Ex Wife's Revenge - Part III

5
5
Deskripsi

Kau orang yang pintar, Dante, tapi semoga aku lebih cepat untuk membuatmu menderita. Aku tidak takut apa-apa lagi, Dante.

Karen teringat pada pesan Pak Ramli sebelum Beliau meninggal. "Di dunia ini, kita tidak punya siapa-siapa selain diri kita. Anak kandung saya, istri saya, semuanya meninggalkan saya. Kau harus pahami betul untuk menjaga dirimu, Indy. Kau harus punya pekerjaan dan simpanan uang yang bisa kau kelola. Segala urusanmu bisa mudah jika kau punya pegangan."

"Tapi saya tidak yakin saya...

21

 

Suara Erik yang terdengar lirih itu menghantui Karen. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pria itu dan Karen yakin sekali Erik dalam keadaan masalah yang serius.

Dia harus melakukan sesuatu.

Karen tidak berdiam diri di rumah. Dia menelusuri seisi kamar Dante dan melihat laci lemari dengan kunci menggantung di sana. Diputarnya kunci itu dan ditariknya laci.

Di sana terdapat beberapa buku tabungan milik Dante-yang Karen asumsikan hanya beberapa saja, tidak mungkin orang seperti Dante menaruh semua buku tabungannya di tempat yang sama, bukan? Tapi sepertinya memang begitu. Karen juga menemukan dokumen-dokumen penting lainnya di sana, termasuk beberapa sertifikat hak milik atas tanah.

Waktu Karen sendiri tidak banyak. Dante bisa pulang kapan saja, dan mungkin dia akan menetap di rumah itu untuk waktu yang lama. Dengan ponselnya Karen memoto dokumen-dokumen itu, kemudian dikembalikannya lagi dokumen-dokumen itu ke dalam laci.

Dia menelepon Valerie, menanyakan kapan Dante akan menjemput Valerie lagi. "Ya, katanya dua jam lagi. Aku disuruh tunggu saja di rumah," jawab anaknya.

Karen bergegas turun, membawa mobilnya meninggalkan rumah Dante dan mendatangi sebuah gudang di kawasan Jakarta Utara. Gudang tempat para pembuat dokumen palsu berkumpul. Dia pernah menggunakan jasa mereka untuk membuat akun rekening yang tidak diketahui siapa pun kecuali dirinya.

"Siapkan surat kuasa untuk beberapa dokumen yang telah saya kirim via Telegr*m," perintahnya. "Di sana juga sudah ada tanda tangannya."

"Hanya itu?" Bos dari kumpulan pembuat dokumen itu menaikkan satu alisnya.

"Dan siapkan paspor palsu untuk satu orang," kata Karen. Tak lupa dia menyodorkan segepok uang di atas meja. "Jangan lebih lama daripada dua minggu."

Aku tidak menghendaki pernikahan ini lebih dari satu bulan, pikir Karen mengingatkan dirinya. Jika aku tidak bisa memisahkan Val dari ayah kandungnya, setidaknya aku bisa meninggalkan Dante. Kurasa Dante tidak akan menyakiti Val tapi pasti dia takkan segan menyakitiku begitu dia tahu aku menipunya.

Kau orang yang pintar, Dante, tapi semoga aku lebih cepat untuk membuatmu menderita. Aku tidak takut apa-apa lagi, Dante.

Karen teringat pada pesan Pak Ramli sebelum Beliau meninggal. "Di dunia ini, kita tidak punya siapa-siapa selain diri kita. Anak kandung saya, istri saya, semuanya meninggalkan saya. Kau harus pahami betul untuk menjaga dirimu, Indy. Kau harus punya pekerjaan dan simpanan uang yang bisa kau kelola. Segala urusanmu bisa mudah jika kau punya pegangan."

"Tapi saya tidak yakin saya bisa menjadi sehebat Bapak."

"Perusahaan tekstil itu memang punya banyak masalah, tapi entah mengapa selalu saja bisa bertahan dan tak pernah gulung tikar. Saya yakin, di bawah kelolamu, perusahaan itu akan menjadi jauh lebih baik."

Aku sudah berusaha semampuku untuk mempertahankan perusahaan itu, pikir Karen. Sampai aku rela menjadi istri Dante dan aku yakin, dengan dia sebagai main shareholder, dia bisa membuat perusahaan itu lebih berkembang.

Keinginanku bukan untuk memiliki perusahaan itu. Sejak awal Pak Ramli juga menegaskan perusahaan itu milik keluarga Samad dan aku bukanlah keluarga Samad. Aku yakin, setelah Dante tahu siapa aku, dia akan mengungkapkannya pada semua orang, dan dia akan menjual semua atau sebagian sahamnya ke anggota keluarga Samad.

Keakraban Dante dan Pak Anwar mampir ke benak Karen. Dia bukan tidak memperhatikan. Di balik senyumnya saat pesta pernikahan itu, dia tahu sebenarnya Dante merencanakan sesuatu. Dia juga yakin sebenarnya Dante sudah bisa mendeteksi siapa dirinya.

Semua hanya soal waktu dan kita lihat saja siapa pemenangnya.

Aku hanya ingin, dengan waktu yang aku punya dengan Dante dan Valerie, pikir Karen sambil mengemudikan mobilnya kembali ke rumah Dante. Aku bisa memanfaatkannya dengan baik. Aku ingin Valerie merasakan keutuhan sebuah keluarga. Dante tidak sepenuhnya salah tentang Valerie yang kesepian. Sejujurnya aku tahu betapa sedihnya Valerie jauh dari aku. Kukirim dia jauh ke luar negeri agar dia terbiasa berpisah dariku sebab aku tahu... Aku sangat tahu dia akan menjauhkan aku dari anaknya, karena dia tahu hal itulah yang paling kutakuti.

Pria yang tidak punya hati itu akan memastikan apa yang diinginkannya terwujud, sekali pun keinginannya adalah memisahkan anak dari ibunya. Aku hanya berharap, saat Valerie dewasa nanti, dia akan mengerti dan mengunjungiku atas dasar keinginannya.

**

Valerie mendapat telepon dari Oom Dante yang meminta maaf karena dia akan terlambat untuk menjemput Valerie. Pria itu menambahkan urusannya ternyata memakan waktu lebih lama. Valerie tidak masalah dengan itu, dia bisa bersantai-santai dulu di rumahnya.

Mata Valerie terbelalak saat melihat Oom Erik yang muncul dari pintu belakang. Wajah Oom Erik terlihat pucat pias. Valerie menawarkan Oom Erik duduk di ruang santai dan dimintanya Bibi untuk membuat teh hangat untuk Oom Erik.

"Oom, aku senang bisa bertemu Oom lagi, tapi Oom tidak bisa berlama-lama di sini. Oom Dante akan datang, dan Oom kan tahu Oom Dante dan Mama.."

"Oom mengerti," jawab Erik dengan senyum masam. "Oom kan orang dewasa, Val. Oom ingin bicara denganmu."

"Tentang apa, Oom?"

"Ini tentang ibumu."

"Mama kenapa?"

"Ada yang selama ini disembunyikan ibumu..."

**

Di sebuah kafe, anak buah Dante duduk di sebuah kursi dan melemparkan sebuah gundukan koran berisi uang ke lantai bawah meja. Tak lama, di tengah keramaian kafe, seseorang menaruh map dokumen di atas meja dekat anak buah Dante duduk. Anak buah Dante segera memasukkan map tersebut ke dalam mantelnya.

Anak buah Dante keluar dari kafe dan masuk ke mobil Dante.

"Polisi memberitahu sidik jari Bu Karen sama dengan sidik jari yang ditemukan di TKP kebakaran itu, Pak Dante," kata anak buah Dante yang duduk di samping sopir. "Saya belum memberitahu bahwa itu sidik jari Bu Karen. Saya bilang ke pihak kepolisian pihak Pak Dante sedang pikir-pikir dulu."

"Apa yang harus dipikir?" jawab Dante yang duduk di jok belakang. "Katakan saja pada mereka. Bisa jadi memang betul Karen yang membunuh Jena dan Alden. Dan saya tidak akan membiarkan dia bebas begitu saja."

Anak buah Dante yang membuka map yang tadi diberikan orang misterius. Dia menelaaah isi dalam map itu. Dengan mobil yang berjalan menuju rumah Karen, anak buah Dante memberitahu Dante lagi. "Tadi saya bernegosiasi dengan dokter yang bekerja di rumah sakit. Dia memberitahu Karen sebenarnya sudah meninggal dan ini ada kopian surat keterangan kematiannya, tapi saya yakin hal ini tidak terkuak ke mana-mana karena pasti ada yang membayar untuk menutup mulut." Anak buah Dante menghela napas sejenak. "Karen yang asli punya medical record yang sangat buruk. Organ-organnya telah rusak, bahkan dia mati pada saat mengandung."

"Orang yang tidak mau hal itu diungkap ke media pasti Pak Ramli Samad sendiri," kata Dante dengan kepuasan di hatinya. "Dia tidak mau orang lain tahu dia punya anak yang memalukan. Dan tidak menutup kemungkinan dia menjadikan Indy sebagai Karen yang diharapkan."

Ponsel anak buah Dante bergetar. Dia membuka video yang dikirim ke email-nya. "Anak buah saya yang lain sudah mendapat rekaman CCTV kantor Bu Karen. Rupanya Pak Erik sudah sering ke sana selama ini."

Tentu, pikir Dante sinis. Tak kusangka selama ini aku kelabakan mencari Indy, tapi rupanya Erik lebih pintar. Dia membawa Indy ke sebuah keluarga yang tak bisa kutembus aksesnya. Aku yakin, Erik-lah yang mengenalkan Indy pada keluarga Samad.

Aku tahu sekali Erik yang mencintai Indy. Yang peduli pada Indy. Semua tingkahnya pada Indy memuakkan aku saja! Tapi mungkinkah... Erik bersekongkol pada Indy untuk menyingkirkan Jena dan Alden? Aku tidak yakin. Erik memang tidak suka padaku, tapi aku ingat dia bersikap hangat pada Alden. Dia suka anak kecil.

Apakah mungkin cintanya pada Indy membutakan matanya hingga dia bisa membunuh orang lain? Atau Indy merencanakannya sendiri?

"Antar saya ke rumah Pak Najib saja," kata Dante kemudian. Dia penasaran bagaimana reaksi pamannya begitu tahu anaknya selama ini berhubungan dengan penipu dan pembunuh.

 

~

 

22

 

Satu jam lalu Dante pulang dari rumah pamannya. Pak Najib selama ini tak pernah menunggu kepulangan Erik. Sejak muda Erik tidak bergantung pada ayahnya, terutama soal pekerjaan. Itulah sebabnya Erik lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Perjuangannya dalam bekerja lebih keras karena ayahnya tidak membantunya. Bahkan, saat Erik membutuhkan modal untuk perusahaan pertamanya, ayahnya meminta hal itu diatur dalam perjanjian formal dan Erik mengembalikan uang yang dia pinjam dari ayahnya beserta dengan modalnya.

Pak Najib tidak menyiapkan kursi khusus untuk Erik di semua perusahaan keluarga Amran. Hal itu pernah ditanyakan istri Pak Najib, kenapa tega membiarkan anak mereka bekerja lebih keras padahal Erik bisa bekerja di perusahaan keluarga dan tidak harus capek-capek membangun perusahaan-perusahaannya sendiri. Pak Najib merespons pertanyaan itu dengan amarah dan mengingatkan istrinya, "Kita harus sadar diri. Semua perusahaan itu milik almarhum kakakku dan dengan dia sudah meninggal, itu artinya semuanya milik Dante. Kita tidak bisa semena-mena!"

"Alasan apa itu! Perusahaan itu kan sudah punya struktur sendiri, dan kau komisaris di beberapa perusahaan. Kau juga direktur, bukan? Mengapa dengan kekuasaan yang kau punya kau tidak bisa mengizinkan Erik bekerja?" Istrinya berdecak-decak kesal pada Pak Najib. "Kau terlalu menganakemaskan Dante sejak dulu. Itulah sebabnya Erik pun enggan minta jabatan darimu!"

Erik masuk ke rumah tanpa mengucap sepatah kata pun. Selama ini dia memang begitu. Dia tidak membiarkan orang lain tahu kepergian dan kepulangannya. Dan orang-orang di rumah sudah terbiasa dengan hal itu. Maklum, mereka semua punya kesibukan masing-masing dan mengerti pertanyaan atau teguran mereka pada satu sama lain menimbulkan ketidaknyamanan.

Tidak pada hari itu. Pak Najib menyapa Erik dan meminta anaknya itu bicara di ruang kerjanya. Dahi Erik mengernyit. Dia heran, apa yang ingin dikatakan ayahnya sampai tidak boleh didengar orang lain.

"Ini penting," kata ayahnya tegas.

Mereka masuk ke ruang kerja Pak Najib. Sesaat Pak Najib memperhatikan anaknya-yang selama ini tak pernah dilakukannya. Fokusnya selama ini hanya bekerja, bekerja, dan Dante. Baru disadari oleh Pak Najib wajah Erik yang pucat dan tubuhnya yang mengurus.

Pak Najib menyampaikan apa yang Dante katakan padanya hari ini. "Papa tidak pernah melarangmu bermain dengan siapa pun, Erik. Tapi jika apa yang diduga Dante benar, kau membawa istrinya kabur dan terlibat dalam penipuan yang dilakukan Indy dengan menjadi Karen, Papa tidak bisa melakukan apa-apa."

Melihat kekalutan di wajah ayahnya, Erik tertawa sinis. "Memangnya, apa yang bisa Papa lakukan untuk saya?"

"Erik!" bentak Pak Najib tersinggung. "Papa bekerja keras untukmu. Menurutmu, kau bisa kuliah di luar negeri jika kau bukan anakku? Tidak pantas seorang anak bicara tidak tahu diri seperti itu!"

"Bukankah memang kewajiban orangtua untuk mendidik anaknya?" sahut Erik tenang. "Sejak dulu, aku tidak pernah merasa aku punya ayah. Papa bahkan tidak pernah ingat kapan ulang tahunku. Papa juga tidak datang saat aku wisuda. Dan apa yang paling menyedihkan? Papa selalu ada untuk Dante. Papa selalu meluangkan waktu Papa bagi Dante."

"Apa kau mengatakan kau iri pada sepupumu, Erik? Itukah sebabnya kau merebut istri Dante darinya? Karena rasa irimu pula jugakah, kau dan perempuan itu bekerjasama untuk membunuh istri dan anak Dante?"

Aku sudah tahu Dante akan secepat ini tahu tentang Karen atau Indy, pikir Erik tidak terkejut. Otaknya yang licik itu pasti sudah mengendus ketidakberesan istrinya yang sekarang. Pasti mudah baginya menyadari bahwa Karen adalah Indy, dan dia pasti sudah punya bukti kuat. Tapi apakah dia punya bukti yang kuat juga untuk membuktikan Indy membunuh Jena dan Alden? Bahkan aku sendiri tidak bisa memastikan hal itu.

Dan kenapa Dante memberitahukan hal itu pada Papa? Pikirnya aku akan menjauhi Indy karena Papa memarahiku? Apakah dia tidak tahu hal ini justru menguatkan perasaanku untuk melindungi Indy dari Dante yang pintar itu?

Dada Erik berdebar lebih kencang dan dia merasa nyeri. Dipegangnya dada kirinya, berharap nyeri itu hilang.

"Aku tidak sekotor yang Papa dan Dante tuduhkan padaku," jawab Erik datar. "Iri? Untuk apa aku iri? Rasa iri itu sudah aku kubur sejak aku remaja. Mengubah perasaan orang lain terhadap kita adalah hal yang sia-sia. Mengubah Papa untuk meyayangi aku adalah hal yang dulu aku coba lakukan." Erik menatap ayahnya tajam. "Aku.. Aku sudah tahu tentang hubungan Papa dan almarhumah ibu Dante. Aku tahu kenapa Papa sayang pada Dante, karena dia anak dari perempuan yang dulu dan mungkin sampai hari ini masih Papa cintai."

Wajah Pak Najib sontak berubah kaget. Dia memandang Erik dengan sorotan getir. "Kapan kau tahu hal itu?"

"Aku pernah tak sengaja melihat surat-surat yang ibu Dante pada Papa. Surat-surat yang Papa simpan di salah satu buku di rak." Mata Erik sekilas menoleh pada lemari dekat meja kerja. Lemari dengan pintu bening yang berisi buku-buku. "Bahkan buku itu masih ada. Apakah surat-surat itu masih ada juga?"

"Apakah ibumu tahu soal ini?"

Erik mengangkat bahu. "Aku tidak mau tahu soal urusan keluarga ini. Bagiku setiap orang sudah punya masalahnya. Termasuk masalahku, Papa tidak usah ikut campur."

"Papa tidak bisa membiarkanmu berhubungan dengan Indy atau orang yang menyamar menjadi istri Dante sekarang," sergah Pak Najib. "Erik, perempuan itu sekali lagi memilih Dante. Dia bukan milikmu. Kenapa kau tidak pergi saja ke luar negeri?"

"Apakah Dante yang menyarankan hal itu? Mengasingkan aku, maka masalahnya akan selesai?" Erik menggeleng-geleng. Dia mengeluarkan sebuah amplop dari kantong celananya. "Ini. Surat pernyataanku. Umurku mungkin sudah tidak lama lagi, dan aku siap mendonorkan beberapa organ tubuhku pada yang membutuhkannya, termasuk kornea mataku. Dante tak usah memusingkan aku. Papa tak usah memikirkan aku. Aku takkan menjadi benalu bagi siapa pun, bahkan dari dulu pun aku sudah bukan beban keluarga ini, bukan?"

"Kau sakit?" Suara Pak Najib menjadi pelan.

"Papa selama ini tidak peduli padaku, dan bersikaplah seperti itu sampai aku mati," tandas Erik kemudian meninggalkan ayahnya. "Dan jangan lakukan apapun terhadap Indy atau Karen atau aku akan beritahu semua orang skandal Papa di masa lalu."

 

**

 

Enam bulan kemudian..

Tadinya Karen ingin meninggalkan Dante lebih cepat, tapi dia tidak bisa pergi begitu saja. Entah apa yang salah dalam dirinya. Dia tidak tega pada Dante yang terlihat tulus padanya dan Valerie.

Perusahaan Dante telah resmi menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan tekstil milik Karen. Dia mulai dilibatkan dalam urusan-urusan korporasi. Hubungannya dengan Karen semakin dekat tidak hanya di rumah, tapi juga di kantor. Bahkan, Dante beberapa kali mengejutkan Karen dengan kedatangannya. Dante tidak hanya datang untuk rapat saja, tapi dia juga datang untuk mengajak istrinya makan siang bersamanya di restoran yang ada di gedung kantor Karen.

Bukan hanya Karen dan Dante yang menjalani kehidupan mereka. Valerie pun juga beradaptasi dengan lingkungan sekolahnya yang baru di Jakarta dan hampir setiap hari Dante menjemput anak itu dari sekolah.

Walaupun hubungan ayah dan anak itu kian dekat, Valerie masih tidak bisa membawa dirinya untuk memanggil Dante "Papa". Pernah suatu kali dalam perjalanan pulang, Dante bertanya pada Valerie tentang ayah kandung Valerie. Dia bertanya apakah Valerie tahu sesuatu tentang suami pertama ibunya. Valerie menjawab, "Siapa pun dia, dia orang yang jahat karena dia meninggalkan Mama yang mengandung aku. Mama harus bekerja keras untuk aku. Orang itu, ayah kandung aku, tidak pantas disebut Papa oleh siapa pun."

"Kau kan hanya tahu dari sudut pandang ibumu saja," kata Dante berkilah. "Bisa jadi, ayah kandungmu punya alasan yang kuat untuk membiarkan ibumu sendiri. Kau tahu, saat kau dewasa, kau akan mengerti bagaimana seseorang bisa menjadi kejam karena disakiti orang lain. Bisa jadi ibumu menyakiti ayah kandungmu sampai ayah kandungmu harus meninggalkan ibumu."

"Jangankan menjadi seorang ayah. Aku rasa orang itu tidak pantas menjadi manusia. Manusia macam apa yang meninggalkan orang hamil besar di tempat antah-berantah?"

Jika Dante bisa melihat, dia akan memandang tatapan penuh kebencian dari Valerie padanya. Valerie menggigit bibirnya. Dia melengos, mencoba membayangkan bagaimana penderitaan ibunya karena pria itu..

Pria yang duduk di sebelahnya.

 

~

 

23

 

Oom Erik telah menjelaskan semuanya pada Valerie. Oom Erik menunjukkan foto pernikahan Oom Dante dan mamanya. "Wanita dalam foto ini adalah ibumu, Valerie. Ibumu adalah istri pertama Dante, laki-laki yang sekarang menjadi ayah sambungmu. Kau mungkin belum paham. Ayah kandungmu, Dante, mengasingkan ibumu yang hamil tua di sebuah villa tua. Ibumu ditinggalkan sendiri di sana. Bahkan, kau dilahirkan di bawah pohon. Oom-lah yang menemukan ibumu tak sadar dengan kau di dalam pelukannya saat itu.

Oom akui Oom salah. Oom mendekati ibumu saat dia menjadi istri Dante, tapi Oom berani bersumpah hubungan kami tidak jauh sampai melakukan hal yang dilarang. Alasan Oom mendekati ibumu karena Oom kasihan. Ibumu tidak pernah dicintai Dante. Ayah kandungmu, Dante itulah, yang berselingkuh duluan. Kau tahu Jena? Istri Dante yang meninggal dalam incident itu? Dialah yang menjadi duri dalam pernikahan ibumu dan Dante. Dia dan Dante yang membuatmu menderita."

"Lalu kenapa wajah Mama berubah, Oom?" tanya Valerie.

"Oom tak mau ibumu kembali pada Dante. Oom mengenalkan ibumu pada kakek-nenekmu yang kau kenal, Pak Samad dan istrinya. Mereka setuju untuk menjadikan ibumu sebagai anak mereka asalkan ibumu sepakat untuk menjadi Karenina Samad sekali pun dia harus mengorbankan wajah lamanya."

"Jika apa yang dikatakan Oom benar, kenapa Mama tidak bangkit saja? Kenapa Mama menikah lagi dengan pria yang telah menyakitinya?"

"Karena mamamu ingin kau memperoleh hak sebagai anak Dante. Yang harus kau ingat, mamamu sangat menyayangimu. Mamamu bukan orang jahat, Valerie. Dan jika sesuatu terjadi pada Oom, hanya kaulah yang dimiliki mamamu. Karena itu kau harus menjaga mamamu. Kau paham?"

Valerie menggeleng. "Aku tidak bisa kembali ke rumah Oom Dante kalau begitu. Aku tidak mau menjadi anaknya."

"Kau harus bertahan kalau kau sayang ibumu. Kau harus berada di dekat ibumu sampai dia selesai menjadi istri Dante."

Sesaat Valerie tidak menyahut. Dia bertanya lagi, "Oom mau ke mana? Selama ini Oom menjaga Mama, kenapa Oom tiba-tiba bicara begini?"

Erik hanya menatap nanar ke arah Valerie.

Valerie bisa saja tidak memercayai apa yang dikatakan Oom Erik, namun pikirannya goyah saat dia melihat foto Jena dan Alden di lemari kaca. Dia mendengar Dante memarahi pembantu yang lupa membersihkan lemari kaca. Pada saat itu Dante kesal tangannya yang memegang gagang lemari terkena debu. "Lemari harus setiap hari dibersihkan, atau setidaknya dua hari sekali, agar tamu yang datang bisa melihat jelas mereka di sini!"

Aku yang bukan Mama saja jengkel menyaksikan kepedulian orang itu kepada mendiang anak dan istrinya, pikir Valerie berlalu dari tempatnya. Bagaimana Mama? Untung saja Mama bekerja sampai malam, jadi tak usah berlama-lama dengan orang itu.

Orang itu. Valerie enggan menyebutnya dengan panggilan lain.

Valerie pun berusaha keras untuk tidak menyemburkan kemarahannya pada pria itu. Hati Valerie mengeluh keras setiap melihat kehangatan yang ibunya berikan pada Dante. Valerie tahu, ibunya pasti sebenarnya tertekan harus melayani pria yang begitu jahat di masa lalu.

Selama menjadi istri Dante, Karen menghindari masalah dengan pria itu. Dia selalu berada di dekat Dante. Setiap Dante memanggilnya, dia siaga menghampiri dan memberikan apa yang diperlukan Dante. Bukan hanya itu. Dia melayani segala keperluan Dante dari urusan makan, pakaian, sampai urusan kamar.

"Aku seperti dilahirkan kembali sejak menjadi suamimu. Aku jadi punya gairah untuk hidup," gumam Dante pada suatu malam setelah mereka melakukan hubungan suami-istri di atas ranjang. Saat itu posisinya kepala Karen ada di dada Dante. Tangan Dante mengelus-elus lengan Karen.

"Jangan pikirkan lagi masa lalumu yang hanya melukaimu," sahut Karen menenangkan. Tangannya turun ke bagian bawah tubuh Dante. "Kau harus menikmati setiap waktumu sekarang." Dan dia duduk di atas tubuh Dante, membiarkan Dante melenguh penuh kenikmatan.

Di saat Karen memeluk pria itu, dia berdoa agar Dante memang menikmati waktunya sekarang. Jangan pikirkan lagi masa lalumu, kata Karen dalam hati. Sebab kau masih punya masa yang akan datang yang menyiksamu. Penderitaanmu kehilangan anak dan istri yang habis terbakar tidak akan seberapa dengan hal yang akan kuberikan kepadamu nanti!

Enam bulan terlewati bersama dan mereka tidak terlibat dalam pertengkaran yang berarti. Hal itu tak luput dari perhatian Dante. Sikap Karen yang hangat dan peduli padanya menjadi tanda tanya bagi Dante. Apakah perempuan itu punya taktik? Atau dia memang tulus saja melayani Dante? Dante menjadi bimbang. Dia tidak tahu apakah dia akan melaporkan Karen atau tidak. Rasanya dia sudah terlalu nyaman dengan keluarganya yang sekarang dan dia lupa dengan dugaannya terkait Indy yang membunuh Jena dan Alden.

Di sisi lain, Karen merasa kaget dia bisa selama itu dengan Dante. Dia bisa berlakon menjadi istri yang baik sementara hatinya berat. Pikirannya terpusat pada Erik. Setiap malam setelah dia melihat Dante terlelap, Karen keluar dari kamar untuk menelepon Erik. Tak ada satu pun telepon yang digubris oleh Erik. Semakin hari Karen semakin khawatir.

Sampai pada suatu malam, Erik mengangkat teleponnya. Saat itu Karen sedang bersembunyi di ujung lorong rumah Dante. "Erik! Akhirnya aku bisa mendengar suaramu!"

"Ada apa?"

Suara enggan itu lagi, keluh Karen.

"Aku hanya ingin tahu kabarmu saja. Aku selalu memimpikanmu, Erik. Apakah kau sehat sekarang?"

"Jika aku mengatakan aku sakit keras, apakah kau rela meninggalkan statusmu sebagai istri Dante?"

"Pertanyaan apa itu?"

"Kenapa tidak kau jawab saja?"

"Tentu aku akan melakukannya, tapi apa kau betul sakit keras?" tanya Karen gugup. Tak kunjung ada jawaban setelah beberapa saat. "Erik? Kau dengar aku, kan?"

"Aku ingin bertemu denganmu besok siang. Jika kau bisa, akan aku kirim lokasinya via SMS."

"Tentu! Lekaslah beritahu aku di mana aku bisa menemuimu. Oh, Erik. Kupikir kau tak mau lagi berhubungan denganku."

"Kau sehat, Indy? Makanmu teratur?"

"Ya, aku sehat, Erik. Di sini juga aku selalu makan tepat waktu," jawab Karen merasa miris menerima perhatian Erik. "Kau sehat, kan? Kenapa kau terdengar lesu? Apa yang bisa aku lakukan untukmu?"

"Jagalah dirimu baik-baik dari Dante. Dia sudah tahu siapa kau. Kau harus bergerak cepat mendapatkan apa yang kau mau sebelum Dante membawamu ke tempat yang buruk lagi. Kau janji?"

"Oh, Erik! Terima kasih kau sudah memberitahuku! Aku akan...." Dia lanjut berbisik-bisik dan entah berapa lama waktu dihabiskannya untuk berbincang-bincang dengan Erik.

Sementara Dante, yang berdiri di dekat pintu kamarnya yang terbuka, mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Dia mensyukuri dengan kebutaannya, kemampuannya mendengar semakin kuat. Bahkan suara dari jarak sejauh apapun bisa sampai ke telinganya.

Dante tidak jadi memercayai Karen. Dia kembali berjalan ke atas tempat tidurnya dengan mata terpejam, namun tidak tidur. Beberapa jam kemudian, dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Dirasakannya sentuhan di lengannya dan teguran Karen, "Kupikir kau terbangun. Pintu kamar terbuka soalnya," kata Karen pada diri sendiri.

Posisi Dante yang memunggungi Karen membuat Karen tak melihat kedua mata Dante yang terbuka. Sorotan matanya pun terlihat mengerikan.

 

~

 

24

 

Pagi itu entah mengapa Karen ingin menghabiskan waktu dengan anaknya. Biasanya dia menunggu Valerie di ruang makan saat sarapan, tapi hari itu dia memilih untuk membangunkan Valerie pada pukul lima pagi. Disuruhnya anaknya untuk mandi dan memeriksa tugas sekolahnya, takut-takut ada yang lupa dikerjakan. Valerie mengeluh. Dia terbiasa bangun pukul setengah enam dan tak pernah mengecek tugasnya sebab hal itu dilakukannya sebelum tidur.

Valerie menurut. Ibunya masih di kamarnya setelah dia mandi dan siap dengan seragam sekolahnya. Valerie memperhatikan ibunya yang merapikan buku-bukunya di atas meja belajarnya. Mama tidak pernah bercerita tentang masa lalunya yang berat, pikir Valerie sedih. Kenapa? Apakah karena aku masih dianggap anak kecil? Aku memang belum jadi orang dewasa, tapi aku mengerti bagaimana rasanya berat jadi Mama.

Valerie memeluk ibunya dari belakang, mengejutkan Karen. "Kenapa? Kau kangen dengan Mama? Padahal dulu kau di luar negeri, hanya beberapa kali menelepon Mama," goda Karen pengertian. Dibiarkannya anaknya terus memeluknya sambil dia menata buku-buku Valerie.

Gerakan Karen berhenti saat dia melihat buku-buku Shakespeare. Dibukanya salah satu buku itu. Betul sesuai dugaannya! Ada tulisan Dante di sana. Buku-buku ini...

Karen membalikkan tubuhnya, menunggu jawaban dari anaknya.

"Aku sudah tahu semuanya. Aku sudah tahu bahwa orang yang menjadi suami Mama, orang yang tidur di kamar sebelah, adalah ayah kandung aku," kata Valerie pelan. Dia menatap ibunya dengan sendu. "Aku sudah cukup besar untuk mengerti hal-hal yang Mama simpan."

"Valerie," desah Karen tak percaya. "Kau sungguh sudah tahu? Apa kau juga tahu mengapa Mama dan Dante berpisah?"

Valerie mengangguk. "Orang itu... Orang itu menuduh Mama berselingkuh dan membawa Mama ke villa yang tak bisa dijangkau siapa-siapa. Oom Erik yang memberitahuku di rumah kita saat aku mengepak barang-barangku." Valerie diam sejenak. "Jangan salahkan Oom Erik, Ma. Selama ini, Oom Erik selalu ada buat kita. Oom Erik yang membantu Valerie belajar menghitung, membaca. Oom Erik juga yang membuat Val bisa naik sepeda." Kenangan-kenangannya di masa kecil menghampiri pikiran Valerie. Dia tidak merasa sedih, bahkan tidak menyadari ketiadaan kehadiran figur ayah karena Oom Erik ada di dekatnya. "Oom Erik begitu baik. Oom Erik menjelaskan semuanya agar Val tidak memusuhi Mama."

Mata Karen berkaca-kaca. Tentu Erik tidak bermaksud jahat menceritakan hal itu pada Valerie, pikir Karen. Akulah yang bodoh. Akulah yang terlalu buta karena dendam! Aku tidak menyadari-ralat-sengaja membutakan mataku untuk tidak melihat ketulusan dari Erik!

Semua karena aku belum memaafkan Dante.

"Mama tidak usah pikirkan aku lagi. Mama tidak usah melanjutkan pernikahan ini jika alasannya karena aku," tambah Valerie. "Aku tidak akan memaafkan orang itu. Aku juga tidak akan menganggapnya ayah kandungku."

Mendengar itu kelegaan merambati hati Karen. Dia tersenyum dengan air mata berlinang. Dipeluknya anaknya erat. Inilah dendam yang sebenarnya, Dante, pikirnya. Kau... Kau bahkan takkan bisa memperoleh kasih sayang anak kandungmu sendiri! Dan sebentar lagi... Ya, sebentar lagi, kau akan kehilangan kami.

Karen tidak memperhatikan perubahan sikap Dante pagi itu. Dia tetap melayani Dante saat sarapan. Menuangkan makanan ke piringnya. Menyodorkannya gelas. Tak ada gerak-gerik yang mencurigakan.

Setelah sarapan, Valerie pamit duluan untuk berangkat ke sekolah. Karen segera berdiri, mengumpulkan piring-piring kotor. Suara Dante mengejutkannya, "Kau." Cara Dante memanggilnya sangat dingin. Pandangan matanya juga menakutkan.

"Jagalah dirimu baik-baik dari Dante. Dia sudah tahu siapa kau."

Tenang, Karen, tenang.

"Ya?" sahut Karen seakan dia tidak kaget.

"Aku hanya ingin mengingatkan, walaupun aku buta, aku tidak bodoh. Kau lebih banyak menghabiskan waktu di luar. Jangan berpikir untuk macam-macam."

Macam-macam. Karen ingin tertawa sekencang yang dia bisa mendengar ancaman yang halus itu. Aku sudah melakukan lebih dari sekadar macam-macam, pikir Karen. Kau takkan bisa membayangkan apa yang telah aku lakukan selain menipumu dengan identitasku. Andai saja kau tahu apa yang kulakukan dengan isi rekeningmu dan tanah-tanahmu...

"Kau tak usah khawatir," kata Karen lembut. "Aku tahu seberapa pintarnya kau. Mana mungkin aku berani?" Untuk menambah kekesalan Dante, Karen membelai tangan pria itu dan mengecup pipinya.

**

Anak buah Dante ada di mana-mana, karena itu Karen harus lebih pintar daripada mereka. Dia meminjam mobil karyawannya yang terparkir di basement. Dengan begitu, anak buah Dante tidak akan tahu dia pergi pada jam makan siang, karena Karen selalu menggunakan mobilnya yang diparkir di depan gedung kantor.

Dia ke tempat yang diberitahu Erik. Tempat itu adalah sebuah rumah di kawasan elit. Setelah dia menghentikan mobilnya di depan lobi rumah, dia turun dan satpam memberitahu Erik telah menunggunya.

Ketika dia masuk, Erik yang sedang duduk langsung berdiri dan menghampiri Karen. Mereka berpelukan untuk waktu yang lama. Erik membiarkan kepala Karen menekan dada kirinya dan perempuan itu dapat mendengar detak jantung Erik yang berdegup cepat.

Perlahan, pelukan itu terlepas. Erik menunduk menatap Karen, mengangkat dagu perempuan itu dan menurunkan bibirnya ke bibir perempuan itu. Bibir mereka saling memagut. Tangan Karen membelai punggung Erik. Setelah beberapa saat, Erik melepas diri. "Sekali pun aku ingin melakukannya, aku tidak bisa."

"Kenapa?" tanya Karen menelan kecewa.

"Jantungku bermasalah," sahut Erik tenang. Terlalu tenang malah bagi orang yang menderita sakit parah. "Indy, kau tidak bisa bermain-main lagi dengan Dante. Kalau kau memang tidak bisa mengambil apa yang kau ingin ambil darinya, menyerah saja. Tinggalkan dia dan pergi bersamaku ke suatu tempat."

Karen mengangguk. "Aku sudah melakukannya." Dia kemudian merogoh isi tasnya. Dikeluarkannya sebuah paspor dan diberikannya pada Erik. "Paspor dengan identitas palsuku. Aku ingin segera meninggalkan negara ini."

"Hanya satu? Bagaimana dengan Valerie?"

"Tidak, aku tidak akan melibatkan dia dalam masalah."

"Kau tidak tahu apa yang bisa Dante lakukan padanya!" tegur Erik gemas. "Dia bisa menjadikannya sebagai ancaman bagimu."

"Dante tidak bisa melakukan hal itu. Aku tidak akan lemah." Karen menatap Erik dengan sungguh-sungguh. "Valerie tidak senaif yang kubayangkan. Aku akan biarkan dia tinggal dengan Dante."

"Apa kau yakin? Dante tidak cukup kuat untuk menjaga Valerie. Dia buta, kau ingat?"

"Dia tidak bodoh. Dia tidak akan membiarkan hal yang buruk terjadi lagi pada keluarganya. Pastilah tragedi yang menimpa Jena dan anaknya cukup membuatnya belajar."

"Soal itu. Apa kau yang membakar rumah Dante, Indy?" tanya Erik penasaran. "Apa kau berniat menghabisi nyawa Jena dan Alden?"

Reaksi Karen di luar dugaan Erik. Perempuan itu menyunggingkan senyum berani. "Sekali pun aku melakukannya, apa perasaanmu padaku akan berkurang?"

"Sekali pun kau pembunuh, aku tidak peduli," sanggah Erik. "Aku kenal kau. Tidak mungkin kau melakukannya."

"Bagaimana jika iya?"

Erik mengangkat bahu. "Well, aku sudah telanjur mencintaimu. Mencari orang lain untuk dicintai pastilah melelahkan. Pertanyaannya, apakah kau mencintai aku?"

"Oh, Erik!" Karen memeluk Erik kuat-kuat. "Aku mencintaimu. Sangat. Semoga tidak terlambat bagi kita untuk bersama!"

 

~

 

25

 

Suasana kantor biasa-biasa saja sampai pada pukul setengah enam, di saat sebagian karyawan sudah pada pulang dan kantor menyepi, seseorang datang ke ruang kerja Karen. Saat itu Karen sedang rapat dengan vendor di ruangan lain. Ketika sekretarisnya memberitahu Pak Anwar, yang notabene pemegang saham minoritas perusahaan tekstil itu menunggu Karen di ruang kerjanya, Karen tahu ada yang tidak beres.

"Ada yang bisa saya bantu, Oom?" tanya Karen heran.

"Ya, bersihkan barang-barangmu mulai sekarang," sahut Pak Anwar dengan nada cemooh. "Sebentar lagi kau akan dilengserkan dari jabatanmu. Dante tadi menelepon menawarkan sahamnya untuk saya. Dan begitu saya sebagai salah satu pemegang saham utama, saya akan mengangkat anak saya sebagai direktur, menggantikanmu."

"Tiba-tiba?" Karen mulai marah. "Selama ini Oom tidak mau mengurus perusahaan ini, kenapa sekarang berubah pikiran?"

"Well, business is business," jawab Pak Anwar tenang. "Dan saya sebagai keluarga Samad lebih berhak menentukan hal-hal yang berkaitan dengan perusahaan ini, bukan? Kaulah yang tidak layak di sini. Kau hanya..." Pak Anwar memberikan senyum licik. "... Karen palsu."

"Ah, Oom tidak punya bukti," jawab Karen mencoba untuk tenang walaupun dia merasa dadanya sesak. Brengsek Dante. Dia juga sudah memberitahu keluarga Samad tentang dirinya yang sebenarnya. "Karena sekarang orang tahu saya sebagai Karen, sebaiknya Oom tinggalkan kantor ini. Bisa, kan?"

"Satu hal lagi. Tadi Dante menambahkan, ada yang ingin disampaikannya. Tentang anakmu Valerie." Senyum Pak Anwar semakin lebar melihat Karen terkesiap. "Ah! Selama ini saya penasaran siapa ayah dari anak itu, rupanya Dante sendiri! Ya ya ya, Dante juga memberitahukan masa lalumu dengannya dan ayah kandung anakmu. Karen-maksud saya Karen palsu-saya tidak punya niat untuk jahat denganmu. Tidak juga ingin membalas dendam. Pasti ada alasan kuat bagi Ramli untuk mengangkatmu sebagai anak. Kau juga bukan orang yang buruk selama ini. Saya terpaksa mengambil alih perusahaan ini, karena bagaimana pun ini perusahaan keluarga saya. Kau paham, kan?"

Karen tidak mau dengar apa-apa lagi. Dia tidak peduli dengan hal lain selain Valerie. Dia meminta sopirnya mengebut kencang agar dia cepat tiba di rumah. Dia masuk, bergegas ke kamar Valerie. Betapa leganya dia melihat Valerie tengah sibuk belajar. Selama di perjalanan tadi, dia berpikir Valerie sudah diperlakukan amat buruk oleh Dante.

Dante.

Karen menemui pria itu di kamar. Dante yang sedang berdiri di dekat jendela, menoleh ke arah Karen yang menghentakkan langkahnya. Dari jarak yang agak jauh, dengan gerakan yang amat hati-hati agar tak terdengar oleh Dante, Karen mengambil guci di atas meja dekatnya. Dia tidak tahu apa yang bisa dilakukan Dante.

Dengan Dante yang sudah tahu siapa dirinya, bisa saja Dante menghabisinya saat itu juga.

Lebih tepatnya, Dante akan membunuhnya karena pria itu berpikir dia yang membuat Jena dan Alden meninggal.

"Kau," kata Dante tajam. "Aku sudah memperingatkanmu hari ini, bukan? Mengapa kau masih menemui Erik? Kau pikir, aku tidak tahu kau masih menemuinya di belakangku?"

"Kenapa kau begitu marah, Dante?" sahut Karen menantang. "Kau tidak mencintai aku, bukan? Kau hanya tidak tenang ada orang yang lebih baik darimu. Egomu, uangmu, dan kekuasaanmu yang luar biasa hebat itu, tidak bisa menerima bahwa kau bukan pilihan orang lain." Karen berjalan mendekati Dante dengan berani.

"Indy," geram Dante bengis. "Ya kau Indy. Aku sudah melakukan tes DNA pada Valerie dan empat bulan lalu hasilnya sudah keluar. Selama ini.. kau pikir kau mampu menipuku, eh? Kau tidak akan menang sekeras apapun kau melawanku. Kau akan sangat kalah!"

Nama itu disebut lagi oleh Dante dan kali ini Indy tidak takut. Kini posisinya hanya beberapa centi dari Dante. Perlahan, dia berbisik dengan nada menghina, "Kau sudah kalah, Dante."

"Apa maksudmu?"

"Kau sudah kehilangan Jena, wanita yang kau cintai itu. Wanita yang kau agung-agungkan sampai kau mengasingkan aku itu, sudah mati. Kau juga sudah kehilangan anakmu." Indy menghentikan ucapannya sebentar, lalu melanjutkan dengan nyelekit, "Kau. Adalah. Pecundang."

Dengan gerakan cepat tangan Dante menangkap leher Indy. Dicengkramnya sampai Indy kesulitan bernapas. Tersengal-sengal, Indy memberitahu Dante, "Bunuhlah aku. Biarkan Valerie tahu ayahnya membunuh ibunya. Kau akan tetap kalah!"

Dante melepaskan genggamannya secara kasar. Indy terus melanjutkan, "Asal kau tahu, selama enam bulan terakhir, aku melakukan transfer besar-besaran dari rekeningmu ke rekening atas nama Karen, dan kemudian aku transfer ke rekening yang tak kau tahu. Tanah-tanahmu yang ratusan milyar itu sudah kuhibahkan pada orang-orang yang juga tak kau kenal. Secara hukum, semua perbuatan hukum itu sah. Yang kau miliki sekarang adalah satu rekeningmu atau mungkin rekeningmu yang tidak kuketahui, dan saham-sahammu di semua perusahaan tempatmu berinvestasi. Yang jelas, aku sudah mengambil banyak dari pernikahan ini. Aku tidak takut lagi sekali pun kau melaporkan aku ke polisi."

"Lalu apa? Kau akan kembali pada Erik? Melanjutkan hubungan terlarangmu seperti dulu?" Dante tertawa penuh penghinaan. "Indy, kau belum berubah. Kau masih jalang seperti dulu. Kalau kau tidak jalang, kenapa kau milih berzina dengan sepupuku sendiri? Kenapa tidak kau bangkit dengannya dan menikah dengannya secara sah?"

"Erik tidak serendah yang kau pikirkan," jawab Indy tegas. "Dia menghargaiku dan menyayangiku dengan tulus. Tentu penzina sepertimu tidak akan mengerti. Aku juga yakin sampai hari ini kau tidak merasa bersalah telah berzina dengan Jena dan membiarkan aku hampir mati di villa."

"Ya, teruslah mengeluh, Indy. Kupikir kau sudah berubah, tapi rupanya kau masih menjadi Indy yang iri pada Jena. Kau begitu iri sampai kau membunuh Jena perempuan yang kau anggap saingan! Hah!"

Kalimat Dante memicu Indy. Dia tak akan bisa lupa pada omongan Dante dulu. "Aku bisa terima kau menjadi gila sejak Jena datang ke kehidupanku lagi, tapi kau berdekatan dengan Erik dan membiarkannya menemuimu setiap hari adalah hal yang tidak bisa kumaafkan! Oh, Indy. Sopir akan membawamu ke villa terpencil dan kau takkan bertemu siapa-siapa di sana. Ini adalah hukumanmu yang tidak mengikuti omongan suamimu!"

Guci itu melayang ke kepala Dante sampai pria itu terjatuh. Barang keras di tangan Indy itu pecah membentur kepala pria itu. Darah keluar menyimbah wajah Dante. Indy menjatuhkan semua sisa-sisa guci itu ke lantai.

Mata Indy melebar karena kaget. Dia duduk di samping Dante yang terkulai tak sadarkan diri. "Aku tidak iri pada perempuan yang menyerahkan tubuhnya pada suami orang. Aku marah padamu karena kau tidak menghargai nyawa anakmu yang ada di kandunganku."

Indy lalu berdiri, bersiap untuk meninggalkan rumah Dante. Indy terbelalak mendapati Valerie berdiri di dekat pintu.

"Val, Mama bisa jelaskan," kata Indy gemetar.

Valerie mengangguk. Dia melirik sekilas pada orang yang terkapar itu. "Dia masih hidup," katanya melihat perut Dante yang masih naik-turun. "Mama pergilah. Orang ini tidak akan diam saja setelah apa yang Mama lakukan."

"No. Mama tidak akan pergi tanpamu!" Indy menggeleng kuat.

"Aku tidak mau pergi dengan Mama. Menurut Mama, aku masih percaya pada Mama?"

"Valerie!" bentak Indy marah. "Kau harus ikut dengan Mama. Kau tidak tahu seberapa berbahayanya orang ini!"

"Bukankah Mama yang berbahaya? Mama sanggup melakukan hal ini pada orang lain. Aku dari tadi dengar. Mama jugalah yang membunuh anak dan istri orang itu!"

"Valerie, dengar Mama..."

"Pergilah, Ma," kata Valerie datar. "Atau aku akan bunuh diri."

"Kau akan bunuh diri? Tidak, tidak... Mama tidak mau, tapi jika kau di sini..."

"Orang itu tidak akan melakukan apa-apa padaku. Aku juga bisa menjaga diri. Menurut Mama, selama aku di luar negeri, aku tidak menghadapi hal buruk?"

"Kau dijahati orang?"

"Percaya saja sama aku. Sekarang, pergilah! Selama orang itu belum sadar!"

"Oh, Val!" Indy memeluk anaknya erat-erat. Berat baginya berpisah dari anak kesayangannya. "Mama janji akan kembali. Sekali pun sesuatu terjadi pada Mama, kau berjanji akan menemui Mama, kan?"

"Hm."

Indy mengecup dahi anaknya lama, lalu dia meninggalkan rumah Dante. Dia bersikap biasa saja masuk ke mobilnya. Saat salah satu anak Dante bertanya padanya dia mau ke mana, dia bilang ada urusan pekerjaan. Indy yang tak mau dicegat, langsung menambahkan, "Ini rapat penting. Jika saya gagal, bosmu pasti marah. Kau lupa, bosmu sekarang komisaris di perusahaan saya! Sudah, saya ini kan istri bosmu, kok jadi saya yang repot menjelaskan!" Kemudian dia membawa mobilnya keluar dari pagar.

Mobilnya melaju kencang dan saat di lampu merah, matanya silau karena sinar lampu ambulan. Dia sangat yakin ambulan itu menuju rumah Dante.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya [PDF] Ex Wife's Revenge - Epilog
5
3
Mama sudah banyak berkorban demi aku, pikir Valerie sedih. Aku tidak akan rela membiarkan Mama mengorbankan kebahagiaannya lagi demi aku. Jika aku dibawa Mama, orang itu akan terus mengejar dan dendam takkan bisa selesai. Entah apa yang bisa dilakukan orang itu terhadap Mama dan Oom Erik, tapi dengan orang itu bisa mengkhianati Mama dan membuang Mama di saat Mama hamil aku, aku tahu orang itu bisa melakukan hal keji yang mungkin orang awam tak bisa bayangkan.Lebih baik aku yang disakiti olehnya daripada Mama. Mama harus bahagia. Mama dan Oom Erik tidak boleh memikirkan aku lagi!Valerie berjongkok di dekat Dante. Dia mengumpulkan serpihan guci dan membuangnya ke tempat sampah dekat kamar mandi. Dia kembali pada Dante. Saat itu Dante berada di awang-awang, antara hidup dan tidak. Valerie berbisik sengit padanya, Bertahanlah. Anda harus tetap hidup karena Anda belum meminta maaf kepada Mama. Kemudian Valerie berteriak, meminta kepada semua orang untuk menolong orang itu. Tak lama beberapa dokter ke rumah, mengecek keadaan Dante dan membawa Dante ke rumah sakit untuk mendapat perawatan lebih lanjut.Dia mengalami cidera kepala ringan. Setelah lukanya diobati, dia diperiksa melalui MRI yang menunjukkan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Saraf penglihatannya pun tidak terkena masalah. Dia hanya koma sebentar dan setelah dipanggil-panggil, dia memberikan sikap responsif dengan mengangkat tangannya. Hanya saja dia kesulitan untuk membuka matanya.Atau sebenarnya tidak. Dia tahu membuka matanya tidak ada gunanya. Dunianya tetap saja gelap.Valerie berada di sampingnya selama Dante berada di UGD. Ketika dokter bertanya apa yang terjadi pada Dante, Valerie menjawab tidak tahu. Dia menemukannya sudah tak sadarkan diri, itu saja. Sisanya dia bersikap bodoh agar tidak ditanya lebih lanjut.Tak ada yang serius, pikir Valerie yang duduk di samping ranjang Dante. Mama tidak benar-benar ingin membunuhnya. Aku yakin bukan Mama pula yang membunuh anak dan istri orang ini. ~ Author's note:Terima kasih sudah baca cerita ini. Unlock untuk baca Epilog nya ya, teman-teman. :)Detail PDF:-PDF Epilog I, Epilog II & Extra Part cerita Ex Wife's Revenge ini terdiri dari 26 halaman dan seharga Rp 15.000-PDF tidak dijual terpisah (misalnya Extra Part saja).
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan