? Tidak jadi lagi ikut ujian masuk universitas?" 

Suara Minjun terdengar lebih hangat sekarang. Seorang pemuda berdiri di depannya. Jia menebak dia adalah salah seorang trainee; calon bintang masa depan yang sedang menunggu didebutkan.

"Kenalkan, Hyunsoo. Mereka semua ini karyawan baru yang akan jadi timku. Semuanya, dia ini Nam Hyunsoo. Salah satu trainee berbakat yang juga kenal baik denganku."

Jia ikut menyapa meski hanya berupa anggukan kecil. Hyunsoo tinggi, kalem, dan terlihat ramah. Entah mengapa rasanya sayang kalau pemuda manis ini akhirnya akan jadi selebritis. Cowok itu berpenampilan santai dengan hoodie biru, celana jins, dan tas ransel yang terlalu besar untuk tubuh kurusnya. Jia yakin Hyunsoo berusia tiga sampai empat tahun di bawahnya.

Namun tubuhnya yang tinggi dan ototnya yang mulai terbentuk membuatnya terlihat menjulang. Bahkan ia lebih bongsor saat berdiri di depan Minjun yang umurnya jelas lebih dewasa.

"Aku turun dulu ya, Minjun-hyung. Sampai ketemu lagi."

"Sampai ketemu lagi, Hyunsoo."

Barisan pimpinan ketua regu Minjun mulai melangkah lagi. Namun, beberapa saat kemudian, fokus mereka kembali terkoyak karena Hyunsoo kembali mengejar rombongan itu.

Ia menunjukkan kartu akses premium pada Minjun yang langsung bertanya galak, "Siapa yang berani menjatuhkan kartu seharga lempengan emas ini, hah? Apa kalian tidak tahu kalau kartu ini lebih mahal dari akumulasi gaji bulanan kalian?"

Gertakan Minjun terdengar berlebihan. Jia yang tiba-tiba sadar kartunya hilang, ketakutan saat melangkah maju dan terpaksa mengaku. Ia mengatakan jika dirinya ceroboh, kemudian meminta maaf berulangkali. Entah mengapa ia gemetar sampai ingin ambruk ke belakang.

Ini akan jadi titik pertama dari gangguan kecemasan yang akan ia idap berbulan-bulan kemudian. Penghuni Cloud Entertainment seperti titisan malaikat penjaga neraka.

"Ini kartumu. Aku menemukannya di depan lift. Tak apa-apa, kartunya tidak rusak, kok."

…kecuali Nam Hyunsoo.

"T-terima kasih,." Jia sangat malu, sekaligus lega. Tatapan mata Hyunsoo seolah mengatakan, 'Sudah. Jangan takut. Semuanya oke. Bosmu hanya bercanda.'

"Terima kasih sekali lagi." Jia menunduk dan bergerak mundur ke barisan. Perjalanan mereka berkeliling kantor sedikit terhambat karena ia tak hati-hati. Tur kantor itu dilanjutkan. Jia sesekali masih melihat ke belakang, berharap Nam Hyunsoo muncul lagi untuk mengembalikan kartu milik seseorang. 

Siapa tahu karyawan yang ceroboh bukan hanya dirinya, kan?

 

BAB 3

 

"Ini poster Choi Junseo, yang ini Lee Gunwoo. Kalau yang ini baru Park Jihoo. Ah, kau selalu ketukar-tukar antara dia dan Song Hajung padahal mereka sama-sama tidak mirip!"

Jia melihat salah dua rekannya yang juga baru masuk hari ini sedang duduk berdua di pojok kantin. Minjun ternyata hanya bercanda tentang "tidak ada jam istirahat untuk karyawan baru", jadi Jia melompat begitu saja dari meja saat masuk jam 12 siang.

Tak ada yang melarang tapi tak semua orang berani melanggar. Biarlah. Jia bisa pura-pura tersasar saat mencari toilet jika nanti bos galak itu bertanya ia pergi ke mana.

"Hyemi, aku tahu kau pasti di sini. Kau sedang menungguku, kan?" Jia melihat Hyemi bagai menemukan sekotak berlian. Hyemi sibuk mengunyah dan ternyata ia memesan sebungkus roti kacang untuk Jia.

"Makan ini. Aku tahu kau pasti stres dan mencariku. Bosmu mirip pembunuh berantai."

Hyemi memutus kalimatnya dengan gigitan roti. Jia tak bisa bercerita banyak saat. Mentalnya tertekan padahal ini baru hari pertama masuk kerja. 

Sejak tadi, tangannya tak henti-hentinya berkeringat karena gugup. Memencet tombol di laptop pun terasa sulit karena Minjun punya bakat untuk melontarkan tatapan intimidatif. Jia yakin jatah umurnya akan berkurang 30 tahun jika terus-terusan berkontak dengan malaikat pencabut nyawa itu.

"Ada kabar apa selain tentang wajahmu yang lebih mirip orang baru putus cinta dibanding baru kerja sehari?" Hyemi menyentuh lengan Jia. "Any good news?"

"Sepertinya salah aku memilih bekerja di sini," Jia mengeluh. Kalau saja di sini ada ibunya, mungkin ia sudah menangis. "Pantas saja Celine Park cepat kaya. Kultur di perusahaan ini seperti kehidupan tentara. Belum sehari saja Kim Minjun sudah memberiku banyak daftar tugas. Bikin stiker lah, bikin desain bantal leher, bikin foto profil media sosial. Gampang, sih. Tapi jujur saking gampangnya aku merasa tersinggung karena empat tahun aku kuliah S1 pada akhirnya hanya mengurusi foto profil orang lain. Foto media sosialku saja tak pernah diganti sejak 2 tahun lalu."

"Ah, menyedihkan. Aku juga mengalami hal yang sama," Hyemi menghela napas berat. "Bayangkan. Bosku yang bernama Jang Taehyun memintaku mengumpulkan data fluktuasi followers sosial media masing-masing anggota UNICODE. Berapa yang follow, berapa yang unfollow, bahkan dari jam ke jam dihitung sejak dua bulan lalu saat album terakhir mereka rilis. Kemudian aku diminta menganalisis postingan macam apa yang disukai netizen sampai berbodong-bondong memencet tombol ikuti. Percaya atau tidak, akunku sendiri saja tidak kupikirkan sampai segitunya. Lah ini, saudara bukan, pacar juga bukan, tapi media sosialnya aku yang pegang."

"Aku mengikuti media sosial mereka!" seru Jia. "Terutama Song Hajung. Dia bias-ku."

"Aku tidak sama sekali, demi apa!" Hyemi balas berteriak. Beberapa orang melihatnya tapi ia tak peduli. Dunia ini hanya miliknya jika ia sedang mau berisik. Tak ada yang boleh menginterupsi Kang Hyemi untuk alasan apapun. "Aku tahu UNICODE juga cuma dari adikku. Aku pindah ke sini bukan gara-gara popularitas mereka nge-hits sampai luar angkasa, tapi karena aku butuh makan! Perusahaan lamaku sangat menyedihkan. Aku butuh ladang uang seperti perusahaan ini, tidak peduli mereka bergerak di industri apa?"

Jia mengerutkan kening, "Tapi kau serius bukan fans UNICODE? Mereka sangat keren. Setidaknya kalau dilihat dari jauh, dari luar sana, mereka sangat keren."

"Aku selalu dikelilingi pria tampan dan mereka semua rata-rata buaya," Apa yang aku harapkan dari para bujangan kaya raya yang tidak terbiasa hidup miskin?"

Jia berhenti mengunyah hotdog-nya, memerhatikan Hyemi penuh tanda tanya. "Mereka memulai semuanya dari nol, mereka dulu hidup susah. Lagipula, kenapa pikiranmu bisa sampai sejauh itu? Member UNICODE tidak mungkin melirik rakyat jelata seperti kita. Aku bekerja di sini juga hanya agar bisa tampak keren di depan teman-temanku, di kalangan para UNION yang sering chatting denganku di KakaoTalk atau LINE. Sesuka apapun aku pada UNICODE, mengharapkan berjodoh dengan mereka sepertinya tak mungkin. Aku cukup tahu diri meskipun aku sangat tergila-gila dengan UNICODE, terutama pada Song Hajung."

Hyemi mengerjap. Matanya masih bersinar tapi ada semburat putus asa. Kau ini masih muda tapi kasihan sekali hidupnya, itulah kalimat yang bisa Jia baca dari raut muka temannya. 

Hyemi memang memang tak menyangka ada orang yang sengaja menjerumuskan diri di sarang kapitalis ini hanya demi lebih dekat dengan idola. Tadinya Hyemi menduga "butuh makan untuk menyambung hidup" sudah menjadi alasan bekerja yang paling menyedihkan sepanjang masa.

Hyemi terlihat akan membuka mulut lagi untuk melanjutkan bicara, tapi tiba-tiba ada suara ketiga yang menyela di antara mereka. "Hei, boleh duduk di sini? Bangku lain penuh."

Sosis di hotdog Jia yang tinggal seujung jari, jatuh. Punggung Hyemi malah sampai harus ditepuk-tepuk karena tersedak minuman soda.

Si sengak Moon Yejin, leader galak dari tim sebelah, muncul serupa hantu di siang bolong. Ia masih tampak tak ramah. Namun, Jia dan Hyemi tak mendengar lagi sindiran sarkastik seperti di acara tadi pagi. Mungkin Yejin keburu lapar jadi terpaksa berubah jadi lebih baik demi bisa duduk.

"Kenapa? Keberatan ya aku duduk di sini? Aku senior kalian. Seharusnya kalian ramah padaku." Dibanding menyindir, nadanya lebih tampak seperti merajuk. Jia buru-buru membenarkan duduk, takut mengompol di tempat. Hyemi lebih tenang meskipun tetap takut. Siapa tahu bicara dengan Yejin bisa bikin kesurupan.

"Gimana kerja hari pertama?" Yejin menatap Jia, bertanya santai, "Kau anak buahnya Kim Minjun, kan? Sudah ingin melempar wajah bosmu dengan sepatu belum? Kuberitahu, sehari-hari, dia sangat menyebalkan. Aku sering bertengkar dengannya."

"Dia baik, kok," Jia berbohong. Ia tak mau dipecat Minjun pada hari pertama kalau ketahuan bergunjing. "Aku dengar, ruangan timku dan tim Yejin-ssi bersebelahan, ya? Kita akan sering bertemu"—dan itu adalah sebuah kutukan mahaberat! Manusia seperti Yejin ini harusnya dilenyapkan dari muka bumi, sekalian bersama Minjun.

"Iya," jawab Yejin senang, "kita akan sering ketemu."

Jia tersenyum masam. Hotdog di tangannya tak lagi terlihat menarik untuk dihabiskan.

"Kalau kau, tim apa?" Yejin beralih pada Hyemi. "Anak baru juga, kan?"

"Iya, namaku Kang Hyemi, 24 tahun." Seperti sebuah kewajiban bagi Hyemi untuk memperkenalkan namanya pada setiap orang. Calon manusia sukses harus percaya diri meskipun yang dihadapi adalah seekor dinosaurus. "Aku tim data. Anak buahnya Jang Taehyun."

"Oh, Taehyun. Kau pasti menyukainya karena dia sangat menarik, tapi jangan cinlok dengannya. Dia tebar pesona pada siapa pun."

"Oke," Hyemi mengangguk saja. "Kau dari Busan? Logatmu seperti orang Busan."

"Iya. Kau sepertinya juga sama."

"Dulu aku pernah sekolah dan tinggal di Busan," jawab Hyemi, "tapi aku warga Seoul asli. Umurmu berapa? Biar aku bisa memanggilmu dengan pantas."

"Masih muda, kok. Lee Gunwoo UNICODE itu teman sekelasku dulu. Paling cuma satu-dua tahun lebih tua dari kalian."

"Hah?" Hyemi dan Jia sama-sama terbeliak. "Wajahmu boros sekali!"

"Hahaha, gitu ya? Memang iya sih, hahaha! Efek kebanyakan kerja." Yejin tertawa, sama sekali tak tersinggung. Hyemi dan Jia baru sadar orang ini ramah. Mungkin saat kerja, ia hanya kebanyakan stres karena dipaksa untuk menguasai banyak hal, padahal belum waktunya. Barangkali mereka bisa jadi teman satu geng di kantor setelah ini. Kalau Yejin sudi.

"Sampai sekarang masih berteman?" tanya Hyemi kemudian.

"Dengan siapa? Gunwoo? Mana mungkin. Dia sudah jadi superstar," sahut Yejin, "tapi sebenarnya memang jarang sih yang mau berteman denganku." Ia memburaikan tawa.

Hyemi dan Jia saling berpandangan. Jia berpikir memang selayaknya kalau Yejin tidak punya teman. 

"Kalau mau kita bisa bikin grup chat supaya bisa sering mengobrol," Hyemi mencetus dan Jia langsung menyikutnya. "Kenapa?"

"Ya, maulah," tapi  Yejin dengan cepat menyambar. "Bagi nomor kalian."

"Serius tidak apa-apa?" Jia sungkan.

"It's okay. Berikan nomor kalian. Aku bikin grup sekarang."

"Tapi kau terlihat sombong tadi," Hyemi tak mau mengerem kalimatnya. Bukan urusannya juga kalau Yejin tersinggung. "Aku ingin mendampratmu tadi pagi. Kau sangat menyebalkan."

Tangan Yejin mengibas, "Itu sampulku. Jangan menilai sampul dari bukunya."

"Kebalik, sial." Hyemi mengumpat. "Bagaimana bisa kau jadi penulis kalau skill percakapanmu saja merisaukan seperti ini?"

"Ya, maaf." Yejin tertawa, kemudian menambahkan nomor Hyemi dan Jia ke daftar kontak, sekaligus menyeret dua nama teman barunya ke grup tak jelas itu. "Done. Awas kalau grupnya cuma dilihat tanpa berkomentar. Kupastikan hidup kalian tak tenang jika melanggar peraturan itu."

Jia terdiam, sementara Hyemi mendengkus. Yejin buru-buru pergi setelah spagetinya habis. Alasannya, ada meeting. Katanya, ia harus menyiapkan tema baru untuk acara reality show musiman anak-anak UNICODE. Harus bekerja keras, katanya.

"Aku dipaksa mendapatkan minimal 15 judul minggu ini. Aku bisa gila jika kelamaan bersantai. Pekerjaanku menumpuk lebih banyak dibanding dosaku. Bye!"

Jia dan Hyemi melambai. Yejin menghilang secepat ia datang. Mereka berdua mulai sibuk menerka mengapa Yejin tiba-tiba ingin menjadi teman. Dugaan Jia, mereka sangat manis sampai menarik untuk dihampiri. Dugaan Hyemi, mereka sangat mencurigakan sampai dianggap cukup culas untuk bisa diajak jadi bandar gosip bersama-sama.

 

***

 

"Kuucapkan selamat datang untuk karyawan yang baru masuk kerja hari ini. Meeting kali ini agendanya adalah membahas tema reality show UNICODE musim terbaru. Tema besarnya South East Asean Exploration. Kita butuh 15 judul, bebas, yang penting keren bisa digarap."

Bukan sekali dua kali Yejin memimpin rapat terbatas. Ia selalu enggan duduk dan lebih memilih berputar-putar ke seluruh ruangan.

Memimpin tim sejumlah 40 orang lumayan memusingkan. Yejin sering menganggap dirinya dieksploitasi karena bekerja lebih banyak dibanding perjanjian hitam di atas putih. Namun, entah mengapa, meskipun sesekali mengeluh, seringnya ia senang-senang saja. Mungkin benar ia produk kapitalis yang lebih suka mengganti pentingnya kebahagiaan menjadi prestasi.

"Ayo lemparkan ide kalian." Yejin siap mencatat di papan putih yang sekaligus berfungsi sebagai dinding licin, "Anak baru mungkin? Kalian ada ide?"

"Kirim UNICODE untuk berkemah di pedalaman hutan." Salah satu anggota timnya mengangkat tangan. Yejin menggeleng. Khawatir jika ia salah mengirim UNICODE ke teritori suku terasing yang siapa tahu suka makan orang.

"Kita suruh mereka jadi tim kita untuk tiga hari kerja. Duduk di meja kita. Makan di kantin sini. Tidak ke mana-mana. Pasti mereka pusing karena disuruh mikir terus…" Anggota tim lainnya menyambar—separuh curcol—tapi langsung dibantah oleh rekannya, "Hei! Kan temanya eksplorasi. Mana ada UNICODE jadi pegawai kantoran."

"Sudah, sudah. Bikin ide yang normal-normal saja," Yejin menyela. "Yang normal tapi yang outstanding. Yang hebat. Yang keren."

"Normal tapi outstanding itu gimana, ya?" salah satu anak buahnya memijit kening. Susah memang punya atasan yang dipromosi kecepetan. Masih muda tapi sudah punya jabatan. Masih ada banyak celah yang harus dikoreksi di sana sini. Yejin kadang juga sering kebingungan dalam manajemen stres. Masih suka pusing sendiri kalau ketemu jalan buntu. Pengalamannya belum terlalu banyak meskipun ia sudah memegang tim.

"Mungkin kita bisa pilih satu negara secara spesifik," ia mencetus. "Ada ide?"

"Thailand?" Salah satu anak buahnya menyahut, "Makanannya enak-enak."

"Sudah seratus episode kalian bikin UNICODE makan-makan," Yejin menggeleng. "Kalau mereka gemuk saat comeback, kita juga yang kena marah."

"Ibu Park Sanwoo orang Indonesia. Mungkin dia bisa beri ide."

"Oh, betul juga," gumam Yejin, "bagaimana, Sanwoo?"

"Kalau Junseo, Gunwoo, Hajung, dan Jihoo kita suruh jualan keliling pakai gerobak saja bagaimana?" Park Sanwoo berpikir, "Kata ibuku, di negara itu banyak orang yang berprofesi jadi pedagang keliling. Ada yang jualan minuman, cemilan, bahkan bensin."

"Bensin dijual pakai gerobak?" Yejin mengerutkan kening. "Apa tidak bocor?"

"Ya, pakai botol lah, Eonni," Salah satu karyawan tertawa. Bosnya ini kadang bego juga. 

"Oh, kita suruh mereka mendorong gerobak jamu saja," ada lagi peserta meeting yang tadi ternyata sibuk searching. "Di Indonesia banyak rempah-rempah yang dibuat jadi minuman berkhasiat. Mereka pasti akan senang kalau disuruh meracik ini dan itu."

"Tidak, jangan. Aku tahu jamu khas Indonesia karena kakekku sering minum. Aku takut Gunwoo tidak bisa membedakan mana jahe mana kencur," karyawan lain menyambar. Ia tak terima idenya dimentahkan hanya karena pernyataan bodoh dari teman satu timnya. Ia adalah karyawan yang paling lama mengabdi, bahkan sebelum Yejin datang dan mengobrak-abrik seluruh ambisinya jadi pemimpin, ia sudah bekerja keras untuk Cloud Entertainment.

"Ah, jadi bagaimana?" sergah Yejin. "Kita perlu belasan judul yang harus disetor minggu ini dan tim produksi bisa marah-marah padaku kalau terlambat. Masalahnya bukan cuma judul yang mereka minta. Mereka juga minta kasaran sinopsis skenario sebelum benar-benar dimintakan persetujuan ke keluarga kerajaan; Yang Mulia Ratu Celine Park dan para menterinya itu."

"Aku punya ide." Salah satu anak buahnya yang hobi horor menyeletuk, "Bagaimana kalau mereka kita minta uji nyali sambil membawa kemenyan? Ini aku baru nemu di YouTube. Reality show khas Indonesia yang ada hantu-hantunya."

"Tidak. Kalau UNICODE sampai kesurupan, kita bisa diamuk massa." Yejin mengeluh. Lama-lama ia yakin otak anggota timnya gesrek semua. "Kita tidak boleh membuat UNICODE kena serangan jantung. Lagipula kau kan tahu, Lee Gunwoo itu penakut kelas berat."

"Belum tentu juga hantunya mau ketemu mereka…"

"Lagian daritadi Yejin-ssi bicara soal Lee Gunwoo terus."

"Itu karena aku peduli!" wajah Yejin memerah. "Aku peduli pada mereka berempat!"

"Kalau jalan-jalan ke penangkaran penyu?"

"Sudah pernah dulu."

"Kalau UNICODE disuruh ke salah satu pantai pakai baju hijau, bagaimana?" Karyawan hobi horor yang tadi rupanya tahu banyak tentang mitos gaib di seluruh dunia. "Kata video di salah channel YouTube orang Indonesia, kalau ke pantai tertentu pakai baju hijau bakal keseret ombak."

Yejin mengeluh putus asa, "Kau bosan kerja sampai mau membahayakan UNICODE?"

"Ya, terus apa, dong? Semuanya ditolak sama Yejin-eonni."

Yejin menggeram beberapa kali, tanda kalau dirinya frustrasi. Reality show berseri yang terkenal sebagai "UNICODE: Delightful Journey" itu tidak ada tanda-tandanya kapan akan tamat. Setiap tahun ada dua musim yang dirilis. Setiap musim ada 50 judul yang diunggah bergantian di akun resmi Cloud Entertainment. Selama satu tahun mengurusi proyek ini, Yejin sampai khatam membaca ratusan buku demi mendapatkan ide baru. Bukan masalah nemu idenya yang sulit. Menembus kepala batu bos besar mereka lah yang sering mengharuskannya berkorban jiwa raga.

"Mungkin anak-anak baru di tim kita bisa membantu," ia baru ingat punya beberapa pasukan yang fresh from the oven. "Mungkin Nana, Daehan, Sohee, dan Eunkyung bisa membantuku?"

"Mereka ada di sana." Salah satu karyawan menunjuk. Yejin—demi apapun—ingin mengumpat tapi lidahnya seakan terikat. Udik sekali anak-anak baru itu.

Kecuali Daehan yang masih diam di tempat, Nana, Sohee, dan Eunkyung berdiri di ambang pintu kaca ruang rapat. Kamera handphone dipasang.

Ada yang menangkap gambar dari belakang, ada yang selfie dari depan. Choi Junseo, Lee Gunwoo, Song Hajung, dan Park Jihoo sedang berada di seberang sana. Di lorong, baru keluar dari lift dan sedang mengobrol santai tanpa memerhatikan sekeliling.

Nana, Sohee, dan Eunkyung histeris. Tiga anak buah baru Yejin benar-benar seperti balita yang baru pertama kali diajak jalan-jalan keliling taman ria. Mereka belum terbiasa melihat penampakan dari empat lelaki yang dianggap keajaiban dunia.

"Serius, girls. Kalian akan bertemu mereka setiap hari dan lama-lama aura dewa mereka akan terlihat biasa saja. Please, kalian duduklah lagi dan mari kita selesaikan deadline judul yang sangat memuakkan ini." Yejin merasakan kepalanya mulai mendidih karena gertakannya tak dianggap. Ia menunggu direspon, tapi percuma saja.

"Nana, Sohee, Eunkyung!" Yejin tak tahan, "Saya sedang bicara pada kalian bertiga!"

Kata keramat sudah terlontar. Saat Yejin mulai berkata dengan cara yang formal, orang di sekelilingnya harus berada dalam mode siaga. Dalam sekejap, Yejin bisa mengamuk dan mengusir mereka keluar ruangan. Atasan mereka itu bahkan juga bisa secara instan mengeluarkan SP 1, tanpa basa-basi sedikit pun, tanpa merasa perlu berpikir lebih panjang demi keadilan. 

"Teman-teman, ayo duduk lagi… Yejin-nuna marah," Daehan yang baik berusaha memanggil teman-temannya. Namun, member UNICODE yang entah mengapa tak segera pergi dari lorong itu, membuat tiga karyawan baru itu masih belum berhasil mengalihkan gravitasi mereka. Petir hiperbolis mulai menyambar di atas kepala Yejin. Kalau ada tikus yang tak sengaja lewat, binatang itu pasti sudah kejang-kejang.

"Kalau begitu kalian keluar saja. Meeting ini tidak membutuhkan kalian." Kesabaran Yejin habis sudah. "Saya bilang keluar!"

Bentakan Yejin mampu memecahkan gendang telinga. Melengking dan sangat mencekam. Baru setelah ia mengeluarkan full volume, tiga karyawan barunya menoleh. Wajah mereka innocent. Sama sekali tak menyadari jika sejak tadi Yejin sudah nyaris berubah jadi malaikat pencabut nyawa.

"Kenapa, maaf?" Sohee adalah yang pertama kali menyahut.

"Maaf, hehe. Barusan kami sibuk foto-foto," Eunkyung terkekeh, nambahin penyakit.

Yejin meremas kuat mejanya sebelum mengulangi amukannya, "Kubilang kalian keluar saja! Kejar sana UNICODE, saya tidak peduli lagi pada kalian!"

Untuk sesaat mereka bertiga berpandangan. Namun, entah apa yang terjadi pada sistem dalam otak mereka, Nana, Sohee, dan Eunkyung justru berterima kasih berulang-ulang. Akhirnya, setelah bertahun-tahun jadi penggemar, mereka bisa bertatapan muka langsung dengan empat member UNICODE sekaligus. Ingin rasanya mereka menyembah kaki Yejin yang sangat pengertian hingga mengizinkan mereka bolos rapat demi bertemu sang idola.

"Makasih, ya, Eonni! Makasih!"

"I love you! I love you! Muah, muah!"

Mereka bertiga berhamburan keluar bagai ayam ternak yang sudah tak betah dikandangi.

Di tempatnya berdiri, Yejin gemetar, tak yakin kakinya masih bisa memijak lantai jika meeting ini harus dilanjutkan.

"Daehan, aku minta tolong…," suara Yejin bergetar seperti akan menangis. "Ambilkan parasetamol di tasku. Tiga butir kalau perlu."*

Bersambung ke bab selanjutnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CLOUD UNIVERSE (BAB 4-6)
0
0
Mengikuti Late Night Party adalah tradisi bagi karyawan baru Cloud Entertainment di hari pertama masuk kerja. Begitupula dengan Jia dan Hyemi. Mereka diseret oleh Yejin menuju pesta internal kantor.Di sana, Jia dipaksa mabuk hingga tercebur ke kolam renang. Naasnya, member UNICODE juga datang ke pesta itu dan “menculik” Jia untuk dibawa pergi.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan