Hantu Bau Kencur (Cerpen)

9
0
Deskripsi

Namaku Dinda. Lengkapnya Adinda Wulandari. Sekarang ini aku hendak masuk ke dalam rumah hantu yang ada di sebuah taman bermain.

Ini adalah rumah hantu terpanjang dan terluas di dunia. Di dalamnya ada banyak labirin yang di lukis dengan gambar-gambar hantu.

Selain itu, ini juga adalah rumah hantu terseram, karena hantu di sini mau menarik-narik tangan pengunjung.

Aku tahu semua fakta itu dari website taman bermain ini sendiri. Dan ini adalah kali pertamanya aku datang ke sini.

Taman ini masih tergolong...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Terdampar (Cerpen)
4
0
Silvia Adinda terbangun dalam keadaan badan yang terasa sakit semua. Begitu membuka mata, pandangan mata Silvi langsung bertatapan dengan dua sahabatnya. Dua orang itu adalah Hilda Veronica dan Bramasta Nugraha.Silvi mencoba bangun dengan susah payah. Ia meneliti keadaan sekitar. Ia terbaring di atas tanah yang dilapisi oleh daun.Hilda mengelus dadanya lega saat melihat Silvi sudah sadarkan diri. Syukurlah kamu udah sadar. Kamu udah nggak sadar satu hari, ujar Hilda sambil mengelap air matanya menggunakan punggung tangan. Ia menangis haru karena sahabatnya sudah sadarkan diri.Bram si dingin tak banyak bicara. Ia hanya duduk di atas batu sambil menatap datar ke arah dua sahabatnya itu.Cahaya bulan yang sangat terang memberikan penyinaran yang cukup baik. Sehingga mereka bertiga dapat melihat keadaan sekeliling dengan cukup jelas.Ponsel mereka tidak bisa menyala karena mati terkena air. Maklumlah, ponsel mereka bukan ponsel yang tahan air. Jika tercelup air, maka tamatlah sudah riwayat ponsel tersebut.Kita ini di mana? tanya Silvi dengan suara lemah. Ia duduk sambil memeluk lututnya. Matanya melihat ke sekeliling. Hanya ada pohon dan pohon. Kita di mana? tanyanya lagi.Kita terdampar di pulau tak berpenghuni, ujar Hilda sambil memeluk Silvi dengan erat.Seketika itu juga memori Silvi langsung bekerja dengan baik. Ia ingat. Kemarin, mereka bertiga memutuskan untuk jalan-jalan ke Pulau Hanama.Namun saat di tengah perjalanan, kapal motor yang mereka tumpangi dihantam badai besar. Kapal tersebut lantas bocor dan tenggelam.Kemana penumpang yang lain? Kok cuma kita aja yang ada di sini. Bukannya kemarin itu penumpang kapal ada dua puluh orang? tanya Silvi saat ia sudah ingat semuanya. Ya di kapal itu ada dua puluh orang. Termasuk semua crew dan penumpang.Nggak tau. Kemarin itu badai besar banget. Tau-tau aja kita bertiga terdampar di sini, ujar Hilda sambil duduk di tanah dan memeluk lututnya.Silvi juga ingat, kemarin ia dan Hilada menggunakan baju pelampung. Sedangkan Bram tidak, karena sahabat laki-lakinya itu tidak kebagian baju tersebut.Kamu pingsan juga, nggak? tanya Silvi sambil menatap Hilda lurus.Hilda menggeleng. Enggak. Cuma kamu yang pingsan.Jadi kalian berdua yang nyelametin aku dari tengah laut? Silvi menatap Bram dan Hilda  bergantian.Yang ditatap mengangguk kompak.Makasih. Kalau nggak ada kalian, mungkin aku udah jadi santapan ikan besar. Silvi menangis. Dengan cepat, Hilda langsung memeluk sahabatnya itu.Kamu pasti laper. Udah satu hari nggak makan, ujar Hilda dan di-angguki oleh Silvi.Dengan cekatan, Hilda memberikan tiga potong ikan mentah yang dialasi daun. Makan, gih! Nggak usah jijik. Ini masih fresh, kok. Belum lama tadi ditangkepnya, ujar Hilda.Silvi mengambil pemberian sahabatnya itu dengan takut-takut. Bukan apa-apa, ia tak pernah makan ikan mentah sebelumnya. Beda dengan Hilda dan Bram, kedua sahabatnya itu sering makan di restoran Jepang dan Korea. Mereka tentu sangat familiar dengan ikan mentah.Makan aja kalau masih mau bertahan hidup, ujar Bram dengan suara datarnya.Silvi menghela nafasnya panjang. Dengan takut-takut ia memakan ikan mentah tersebut. Karena tidak familiar dengan ikan mentah, ia lantas muntah.Huek!Isi perut Silvi keluar semua. Dengan sigap, Bram dan Hilda memijit punggung Silvi.Maaf, aku ngerepotin kalian, gumam Silvi sambil memegang sisa ikan.Sstt... Nggak usah ngomong apapun. Mending sekarang kamu coba makan lagi. Mungkin setelah percobaan kesekian, kamu sudah bisa menerima ikan mentah. Kan ada pepatah 'alah bisa karena biasa'. Jadi, ayo coba lagi! Hilda memberikan semangat kepada sahabatnya itu.Minum dulu! Bram memberikan air menggunakan kulit pohon yang agak lebar dan cekung.Ini air laut atau air tawar? tanya Silvi sambil menerima pemberian dari Bram.Air tawar. Tuh liat! Ada sumur kecil di sebelah kita! Hilda menunjuk sebuah sumur yang hanya sedalam satu meter dan juga tidak lebar. Sumur itu terletak beberapa langkah dibelakang mereka.Silvi lalu meminum air pemberian dari Bram tadi. Airnya segar sekali. Rasa eneg akibat ikan mentah tadi langsung hilang begitu saja.Setelah rasa eneg-nya hilang, Silvi lalu mencoba ikan mentah itu lagi. Ia tak punya pilihan lain. Daripada mati kelaparan di sini, lebih baik ia makan apa adanya saja.Pada percobaan kedua hingga keenam, Silvi masih muntah. Hingga pada percobaan ketujuh, akhirnya ia bisa menelan ikan tersebut. Ia lalu menghabiskan semua ikan pemberian Hilda itu. Tadi saat ia mencicip, ia hanya menggigit kecil saja. Sehingga tidak banyak ikan yang dimuntahkan.Sekarang jam berapa, ya? Pagi masih lama nggak, sih? Aku pingin cepet-cepet pergi dari sini! ujar Silvi sambil duduk memeluk lututnya karena dingin. Dingin menusuk hingga ke tulangnya. Untung saja ia menggunakan hodie dan celana jeans panjang.Silvi ingat, saat kemarin ia menggunakan pelampung, hodie-nya itu ia lepas dan ia masukkan ke dalam tas. Pasti Hilda yang memakaikan untuk dirinya.Nggak tau sekarang jam berapa. Tapi kayaknya ini sekitar jam sembilanan, deh, sahut Hilda yang duduk di sebelah Bram.Kemarin, apa aja yang kalian lakukan? tanya Silvi sambil menatap dua sahabatnya yang duduk di batu besar.Nyari ikan, nyari sumur. Nyari pohon yang bisa dipake buat berteduh. Tapi untunglah nggak hujan, jawab Hilda dengan suara bergetar. Ia sangat kedinginan karena hanya menggunakan dress lengan pendek yang panjangnya hanya sampai lutut.Peluk Hilda, Bram! Dia kedinginan! ujar Silvi tegas.Bram lalu memeluk Hilda dari belakang. Kemarin malam, ini juga yang dilakukan Bram untuk menghangatkan Hilda.Tas kita ke mana, ya? tanya Silvi.Di sana! Bram menunjuk batu disebelahnya.Karena batu tersebut terhalang batu lainnya, jadi tadi pandangan Silvi menjadi terhalang.Silvi lalu mendekati batu tersebut dan memeriksa tasnya. Ia membawa sebuah tas punggung kecil. Isinya ada ponsel, power bank, serta dompet berisi uang dan kartu-kartu. Sedangkan Hilda membawa sebuah sling bag kecil. Dan Bram membawa tas pinggang.Sebenarnya masing-masing dari mereka membawa ransel berisi pakaian ganti, akan tetapi ransel tersebut sudah tenggelam di dasar laut.Tas itu tadi siang udah di jemur, jadi sekarang udah kering, beritahu Hilda dengan suara yang bergetar karena menahan dingin.Silvi menganggukkan kepalanya.Tadi malam kalian tidur di mana? tanya Silvi sambil melihat kedua sahabatnya itu.Kami berdua nggak tidur. Jagain kamu. Tidurnya pas udah pagi aja, jawab Hilda.Silvi terharu. Dua sahabatnya ini memang luar biasa sekali. Mereka sudah bersahabat sejak masih SMA. Dan sekarang mereka sudah menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri ternama.Silvi lalu mendekati dua sahabatnya itu. Ia memeluk keduanya dengan perasaan yang mengharu biru. Makasih. Kalian berdua udah jagain aku selama aku pingsan.Hilda dan Bram tidak menjawab apa-apa. Tapi keduanya membalas pelukan Silvi dengan haru juga.***Pagi sudah menyongsong. Keadaan sekeliling sudah terlihat dengan jelas sekali. Bram sedang mengambil akar kecil untuk dijadikan pancing. Nantinya pancing tersebut akan diikatkan sebuah batu kecil sebagai bandul.Sedangkan Hilda dan Silvi, kedua perempuan itu sedang mengais-ngais tanah untuk mencari cacing.Setelah umpan dan pancing darurat selesai, mereka bertiga lalu menuju ke bibir pantai untuk memancing.Pantai ini tidak memiliki pasir yang banyak seperti pantai pada umumnya. Hanya ada batu-batu besar saja di pantai ini.Kita boleh makan kerang ini, nggak? tanya Silvi sambil menatap kerang yang ada di dekat kakinya.Hilda menggeleng pelan. Nggak tau. Aku takut keracunan. Nggak pernah makan kerang mentah soalnya.Silvi menganggukkan kepalanya paham.Bram duduk di sebuah batu sambil fokus memancing. Ia tak bisa ke laut. Pasalnya, tidak ada sampan atau perahu di sini. Kalau mau berenang, ia tak memiliki pakaian ganti. Bisa masuk angin nanti kalau pakai pakaian basah.Tak jauh dari tempat Bram, Silvi dan Hilda sedang menatap lurus ke arah laut. Keduanya duduk di atas batu tanpa mengeluarkan suara apapun. Mereka menikmati suara deburan ombak yang menghantam batu.Setelah hampir satu jam lamanya, Bram berhasil mengumpulkan tujuh ikan berukuran kecil. Maklumlah, ikan di pantai jarang ada yang besar. Kalau mau yang besar, harus ke laut.Cuma dapet segini, ujar Bram sambil memberikan hasil tangkapannya pada Hilda.Dengan sigap, Hilda lalu membersihkan ikan menggunakan batu lancip yang kemarin tak sengaja ia temukan saat menemani Bram memancing. Batu itu juga selalu ada di dalam saku dress-nya. Mau ia jadikan jimat.Silvi membantu Hilda mencuci ikan. Mereka mencuci di pantai. Biar sekaligus sebagai garam alami.Setelah selesai semuanya, mereka bertiga kembali lagi menuju tempat stay mereka. Ketiganya duduk di atas batu sambil menikmati ikan. Tak lupa minum yang ditampung menggunakan kulit pohon.Sebenarnya ini bukanlah jenis ikan yang biasanya di makan mentah. Tapi berhubung ini adalah kondisi darurat, ketiganya mencoba terima apa yang ada saja.Gigiku rasanya nggak enak. Gosok gigi pake apa, ya? tanya Silvi saat mereka sudah selesai makan.Sini aku ajarin! Hilda menarik pelan tangan Silvi.Kedua perempuan itu lantas berhenti di sebuah pohon entah apa namanya. Hilda lalu mengambil tangkai pohon itu, lalu kemudian ia menggeprek tangkai kecil tersebut hingga terbentuk seperti sikat.Kemudian, Hilda menggunakan sikat gigi darurat itu. Melihat Hilda, Silvi lalu mengikuti aksi sahabatnya itu.Keduanya menggunakan air sumur untuk menggosok gigi. Setelah selesai menggosok gigi, mereka berdua lantas mencuci muka, tangan dan kaki.Kalau kalian mau tidur, tidur aja! ujar Bram yang sedang berbaring di atas batu besar.Nggak bisa, Bram. Kita harus mengelilingi pulau ini dan mencari pertolongan. Siapa tau ada kapal yang lewat. Kita nggak boleh tidur, ujar Silvi sambil duduk di depan Bram.Tapi kita semalem nggak tidur, Vi, protes Hilda.Tapi kita nggak mungkin di sini selamanya, Da! Kita harus cari bantuan.Terserah kamu, deh. Aku ngantuk. Mau tidur, ujar Hilda. Ia tidur di atas batu besar dengan menggunakan tasnya sebagai bantal. Karena memang dirinya sudah ngantuk sekali, Hilda langsung saja tertidur pulas.Tak lama setelah Hilda tertidur, Bram juga tertidur. Pasalnya ia dari kemarin tidak tidur sama sekali.Melihat dua sahabatnya tidur, Silvi lalu mengambil tasnya dan memutuskan untuk berkeliling pulau. Tak lupa baju pelampung ia masukkan kedalam tasnya. Baju pelampungnya hanya tinggal satu yang bagus, yang satu lagi sudah rusak terkoyak. Entah punyanya atau punya Hilda yang koyak itu.Silvi tak bermaksud kabur, nanti setelah ia menemui bantuan, ia akan kembali menemui sahabat-sahabatnya lagi.Dengan langkah pelan, Silvi menyusuri pulau tak berpenghuni itu. Kaki gadis sembilan belas tahun itu terus melangkah. Ia berjalan disepanjang pantai.Kayaknya pulau ini nggak luas, gumam Silvi sambil terus melangkah.***Bram membuka matanya begitu ia merasakan ada yang berjalan di kakinya. Ternyata yang berjalan di kakinya adalah seekor semut hitam kecil.Bram melihat keadaan sekeliling. Silvi mana, ya? gumamnya sambil melihat keadaan sekeliling. Hanya ada Hilda yang masih terlelap di atas sebuah batu besar.Laki-laki itu lalu berjalan dan memeriksa keadaan sekitar. Ketika ia melihat tas, tak ada tas Silvi ditempatnya. Baju pelampung yang masih bagus juga tidak ada.Dari atas bongkahan batu, terlihat Hilda sedang menggeliat. Perlahan-lahan perempuan berambut lurus sebahu itu membuka matanya. Ia menyipitkan matanya begitu mendapatkan pencahayaan yang sangat terang.Sudah siang, ya? tanyanya pada Bram. Yang ditanya hanya mengangguk saja.Matahari bersinar sangat terik sekali. Tapi karena tempat ini banyak pohon-pohon besar, jadi cahaya matahari tidak dapat menembus mulus sampai ke bawah.Silvi mana? tanya Hilda sambil melihat keadaan sekeliling.Bram menggeleng pelan. Kayaknya dia pergi. Tasnya nggak ada, beritahu Bram dengan nada frustasi. Bisa-bisanya didalam keadaan genting seperti ini Silvi membuat ulah.Hilda langsung terduduk tegap. Ap-apa? Pergi? Silvi pergi dari sini sendirian? Kemana? Kemana dia? tanya Hilda bertubi-tubi.Aku juga nggak tau. Waktu aku bangun, Silvi udah nggak ada. Aku juga belum lama bangun.Hilda menunduk sambil memijit pelipisnya yang berdenyut. Silvi si keras kepala selalu saja membuat ulah. Bukan baru sekali ini Silvi membuat ia dan Bram frustasi. Saat masih sekolah dan beberapa waktu lalu, Silvi juga sering membuat ia dan Bram kalang kabut dengan aksinya.Kita harus cari Silvi. Kita harus berkumpul lagi sebelum matahari terbenam, ujar Hilda sambil menatap lurus kearah Bram.Bram hanya mengangguk saja. Ia sendiri pusing bukan main memikirkan bagaimana caranya agar bisa keluar dari sini, tapi Silvi malah membuat pusingnya bertambah dua kali lipat.Mereka lalu bergegas berangkat mencari Silvi. Sebelum pergi, keduanya meminum beberapa teguk air.Kita ke arah mana, nih? tanya Hilda sambil mengacungkan jarinya ke kanan dan kiri.Insting kamu kemana? Biasanya insting cewek lebih peka.Hilda tampak berfikir sejenak. Emm... Sana! Ia menunjuk arah yang tadi dilalui Silvi.Mereka berdua lalu menyusuri pinggir pantai sambil melihat-lihat keadaan sekitar.Kok nggak ada kapal lewat, ya? gumam Hilda ditengah perjalanan.Bram tak menyahut, ia hanya melangkahkan kakinya tanpa banyak bicara.  Keduanya jalan bersisian di sepanjang pantai.***Matahari sudah semakin tenggelam. Silvi bergidik ngeri melihat sekeliling. Ia terus melangkah. Menghiraukan perutnya yang sedari tadi sudah berbunyi minta diisi.Bukan tanpa alasan Silvi menyusuri pulau ini, ia sedang mencari bantuan. Dan siapa tahu juga, tak jauh dari pulau ini ada pulau lain yang berpenghuni. Kalau jaraknya tidak terlalu jauh, ia dan teman-temannya bisa berenang untuk menyebrang pulau.Namun sayang, sedari tadi Silvi berjalan, ia tak menemukan pulau terdekat. Kapal nelayan pun tak ia temukan juga. Ia mulai frustasi.Silvi duduk di atas batu besar sambil menangkupkan kedua tangannya di wajah. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia lapar. Ingin pulang.Awalnya Silvi pikir pulau ini kecil, namun sejak pagi hingga sore ia berjalan, tetap saja ia tak menemukan ujungnya. Ya memang sih, sejak tadi ia sering berhenti untuk istirahat karena lelah. Jadi ia tidak benar-benar full jalan dari pagi hingga sore.Silvi jadi terpikirkan akan sahabat-sahabatnya. Pasti saat ini Hilda dan Bram bingung mencari keberadaannya.Hilda, Bram, maaf. Aku nggak ada niat buat kalian bingung. Niat awal aku ingin mencari bantuan, tapi aku malah tersesat. Dari tadi jalan nggak nemu ujung. Silvi bicara sambil menunduk.Perempuan berambut bob itu memegang perutnya yang sudah semakin lapar. Ia meringis hebat saat beberapa kali cacing di dalam perutnya demo meminta jatah.Apa aku balik lagi aja, ya? Silvi menatap jalan yang tadi ia lalui. Ia ingin bertemu dengan sahabatnya sesegera mungkin.Dengan langkah gontai, Silvi kembali berjalan kearah darimana dia datang. Ia tak melanjutkan jalan ke depan karena tak ingin semakin tersesat. Lagipula, semakin lama jalanan yang ia lalui semakin semak. Sulit untuk dilalui, apalagi saat malam hari nanti.Silvi berjalan disepanjang pantai dengan dimandikan cahaya jingga sang mentari. Burung-burung beterbangan hendak pulang ke sangkar.Ditengah perjalanan, Silvi yang sudah tidak kuat lagi untuk berjalan, mendaratkan bokongnya di sebuah batu besar.Pulau dan pantai ini banyak sekali batu besarnya. Mungkin ini bisa dinamakan pulau batu.Silvi menangis tertahan. Ia benar-benar lapar. Namun tak ada apa-apa yang bisa ia makan. Pandangan matanya sudah semakin mengunang.Tanpa sengaja, pandangan mata Silvi menangkap pohon buah liar. Ia lalu mendekati pohon tersebut dan memetik dua buah liar.Setelah mendapatkan dua buah itu, ia lalu duduk di sebuah batu besar sambil menatap lurus kearah laut.Silvi melihat baik-baik buah yang ada di tangannya. Buah tersebut seperti apel. Tapi bukan apel. Bau dari buah itu sangat langu sekali.Silvi sempat ragu untuk memakannya. Takut kalau itu adalah buah beracun. Tapi karena ia lapar, ia terpaksa memakan buah yang ada di tangannya itu.Baru tiga gigitan, Silvi langsung muntah-muntah. Dari mulutnya keluar busa. Ia keracunan.Karena keadaan tubuhnya sangat lemah, Silvi lalu ambruk di atas tanah. Pandangan matanya gelap. Ia pingsan.***Malam sudah turun. Hilda dan Bram duduk di sebuah batu besar sambil menikmati ikan tangkapan mereka. Tadi keduanya menangkap ikan menggunakan pancing ala kadarnya.Sepanjang jalan mereka tidak minum sama sekali. Karena selama dalam perjalanan, mereka tak menemukan sumber air tawar.Aku haus, Bram. Dehidrasi, lirih Hilda setelah mereka selesai menyantap makan malamnya.Nggak ada pilihan lain, kita harus minum air laut, gumam Bram. Ayo ikut aku! Bram menarik tangan Hilda menuju pantai.Tapi, Bram! Ini asin. Aku nggak bisa, lirih Hilda.Bram tidak berkata apa-apa. Dia lalu mencelupkan ujung bajunya pada air pantai, kemudian ia menyedot air yang ada di ujung baju tersebut.Hilda melihat Bram dengan seksama. Diapun lalu mengikuti apa yang dilakukan Bram.Keduanya melakukan itu sampai haus mereka benar-benar hilang. Setelah itu, keduanya kembali lagi melanjutkan perjalanan mencari Silvi.Bram...Hmmm...Gimana kalau ternyata Silvi tadi perginya lewat sini juga, dan akhirnya kita nggak ketemu karena jalan disatu arah yang sama. Tapi bedanya Silvi udah didepan, kita masih jauh dibelakang, ujar Hilda ditengah-tengah perjalanan.Kita jalan aja, jawab Bram datar.Silvi tidak mengatakan apa-apa lagi. Keduanya terus berjalan dengan diterangi oleh cahaya sang rembulan. Beruntung sekali beberapa malam di sini mereka tidak terjebak hujan. Dan mereka juga beruntung karena bulan sedang bersinar dengan gagahnya. Sehingga ada penerangan bagi mereka dikala malam seperti ini.Aauu! Hilda meringis saat kakinya tanpa sengaja menginjak sebuah ranting yang runcing.Bram lalu menyuruh Hilda untuk duduk disebuah batu besar. Ia memeriksa keadaan kaki Hilda. Hilda menggunakan flat shoes, dan ranting itu menembus alas telapak sepatunya. Sungguh dahsyat sekali ranting itu.Bram menarik ranting yang tertancap dibawah sepatu Hilda. Ia lalu memeriksa telapak kaki Hilda. Ada darah yang mengalir dari sana.Sakit. Hilda merintih dengan air mata yang bercucuran.Tahan sebentar, ya?! Bram lalu menyobek ujung kaosnya. Ia lalu mengikat luka Hilda dengan sobekan kaos dalamnya.Makasih, Bram, ujar Hilda pelan. Aku udah baikan. Ayo kita jalan lagi. Kasihan Silvi sendirian, lanjutnya.Bram mengangguk.Keduanya lalu kembali menyusuri pantai mencari keberadaan Silvi. Mereka tidak memanggil-manggil karena takut akan mengganggu makhluk lain yang ada di sekitar mereka.Bram... Aku dingin. Hilda menggigil kedinginan. Sejak tadi ia menahan dingin, tapi tidak berhasil dengan baik. Ia lantas terduduk lemas di atas tanah.Bram lalu memeluk Hilda dengan erat. Ia meniup-niup telapak tangan Hilda. Tangan Hilda sangat dingin sekali. Seperti es batu.Kita nggak bisa melakukan perjalanan sekarang, Da. Besok pagi baru kita lanjutkan lagi perjalanan kita, bisik Bram.Hilda tidak menyahut apa-apa. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat karena dingin menusuk-nusuk sampai ke tulangnya.Sementara itu, tiga kilometer di depan Bram dan Hilda, Silvi masih terbaring di atas tanah dalam keadaan tak sadarkan diri.***Matahari sudah memancarkan sinarnya. Hangat mulai membelai kulit Hilda. Ia menggeliat dalam pelukan Bram.Bram..., panggil Hilda sambil melepaskan pelukan Bram.Bram membuka matanya. Ia mengucek matanya karena gatal.Sebentar lagi kita lanjut jalan, ya?! Kasihan Silvi, ujar Hilda dan di-angguki oleh Bram.Setelah nyawa mereka berdua terkumpul, keduanya lalu kembali melanjutkan perjalanan. Mereka jalan bersisian disepanjang pantai.Setelah cukup lama mereka berjalan, dari kejauhan keduanya melihat seorang terbaring di atas tanah.Silvi! pekik Hilda histeris.Hilda dan Bram lantas berlari tunggang langgang mendekati Silvi. Hilda menepuk-nepuk pipi Silvi. Sedangkan Bram, melihat buah aneh yang berada tak jauh dari Silvi.Atau jangan-jangan Silvi makan buah ini? Bram mengambil buah yang tergeletak di tanah. Ini kan buah beracun, lanjutnya lagi.Hilda menggeleng dengan air mata yang mengalir deras. Ia memeluk Silvi sangat erat.Dari kejauhan, keduanya melihat sebuah kapal nelayan. Bram dan Hilda lantas berteriak kencang sekali, memanggil-manggil sang nahkoda kapal untuk meminta bantuan.Namun sayang, kapal tersebut tidak mendekat ke arah mereka. Karena jarak kapal yang terlalu jauh, orang di dalam kapal tidak ada yang bisa mendengar teriakan mereka berdua.Kamu di sini aja jaga Silvi! Aku mau berenang ke arah kapal itu! ujar Bram.Tunggu! Silvi mengeluarkan baju pelampung dari dalam tas Silvi. Pakai ini, ujarnya. Ia tahu kalau baju pelampung yang masih bagus itu dibawa oleh Silvi, karena saat kemarin ia bangun, tak ada baju pelampung itu di tempat awal.Baju pelampung yang satu lagi rusak saat Hilda tak sengaja terpeleset dan baju itu tersayat ranting pohon yang tajam.Bram lalu memakai pemberian Hilda tersebut. Setelah itu, ia lantas berenang mendekati kapal yang semakin menjauh dari mereka.Silvi memandangi kepergian Bram dengan jantung yang berdetak tak karuan. Ia mengkhawatirkan keadaan Bram. Semoga Bram baik-baik aja, gumam Hilda sambil memeluk Silvi erat-erat.***Tunggu! Bram melambai-lambaikan tangannya mendekati kapal.Orang di dalam kapal itu tak ada satupun yang melihat Bram. Bibir Bram sudah membiru karena lapar dan dingin.Tolong! Bram berteriak lagi sambil melambaikan tangannya. Jarak dirinya dan kapal cukup jauh. Lebih kurang lima puluh meter.Tanpa Bram duga, seorang didalam kapal ada yang melihat keberadaannya. Kapal lalu berhenti. Orang-orang di dalam kapal lalu berteriak memanggilnya untuk mendekat.Setelah dekat, Bram lalu dibantu oleh awak kapal untuk naik. Orang-orang menanyakan apa yang ia lakukan. Dengan suara bergetar karena dingin, ia lalu menceritakan semuanya. Ia juga memohon agar nahkoda kapal mau menuju pulau tak berpenghuni untuk menjemput Hilda dan Silvi.***Silvi terbaring lemas di atas kasur. Di sebelahnya, ada Bram dan Hilda yang memandang khawatir kearahnya.Makasih dan maaf. Makasih kalian selalu ada buat aku. Dan maaf aku udah buat kalian pusing karena ulahku, lirihnya.Hilda menggeleng pelan. Udah. Nggak usah bahas itu lagi, ujarnya.Sekarang ini mereka bertiga sedang ada di kosan. Mereka bertiga adalah anak kampung yang merantau untuk kuliah ke kota. Untuk kejadian ini, mereka merahasiakan dari orang tua mereka. Mereka tak mau orang tua mereka khawatir.Mereka bertiga bisa selamat dari pulau itu berkat bantuan bapak-bapak nelayan. Nelayan itu juga yang memberikan penawar racun untuk Silvi.Silvi diberikan air yang sudah dibacakan do'a oleh salah satu nelayan. Dan ajaib, Silvi langsung sadar begitu air tersebut dipaksa masuk ke dalam tenggorokannya.S E L E S A I
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan