
Hyemi benar-benar enggan untuk membujuk Jihoo agar mau tampil di acara ulang tahun itu. Alih-alih mengikuti saran Yejin untuk mencium Jihoo agar ia luluh, Hyemi justru menyalahkan sifat kekanakan sang maknae yang membuat repot satu agensi.
Sikap Jihoo yang seenaknya sendiri juga membuat Yejin harus bekerja dua kali untuk merombak skrip acara. Saat gadis itu lembur di malam-malam yang kritis, Lee Gunwoo datang menemaninya, sekaligus meminta Yejin kembali jadi pacarnya.
BAB 25
"Hujan lagi."
Jia membuka payung. Ia baru bisa keluar kantor saat jam hampir menunjuk angka 8. Percuma juga ia tak sabar untuk segera membereskan pekerjaan demi bisa bertemu Hyunsoo, acara besok tak bisa dibawa santai. Ia harus serius menggarap tugasnya untuk menyiapkan visual dan revisi berkali-kali dari bosnya yang kebanyakan mau itu membuatnya nyaris gila.
"Apa dia benar-benar ingin jalan-jalan…?" Jia sedikit sangsi. "Tapi ini kan hujan…"
"Kurasa kau bisa sakit lagi kalau kita memaksakan diri."
Jia hampir melempar payung saking kagetnya. Kadang-kadang Hyunsoo ini gila. Ia selalu datang dan pergi dengan kesan yang sama-sama mengejutkan.
Jia menekan dada, tak mau jantungnya lepas sebelum waktunya.
"Kau kenapa sekaget itu?" Dengan tidak tahu dirinya, pemuda itu malah bertanya. Ia tersenyum tipis karena Jia mendengkus jengkel. Seharusnya Hyunsoo tak punya nyali untuk menggodanya karena Jia tak main-main.
"Aku memang gampang sakit," Jia membalas perkataanya. Ia kecewa, tentu saja. Sudah lama dirinya menunggu Hyunsoo kembali, dan saat rencana manis terlanjur disusun, hujan datang lagi untuk mengacaukan segalanya. "Baiklah, jadi sebaiknya aku pulang."
"Kalau kau sakit, Minjun-hyung akan memperbolehkanmu cuti. Kau lelah, aku tahu itu."
"Itu sama sekali bukan alasan cuti yang menyenangkan," Jia ingin menjitak kepala pemuda itu. Kadang miris rasanya menyadari perbedaan usia yang memisahkan mereka. Namun, Hyunsoo ini sama sekali tak tampak seperti anak-anak. Ia tampak lebih dewasa dari umur sesungguhnya. Dari sisi mental, perilaku, bahkan fisik.
"Kalau kita tidak jadi jalan-jalan, aku pulang dulu. Aku tak mau naik subway kemalaman."
"Apa kau tidak keberatan menunggu hujan reda bersamaku di sini?" Hyunsoo bertanya. Jia menggaruk tengkuk. Berbicara dengan Hyunsoo untuk alasan apapun selalu bisa membuatnya salah tingkah. "Jia, apa kau ingin buru-buru sampai rumah?"
"Itu tidak mungkin, bodoh." Jia tak bisa menahan senyum. "Siapa juga yang ingin melepaskanmu dengan cepat padahal aku sudah menunggumu lebih dari 2 minggu? Kau tidak seharusnya merasa bisa kabur dariku. Kau harus menjelaskan semua yang terjadi selama kau menghilang dariku."
Hyunsoo mengambil payung Jia, membantu menutupnya. "Kemarilah, aku tahu tempat bagus. Kita tidak perlu keluar kantor sampai hujan berhenti."
Jia belum mengangguk tapi Hyunsoo telah menarik tangannya. Pemuda itu membawanya menuju tangga darurat. Alih-alih menaiki lift yang cepat dan nyaman, Jia dipaksa mengikutinya menaiki tangga melingkar yang seperti tak punya ujung.
"Aku sekarang yakin kau seratus persen gila, Nam Hyunsoo." Jia terengah. Tangga darurat ini dikelilingi dinding beton. Pengap dan minim cahaya. Jia sampai mencengkeram lengan Hyunsoo sangat kencang karena takut terperosok.
"Apa yang dipikirkan Celine Park sampai-sampai membuat terowongan penyiksa dengan tangga curam seperti ini? Dia ingin membuat labirin tapi tak punya lahan? Atau memang dasarnya saja dia aneh?" umpatnya.
Jia pasti akan berceloteh jika kesal. Hyunsoo mulai terbiasa dan menanggapinya dengan tawa kecil. "Tangga ini digunakan untuk latihan pernapasan. Para penyanyi harus memiliki tarikan napas yang stabil dan panjang. Para trainee bahkan artis kadang harus lari-larian di sini, bolak-balik seperti orang bingung, untuk memenuhi tuntutan dari guru vokal mereka."
"Perusahaan ini benar-benar aneh," Jia berkomentar, "tak heran kau diterima di sini."
"Apa aku seaneh itu?" Hyunsoo memandangnya dalam remang. "Hei, kau sangat cantik!"
"Kemana saja kau, Nam Hyunsoo?" Jia ingin tertawa, tapi napasnya tak sepanjang itu untuk tetap melandeni seluruh pembicaraan Hyunsoo. "Apa kita bisa istirahat dulu?"
"Perjalanan kita masih jauh," Hyunsoo menjawab, terlihat sengaja ingin membuat Jia kecewa, tapi kemudian ia berkata. "Baiklah. Baiklah. Kau bisa duduk. Sandarkan dirimu padaku kalau kau tidak sanggup menahan beban tubuhmu sendiri."
Wajah Jia bersemu. Tak jelas karena ia terlalu lelah atau malu. Ia sedikit tersipu saat Hyunsoo yang ikut duduk di anak tangga, menarik tubuhnya mendekat. Ia sangat sopan sampai minta izin dulu saat ingin menyandarkan Jia ke dadanya. "Jangan kalau kau tak nyaman."
"Tidak, ini sangat nyaman." Jia tanpa sadar memejamkan mata. Ia sangat menyukai lelaki muda ini. Sangat, sangat, sangat suka. Kalau saja ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkan apa yang ia rasakan sekarang, mungkin kata-kata itu lebih dekat dengan "cinta" dibanding hanya sekadar "suka". Namun, Jia masih cukup pecundang untuk menyatakan bahwa ada sebagian dari dirinya yang sudah terikat dengan Nam Hyunsoo. Ia masih takut jika…
"Hyunsoo, apa kalau nanti kau berhasil debut, kau akan meninggalkan aku seperti Gunwoo meninggalkan Yejin?" Jia merasa bersalah karena tak bisa menahan diri agar tak mengatakan itu. Ia menggigit bibir saat merasakan dekapan Hyunsoo pada dirinya menegang. "Ja-jangan dijawab kalau kau tak nyaman. Anggap saja aku hanya salah bicara," sesal Jia.
Hening merayap di antara mereka. Hyunsoo perlu jeda lama untuk menjawab pertanyaannya. Jia pun tak berani mengucapkan apapun lagi. Ia merasa jahat karena berharap Hyunsoo akan lebih memilih dirinya dibanding keinginannya jadi artis. Namun, sepertinya itu sangat mustahil. Berapa banyak kekasih yang patah hati di luar sana hanya karena pacar mereka menjadi trainee di agensi dan didebutkan menjadi bintang?
Pada akhirnya, Jia yakin dirinya hanya akan jadi satu diantara sekian juta penonton yang memuja Hyunsoo dari bawah panggung. Ia takkan ada artinya lagi jika Cloud Entertainment telah memilih Hyunsoo untuk didebutkan.
"Aku tak tahu bagaimana mengatakannya. Debut adalah keinginan banyak orang, dan keinginan keluargaku. Aku tidak pernah membantah orang tua, apapun alasannya."
Mendengar itu, Jia terkejut dan melepaskan pelukan mereka. "Apa maksudmu?"
"Sejak dulu aku sangat suka pelajaran eksakta. Saat SMP, aku pernah mewakili Korea Selatan di olimpiade Fisika tingkat Asia. Apa kau percaya?"
"Ya," Jia mengangguk. Berbicara dengan Hyunsoo selalu membuatnya berpikir keras, hanya itu saja alasan yang bisa ia temukan. "Kau dapat medali saat itu? Ah, kutebak! Emas."
"Ya," Hyunsoo terseyum seolah sedang mengenang kawan lama. "2 tahun berturut-turut."
"Oh, itu menyakitkan." Jia tiba-tiba tahu kemana pembicaraan ini akan mengarah. "Jadi profesor atau ilmuwan juga akan sangat dihargai. Kurasa wajah tampanmu adalah kutukan sampai kau tak bisa menentukan jalan hidupmu sendiri, Hyunsoo."
"Hm, tapi aku merasa pilihan orang tua tak mungkin salah," jawab Hyunsoo, "darahku adalah campuran dari darah ibuku dan ayahku. Tak mungkin mereka tak mengenalku dengan baik."
Jia tersenyum miris. Ini sedikit menyakitkan untuknya. Namun, bukankah sejak awal pun ia tahu jika Hyunsoo adalah pemuda baik-baik?
"Kau harus bisa debut," ia menepuk pundak pemuda itu. Berusaha menyemangatinya meskipun ia yakin senyumnya terlihat sangat palsu. Jia berjanji takkan menangis karena itu akan semakin membuat Hyunsoo berada dalam posisi yang sulit. "Aku akan membeli album dan datang ke fanmeet-mu kalau kau sudah resmi jadi anggota boyband. Aku selalu mendukungmu!"
"Aku sebenarnya tidak perlu dukungan itu," Hyunsoo tampak berpikir keras. Kadang-kadang, Jia kasihan pada otak pemuda itu. Untuk bicara saja, organ di kepalanya harus banyak-banyak diperas. "Jia, kau sebaiknya bersikap netral agar aku bisa menentukan pilihan. Aku tak mau condong pada pilihan seseorang… kalau saja bisa."
"Kau tidak seharusnya memilih," Jia menggeleng, "pilihan orang tua pasti baik."
Mata Hyunsoo menerawang. "Kukira juga begitu…," kemudian ia menatap Jia, "Apa boleh aku menciummu? Aku sangat ingin melakukan itu sejak terakhir kali kita bertemu."
Jia mengerjap. Bingung bagaimana harus menjawab. "Biasanya laki-laki takkan minta izin." Ya, setidaknya itu yang ia dapati dari Choi Junseo. Sebuah ciuman brutal yang diberikan padanya seperti sebuah kejutan tanpa ampun. Jia tak yakin Hyunsoo tak sama. "Kau bisa melakukannya tanpa harus minta izin dulu padaku—"
Kalimat Jia terputus. Bibir Hyunsoo menghisap bibirnya dan ia tak bisa menolak. Lebih tepatnya, ia tak sanggup untuk menolak. Ciuman itu membuat hujan berjatuhan dari hatinya dan Jia tak rela untuk melepaskan. Ia sudah menunggu pemuda ini sangat lama… Jika pada akhirnya ia diperbolehkan untuk semalam saja merasa dicintai, ia berjanji takkan menyesal meskipun nanti Hyunsoo meninggalkannya untuk debut di bawah Cloud Entertainment.
Saat Hyunsoo melepaskan ciuman itu untuk sekadar mencuri napas, Jia bahkan berani untuk protes, "Kau tak punya banyak waktu lagi untuk melakukan ini. Kenapa tak melakukannya sepuasmu?"
Akhirnya, ciuman itu berlangsung tanpa jeda. Sekali, dua kali, bahkan hingga belasan kali. Hyunsoo dan Jia sudah lupa jika di atas tangga ada tempat yang menyenangkan untuk melihat hujan. Mereka sudah lupa jika dinding-dinding beton di sekeling mereka bisa kapan saja menguras udara di paru-paru dan membuat keduanya terengah-engah.
"Apa kau mencintaiku, Jia?" Pertanyaan Hyunsoo seharusnya sudah ia duga. Namun, Jia tetap saja tak siap mendengarnya. "Apa kau sudah punya jawaban untuk pertanyaanku saat kita berada di rumahmu? Kau masih menggantungku sampai detik ini."
"Mungkin aku akan menjawabnya setelah kau debut," Jia tak sanggup tapi ia tetap harus mengatakan itu. "Aku akan menjawab perasaanmu pada waktu ketika jawaban apapun dariku—entah ya atau tidak—takkan ada artinya lagi untukmu. Kau tak perlu mendengarnya sekarang."
"Tapi aku ingin mendengarnya…"
"Bisakah kita berciuman saja dan pura-pura bisu atau tuli? Aku tak ingin merusak suasana."
Bibir Jia baru akan mengincar bibir Hyunsoo lagi, ketika tiba-tiba lengannya ditarik oleh seseorang. Mereka berdua sama-sama terkejut ketika Choi Junseo datang dan mengklaim Jia agar mengikuti langkahnya. Jia dipaksa menaiki tangga meskipun ia memberontak. Hyunsoo berusaha mengejar, tapi Junseo menendang dadanya hingga pemuda itu terbanting, jatuh berguling-guling di anak tangga.
"Hyunsoo!" Jia memekik. Ia berusaha melepaskan diri tapi gagal, "Apa yang kau lakukan, Junseo!? Itu perbuatan kriminal! Aku harus menolongnya!"
"Aku takkan membiarkannya mati," Junseo bersikeras. Jia tetap diseret untuk naik ke atas, ke ruangan kaca yang tadi Hyunsoo bilang sebagai tempat untuk melihat hujan. Jia dihempaskan hingga tersungkur di lantai berlapis kain bulu. Tempat ini sangat nyaman dan hangat, tapi Jia merasa jika ia sedang berada di neraka.
"Aku akan menelepon manajerku untuk menolongnya. Kalau tidak seperti itu kau takkan mau mengikuti aku. Aku tak pernah ditolak. Kau harus mengerti bagaimana hancurnya aku."
Jia terdiam. Jika ia melawan, ia takut Hyunsoo akan dihajar lebih parah lagi. Ia membiarkan Junseo memencet ponsel untuk menelepon manajernya. Ia mengatakan jika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan di tangga rahasia. Junseo meminta si manajer untuk mengirimkan foto jika si korban sudah ditolong. Tak lama setelah itu, foto Hyunsoo sedang dipapah oleh dua orang kru Cloud ditunjukkan Junseo pada sosok yang menangis di depannya.
"Aku tidak sejahat itu. Kau yang jahat kalau memaksakan diri merusak karirnya. Kau tahu, namamu masuk ke dalam daftar pembuat skandal yang paling dicari UNION. Kau sebaiknya tidak usah melibatkan bocah trainee itu. Yang berulah adalah kita berdua. Jangan libatkan orang lain."
"Aku tak minta dia terlibat! Dia sendiri yang selalu datang padaku!" Jia berusaha membela diri. Ia tidak semurahan yang Junseo pikirkan. Bagaimana pun, Hyunsoo dan Junseo lah yang mendekatinya, bukan dia yang berusaha untuk menarik perhatian mereka.
"Kalau begitu jangan buat dia terlibat lebih jauh. Apa kau tak membayangkan bagaimana nanti jika belum debut saja haters-nya sudah berbercak di mana-mana? Cloud bisa meninjau ulang popularitas pre-debut Hyunsoo dan rencana semacam itu bisa kapan pun diurungkan jika Celine Park mengatakan 'tidak' untuk keputusan debutnya. Sebaiknya kau lebih berpikir panjang."
Jia tak ingin percaya, tapi sifat overthinking dan terlalu mengambil perasaan menguasainya detik ini. Jia paling lemah jika dibuat merasa bersalah. Tiba-tiba bayangan Hyunsoo yang dianggap mengecewakan orang tua karena gagal debut memenuhi otaknya. Jia menunduk dan bisa melihat air matanya membasahi kain kelabu. Hujan di luar sana belum juga berhenti hingga Jia merasa tak punya kesempatan untuk melarikan diri.
"Apa aku salah jika aku sayang pada Hyunsoo?" Jia tahu sebentar lagi bibirnya akan berdarah karena terlalu banyak digigit. "Perasaan ini sangat indah… Aku ingin memilikinya tapi aku tahu itu tidak mungkin. Aku harus bertahan pada posisi seperti ini. Aku tak bisa melangkah lebih jauh. Aku tak bisa minta tolong pada siapa pun…"
"Yang bisa menolongmu hanya dirimu sendiri. Kau hanya harus tahu posisimu. Hyunsoo bisa hancur karenamu." Junseo merengkuh pundak Jia tapi ditepis. "Jia, kalau kau dihujat gara-gara aku, seharusnya yang berkutat dengan masalah itu hanya kita berdua. Jangan bawa-bawa orang lain karena itu sama sekali tidak adil baginya."
Jia berpaling, menatap hujan deras dari balik kaca. Mungkin perasaannya sekarang seperti bumi yang digenangi air—sangat pasrah hingga merasa tak bisa berbuat apapun. Tanpa harus Junseo ingatkan pun, hubungannya dan Hyunsoo sama sekali tak bisa dibenarkan. Setidaknya, Jia memang harus mundur selama Hyunsoo masih terikat sebagai trainee. Perpisahan mereka akan semakin berat jika menunggu Hyunsoo debut. Semakin lama mereka bersama, mereka akan kian tak terpisahkan.
"Aku paham apa yang kau katakan," Jia berucap dingin, "aku ini memang pembawa bencana untuk semua orang."
***
"Mau apa kau datang kemari?"
Jihoo menatap Hyemi penuh dendam. Permintaan Yejin untuk membujuk si maknae membawa gadis itu ke asrama mewah UNICODE. Hyemi lihat Jihoo telah berkemas. Ada satu koper dan tas ransel, mungkin dia akan pulang ke kampung halaman atau semacamnya. Hyemi memutuskan masuk meski Jihoo tak mau menghadapnya lagi.
"Kalau aku jadi Park-sajangnim, aku akan memecatmu. Kau mangkir dari pekerjaan."
"Tidak perlu kau yang menjadi dia, Sajangnim memang sudah mengancam untuk memecatku." Jihoo mengambil beberapa sepatu dan kotaknya, memasukkannya ke mulut koper. "Minggir. Jangan menggangguku berkemas. Sejak dulu kalau selalu ikut campur."
"Kau seharusnya tahu siapa dirimu!" Hyemi meraih lengan Jihoo, memaksa agar lelaki itu mau menatap langsung ke matanya. "Katakan padaku kalau kau besok akan datang ke acara itu!"
"Aku tidak mau," Jihoo bersikeras, "kau bukan orang penting untukku, kata-katamu takkan pernah aku dengarkan, Kang Hyemi."
"Kalau aku tidak penting, setidaknya UNION penting untukmu. Iya, kan?"
"Mereka penting tapi di sini yang paling penting adalah diriku sendiri! Kau jangan berpikir bisa memengaruhi keputusanku. Aku bahkan sudah tidak peduli kalau agensi memecatku. Kalau Park Jihoo mantan member UNICODE dipecat, masih banyak agensi lain yang bersedia kumasuki! Aku bukan artis abal-abal yang masih harus mengemis untuk mencari agensi!"
"Tapi grupmu bukan cuma masalah agensi, Jihoo!" Hyemi tak habis pikir mengapa manusia satu ini bisa jadi begitu bodoh saat marah. "Grupmu adalah UNICODE dan UNICODE adalah milik Cloud Entertainment! Kalau kau keluar dari kantor gara-gara marah, kau akan kehilangan teman-temanmu. Junseo, Gunwoo, dan Hajung!"
"Kau pikir aku peduli dengan semua itu?" Kali ini Jihoo bertanya. Di matanya ada luka mendalam—atau bekas luka—yang terpancar dari hatinya. "Asal kau tahu, semuanya—karirku, hidupku, masa depanku—semuanya baik-baik saja sebelum kau datang dan merusak semuanya!"
Hyemi yakin Jihoo sedang menyerangnya dengan kata-kata. Namun, ia takkan mundur. "Kalau logikamu memang seperti itu, bukankah seharusnya aku yang kau depak dari Cloud?"
Jihoo terdiam. Amarahnya belum surut, tapi Hyemi bisa melihat sorot matanya berubah sendu. Hyemi memanfaatkan kesempatan itu untuk bicara lagi, "Kembalilah, Jihoo. Semua orang membutuhkanmu. Keadaan akan sangat kacau jika tiba-tiba kau mangkir."
"Aku tidak mau," tapi Jihoo tak bisa digoyahkan. "Cari saja orang yang bisa menggantikan tempatku."
"Itu tidak mungkin! Apa kau sudah gila?" Hyemi yakin otak Jihoo sedang tak berfungsi dengan benar. Tadinya ia kira, amarah mereka perlahan memudar tapi ternyata keduanya masih sama-sama kepala batu. Baik Jihoo dan Hyemi sama-sama logis dan tak terkalahkan.
"Kembalilah ke Cloud. Jangan peduli apa yang dikatakan orang lain…"
"Aku tak peduli apa kata orang lain, tapi selama Youngbin sialan itu masih ada di Cloud dan bosku lebih membelanya dibanding aku, aku takkan pernah kembali ke sana."
Hyemi pun tak sepenuhnya sadar apa yang terjadi. Tiba-tiba saja tangannya melontarkan tamparan kuat yang membuat pemuda itu terkejut.
"Kau pikir siapa kau berani melakukan ini padaku!?" bentak Jihoo.
"Kupikir tadinya kau lebih baik dari Youngbin, tapi ternyata aku salah!" Hyemi mendorong Jihoo menjauh. Antisipasi, siapa tahu laki-laki yang lebih kuat darinya itu akan melakukan serangan balasan. "Ternyata cuma ini ya kualitas seorang Park Jihoo? Tiba-tiba aku merasa kasihan pada semua fansmu di luar sana? Ternyata mereka memuja orang yang salah! Mereka sangat bodoh karena telah memuja orang yang lemah!"
"Kau tidak berhak menilaiku!" Jihoo mencengkeram lengan Hyemi, kapan saja sosok yang lebih kecil darinya itu bisa dibanting hingga terguling-guling. Untuk sedetik, Hyemi seakan bisa melihat bayangan dirinya yang tergeletak dengan kepala berdarah. Jihoo bisa saja melakukan itu, membuat Hyemi harus dilarikan ke IGD sekarang juga, kalau dia mau.
"Kau tahu aku menyukaimu dan kau memanfaatkan perasaanku untuk membuatku lemah! Asal kau tahu saja, kau takkan pernah bisa mengontrolku, Kang Hyemi!"
"Aku tak mengontrolmu! Kau yang berusaha mengontrol dirimu sendiri dan kau kecewa karena ternyata kau gagal melakukannya!" Hyemi menangis. Entah perasaan apa yang bergejolak di hatinya kini, tapi ada perasaan patah hati mendalam karena ternyata Jihoo sangat jauh dari yang ia bayangkan. Hyemi mengambil salah satu kotak sepatu yang belum dikemasi dan melemparkannya pada Jihoo. "Selamat jalan kalau begitu," ia memutuskan menyudahi omong kosong ini. "UNICODE berhak mendapatkan member pengganti yang lebih baik darimu. Selamat tinggal."
Pintu berdebum dan Jihoo ditinggalkan sendirian bersama kekosongan. Bahkan ia terlalu malu untuk mengejar Hyemi. Yang bisa ia lakukan hanya terpekur, ketakutan jika menemukan kejujuran yang paling dalam di hatinya.
UNICODE berhak mendapatkan member pengganti yang lebih baik darimu.
Kata-kata Hyemi terlalu menyakitkan untuk diingat. Jihoo menekan sisi kepalanya, mencoba mengenyahkan suara yang berdengung-dengung itu. Selama ini, meskipun mereka bersahabat dekat, Junseo, Gunwoo, dan Hajung selalu berusaha menjaga perasaannya demi keutuhan tim.
Namun, malam ini, seorang Kang Hyemi berhasil mengobrak-abrik sifat teguhnya yang mendarah daging itu. Jihoo hanya sangat berprinsip, bukan keras kepala. Ia masih bisa mencerna kebenaran dalam kata-kata Hyemi.
"Maafkan aku." Ia membenamkan kepala di lipatan lengan. Jihoo takut menyadari bahwa dirinya masih bisa menangis, tapi nyatanya ia benar-benar menangis. "Maafkan aku…."
BAB 26
'Hyemi, kau di mana sekarang?'
"Di Cheonggyecheon. Kenapa, Yejin?"
'Malam-malam begini berenang di Cheonggyecheon? Apa kau berubah jadi ikan piranha?'
"Tentu saja tidak berenang. Lagipula di sini tidak ada piranha. Aku duduk di pinggiran," Hyemi merasa bodoh karena harus menjelaskan hal tak penting seperti ini. "Kenapa meneleponku?"
Hyemi sebenarnya sudah bisa menebak kalimat Yejin selanjutnya. 'Aku ingin tahu apakah kau berhasil membujuk Jihoo.'
Hyemi menggumam, "Oh, soal itu…"
'Jadi bagaimana? Apa kau berhasil membujuk dia?'
Yejin terdengar panik, sama seperti sore tadi saat ia menelpon Hyemi dengan ponselnya yang lama. Hyemi memberikannya nomor Youngbin—atau sekarang jadi nomornya—sebelum pulang kantor agar Yejin bisa memonitor usahanya untuk membujuk si maknae UNICODE. Yejin yang sering panik tentu takkan bisa tidur malam ini, takut acara besok kacau balau.
'Aku dan tim Minjun berpikir untuk menyiapkan berita bohong tentang Park Jihoo yang tiba-tiba jatuh sakit karena kelelahan… tapi acara itu takkan sukses besar kalau UNICODE member-nya berkurang satu. Jadi aku benar-benar berharap kau bisa memberiku kabar baik…'
"Jihoo akan mundur dari UNICODE." Alih-alih memberikan kabar yang bisa membuat Yejin menarik napas lega, Hyemi justru melempar bom susulan yang tak kalah mengejutkannya. "Dia bilang, dia tak mau lagi kembali ke Cloud. Aku sudah berusaha membujuknya."
'Apa yang kau lakukan selain membujuknya?' Yejin sering mengatakan hal bodoh saat panik, dan Hyemi tahu hari ini temannya itu akan melakukan hal itu lagi. 'Apa kau sempat berusaha menciumnya atau memaksanya melakukan sesuatu yang membuatnya luluh?'
"Melakukan sesuatu apa?" Hyemi takkan suka mendengar lanjutan kalimat Yejin, karena itu ia buru-buru menyusul pertanyaannya dengan kalimat yang lain. "Yejin, daripada kalian paksa aku untuk melakukan hal bodoh dengan Jihoo, aku lebih memilih resign dari Cloud dan hidup bahagia selamanya dengan Youngbin tanpa diganggu oleh kalian semua."
Hyemi sama sekali tak marah saat mengatakan itu. Ia mematikan sambungan telepon mereka dan memutuskan untuk melamun lagi. Sungai Han terlihat kesepian, sama seperti dirinya.
Hyemi telah lelah menangis dan sekarang yang bisa ia lakukan hanya menatap kekosongan.
"Aku tidak menyangka…," ia menggumam seorang diri, "hari ini aku membela orang yang waktu itu pernah menggunjingkan aku di lift… dan justru membiarkan laki-laki sehebat Park Jihoo tampak rendah jika dibandingkan dengan si penggunjing itu. Apa yang sebenarnya ada di kepalamu, Kang Hyemi? Apa yang kau pikirkan tentang Youngbin?"
Hanya angin dingin yang menjawab. Hyemi mengerjapkan mata, mengawasi keadaan dan menyadari jika langit begitu bersih karena tadi sempat disapu hujan.
"Apa aku pantas membela Youngbin? Apa aku pantas menyakiti Jihoo?"
"Kau tak pantas membelaku, sekaligus kau tak pantas menyakiti bintang seperti Jihoo."
Hyemi tersentak. Tadinya ia kira dirinya bermimpi. Namun, ternyata Youngbin benar-benar muncul dari belakang.
Pemuda itu berjalan mendekatinya sambil memegang ponsel baru. "Aku menemukanmu dari sensor ponselku. Jangan ditanya bagaimana caranya, ponsel orang kaya memang begitu."
Hyemi belum sembuh dari rasa terkejut, tapi ia tertawa. Tangannya terulur menyambut Youngbin dan tentu saja yang baru datang menyambut genggamannya.
"Katakan pada Yejin, kalau dia dipecat gara-gara acara besok gagal, kalian berdua bisa pindah ke perusahaan appa-ku. Aku serius, kalian bisa memilih sendiri posisi apa."
Hyemi tertawa. Ia menatap Youngbin, "Aku mau jadi CEO. Bagaimana?"
"Oh, kalau yang itu syaratnya cukup berat. Aku tidak yakin kau sanggup."
"Apa coba?" tantang Hyemi.
"Menikah denganku, menjadi istriku, jadi ibu dari anak-anakku," Youngbin tertawa lebar. "Bagaimana, Kang Hyemi? Apa kau mampu melakukannya?"
Hyemi tertawa. "Yah, mungkin."
***
Yejin tahu ia takkan bisa tidur malam ini. Selain karena kabar buruk yang baru didengarnya, ia dan Minjun harus bekerja jarak jauh demi menyusun skema acara untuk mengelabui publik tentang "berita sakit Park Jihoo yang sangat mendadak itu".
Mereka melakukan video call, berusaha memeras otak untuk menyiapkan skenario paling buruk yang nyaris seratus persen pasti terpakai.
"Aku harus mengganti jalan ceritanya. Peran Jihoo sebagai malaikat harus kuhilangkan. Tapi bagaimana mungkin ada konsep yin dan yang tapi tidak ada peran protagonisnya? Atau Hajung saja yang kuputar jadi malaikat? Bagaimana menurutmu, Minjun?"
'Tapi kostum malaikat sudah dibuat sesuai ukuran tubuh Jihoo. Bisalah kita dapatkan penggantinya dari tim properti, tapi tidak yang benar-benar sesuai konsepmu. Kostum aneh yang bisa menyala, Yejin. Seperti lampion saja.'
"Hei, itu kostum yang sangat mahal. Aku ingin membuat sebuah pertunjukan yang spektakuler. Kostum Jihoo bisa berubah warna sesuai spektrum cahaya yang mengenainya."
'Ya, ya. Tapi masalahnya dia tidak datang… Bagaimana kalau kita ganti cerita saja?'
"Mana mungkin? Kau tidak ingat judul drama yang sudah ditebar di semua aset marketing iklan? High 7. Kau ingin menggantinya dengan cerita apa? Mickey Mouse? Kau ingin Cloud dan UNION ditertawakan oleh fandom pesaing? UNICODE sedang sangat disorot."
'Ah, baiklah. Baiklah. Kau tulis saja yang ada di pikiranmu sambil tetap share screen. Aku akan menerjemahkan visualnya di layar komputer sebelah.'
"Hahaha, kau benar-benar orang kaya ya sampai komputermu ada dua."
Ini hampir pukul 2 pagi. Yejin merasa matanya sangat berat tapi ia tak boleh berhenti. Berani tidur malam ini berarti harus dimaki-maki besok pagi. Ia berkali-kali mengoleskan serum mata sampai Minjun berkomentar jika sebaiknya ia menyibak pelupuknya dengan penjepit. Yejin sampai menenggak tiga botol minuman berenergi agar tetap terjaga.
'Yejin, malaikatnya kok jadi banyak ya?'
"Iya, maksudku biar peran malaikat diganti cameo saja. Cloud punya banyak dancer dan trainee yang jago, mereka harus dilatih kilat besok pagi tapi aku yakin masih bisa dikejar karena koreonya sangat sederhana. Part mereka kubuat sedikit agar tak membutuhkan banyak persiapan."
'Tapi kurasa panggungnya kurang lebar. Apa tak sebaiknya dikurangi?'
"Ah, bisa. Sebentar, ya." Yejin menghapus beberapa paragraf tulisannya, kemudian terkejut karena seseorang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya, meletakkan sebungkus sandwich dan susu vanilla. "Lee Gunwoo!" Yejin memekik hingga Minjun ikut kaget.
'Yejin! Hei, Yejin!'
"Minjun, videonya kumatikan dulu. Ada pengantar makanan!"
'Hah?'
Yejin buru-buru berdiri. Lee Gunwoo yang tiba-tiba datang berhasil membuatnya nyaris jantungan. Ia menundukkan layar laptop, kemudian menghardik pemuda itu. Masuk ke rumah orang dinihari, tidak pakai salam, langsung masuk kamar. Kurang sembarangan, apa?
"Apa yang kau lakukan di sini? Kau mau kupanggil polisi?" Yejin hampir melempar bolpoin yang bisa diraihnya ke kepala Gunwoo. "Keluar atau kau akan tahu akibatnya!"
"Aku sudah berusaha keras merayu petugas keamanan di depan agar bisa masuk," Gunwoo menghela napas. Wajahnya memelas tapi Yejin yang terlalu gugup tak bisa merasa kasihan padanya. "Aku menunjukkan foto-foto lama kita saat SMA dan menunjukkan nomor teleponmu. Dia percaya dengan sangat mudah karena wajahku terkenal di mana-mana."
"Aku tidak tanya bagaimana kau bisa masuk! Penjaga Gedung Putih pun pasti akan membukakan pintu ruang kepresidenan Amerika kalau kau yang minta!" seru Yejin. "Yang kutanyakan adalah apa yang kau lakukan di sini? Kau benar-benar seperti maling!"
"Aku bukan maling," Gunwoo menggeleng. Ia duduk di ranjang Yejin, menepuk-nepuk bantal dan berbaring. "Kalau aku maling, sejak dulu aku pasti sudah berhasil mengajakmu kembali padaku. Mencuri hatimu itu lebih susah dari menemukan fosil dinosaurus."
"Dasar orang gila!" Yejin ingin marah lebih lama lagi, tapi ia ingat jika ada tugas mahapenting yang menunggu untuk diselesaikan. "Kita tawuran besok setelah acara ulang tahun selesai, Lee Gunwoo. Awas kau. Aku juga masih dendam soal media play kemarin. Kulihat fotomu di mana-mana bersama seorang member girlgroup. Kau benar-benar boneka agensi."
"Aku sudah tahu kau pasti cemburu," Gunwoo menggumam. "Tapi kau tahu kan mereka melakukan media play itu demi siapa. Demi kita berdua, Yejin. Cloud ingin melindungi kita."
"Padahal tidak dilindungi juga tak masalah," sahut Yejin, "kita tidak akan pernah jadi pasangan betulan. Percuma semua orang menggosipkan kita, semua cerita lama sudah berakhir."
Yejin kembali menghadap laptop. Sesekali ia bisa melihat Gunwoo masih berbaring miring sambil memandangnya. Mata lelaki itu jarang sekali berkedip, seolah-olah ia jatuh cinta lagi pada Yejin seperti saat mereka masih jadi siswa SMA.
"Aku datang karena aku tahu kau pasti lembur. Jihoo telah membuat ulah dan aku tahu semua orang sekarang sedang kerepotan." Gunwoo bicara tapi Yejin tak menyahut. Ia berhenti mengetik dan ingin tahu lanjutan kalimat yang akan Gunwoo ucapkan.
"Kau teruslah bekerja, abaikan saja aku. Aku datang hanya karena ingin menemanimu lembur, bukan untuk mengganggumu atau menggagalkan kerja kerasmu, Moon Yejin."
BAB 27
"Astaga! Aku bangun kesiangan!"
Yejin menatap sekeliling. Matanya ditajam-tajamkan meskipun kepalanya belum penuh betul. Entah berapa lama ia tergolek di kasur, ia tak ingat kapan Gunwoo memindahkan tubuhnya yang mungkin saja semalam terkulai di kursi. Member UNICODE itu sekarang sedang menonton televisi di kamar Yejin. Suara film Hollywood yang sedang ia tonton nyaris tak terdengar. Sepertinya ia sengaja tak mau membuat Yejin bangun.
"Halo, selamat pagi. Santai saja, ini baru jam 6 lewat." Pemuda itu selalu tampan. Yejin malas mengakuinya tapi Gunwoo bahkan tampak sangat menarik dalam balutan kaus lusuh kekecilan yang ia temukan dari lemari Yejin. "Aku pinjam kausmu karena tidak nyaman tidur dengan baju bekas kerja. Untung aku sangat kurus jadi bajunya muat."
"Terserahmu saja." Yejin tak ingin menanggapi. Ia cukup panik tapi tak mau kelihatan bodoh. Ia berjalan menuju kamar mandi dan membasuh diri. Yejin jelas tak berani berlama-lama hingga ia muncul lagi dua menit kemudian. Gunwoo sampai heran bagaimana bisa mantan kekasihnya itu berubah jadi begitu jorok setelah mereka berpisah beberapa tahun lalu.
"Aku tahu pekerjaanmu penting, tapi kebersihan jauh lebih penting dari apapun." Gunwoo bergerak dari duduknya, menghampiri Yejin yang menyisir rambut dengan tak sabar. "Tenanglah, mereka akan menunggumu. Kubilang kau akan datang sekitar jam 8."
"Jam 8? Apa kau gila? Ini bukan hari kerja biasa! Ini hari yang penting!" Yejin membiarkan Gunwoo mengambil sisir, sementara ia bergegas memakai make up. Pemuda itu menyisir rambutnya sambil mencuri pandang dari kaca. "Gunwoo, aku bukan member UNICODE yang bisa datang ke kantor seenaknya. Aku tahu kau sangat penting di Cloud tapi jangan menganggapku sepenting dirimu. Kita sama sekali berbeda. Aku bisa digorok kalau datang terlambat."
"Kau datang terlambat karena lembur. Aku mengirim foto-fotomu pada Sajangnim dan dia sangat iba gara-gara kau tidur telungkup di meja seperti itu. Kau boleh tidur karena pekerjaanmu sudah dioper ke Kim Minjun dan ada banyak anak buahmu yang bisa memberi brief, selama kau mengumpulkan nyawa untuk bisa bekerja lagi. Apa aku salah?"
"Kau tidak perlu melakukan itu. Mereka akan mengganggapku tidak profesional." Yejin bertatapan dengan Gunwoo melalui pantulan kaca. "Aku sudah bekerja keras sampai hari ini dan jangan gara-gara sifat cuekmu itu, aku jadi dipecat dan kehilangan segalanya."
Gunwoo menarik napas dalam. Apapun yang ia lakukan untuk Yejin memang akan dianggap selalu salah. Seharusnya ia terbiasa tapi kali ini Gunwoo merasa jika Yejin harus diberikan pengertian yang lebih tepat. Gunwoo melakukan itu hanya karena peduli padanya, bukan karena ingin mengacukan karirnya. Itu sangat konyol.
"Kalau aku boleh jujur, Yejin, kadang aku melihatmu bekerja seperti orang yang takut kelaparan. Maksudku, kadang kau perlu melihat pencapaianmu sebelum berusaha mencapai hal baru lagi. Aku bukan ingin membatasimu… tidak. Aku hanya ingin kau menikmati hidup. Hidup ini seperti panggung yang tidak ada siaran ulang. Begitu mati, kau takkan bisa kembali lagi. Hiduplah dengan baik dan bahagia. Kau tak perlu merajam dirimu sampai sejauh ini."
"Aku tidak merajam diriku, aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan."
"Oh, ya?" Gunwoo menarik laci kecil di bawah meja rias. Di sana ada beberapa kaplet parasetamol dan serum mata yang tidak dibungkus lagi. "Ini yang kau bilang melakukan apa yang harus kaulakukan? Berhentilah berbohong dan akui saja kalau kau telah memaksakan diri sampai sejauh ini. Aku tahu kau, Yejin. Saat SMA, ranking kita selalu kejar-kejaran karena kau tak mau mengalah dariku. Sekarang, setelah aku bekerja di Cloud kau juga melakukan hal yang sama."
"Aku dapat ranking tidak memberikan pengaruh buruk untukmu. Aku kerja di Cloud juga tidak mengubah apapun dalam hidupmu, di mana salahku?"
"Salahmu adalah kau memaksakan diri. Berhentilah mengakui keberadaanku sebagai musuh yang terus-terusan membakar ambisimu. Sudah saatnya kau anggap aku sebagai kekasihmu."
"Kekasih? Kekasih mana yang meninggalkan aku demi mimpinya jadi artis?"
"Aku tahu aku salah, tapi sekarang kita sudah tahu kejujuran masing-masing. Bahkan meskipun dulu aku yang jadi peran antagonis dalam kisah kita, sekarang sudah jelas siapa yang cintanya paling kuat. Kau atau aku."
Gunwoo meraup wajah Yejin, memaksa mereka berdua agar tetap saling menatap. Sangat sulit untuk mengunci Yejin, manusia satu ini begitu keras kepala sampai sangat susah untuk ditundukkan.
"Jangan menyakiti dirimu sendiri, jangan merusak dirimu sendiri. Cukup aku yang bekerja keras untuk menghidupi kita. Kau bisa melakukan apapun sesukamu. Kau boleh bekerja… menganggur pun boleh. Serahkan semuanya padaku."
Yejin menggigit bibir. Dulu ia pernah menangisi Gunwoo karena ditinggalkan, sekarang ia dipaksa menangisi Gunwoo lagi karena lelaki itu ingin kembali padanya. Hidup ini sungguh aneh.
"Yejin, jadilah pacarku lagi. Kalau memang aku belum bisa terang-terangan di depan UNION, kita bisa sembunyi-sembunyi dulu. Nanti kalau waktunya sudah tiba, akan ada saatnya kau kuperkenalkan pada semua orang. Tak ada lagi Gunwoo yang lajang dan bebas menggoda atau mendekati orang lain. Aku sangat ingin diberikan kesempatan memperbaiki semuanya."
Yejin terdiam. Sejak dulu ia tak benar-benar bisa menolak Gunwoo. Sedalam apapun luka yang tertoreh di hatinya, bagi Yejin tetap saja hanya Gunwoo yang bisa menyembuhkan. Mungkin ia memang terlalu terluka sampai takut menerima Gunwoo dengan mudah, tapi bukan berarti Yejin menutup pintu hatinya rapat-rapat. Gunwoo sebenarnya selalu punya celah. Yejin saja yang belum mau untuk membagi kesempatan itu karena masih terbayangi masa lalu.
"Kau yang belum jadi artis saja waktu bisa meninggalkan aku… Apalagi yang sekarang. Kau bisa memilih siapapun yang kau inginkan. Berkencanlah dengan idol lain, kau tak perlu membahayakan karirmu dengan main kucing-kucingan denganku," Yejin merasakan napasnya berat. Berbicara dengan Gunwoo adalah cobaan yang tak ringan untuknya. "Aku mau berangkat kerja, Gunwoo."
"Akan kutunggu, Yejin." Gunwoo membuat Yejin yang telah membuka pintu, mematung dan tak meneruskan langkah. Masih ada cinta yang dalam di antara mereka. Gunwoo tak pernah sekalipun bertepuk sebelah tangan, seandainya Yejin mau sedikit lebih jujur.
"Aku akan menunggumu," Gunwoo mengulangi janjinya. "Kau bisa kembali kapan pun kau mau. Aku janji tidak akan berkencan dengan siapa pun, kecuali denganmu."
Yejin masih mematung. Berat rasanya untuk melangkah sementara hatinya masih terikat pada lelaki menyebalkan di belakang sana. Dengan suara gemetar, Yejin berkata, "Cium aku…"
"Apa?" Gunwoo tak yakin pada apa yang ia dengar.
"Cium aku, Gunwoo. Buat aku tidak bisa pergi darimu. Mari kita saling melenyapkan. Sekaligus, mari kita belajar untuk saling menghidupkan."
Yejin tak perlu menunggu lama. Gunwoo seketika menubruknya, memeluk Yejin dari belakang. Ia menangis tanpa suara. Mungkin sejak dulu Gunwoo telah menunggu hari ini tiba.
"Aku akan menjagamu, Yejin. Aku janji," Yejin memejamkan mata saat Gunwoo mulai menangis. "Aku ingin kita jujur pada perasaan masing-masing. Aku sangat mencintaimu."
"Aku juga," Yejin tak bercanda saat mengatakan itu. Ketika Gunwoo memutar tubuh untuk mengecupnya, Yejin mengatakan kejujuran terdalam dari hatinya. "Jangan tinggalkan aku, Gunwoo. Sudah cukup kau membunuhku sekali. Aku tak mau jadi mayat hidup lagi."*
Bersambung ke bab selanjutnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
