Suamiku Mencintai Wanita Lain - Part III

1
1
Deskripsi

"Dari mana kau?" tegur Abizhar dingin. Keduanya melangkah ke arah kamar mereka. "Kenapa tidak kau beritahu Roland soal tempat yang kau datangi? Aku harus sampai menanyakan sopirmu!"

"Aku tidak mau bicara apa-apa. Mood-ku jelek sekali hari ini," sahut Shelina tanpa menyembunyikan kekesalannya. “Tahukah kau? Ah, sudahlah…”

Diletakkannya ponselnya di atas mejanya dengan gemas. Abizhar tidak bisa tenang sejak Roland memberitahunya Shelina pergi ke suatu tempat tanpa memberitahu ke mana secara detail. Abizhar jadi bingung sendiri, mengapa dia tiba-tiba seperti ini? Dia jadi mudah marah, tersinggung, khawatir, dan yang jelas semua perasaan ini membuatnya tidak nyaman!

Pergi berselingkuh lagikah dia, pikir Abizhar gemas. Tidak kapok-kapokkah dia? Tuhan sudah menghukumnya dengan kecelakaan itu. Kenapa dia masih melakukan kesalahan memalukan seperti ini?

Abizhar mengambil lagi ponselnya, menghubungi Gadis dan menanyakan keberadaan suami sepupu Shelina itu. Suara Gadis terdengar heran. "Dia bersamaku sekarang. Kau ingin bicara?"

"Tidak, ngg, terima kasih, maaf ganggu." Klik Abizhar memutus sambungan. Kalau tidak bersama Rafi, bersama siapa Shelina sekarang, pikirnya. Bersama pria lainkah? Ada berapa banyak pria yang menikmati tubuh Shelina?

Kurang ajar! Kepala Abizhar terasa panas seakan ada air yang mendidih di dalamnya. Dia tidak terima jika Shelina main di belakangnya sementara Abizhar sedang sakit pinggang lantaran kebanyakan bekerja! Sialan! Meski aku tidak setia, aku tidak mau istriku berkhianat. Itu hanya menambah penyakit saja!

Abizhar melirik jam dinding kantornya. Jarum menunjuk angka sebelas. Dia mengecek laporan dari karyawannya, dan setelah dirasa urusan sudah beres dan bisa dilanjutkan besok, dia keluar meninggalkan ruang kerjanya.

Kantornya masih ramai. Hari ini karyawan-karyawannya lembur. Sudah banyak yang bersiap untuk pulang. Abizhar mencoba memberi semangat, bicara-bicara sebentar dengan salah satu manajernya terkait suatu proyek, kemudian kembali sendiri berjalan ke mobilnya.

Kehampaan itu menghampirinya. Dia mencoba menghubungi Shelina, tidak diangkat. Diteleponnya sopir, namun sopir itu hanya mengatakan dia sedang menunggu Bu Shelina di parkiran hotel. Abizhar ingin menyusul Shelina ke hotel itu. Ah, tidak, tidak, pikir Abizhar. Biar saja nanti aku marahi di rumah. Namaku bisa tercoreng jika membuat keributan di tempat umum!

Ketika mobilnya masuk ke garasi rumah, bersamaan dengan itu mobil Shelina ada di belakangnya. Abizhar turun dari mobil, melihat ke arah Shelina yang berjalan menghampirinya. Wajah Shelina terlihat tidak senang.

"Dari mana kau?" tegur Abizhar dingin. Keduanya melangkah ke arah kamar mereka. "Kenapa tidak kau beritahu Roland soal tempat yang kau datangi? Aku harus sampai menanyakan sopirmu!"

"Aku tidak mau bicara apa-apa. Mood-ku jelek sekali hari ini," sahut Shelina tanpa menyembunyikan kekesalannya. "Tahukah kau? Ah, sudahlah. Mengingat hubunganmu dengan Mama Lila tidak dekat, tidak mungkin kau tahu!"

"Apa maksudmu, Shelin?"

Shelina tidak menjawab sampai mereka di kamar. "Ibumu memintaku untuk menjadi pengurus Yayasan Panti Asuhan itu! Tadi aku bertemu dengannya di restoran hotel. Tidak hanya ibumu saja, tapi dengan pengurus-pengurus lainnya." Shelina mendengus. "Pikirmu, aku punya waktu untuk mengurus yayasan? Menjadi donatur, oke. Terlibat langsung dengan yayasan itu?! Hell no!"

"Jadi tadi kau bertemu Mama?" Abizhar menghela napas panjang. "Aku tidak tahu Mama sudah ada di Jakarta."

"Hanya sebentar, besok pagi berangkat lagi ke Penang," jelas Shelina sambil melepaskan pakaiannya. "Mama hanya ingin memberitahuku soal Panti itu. Dengar, Abizhar." Shelina mengambil handuk, berjalan ke kamar mandi, namun sebelumnya dia menoleh ke suaminya. "Aku tidak mau direpotkan dengan urusan yayasanmu. Apalagi, mereka tampaknya ingin kembali hidup di atas tanahku!"

Shelina membutuhkan ketenangan di bawah pancuran air. Dengan air yang membasahi seluruh tubuhnya, dia mulai menangis. Ini bukan pernikahan yang kuharapkan, pikirnya. Napasku sesak setiap terlibat dengan urusan Abizhar. Ya aku memang mencintainya, tapi aku tidak bahagia!

Tadi Mama Lila mengundangnya makan di restoran mewah di hotel. Shelina pikir, ibu Abizhar ingin bersilaturahmi dengannya, membuat hubungan keduanya lebih akrab. Betapa naifnya Shelina mengingat pernikahannya dengan Abizhar hanya soal kontrak bisnis! Tidak ada cipika-cipiki layaknya ibu mertua dan menantu yang dekat. Tidak ada basa-basi. Di restoran itu, tidak hanya ada ibu Abizhar, tapi juga pengurus-pengurus yang lain.

Ibu Abizhar secara terang menginginkan Shelina menggantikan Yuni. Ibu Abizhar menambahkan, tak perlu sesibuk Yuni, tapi setidaknya Shelina hadir seminggu dua kali di Panti itu. Ibu Abizhar ingin, ada anak atau menantunya yang aktif di sana.

Bukan hanya itu. Salah satu pengurus berceletuk, apakah Shelina bisa memindahkan mereka dari lokasi Panti yang sekarang, ke lokasi yang dulu, yaitu di atas tanah yang diinginkan Abizhar. Tepat pada saat itu, Shelina merasa, mereka tidak membutuhkannya, melainkan apa yang dimilikinya. Shelina merasa orang-orang itu tak lebih dari sekumpulan orang yang materialistis!

Sudah cukup dia sakit hati karena ibu mertuanya membandingkannya dengan Yuni yang apik, yang rajin, yang ini dan yang itu. Tidak usah mereka menambah luka di hatinya dengan menunjukkan bahwa arti Shelina di mata mereka hanyalah sebidang tanah!

Ya Shelina bisa memberikan hak pada Abizhar untuk melakukan apa saja dengan tanah itu, dengan menjadikan perusahaan Abizhar investor untuk proyek di sana. Tapi untuk merobohkan bangunan di sana kemudian hanya menjadikannya sebuah Panti Asuhan? Tidak mungkin! Lagipula, apa salahnya dengan lokasi yang sekarang?!

Selepas mandi, Shelina melilitkan handuk di tubuhnya. Langkahnya terhenti ketika dari kamar mandi dia mendengar Abizhar marah-marah.

"Kenapa Mama lancang sekali mengundang istri Abizhar tanpa izin dari Abizhar?.... Tidak, tidak. Mama memang ibu yang membesarkan Abizhar, karena itu, seharusnya Mama menghargai Abi juga dong!... Shelina istri Abi, kalau Mama ingin melakukan sesuatu dengannya, Mama diskusikan dulu dengan Abizhar!"

Percuma kan kau memarahi ibumu, pikir Shelina duduk di atas kloset kamar mandi. Dia lebih berkuasa darimu. Bahkan, kupikir, dia hanya mengangkat Abizhar agar tidak kena cemoohan orang-orang sebab dia dan suaminya tidak bisa punya anak. Ada kan, beberapa orang yang berpikir, bahwa tidak punya anak adalah aib?

Ibu Abizhar sudah lama menjadi donatur yayasan itu. Namanya harum dengan jiwa dermawannya. Jika mengenal dari jauh, tampaknya ibu Abizhar begitu baik, namun setelah kenal dekat, Shelina memahami seperti apa ibu Abizhar itu. Sama saja seperti Yuni. Wajahnya yang manis tidak menunjukkan keluhurannya!

Dia hanya perlu imej yang baik, pikir Shelina. Sebagai orang yang "menjaga citra", aku tahu sekali orang seperti apa dia. Memaksaku untuk terlibat dengan yayasan juga pasti ada maksudnya. Untuk menambah pamornya, mungkin? Menunjukkan kedekatannya dengan menantunya? Bisa saja, kan?

Shelina ke kamarnya lagi, mengenakan baju tidurnya, lalu telentang di atas tempat tidur dengan Abizhar yang masih mengomel pada ibunya. Dilihatnya Abizhar melepaskan ponselnya, menekan tombol di sana dan suaminya menatapnya dengan sama kesalnya.

"Kalau kau diajak Mama, jangan mau!" Dia memberitahu dengan marah. "Kau ini istriku. Apapun yang kau lakukan selain urusan pekerjaan yang sifatnya rahasia, kau harus jelaskan semuanya padaku. Mengerti?!"

"Tahu aku hanya akan sakit hati setelah bertemu ibumu, aku juga takkan mau datang," sahut Shelina lirih. Masih ada secercah perasaan dongkol di hatinya.

"Bukan itu poinnya. Apapun yang kau lakukan, pertimbangkan dulu denganku! Minta izinku! Bicarakan padaku!" sambung Abizhar lebih keras.

"Aneh rasanya kau sekarang bersikap layaknya seorang suami," jawab Shelina sinis.

"Memang sudah saatnya kita mulai kehidupan rumah tangga ini secara benar. Kita sudah sering bertengkar karena alasan sepele. Barangkali, jika kita hidup normal seyogyanya suami-istri, kita bisa berbahagia, Shelin."

"Apa itu artinya kau mau belajar mencintai aku, istrimu?" tanya Shelina penasaran.

"Soal cinta tidak usah sekarang, kan?" Abizhar balik bertanya.

Hatinya imun mendengar kata cinta. Cinta, cinta, cinta! Dengan cinta, apa yang bisa dilakukan Shelina padanya? Hanya penderitaan. Karena cinta pula, Abizhar membuat hidup Yuni sengsara.

Cinta tidak membantu banyak di kehidupan ini!

Abizhar berlalu dari hadapan istrinya, menghabiskan waktu di kamar mandi. Memikirkan apa yang terjadi seandainya dia ada di rumah sebelum kecelakaan itu. Apa yang akan bisa dia cegah jika dia ada di sana.

Yuni, gumam Abizhar sambil memutar keran shower. Diingatnya paras Yuni yang ayu. Wajahnya yang manis polos mewakili keperibadiannya yang lembut. Yuni, andai saja kau tidak cinta padaku, mungkin kau masih hidup. Dan jika kau masih hidup, akan kuberikan kau apa saja dengan apa yang kupunya. Maafkan aku, Yuni.

Sekarang kau telah tiada. Aku tidak punya pilihan selain menikmati kehidupan yang kumiliki sekarang. Ya, itu artinya.. Aku harus menerima Shelina. Walaupun rasanya dada ini sakit sekali setiap di dekatnya, sebab aku tidak bisa melupakan wanita sebaik engkau, Yuni.

Selama Abizhar mandi, Shelina mengecek ponselnya yang bergetar. Sudah dapat pesan dari Leo. Si peretas itu memberikan alamat-alamat yang dikunjungi Roland. Ada satu tempat yang menarik perhatian Shelina: Panti Asuhan Jalin Kasih. Leo mendapat informasi itu dari mengambil akses akun Google yang terdapat di ponsel Roland. Dia juga memberitahu email serta kata sandi milik Roland untuk memberi kepastian atas kebenaran informasi tersebut.

Untuk apa dia ke sana, pikir Shelina bingung. Dia tidak ada hubungannya dengan panti asuhan itu. Dan dia juga tahu, aku anti dengan tempat itu. Apakah dia punya rencana untuk menikamku dari belakang? Dengan cara apa?

Aku harus mencari tahu. Pengkhianatan bisa dilakukan oleh siapa saja. Semua orang bisa berubah demi kepentingan. Jika Roland bisa menjatuhkanku, akan ada orang yang berterima kasih padanya. Baik rival bisnisku maupun... suamiku sendiri.

Mungkinkah dia dan Abizhar merencanakan sesuatu untuk menyingkirkanku? Sejak menjadi istri Abizhar, Roland adalah perantara komunikasi antara diriku dan Abizhar. Bukan tidak mungkin Roland ditawar tinggi oleh Abizhar.

Tidak, tidak. Mana mungkin Roland bisa melakukan hal itu? Kami sudah saling mengenal jauh sebelum aku kenal Abizhar. Kami kuliah di tempat yang sama. Bahkan, Papa yang membiayai kuliahnya agar dia bisa bertugas sebagai pengawalku. Dia tidak mungkin menggigit majikannya sendiri, kan?

Abizhar balik dari kamar mandi, bersamaan dengan suara ponselnya. Diangkatnya telepon. "Halo... Tidak, saya tidak perlu untuk malam ini." Lalu ditaruhnya ponselnya di atas meja.

"Dari siapa?" tanya Shelina, siap untuk tidur.

"Hm.. Si.. Ah, tidak penting," sahut Abizhar sambil memakai celana pendek. Dia tidur telanjang dada malam itu. "Kau sudah lelah, Shelina?"

"Dari simpananmu?" Shelina tetap bertanya.

"Kalau iya, kenapa?" Abizhar merebahkan dirinya di samping Shelina. Dipeluknya Shelina. Bibirnya mengecup leher istrinya. "Aku tidak butuh mereka memang. Aku ingin istriku yang melayaniku."

"Kenapa tidak? Istrimu ini sudah membuatmu kesal, kan? Ya, kau pasti kesal karena aku tidak memberi kabar..." Dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya ketika Abizhar meremas bagian sensitif tubuhnya. "Abi..."

"Hm?"

Shelina tidak bisa mengelak. Dibiarkannya saja suaminya melakukan apapun dengan tubuhnya.


**

 

"Hari ini teman-temanmu datang?" tanya Abizhar selesai mandi. Hari itu dia mau pergi golf di Sentul. "Kalau begitu sampaikan salamku pada mereka. Sekali pun aku tahu mereka tidak suka padaku. Kuharap kau ingat, bagaimana kau hobi sekali menjelekkan namaku di hadapan keluargamu dan kawan-kawanmu."

Shelina memeluk Abizhar dari belakang. "Katanya, mau punya keluarga denganku. Mari kita saling memaafkan dulu. Kalau kau setia aku juga takkan menjatuhkan namamu."

"Jadi kau ingat?"

"Ya, tentu, pasti sudah dari dulu aku melakukannya," jawab Shelina lirih. "Sudah, kau pergi sana. Aku mau mandi."

Pada akhir pekan Shelina mengajak teman-teman sosialitanya untuk makan di rumahnya. Dia menjamu mereka dengan makanan yang dibuat chef terbaik se-Jakarta. Tujuannya bertemu lagi dengan teman-temannya untuk melepas penatnya dari dunia kerja sekaligus mencoba mengais ingatannya yang dulu.

Tidak banyak informasi yang dia dapatkan. Teman-temannya ini sesuai dengan hal-hal yang diingatnya. Suka bergosip, rutin melakukan arisan setiap bulan, dan mendiskusikan harga investasi pada reksadana dan emas. Setelah dua jam lamanya berbincang dari sana-kemari, salah satu teman Shelina, Aini, menimbulkan keheningan dengan bertanya soal kecelakaan itu.

Teman-teman Shelina yang lain menegur, merasa topik tersebut sensitif mengingat berita kecelakaan itu menyangkut simpanan Abizhar. Teman-teman Shelina yang tidak pernah telat akan gosip, terang tahu soal permusuhan antara Shelina dan Yuni. Mereka juga ikut membela Shelina saat Shelina koma. Secara kompak mereka memberi klarifikasi melalui sosial media mereka bahwa yang dialami Shelina murni kecelakaan, tidak ada niatan untuk mencelakai orang lain. Ditambahkan pula bahwa Shelina saat itu sedang hamil. Untuk apa dia yang sedang hamil sengaja membunuh orang lain dengan mencelakai dirinya sendiri? Iya, kan?!

Shelina tersenyum biasa saja. Dia berterus terang soal ingatannya yang masih belum kembali. "Malah, aku ingin sekali tahu apa yang terjadi pada hari itu. Apakah kalian ada yang tahu?"

"Memangnya terjadi apa?" sahut Nora, temannya yang lain. "Tidak mungkin ada hal lain. Pasti perempuan murahan itu yang datang. Ya, namanya juga perebut laki orang, hidupnya tidak tenang. Selama kau menguasai suamimu, dia pasti ingin menghancurkanmu."

"Betul itu," kata Aini mengangguk-angguk. "Rekaman CCTV rumahmu pun disebarkan di media. Dia yang menyerangmu lebih dulu. Apa yang kau lakukan padanya adalah hal yang wajar dilakukan seorang istri terhadap selingkuhannya."

"Menurut kalian begitu?" tanya Shelina dengan keraguan yang masih menyelimuti hatinya.

"Memangnya, apa yang mungkin terjadi sebenarnya? Bahwa kau berniat membunuhnya? Itu bukan kau, Shelina," kata Fani temannya satu lagi. "Kau orang yang penuh ambisi. Tidak bisa tenang jika keinginanmu tidak tercapai. Tapi membunuh? Tidak, kau tidak melakukan hal sebodoh itu. Aku yakin, memang perempuan itu duluan yang usil padamu."

"Iya, eh daripada ngomongin hal ini, kalian sudah memantau harga emas sekarang belum? Turun lagi, lho!" kata Nora mengalihkan pembicaraan, disambut dengan sahutan teman-temannya yang juga mulai stres karena harga emas yang baru mereka beli turun.

Yang namanya investasi memang harus membutuhkan kesabaran. Kalau investasi membuat orang kaya secara instan, semua orang akan berbondong-bondong melakukan investasi, bukan? Shelina mulai terhibur. Dia benar kehilangan rasa lelahnya dengan bertemu teman-temannya.

Bagaimana pun mereka teman-temanku, pikir Shelina saat semuanya pulang. Mereka akan membelaku sekali pun aku berbuat salah. Aku membutuhkan seseorang yang bisa memberiku fakta yang sebenarnya. Tapi siapa? Satu-satunya yang tahu hal itu hanya Yuni, dan dia sudah tidak ada.

Atau memang dia sudah mati? Di mana dia dikubur? Ah, bukan aku percaya hal-hal ghaib-menanyakan sesuatu pada arwah-tapi aku memang putus asa. Yuni! Kau menyebalkan sekali! Aku tidak akan bisa tenang sampai aku bisa mengingat apa yang kau katakan padaku saat itu!

Apa sih yang dilihat orang lain pada dirinya? Ibu mertuaku sendiri bahkan terlihat suka padanya. Apakah dengan senyam-senyum bisa dicap baik? Apakah hanya modal berkata lembut, kita bisa mendapat simpati dari orang lain? Dunia ini tampak tak adil. Aku yang sudah bekerja keras, mencoba memberikan kehidupan yang layak pada Abizhar, malah dianggap menyebalkan!

Shelina tidak punya kegiatan apa-apa setelah pertemuan dengan teman-temannya. Dia menelepon Roland untuk memberikan informasi terkait meeting dengan investor yang berniat membatalkan mengucurkan dana untuk pembangunan apartemen itu.

"Mereka tidak memberitahu jadwal pasti untuk bertemu, tapi minggu depan akan diberitahu apakah mereka setuju atau tidak untuk bernegosiasi," kata Roland di ponsel Shelina. "Saya berusaha untuk meyakinkan mereka soal prospek investasi di apartemen ini, Bu Shelina."

"O ya. Satu lagi. Aku ingin kau buat janji dengan suami Gadis, tapi buatlah itu seolah pertemuan bisnis dan jangan sampai diketahui siapa pun selain Rafi, dan kau tentu saja."

"Apa, Bu?"

"Kau dengar saya, kan? Buat janji dengan Rafi!" jawab Shelina gemas. "Apa.. Apa kau tahu sesuatu?" Shelina mulai curiga karena sepertinya Roland menyadari hubungannya dengan Rafi. "Roland! Kau tahu sesuatu?!"

"Ma...maaf, Bu. Saya hanya bingung bagaimana mengatur pertemuan tersebut, sebab perusahaan suami Bu Gadis kan tidak berhubungan dengan perusahaan Ibu."

"Ya kaulah yang mikir. Masa kau suruh saya?!" Mengapa asistennya menjadi mudah membuatnya kesal? "Roland, kau ini kenapa sih? Biasanya saya hanya tahu beres darimu!"

Shelina mencium gelagat tidak baik dari asistennya. Semoga saja intuisinya salah.

 

**

 

Abizhar menemukan istrinya tengah melamun di halaman belakang. Istrinya duduk di bangku yang berada di tengah taman rumah mereka. Jarang sekali Abizhar melihat Shelina termenung seperti itu. Dari kejauhan, Abizhar memerhatikannya untuk setengah jam lamanya.

Dia cantik sekali jika diam, pikirnya malu. Ya, malu, karena dia sulit memuji istrinya terang-terangan. Andai saja sifat Yuni ada dalam dirinya, pasti akan mudah bagiku melupakan Yuni. Ah, Yuni. Kenapa aku selalu memikirkan dirimu?

Tanpa disadari Shelina, tahu-tahu suaminya sudah duduk di sampingnya. Dia sontak kaget. Kapan Abizhar pulang?

"Aku sudah beritahu Mama untuk stop menghubungimu dan membahas yayasan. Aku tidak mau memaksamu melakukan hal yang tidak kau inginkan," kata Abizhar parau.

"Trims," sahut Shelina sekenanya.

"Ibuku memang berharap kau bisa di sana. Kau tahu, sebelum aku diangkat oleh Mama Lila, Mama sudah sering mengunjungi panti asuhan itu. Pemilik panti asuhan itu ibu Mama Lila, nenekku. Tidak heran Mama ingin keluarganya ada yang mengurusnya. Dengan jadwal pekerjaanku yang padat dan Mama yang sudah tua, itulah sebabnya Mama ingin kau yang menangani yayasan itu," jelas Abizhar. "Maafkan Mama yang telah menyebut Yuni kemarin. Apapun alasannya, Mama tidak berhak melakukan itu padamu."

"Apakah ibumu tidak berpikir aku orang yang sibuk?" balas Shelina kesal. "Aku juga punya pekerjaan. Bahkan, perusahaan propertiku jauh lebih besar daripada perusahaan konstruksimu. Ibumu tahu itu, kan?"

Abizhar menelan kemarahannya direndahkan begitu. Dia mencoba untuk bersabar. "Maklumi saja. Ibuku tidak pernah bekerja, yang dilakukannya adalah mengurus yayasan dan mendampingi ayahku. Mana tahu Mama soal repotnya mengelola perusahaan."

"Sepertinya keluargamu paling suka membuatku terlihat buruk," jawab Shelina murka. "Tidak kamu, tidak juga ibumu. Kalian semua sama saja. Padahal, kalian juga tidak sebaik itu. Kalian membantu yayasan hanya untuk mendapat citra baik, sama yang kulakukan dengan sosial mediaku." Shelina tersenyum licik. Dilihatnya wajah Abizhar ikut gusar. "Salah satu investor untuk pembangunan apartemen di atas tanah yang kau incar, mau mundur. Aku sudah tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan tanah itu. Investor itu salah satu pemberi dana terbesar, dengan dia tidak ikut memberi modal, proyek itu kemungkinan besar akan mangkrak."

"Apa urusanku dengan itu?" tanya Abizhar dengan kedua matanya menyipit.

"Jika proyek itu tidak bisa diteruskan, maka aku akan menyerahkan tanah itu padamu melalui hibah," sahut Shelina, menghela napas berat. "Atau, tidak. Kau harus membelinya dariku. Kau tahu? Barangkali ini jawaban dari doamu. Kau ingin tanah itu, kan? Mungkin dengan membuatku rugi seperti ini, kau bisa memperoleh tanah itu. Tanah itu tidak berarti apa-apa bagiku."

"Apa alasan investor itu membatalkan perjanjian kerjasama?" tanya Abizhar, mengesampingkan kalimat-kalimat sinis yang dilontarkan istrinya. "Aku memang ingin tanah itu, Shelina, tapi rasanya aneh ada orang yang tidak tertarik dengan tanah itu. Lokasinya yang strategis membuat nilainya tinggi."

"Katanya tanah itu tanah sengketa," sahut Shelina datar. "Padahal semua orang tahu bahwa yayasan keluargamulah yang membangun di atas tanah itu secara ilegal."

"Shelina, itu tidak benar. Keluargaku sudah berusaha membeli dari orangtuamu, tapi mereka menolak. Setelah sekian kali menego, akhirnya ayahmu menawarkan ide perjodohan itu. Kau ingat, kan?"

"Sama saja, awalnya tanah itu bukan tanah keluargamu!" tandas Shelina menjadi marah. "Dengan tidak langsung kau menjual dirimu untuk tanah itu tidak membuat apa yang dilakukan yayasan keluargamu itu benar, Abizhar!"

"Lalu kau mau apa? Mau memarahiku setelah apa yang terjadi? Apakah dengan begitu bisa membuatmu tenang, Shelina?" tanya Abizhar sama kerasnya. Perlahan suaranya memelan. "Tidak ada yang bisa kita lakukan selain melakukan hal baik yang kita punya, Shelina. Dan kau tidak usah sinis padaku, sebab sebenarnya aku tidak mau proyekmu gagal. Niatku.. Niatku sebenarnya..." Abizhar memilih untuk diam.

"Apa niatmu?"

"Niatku adalah membeli beberapa unit apartemen itu, kemudian memberikannya pada Yuni," jawab Abizhar pelan, saking pelannya Shelina sampai tidak yakin apa yang didengarnya.

"Kau ingin memberi beberapa unit untuk Yuni?!" Shelina memastikannya dengan nada suara gemas. "Mungkin ini sebabnya proyek itu bermasalah, sebab ada orang yang sudah berniat menghadiahkan kekasih gelapnya! Tuhan tahu lebih baik apartemen itu tidak jadi sekalian daripada kau menyakitiku dengan cara seperti itu!"

"Ya, karena tidak mungkin bagiku membangun panti di atas tanah itu, aku ingin Yuni tetap bisa tinggal di sana, dan menyewakan beberapa unit lainnya. Untuknya mendapat pendapatan pasif," jawab Abizhar lebih pelan lagi.

Shelina bergidik jijik. "Perkataanmu semakin buruk saja, Abizhar. Aku ini istrimu, bukan orangtuamu yang harus membiayai keperluanmu dengan kekasihmu, tahu!"

"Aku hanya berusaha jujur..." Abizhar menggaruk-garuk kepalanya. "Kau mau aku bagaimana? Membohongimu dengan kata-kata manis?"

"Aku ingin kau diam saja," jawab Shelina sambil berdiri. "Setiap kau ingin bahas Yuni, pendam saja. Aku ogah mendengar namanya!"

"Itu kan jelas tidak mungkin, Shelina. Pernikahan ini saja terjadi karena dia. Aku menikahimu..."

"Untuk menghadiahkan kekasihmu itu, kan? Harus berapa kali kau ngomong itu?!" Shelina melotot. "Aku tidak main-main. Sekali lagi kau sebut nama itu, aku tidak akan meminta pisah darimu. Akan kujadikan klub malam sekalian di atas tanah itu jika kau terus-terusan membahasnya!" Shelina bergegas meninggalkan suaminya dengan perasaan marah yang berkecamuk di hatinya.

"Klub malam?" gumam Abizhar tak percaya.


**

 

Mata Shelina membesar saat Roland memberitahunya Pak Edward akan datang hari itu. Tidak dijelaskan secara detail jam berapa. Hanya akan datang, tok. Membuat Shelina sedikit panik sebab dia tahu kedatangan ayahnya berkaitan dengan kinerjanya. Ayahnya bukan tipe ayah yang beramah-tamah dengannya.

Seharusnya Shelina tak perlu khawatir. Perusahaannya masih baik-baik saja, tapi tetap saja, jika ada kesalahan kecil yang ayahnya ketahui, habislah Shelina nanti dimarahi.

Jauh dari dugaannya, Pak Edward datang dengan tiga anak buahnya membawakan banyak bunga ke ruang kerja Shelina. Di sana terdapat ucapan selamat kepada Shelina yang telah sehat dan kembali bekerja. Terlalu lama kan, pikir Shelina pahit. Aku sudah keluar rumah sakit beberapa bulan yang lalu dan Papa baru menyempatkan waktu untuk bertemu sekarang? Bukan main.

Semua anak buahnya dan Roland keluar meninggalkan ruang kerja Shelina. Kini hanya ada Shelina dan ayahnya.

"Papa bangga sekali padamu, Shelin. Tidak percuma Papa membesarkanmu dengan keras. Laba tahunan perusahaan ini meningkat pesat. Tidak menyesal Papa menunjukmu sebagai direktur utama," kata Pak Edward disertai wajah sumringahnya. "Kau memang anakku, Shelina. Kau berbakat berbisnis!"

"Papa datang ke sini untuk mengucapkan itu? Jika aku tidak meningkatkan keuntungan, Papa tidak akan kemari?" sahut Shelina menunjukkan kemalasannya bertemu ayahnya. Di depan Pak Edward, dia juga tidak menyembunyikan ketidaksukaannya. Meski begitu pada akhirnya dia menurut pada ayahnya, termasuk menjadi direktur utama di sini adalah untuk memenuhi keinginan ayahnya.

Anak Papa nggak boleh manja

Anak Papa harus pintar.

Anak Papa setelah kerja di Amerika harus pulang.

Kau harus melanjutkan usaha orangtuamu.

Kau satu-satunya anakku yang bisa kupercaya.

Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat ayahnya yang menekan pikiran Shelina. Omongan yang sama sekali tidak memotivasi Shelina. Malahan, Shelina jadi murung jika diingatkan bahwa dia anak tunggal Pak Edward dan dia harus jadi yang terbaik.

Alasan terbesar Shelina bertahan di perusahaan karena dia ingin mempertahankan perusahaan ibunya. Ya, setengah dari keseluruan perusahaan ayahnya adalah milik mendiang ibunya. Salah satunya perusahaan properti ini. Perusahaan-perusahaan lain yang ditinggalkan ibunya masih di bawah pengelolaan ayahnya.

Waktu yang dimilikinya dengan ibunya memang tidak banyak, tapi Shelina merasakan kasih sayang yang tulus dari ibunya semasa hidup. Shelina tidak mau menyia-nyiakan apa yang diwariskan ibunya padanya.

"Shelina, kau masih saja sinis," kata ayahnya berdecak-decak tanpa merasa bersalah. "Tentu Papa akan datang, tapi tidak dengan hadiah. Ini kan perusahaan Papa juga, pasti Papa mengunjungimu kan mau tak mau?"

Shelina melengos. "Kata Abizhar, Papa tidak menjengukku sama sekali selama aku koma. Ayah macam apa yang tidak menemui anaknya yang berada di antara hidup dan mati?"

"Ah, jangan berlebihan," jawab Pak Edward santai. "Menurutmu, Papa tidak sibuk membersihkan namamu? Berita kecelakaanmu cukup membuat gempar, Shelina. Bahkan harga saham kita menurun drastis. Bagaimana bisa sih, kau kecelakaan dengan simpanan suamimu? Itu kan membuat spekulasi yang tidak-tidak."

"Tetap saja, itu bukan alasan yang kuat untuk tidak menilik anak Papa sendiri," kata Shelina dingin.

"Lantas kau mau apa? Mau ngambek pada ayahmu? Kau kan sudah bukan anak kecil lagi, Shelina. Oke deh, Papa akui Papa salah. Puas?"

Shelina mendesis jengkel. "Kalau tidak ada lagi yang ingin Papa sampaikan, Papa bisa pulang. Aku sedang sibuk sekarang."

"Shelina. Papa ingin bicara sebenarnya."

Nada suara ayahnya berubah serius. Shelina memandangnya dengan sorotan penasaran. "Apa?"

"Kau bukan pembunuh, kan?"

"Apa maksud Papa?"

"Shelina, come on. Semua orang tahu kau benci sama perempuan yang namanya siapa... Yuni-Yuni itu lho. Papa tidak masalah dengan jawabanmu, toh Papa akan melakukan apa saja agar reputasimu baik. Tapi Papa perlu tahu apakah anak Papa sanggup..."

"Menurut Papa aku pembunuh?" potong Shelina. "Bagaimana tanggapan Papa? Papa kan ayah kandungku, harusnya Papa tahu bagaimana anak Papa, bukan?"

"Ya, tapi kan orang yang cemburu bisa saja..."

"Kenapa? Papa bisa melakukan hal serupa?"

"Bukan itu maksud Papa. Kalau kau tidak mau jawab, ya sudah. Papa tidak akan mendesakmu."

"Jawabannya aku tidak ingat. Beberapa memori hilang dari kepalaku karena kecelakaan itu," sahut Shelina. "Termasuk soal kecelakaan itu." Shelina menatap ayahnya tajam. "Kecelakaan itu cukup parah, bahkan ada korbannya yaitu simpanan Abizhar. Jadi kenapa Papa tidak datang? Papa malu punya anak pembunuh?"

"Bukan, bukan begitu, Shelina..."

"Kalau Papa ingin menebus kesalahan Papa karena menelantarkan aku di rumah sakit, Papa bisa melakukannya." Shelina menyodorkan sebuah kartu nama ke hadapan ayahnya. "Ini investor yang mengancam ingin berhenti mengucurkan dana untuk salah satu proyek. Papa pasti bisa meyakinkannya, kan, untuk tetap invest di proyek ini?"

"Kau menyuruh ayahmu?" Pak Edward berdecak tak percaya. "Menurutmu, ayahmu mau saja melakukan apa yang kau mau?" Namun Pak Edward tetap menerima kartu nama itu. "Papa kenal direktur perusahaan ini. Apa alasannya dia tidak mau investasi?"

"Tanahnya bersengketa menurutnya."

"Omong kosong dari mana lagi itu," cetus Pak Edward tak percaya. "Kenapa tidak kau tangani sendiri? Apa kau takut gagal?"

"Aku malas saja berhubungan dengan tanah di Kebon Kacang itu," jawab Shelina, mengangkat bahu.

"Tanah itu, bahkan selama ibumu hidup, sudah bermasalah. Gara-gara ibu mertuamu itu," sahut Pak Edward, berdecak-decak kesal. Begini saja, Papa akan coba bantu bicara pada investormu. Kalau gagal, ya kau sendiri yang mengusahakan. Bagaimana?"

"Fine."

"Ada lagi yang kau inginkan?"

Kedua mata Shelina menyipit. "Kenapa Papa baik hati begini?"

Ayahnya tersenyum lebar. "Kau sudah bekerja keras untuk meningkatkan profit perusahaan ini. Itu saja," jawabnya sengaja membuat anaknya semakin marah.

"Terkadang aku tidak percaya bahwa Papa adalah papa kandungku. Aku bahkan belum memiliki ingatanku secara penuh. Aku juga harus kehilangan bayiku," desis Shelina jengkel. "Dan kalau aku tidak melakukan apa-apa yang berkaitan dengan bisnis, Papa tidak akan menemuiku." Tak lupa Shelina berdecak-decak.

"Shelina, kau kan tahu Papa bukan orang yang seperti itu. Papa tidak suka berpura-pura menabahkanmu di saat Papa kecewa padamu. Ya, Shelina. Papa kecewa. Bagaimana bisa kau..." Ayahnya menghentikan ucapannya. "Ya kau paham kan maksudnya."

"Aku pembunuh atau bukan, Papa tetap papaku!" bentak Shelina dirambat perasaan kecewa. "Kenapa hampir semua pria di hidupku kurang ajar semua? Mereka berpikir uang bisa membeli segalanya!"

"Ha! Kau membicarakan dirimu sendiri, Nak?" jawab ayahnya menyindir. "Kau lupa kau juga memiliki Abizhar atas dasar uang. Kau tak pernah menghargai dia sebagai suami sebab kau anakku. Lupakah kau akan hal itu, anakku?" Ayahnya tersenyum mencoba mencairkan suasana. "Shelina. Kita tidak akan selamat hanya dengan emosi dan basa-basi. Omong kosong semua itu. Tujuan hidup ini adalah membuat kita setinggi mungkin. Karena kau tahu apa? Hanya dengan begitu kita bisa dihormati dan disegani semua orang."

Shelina tidak berkata apa-apa. Hanya dengusannya yang terdengar.

"Dan kasih sayang tidak harus ditunjukkan dengan kata-kata manis. Papa juga tahu kau tidak butuh semua itu. Kau hanya perlu usaha yang nyata," sambung Pak Edward. "Karena itu Papa akan mengusahakan kau tidak kekurangan apapun, Nak, termasuk proyekmu."

"Papa janji?"

"Kau sudah lama bekerja, masa kau tidak tahu bahwa negosiasi bisa saja gagal?" Pak Edward tertawa lirih. "Papa akan mengusahakannya."

Shelina mengangguk, mencoba untuk tidak terus-terusan marah pada ayahnya. Amarah tidak ada gunanya juga di kantor. Hanya menunjukkan sifat pecicilan dalam dirinya yang tidak mau dia tunjukan.

Ayahnya tak lama di kantornya. Shelina kembali berkutat dengan pekerjaannya. Meninjau kembali pekerjaan karyawan-karyawannya. Rapat dengan beberapa kliennya. Waktu seakan terus berjalan tanpa disadarinya sampai Roland mengingatkan sudah pukul sembilan malam.

Dia dan Abizhar sudah bersepakat untuk mengurangi frekuensi pertemuan mereka, terlebih saat banyaknya proyek yang ditangani perusahaan-perusahaan mereka, oleh karenanya jadwal makan siang bersama tidak dilakukan dulu. Shelina cukup bersyukur, sebab melihat suaminya tak urung membuat dia tidak tenang.

Ya, tidak tenang.

Sampai kapan aku terus mengingat Yuni tapi aku tidak tahu apa yang terjadi padanya sebelum dia meninggal, pikir Shelina setiap dia tak sengaja melamun. Aku kesal sekali padamu, Yuni. Semoga kau tidak tenang di alam baka!

Sambil berjalan ke mobilnya yang sudah menunggu di depan lobi, Roland memberitahunya bahwa Rafi menolak diadakan pertemuan dengannya. Shelina mengerti, mungkin dia sudah tobat, atau takut pada Gadis. Persetanlah. Shelina akan menggunakan caranya sendiri untuk menanyakan perihal hubungan gelapnya dengan suami Gadis itu.

Saat di jalan, Shelina memberi segepok uang pada sopir. "Jangan katakan pada Bapak kita akan ke mana," katanya mengancam. "Matikan juga ponselmu. Agar tak ada yang bisa melacak kita."

Sopir itu menerima uang darinya. "Ke mana kita, Bu?"

"Ikuti mobil Roland," sahut Shelina. Dia memang sudah tidak percaya lagi pada Roland, tapi dia tidak bisa memecatnya begitu saja. Dia ingin tahu apa yang dilakukan Roland di belakangnya terlebih dahulu.

"Pak Roland asisten Ibu?"

"Siapa lagi," desis Shelina kesal. "Cepat, sebelum kita kehilangan jejaknya."

**

Ketika Abizhar mendapat telepon dari seseorang dia masih mengemudi pulang. Dia mendapat telepon dari penjaga makam tempat Yuni dikebumikan. Kata penjaga makam itu, ada yang membongkar makam Yuni, dan jasad Yuni sudah tidak ada di sana. "Kata orang yang lihat, kejadiannya tak lama setelah almarhumah dikubur. Orangnya baru ngaku sekarang nih, Pak."

"Orangnya? Orang siapa?"

Abizhar memberi kontaknya kepada penjaga makam itu, agar memudahkan Abizhar untuk menyuruhnya membersihkan makam Yuni dan memberikan bunga. Ya, Abizhar memang seromantis itu pada mendiang pacarnya.

"Orang yang lihat dong, Pak. Masa yang bongkar?!" sahut penjaga makam itu. "Katanya dia baru sempat ngasi tahu."

"Kenapa baru kasih tahu sekarang?!" bentak Abizhar marah sekaligus bingung. Bagaimana... Apa... Ada orang yang mengambil jasad Yuni? Bagaimana? Ah, Abizhar bingung mencernanya.

"Awalnya orangnya tidak yakin, Pak. Tapi karena saya penasaran, saya dan dua teman saya coba gali, dan ternyata jasad kekasih Bapak tidak ada. Jangan-jangan, Pak.."

"Jangan-jangan apa?"

"Ini ada kaitannya ilmu hitam!"

Bah! Ilmu hitam apa?! Orang gila macam apa yang mengambil mayat orang? Gila, gila! Abizhar mematikan sambungan dan segera ke makam. Dia tidak peduli bahwa hari sudah malam. Dia tidak percaya pada hantu!

Lain dengan orang-orang di sekitar makam. Mereka menganggap itu hal yang mengerikan. Abizhar memandang ke dalam tanah. Benar-benar kosong! Padahal dia melihat sendiri bagaimana Yuni dibawa ke sana!

Siapa yang berani melakukan ini padamu, Yuni, pikir Abizhar sedih.

 

**

 

Mobil Shelina berhenti agak jauh dari tempat Roland. Shelina tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Roland masuk ke Panti Asuhan Jalin Kasih. Panti Asuhan Jalin Kasih! Rupanya Leo benar. Roland memang ke sana. Untuk apa?

Dahi Shelina mengernyit. Dari mobilnya dia bisa melihat Roland disambut oleh anak-anak panti. Dia tampaknya sudah biasa di lingkungan panti, pikir Shelina bingung. Salah satu pengurus panti yang pernah ditemui Shelina pun ikut menyapa Roland.

Apa hubungan Roland dengan panti itu?

Shelina ingin turun, mencari tahu apa yang Roland sembunyikan, namun dia menggeleng dan menepiskan ide itu. Aku alergi dengan panti itu. Bukan, bukan aku tidak punya rasa kemanusiaan sehingga aku tidak suka dengan anak yatim-piatu. Aku lebih kesal sebab karena panti asuhan inilah Abizhar jadi membenciku. Abizhar dan keluarganya mendewa-dewakan panti asuhan ini sehingga membuat orang lain yang tidak suka panti asuhan ini seakan orang yang buruk.

Akulah orang itu.

Shelina meminta sopir untuk mengantar pulang. Apakah Roland adalah musuhku juga, pikirnya. Apakah dia bersekutu dengan Abizhar untuk menjatuhkan aku? Rasanya... Ah, aku tidak tahu apa yang kurasa. Aku tidak yakin dengan kebaikan orang lain padaku.

Semalaman dia dilanda penasaran. Shelina bahkan kesulitan tidur. Dia pikir hanya dia yang terjaga semalaman. Ketika dia melihat suaminya yang melamun di sampingnya, Shelina merasakan ada hal yang merisaukan suaminya juga.

Ah, urusanku saja sudah bikin kepalaku runyam, pikir Shelina. Perlukah aku bertanya padanya apa yang berkecamuk di kepalanya sekarang? Kok aku jadi begini? Biasanya kan aku langsung tembak saja jika ingin bertanya sesuatu padanya.

Shelina memilih untuk pura-pura tidur saja, daripada dia nanti yang ditanyai suaminya. Dia sudah capek untuk berdusta atau bertengkar. Belum selesai soal Yuni, ada lagi soal Roland. Hh. Di mana sih Shelina bisa menemukan orang yang bisa dia percaya?

Ranjang itu bergerak. Shelina membuka matanya sedikit, melihat Abizhar keluar dari kamar sambil membawa ponselnya. Shelina pelan-pelan turun dari tempat tidur, mengintip dari balik pintu yang agak terbuka, dan melihat Abizhar sedang menelepon seseorang.

Suaranya walaupun bisik-bisik masih bisa didengar oleh Shelina.

"Pokoknya saya tidak mau tahu. Jasad Yuni harus segera ditemukan!" katanya entah pada siapa. "Saya beri waktu satu minggu untuk kau cari tahu siapa yang mengambil jasadnya. Dan keberadaan jasadnya tentu saja!"

Apa? Jasad Yuni hilang, pikir Shelina buru-buru ke tempat tidur. Dia kembali memejamkan matanya. Hal semacam itu masih terjadi di era modern seperti ini? Apa tujuan orang mencuri jasad selain untuk.. apa namanya? Pesugihan? Ah, aku tidak mengertilah urusan musrik semacam itu.

Sebentar.

Jika jasad Yuni hilang, pastilah ada yang mengambilnya. Siapa? Tidak mungkin Abizhar. Jangan-jangan...

Masa Roland?

Adakah hubungannya jasad Yuni yang hilang dan kunjungan Roland ke Panti Asuhan Jalin Kasih? Apa mungkin, Yuni masih hidup dan dia tinggal di sana? Hah! Halusinasi aku ini! Semua orang tahu dia sudah mati. Ya, dia mati. Aku tidak mau bersaing lagi dengan dia. Cuih! Nggak sudi!

Shelina tidak bisa tenang begitu saja. Dia masih merasa janggal dengan kecelakaan yang dialaminya, Roland yang ternyata ke Panti Asuhan Jalin Kasih, dan mayat Yuni yang hilang... Apa yang sebenarnya terjadi? Adakah mastermind di belakang ini semua? Adakah orang lain yang memang diciptakan Tuhan untuk memberi cobaan pada Shelina selain manusia-manusia yang sudah ada di kehidupannya sekarang?

Sikap Abizhar yang gelisah tidak disembunyikan pria itu. Shelina dapat merasakan gerakan-gerakan suaminya semalaman. Dia membuka matanya, terpaksa bertanya kepada Abizhar. "Kau ada masalah? Kalau kau begini terus, aku juga jadi susah tidur, tahu!" Dibiarkannya untuk mengucap ketus begitu, padahal Shelina juga sama bingungnya dengan apa yang dihadapinya sekarang.

"Sori, apa kau ingin aku tidur di luar?" tanya Abizhar tidak merasa bersalah. Pertanyaannya pun terdengar basa-basi.

"Ada apa kau ini? Jika dirasa ada yang tidak bisa diselesaikan, katakan padaku. Siapa tahu aku bisa membantu," sahut Shelina ikut berbasa-basi juga. Ha! Menurutmu aku sudi melakukan sesuatu yang berkaitan dengan gundikmu itu, gerutu Shelina.

Sekejap Abizhar menatap istrinya, namun akhirnya menggeleng. Masih punya malu rupanya, pikir Shelina. Baguslah! Aku tidak usah repot-repot dengan urusan mayat pacarmu yang hilang itu!

"Sebenarnya...," tiba-tiba Abizhar menjawab setelah keheningan beberapa saat. "Aku tidak bisa tenang, sebab... Ah, sudahlah. Maukah kau membantuku?"

"Soal apa?"

"Ini tentang Yuni. Kau pasti tidak mau, dan aku mengerti," kata Abizhar tak enak hati. "Sudah, kau tidur saja. Mendengar nama itu pasti membuatmu marah, bukan? Aku tidak mau membuatmu marah."

"Kenapa Yuni memangnya?" tanya Shelina mendesak. "Ada sesuatu yang terjadi hingga kau tidak bisa tidur begini?"

"Jasadnya tidak ada di makamnya, Shelina. Apa kau..." Abizhar menggeleng-geleng, tapi ditanyakan pula hal yang ingin diketahuinya. "Apa kau tahu sesuatu soal itu?"

Mata Shelina membesar. Dia sangat tersinggung dengan kecurigaan itu. "Kau pikir aku mengambil jasadnya, begitu? Buat apa!" bentaknya marah. "Melihat mukanya yang masih hidup saja aku jijik, apalagi sudah jadi mayat! Nggak sudi lah ya aku!"

"Ya aku kan hanya bertanya. Kau tidak usah bicara seperti itu tentangnya," sahut Abizhar mengingatkan. "Aku lagi minta orang untuk mencari tahu soal ini. Aku tidak serta-merta percaya soal ilmu hitam atau hal-hal di luar nalar semacam itu, jadi aku yakin, ada alasan lain mengapa Yuni tidak ada di tempat peristirahatannya."

Shelina memperhatikan Abizhar yang terus-terusan terlihat bingung. Dia tahu Abizhar tidak berpura-pura. "Kau pasti sangat mencintainya sampai mengkhawatirkannya seperti ini," kata Shelina lirih. Rasa sakit di hatinya tak urung mampir ke sana, menimbulkan perasaan sedih.

Bagaimana rasanya dicintai itu, pikir Shelina murung. Aku tidak pernah bertemu orang yang mengaku sayang padaku. Jangankan sayang, lawan jenis yang secara terang mengagumiku dan ingin berkomitmen denganku saja tidak ada. Aku terlalu sibuk sekolah dan bekerja sampai aku tidak punya waktu untuk memiliki hubungan romantis seperti yang dimiliki Abizhar dan perempuan sialan itu.

Shelina perlahan menjauh, membalikkan tubuhnya dan mencoba tidur, tetapi pikirannya terus berkecamuk soal Abizhar dan Yuni. Apa ada orang di dunia ini yang dikutuk sepertiku, pikir Shelina lagi. Ya, dikutuk. Di antara banyak pria, aku malah suka pada Abizhar. Laki-laki yang dipilihkan Papa untukku. Laki-laki yang ternyata sangat mencintai perempuan lain dan dia tidak malu dengan perasaan cintanya yang terlarang itu. Boro-boro malu! Bahkan Abizhar tak pernah berhenti mengoceh tentang Yuni sampai hari ini.

Kadang kupikir, anak akan menjadi sumber kebahagiaanku dan Abizhar, keluhnya. Aku pikir dia akan berubah setelah tahu aku hamil, tapi dengan anakku yang meninggal, aku jadi merasa, sekali pun anak itu hidup, dia tidak akan mengubah perasaan Abizhar kepadaku. Abizhar tidak terlihat iba juga padaku, yang bagaimana pun aku seorang perempuan yang pernah mengandung anaknya, yang bagaimana pun juga aku kehilangan anak yang aku kandung. Dia tidak pernah menanyakan perasaanku soal kehilangan anakku.

Atau dia sendiri juga sedih? Ah, aku tidak percaya dia merasakan kehilangan sebagaimana yang aku rasakan. Isi otaknya hanya Yuni saja. Cinta memang aneh. Cinta Abizhar kepada Yuni bisa membuatnya senang, sedih, dan marah. Dan Shelina sudah melihat semua itu selama menjadi istri Abizhar.

Shelina kira, Abizhar tidak memperhatikan perubahan sikapnya yang menghindari suaminya. Tahu-tahu Shelina merasa dipeluk dari belakang. Dia merasa hangat.

Hangat?

Dipeluk suaminya mengakibatkan rasa hangat? Biasanya Shelina tahu maksud suaminya melakukan itu. Apa lagi jika bukan seks? Tapi malam itu, Shelina merasa Abizhar melakukannya bukan dilandasi napsu.

"Aku selalu jujur padamu, Shelina," bisik Abizhar dengan bibir pria itu di lehernya. "Terkait asal-usulku. Perasaanku. Semuanya. Tapi jika kau berpikir aku masih mencintainya, sejujurnya ketika dia dikubur, di saat itulah aku menyadari aku tidak bisa mengkhianatimu lagi."

"Ma... maksudmu?" tanya Shelina bingung.

"Ketika Yuni tidak ada di dunia ini, aku insyaf, hubunganku dengannya sudah selesai. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan dengan perasaanku padanya, atau sebaliknya. Aku hanya perlu bersyukur dengan apa yang kupunya, termasuk dirimu yang sekarang ada di hidupku," jelas Abizhar. "Sekarang aku khawatir dengan jasadnya yang hilang. Kau tahu kenapa? Sesuai dengan yang kau tahu, Yuni tidak punya keluarga, dan orang luar yang dikenalnya hanya aku. Aku merasa bertanggung jawab untuk membuatnya tenang, sebab hanya aku yang dia tahu di dunia ini."

Ah naif sekali, pikir Shelina. Yuni kan tidak jelek. Aku tidak yakin dia hanya mengenal Abizhar selain orang-orang di Panti Asuhan. Dia saja bisa memuaskanmu, tidak menutup kemungkinan dia melakukannya dengan orang lain, kan? Aku tidak peduli jika caraku berpikir sinis tentangnya adalah hal yang salah. Dia memang tidak pantas mendapat pujian dari orang sepertiku!

"Lalu kau mau apa?" tanya Shelina datar, untuk menyembunyikan kekecewaannya. "Kau sudah meminta orang untuk menyelesaikan perkara ini, jadi kau tidak usah overthinking lagi."

"Kau benar, aku tidak seharusnya begini," sahut Abizhar parau.

"Menurutmu, kenapa bisa ada orang yang mengambil jasad orang seperti itu?" kata Shelina mencoba mengangkat topik lain. Dia juga sebenarnya penasaran. Aneh sekali ada orang yang mencuri mayat begitu. "Apa menurutmu, ada orang yang tidak mau Yuni dikubur di sana?"

"Aku rasa tidak. Lagipula siapa yang mau melakukannya?" jawab Abizhar.

"Entahlah."

Keesokan paginya Abizhar tidak berangkat ke kantor. Dia masih memakai piyama saat keduanya sarapan di ruang makan. Saat Shelina menegurnya, dia menjawab dia tidak enak badan. Shelina berdecak kesal, dia tidak menyangka suaminya yang terkenal profesional itu bisa bolos kerja hanya karena memikirkan di mana jasad kekasihnya.

Diperlakukan sinis begitu berhasil membuat Abizhar tersinggung. "Baiklah aku akan ngantor hari ini," katanya akhirnya. Dikecupnya Shelina sebelum dia berdiri untuk mandi.

Meninggalkan Shelina yang tersenyum merasakan kehangatan di hatinya.

 

**

 

"Bagaimana bisa kau berakhir seperti ini, Sayang?" Seorang perempuan dibalut selendang yang menutupi wajahnya menangis sesungukan di dekat Yuni. Digenggamnya tangan Yuni yang tak kunjung bergerak. "Bagaimana bisa istri Abizhar sejahat ini padamu? Mama janji, ketika kau sadar, kita akan membalas perbuatan Shelina padamu! Kau dengar Mama, kan? Ya, kita akan buat Shelina menyesal telah membuatmu ca.." Air mata perempuan itu mengalir deras. "Cacat seperti ini, Sayang."
 

Perempuan itu teringat pada kejadian di masa lalu, di mana dia menaruh Yuni yang masih bayi di teras Panti Asuhan Jalin Kasih. Ditaruhnya secarik kertas berisikan nama dan tempat, tanggal lahir Yuni di sana. Sebelum meninggalkan Yuni yang masih berusia satu minggu, perempuan itu berbisik padanya bahwa arti namanya adalah kebaikan. Perempuan itu berharap, Yuni akan menjalankan hidupnya dengan penuh kebaikan meski ibu yang melahirkannya tidak bisa membesarkannya. Dengan perasaan bersalah, perempuan itu pergi, membiarkan Yuni menangis terus di depan teras, sampai Ibu di Panti menggendongnya.

Kembali ke masa kini. Perempuan itu tidak menduga, bahwa kejadiaan naas akan dialami Yuni. Selama ini dia memerhatikan Yuni dari jauh, tidak punya keberanian untuk mengenalkan dirinya sebagai ibu kandung Yuni. Bahkan sampai Yuni koma, lidah perempuan itu terasa kelu untuk mengaku. Itu semua dilakukannya untuk menjaga nama baik keluarganya yang sempurna.

"Anda siapa?"

Perempuan itu menoleh terkejut. Tangan Yuni yang ada di dalam genggamannya terjatuh.

"Sedang apa... Anda.." Roland tidak percaya dengan penglihatannya. Perempuan ini kan... "Sedang apa Anda di sini? Bagaimana bisa Anda mengenal Yuni?!"

"Roland, saya mohon, jangan beritahu siapa pun soal saya!" Perempuan itu memintanya dengan nada penuh permohonan. "Katakan apa yang kau mau, tapi jangan kasih tahu siapa-siapa saya pernah ke sini..."

"Apakah ada pengurus panti yang tahu Anda kemari?"

Perempuan itu menggeleng. "Tidak, oleh sebab itu kau harus tutup mulut, Roland! Katakan. Berapa yang kau mau, akan saya siapkan uangnya."

"Sebelumnya saya ingin tahu. Apa hubungan Anda dengan Yuni?"

"Bagaimana denganmu, Roland? Mengapa kau bisa kenal Yuni? Kau kan, yang membawanya ke sini?!"

"Saya mencintai Yuni," kata Roland lirih. "Kami sudah bersepakat untuk meninggalkan kehidupan kami di sini, tapi justru Yuni mengalami kecelakaan..."

"Yuni mencintaimu? Kau bercanda. Dia hanya mencintai.."

"Dia sudah mau meninggalkan Abizhar," sahut Roland menahan marah. "Ini bukan urusan saya. Bagaimana dengan Anda? Apa jangan-jangan Anda punya hubungan dengan Yuni?"

Perempuan itu mendelik ditanya begitu, menunjukkan bahwa pertanyaan itu menyinggung sekali dirinya. Ia teringat pada apa yang dikatakan suaminya saat dia melahirkan anak itu.

"Aku tidak sudi membesarkan anak Edward. Menurut kau, aku ini pria tolol yang mau saja bekerja keras untuk menghabiskan uang untuk anak harammu dengan Edward?"

Suaminya sangat membenci-bahkan mengutuk perselingkuhannya dengan Edward. Bagi suaminya, Edward hanya rekan bisnis yang menambah pundi-pundi uang suaminya, tok! Suaminya memintanya untuk membuang anak itu ke mana saja asal tidak ke rumah mereka.

Perempuan itu tidak menjawab Roland. "Beri tahu saja berapa harga yang kau inginkan," katanya sebelum meninggalkan ruang khusus merawat Yuni. "Asal kau tidak membocorkan tentang ini."

**

Leo datang ke lounge kantor Shelina dengan beberapa informasi yang dikoreknya setelah meretas ponsel Roland dengan kekuatan kemampuan teknologinya. Diserahkannya pada Shelina beberapa foto Roland dengan perempuan.

"Dia yang intens bertemu Roland, selain Anda tentunya," kata Leo menjelaskan.

Shelina mengambil foto-foto itu, dan matanya membelo tak percaya. Yuni, desis Shelina heran. Roland kenal Yuni? Dan foto-foto ini... Tampaknya mereka akrab, dengan Roland yang merangkul Yuni. Apakah mereka ada main diam-diam?

Itu artinya, Yuni mengkhianati Abizhar?

Bukan main.

Tak bisa kubayangkan betapa kecewanya Abizhar jika tahu kekasih yang didambakannya itu punya skandal dengan asistenku. Ah, skandalkah namanya ini, pikir Shelina. Sepertinya mereka saling jatuh cinta. Atau Roland yang hanya berharap pada perempuan itu? Sebab selama ini Abizhar menceritakan Yuni yang ini dan itu, yang intinya Yuni rela melakukan apa saja untuk Abizhar.

Kasihan sekali kau, Roland andai begitu nasibmu. Sekaligus brengsek kau, Roland. Berani-beraninya menyukai musuh bebuyutanku! Padahal kau sudah kuanggap sahabat!

"Lalu kau sudah tahu apa tujuannya dia ke Panti Asuhan?" tanya Shelina selanjutnya.

"Ini ada foto-foto screenshot bukti transfer ke Panti itu," sahut Leo menyodorkan sebuah map. "Saya hanya hacker, bukan polisi."

Shelina memberikan sebuah cek pada Leo. "Ini ada uang. Jangan segera kau habiskan. Gunakan untuk kuliah."

"Kuliah?" Dahi Leo mengernyit.

"Ya, kuliah. Untuk apa kau punya kemampuan seperti ini jika tidak punya gelar? Kau tahu kan, bahkan banyak sarjana yang masih menganggur. Kau bisa lebih bermanfaat dengan gelar yang akan kau punya," jawab Shelina memberi saran.

"Saya tidak tahu Anda tipe orang yang peduli pada orang lain." Leo menerima cek itu. "Trims, Bu Shelina. Kalau ada lagi yang bisa saya bantu, saya akan senang hati melakukannya."

"Satu lagi. Saya ingin kau terus memantau Roland, dan orang-orang yang berkaitan dengannya, tidak terkecuali pengurus Panti. Kau bisa?"

Leo berpikir sejenak, lalu mengangkat bahu. "Oke, saya usahakan. Tapi..."

"Akan saya tambahkan uang jajanmu," sahut Shelina, berdiri berlalu dari hadapan Leo.

 

**

 

"Kenapa Yuni memangnya? Ada sesuatu yang terjadi hingga kau tidak bisa tidur begini?"

Kemarahan Shelina setiap Abizhar mengangkat topik soal Yuni tak bisa lepas dari pikiran Abizhar. Dia mau tak mau merasa menyesal telah membuat istrinya kesal melulu.

Keringat tak berhenti membasahi kedua tangan Abizhar. Dia merasa gugup hari itu. Hatinya juga tak tenang. Dia masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada jasad Yuni. Perasaan bersalah terus-terusan menghantuinya.

Kecurigaan pada istrinya pun datang. Bukan tidak mungkin Shelina yang begitu membenci Yuni bisa melakukan hal-hal di luar nalar. Tapi untuk apa? Apa tujuan seseorang mengambil mayat? Argh! Dan tampaknya, Shelina juga tidak tahu-menahu soal itu.

Ah, apa yang kuketahui soal Shelina, pikir Abizhar. Aku tidak tahu apakah dia berbohong atau tidak.

Abizhar kembali berkonsentrasi untuk bekerja. Untung saja hari itu jadwalnya cukup padat sehingga dia tidak terlalu pusing soal jasad Yuni yang hilang. Dia bekerja seperti orang gila hari itu, bahkan sampai jam sebelas malam pun dia masih di ruang kerjanya.

Tubuhnya merasa lelah. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi, memejamkan matanya. Biasanya dia mengalihkan pikirannya dengan membayangkan Yuni, namun kali itu, justru Shelina yang mampir ke benaknya. Kesenduan Shelina. Senyum Shelina. Kemarahan perempuan itu.

Apakah aku mulai merindukannya, pikir Abizhar membuka matanya. Apakah aku mulai naksir padanya? Perempuan yang galak itu? Ya.. bisa saja. Apa yang tidak mungkin di dunia ini?

Ponselnya bergetar. Ibunya memberitahunya bahwa Abizhar akan mendapatkan tanah yang selama ini mereka incar. "Kau tak usah khawatir, Abi," sambung Mama Lila. "Mama sudah meyakinkan salah satu investor terbesar proyek itu untuk berhenti menyukong. Shelina bisa bermimpi mendapat keuntungan dari tanah itu."

Tak urung Abizhar teringat soal Shelina yang memberitahunya soal proyek ini. Salah satu investor untuk pembangunan apartemen di atas tanah yang kau incar, mau mundur. Mama Lila-kah yang ada di belakang ini? Apa alasan Mama melakukannya? Apakah hanya untuk Abizhar?

Tapi kan aku tidak segila itu, pikir Abizhar. Aku tidak mau tanah itu saja, tok. Apalagi tanah itu menjadi lokasi untuk proyek apartemen yang kemungkinan memberi untung padaku. Untuk apa Mama menghancurkan proyek yang sedang berjalan itu?!

"Ini tidak masuk akal," gumam Abizhar. "Mama tahu kan betapa tingginya nilai apartemen itu setelah jadi? Kenapa Mama justru ikut campur soal proyek ini?"

"Lho, kok tanggapanmu jadi begini, Nak," sahut ibunya terdengar heran. "Mama lakukan ini untukmu, juga mengingatkanmu bahwa pernikahanmu tidak lebih dari bisnis. Kau menikahi Shelina untuk memperoleh tanah itu, bukan? Kalau ada apartemen di atasnya, bagaimana kau memperoleh tanah itu? Kau berniat untuk membeli apartemen itu?"

"Kenapa tidak? Daripada terus-terusan menjual diri untuk tanah, kenapa tidak aku beli saja sekalian? Aku tidak keberatan untuk mencoba di bisnis properti," jawab Abizhar gusar. "Aku ingin Mama berhenti melakukan apapun yang Mama lakukan sekarang. Tidak tahukah Mama Shelina jadi tidak tenang karena proyek ini?"

"Abizhar, sejak kapan kau peduli pada perempuan itu?" sahut Mama Lila sama kesalnya. "Kau harus ingat, Abizhar. Perempuan itu yang membelimu. Perempuan itu juga yang membuat Yuni celaka. Kau lupa semua itu, Abizhar?!"

"Apapun yang Abizhar rasakan terhadap Shelina, bukan urusan Mama lagi."

Abizhar mematikan sambungan. Dia tidak menyangka ibunya bisa berbuat sepicik itu. Mama? Mama yang dari luar terlihat seperti ibu rumah tangga yang lembut dan dermawan, bisa menjegal proyek orang lain? Dan bukan orang lain. Orang ini adalah Shelina, istri Abizhar!

**

Roland datang ke ruangannya, memberitahu bahwa investor yang mau membatalkan untuk pemberian dana pada proyek di tanah Kebon Kacang, hanya setuju untuk bertemu dengan Pak Edward. Shelina menghela napas panjang, menyadari itulah yang memang seharusnya. Mau bagaimana pun ayahnya lebih berpengalaman dan lebih punya nama daripadanya.

"Roland, aku butuh bantuanmu."

"Apa itu?"

"Perempuan yang jadi simpanan suamiku itu. Yang sudah mati itu," kata Shelina menunjukkan kejijikannya pada Yuni. "Mayatnya hilang. Bukan aku peduli padanya, tapi kuperhatikan Abizhar resah karena hal itu. Bisa kau bantu carikan di mana jasad Yuni?"

Wajah Roland berubah pucat. Matanya pun menatap Shelina tidak percaya. "Ba... bagaimana?"

Melihat reaksi Roland seperti itu membuat Shelina menyipitkan matanya. Kau pikir kau bisa mengilah dariku, Roland, pikir Shelina. Dia melanjutkan, "Abizhar memberitahuku, bahwa ada yang mengambil mayat perempuan itu. Tugasmu adalah mencari tahu siapa yang melakukannya, dan keberadaan jasad Yuni tentu saja."

"Ya.., tapi dari mana saya memulainya? Saya tidak kenal dengan almarhumah," kilah Roland terlihat bodoh.

Tidak kenal dari mana, keluh Shelina jemu. Kalau kau tidak kenal mengapa kau punya foto intim dengannya? Dasar laki-laki. Tidak ada yang bisa dipercaya. Kebanyakan dari mereka hanya mengeluarkan dusta padaku!

Shelina mengangkat bahu. "Biasanya Roland hanya memberikan pekerjaan yang sesuai saya mau. Ke mana Roland yang itu?"

"Maaf, Bu," jawab Roland menunduk.

"Sekarang, siapkan ruang rapat. Saya mau diskusi dengan Tim Marketing setelah ini."

Roland mengangguk, segera keluar dari ruang kerja Shelina dan melakukan apa yang diperintahkan Shelina. Shelina menarik napas panjang. Jika Roland bisa mengkhianatiku, pikir Shelina. Itu artinya aku betul-betul sendirian.

Tidak ada orang lain yang bisa kuandalkan untuk melindungiku selain diriku sendiri.

 

 

 


 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Suamiku Mencintai Wanita Lain - Part IV
9
6
Apa kau lupa? Kau kan yang memintaku untuk... Rafi tiba-tiba diam, menyadari bahwa Shelina sepertinya betul-betul tidak ingat dengan apa yang mereka rencanakan dulu. Shelina. Apakah kau tidak ingat dendam kita pada Pak Surya ayah Gadis? Rafi berdecak-decak. Aku kecewa, Shelina. Kupikir itu hal yang penting bagimu.Hal penting apa bagi istri saya?Mereka berdua menoleh ke asal suara. Shelina terhenyak melihat Abizhar berdiri tepat di sampingnya. Dia tidak tahu bahwa hotel tempat pertemuan Abizhar adalah hotel yang sama dengan keberadaan Rafi!Sial!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan